Peringatan Hari Kebangkitan Nasional, Indonesia pun Menangis kembali

Indonesia pun kembali menangis

Sungguh suatu kesempatan baik bisa bersama keluarga menonton acara TV yang menayangkan peringatan Harkitnas, di Harpitnas. Senja itu tepat setelah makan malam sayapun bersama isteri, dan ketiga anak saya tumplek di ruang tengah menonton TV bersama. Acara yang ditayangkan demi acara kami saksikan dengan canda dan cerianya rumah yang masih diisi oleh anak-anak yang relatif masih kecil, belum meninggalkan rumah untuk sekolah dan menuntut ilmu. Setelah acara disiarkan via TV, maka kami pun langsung menyakasikan keindahan parade kesenian nuasantara. Mulai dari tari Saman dari Aceh yang saya komentari cukup baik dan manis sebagai pembuka. Juga kemudian dilanjutkan oleh tarian dari Batak dengan lagu sigulempong yang disusul oleh tarian dari Minang yang disebuatkan sebagai tarian Tak Tong Tong oleh pembawa acara (Tantowi dan Maudy). Padahal tariannya gak jelas namanya, pasti bukan Tak Tong TOng, karena itu adalah lagu pengiring. Hanya gerakannya seperti dari bagian penggalan tari Pasambahan dan tari Piriang standar. Sebelum loncat ke lokasi daerah di pulau Jawa, saya memberikan komentar dihadapan anak-anak, bahwa tarian dari Batak dan Minang agak serba tanggung gearakan penarinya, meski irama sudah bagus untuk berkibar dalam satu jenis tari yang energik.

Untuk Betawi, SUnda dan Jawa…serta Bali..tariannya bagus, dinamis dan cukup pas dengan irama musik. begitu pula dengan daerah Nusa Tenggara yang memperdengarkan penggalan lirik lagu “mana-dimana anak kambing saya dst”. Gerakan tarian cukup bagus, begitu pula hingga ke Maluku dan Irian Jaya.

Secara umum pakaian dan assesori sudah cukup bagus, tapi ya itu tadi…gerakan tari untuk daerah Batak (SUmut) dan MInang (Sumbar) serba tanggung. Kelihatannya koreografernya masih harus belajar banyak.

Acara berikutnya termasuk bagus pada bagian awal, dimana korps TNI dan Kepolisian menunjukkan taringnya dalam membela negara. Atraksi demi atraksi berlalu..tetapi karena terlalu banyak, monoton, dan memakan waktu mulai membosankan. Anak-anak satu persatu masuk kamar, begitu pula saya ketika menyaksikan acara yang sama untuk giliran para pendekar memamerkan keperkasaan silat tanah air…saya pun mulai ngeloyor pergi…dan saya gak tahu apalagi rangkaian acara peringatan Harkitnas tersebut. Yang pasti tidak berapa lama saya surfing di Internet, saya dengar isteri juga mematikan TV dan menyuruh anak-anak tidur.

Acara peringatan Harkitnas pun berlalu tanpa membangkitkan apa-apa. Dan esok kau sambutlah harimu dengan ketidak pastian, terutama rencana naiknya harga BBM yang akan disusul oleh kenaikan harga nyaris segala jenis barang dan jasa.

Kemaren, masih terbayang piala Thomas tidak jadi singgah di negeri tercinta. Piala Uber, masih harus diuber terus-terusan. Sementara hari ini, Bang Ali dan Oma SK Tri Murti juga pergi meninggalkan kita menyusul Bung Sophan menghadapNya.

Maka “Indonesia Menangis” pun kembali.

Maaf Indonesia.

Motor Gede, Kebangkitan Nasional, dan Wong Cilik

Sungguh berat rasanya membayangkan orang seidealis Mas Sophan yang harus menjadi ketua rombongan acara Tour Moge Merah-Putih di tengah suasana prihatin akan kenaikan harga dan kelangkaan BBM, serta kesulitan wong cilik saat seperti ini. Di jalan penuh lobang dan jepitan panjang kerusakan, moge itu akhirnya melintas dan meminta korban jiwa Bung Sophan yang di hari-hari akhirnya justru sedang bergelut dengan pemikiran-pemikiran bernas bagaimana menyelematkan bangsa ini dari berbagai keterpurukan. Mungkinkah pikiran-pikiran bernas dan renungan itu melintas ketika beliau tour dan membungkam konsentrasinya di atas jalan beraspal? Saya hanya berandai, dan semoga Allah menerima almarhum di sisiNya.

AMin ya rabbal alamin.