Ini perlu perhatian khusus dan serius nih.!!
https://www.republika.id/posts/40177/keringkihan-berbangsa
KERINGKIHAN BERBANGSA
Oleh : HAEDAR NASHIR
Bangsa ini tampak masih ringkih, ibarat rumput kering mudah terbakar.
Apa kabar Indonesia? Dari wujud luar menggembirakan. Apalagi ragad fisik dan kemeriahan dunia politik.
Bila menyaksikan tampilan iklan para tokoh di berbagai sudut kota untuk kontestasi politik 2024, sungguh luar biasa!
Indonesia tampil megah. Laksana negara gemah ripah loh jinawi. Apalagi dengan proyek-proyek raksasa.
Para elitenya ceria dan sangat populis kalau dekat pemilu, tiada raut muka berat beban sarat masalah kebangsaan. Apalagi berkerut wajah soal utang luar negeri dan sumber daya alam yang terkuras tuntas.
Wajah Indonesia lainnya seolah paradoks. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia di peringkat 130 dari 199 negara sedunia, terbawah di ASEAN. Indonesia berada di peringkat 44 dari 63 negara dalam World Competitiveness Yearbook 2022 yang dirilis Institute for Management Development (IMD).
Jangan ditanya indeks korupsi, mantan terpidana korupsi bisa jadi pahlawan di negeri ini. Apalagi soal keadaban bermedsos, memprihatinkan.
World Population Review 2022 menunjukkan data, nilai rata-rata IQ penduduk di Indonesia dengan skor 78,49 menempatkan Indonesia pada posisi 130 dari total 199 negara, tidak jauh dari Timor Leste dan Papua Nugini.
Microsoft tahun 2020 merilis orang Indonesia terendah digility atau kesopanannya di ASEAN. Padahal bangsa ini selalu mendengungkan keramahan berbudaya adiluhung.
Para buzzer tampil ganas di media sosial. Publik resah dengan para buzzer rupiah alias berbayar. Ilmuwan tampil layak buzzer, bahkan ada yang mengancam bunuh banyak orang.
Perangai buzzer maupun warganet yang sejatinya bermuatan radikal oleh sebagian pihak dianggap ringan, yang penting meminta maaf, lebih-lebih di bulan Lebaran. Seringan itu persoalan moral dan sikap tak bertanggung jawab di negeri ini!
Problem Nilai
Di balik sejumlah karut marut kebangsaan yang menjadi ironi di negeri ini, sejatinya ada problem nilai fundamental yang mengalami erosi, distrorsi, devaluasi, dan disintegrasi.
Agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa yang menjadi sumber nilai utama bangsa Indonesia masih belum mewujud secara masif dalam keselarasan dan konsistensi tindakan yang mencerdaskan, mencerahkan, dan memajukan keadaban hidup kolektif.
Verbalitas ketiga nilai mendasar itu memang hidup bersemarak, tapi kehilangan aktualisasinya yang kokoh di tubuh elite dan warga. Tidak mungkin korupsi, kekerasan, kerendahan etika, dan keliaran perilaku di ruang publik maupun media sosial jika nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa berfungsi manifes.
Nilai sebagai pola bagi perilaku (mode for action) sekaligus pola dari perilaku (mode of action) yang hidup di dunia nyata; kemudian melahirkan martabat berpikir, bersikap, dan bertindak nan utama di tubuh bangsa ini.
Berbagai ujaran kebencian, caci maki, menghasut, merendahkan, permusuhan, serta perangai tak pantas merebak di media sosial tanpa kendali etika dan moralitas luhur. Untuk menghindar dari jeratan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), mereka piawai memainkan kata dan cara meski isinya berisi ujaran-ujaran buruk.
Makin canggih penguasaan teknologi informasi, kian cerdik manusia bersimulakra yang muaranya menebar onar, hasud, dengki, dan keliaran. Bila perlu usai itu minta maaf dengan ringan sambil mencari dalih pembenar.
Di tubuh bangsa ini sedang terjadi perilaku permisif dan ambivalensi standar nilai.
Di tubuh bangsa ini sedang terjadi perilaku permisif dan ambivalensi standar nilai. Para buzzer dan pembikin keonaran sering ditoleransi dan leluasa menyebarkan virus kepremanannya tanpa kontrol kuat dari publik dan tindakan cepat institusi otoritatif.
Kalau pihak lain yang melakukan keonaran di ruang publik dengan mudah dicap radikal dan dihujat untuk segera ditindak serta diproses hukum. Sementara bila pelaku onar itu datang dari kalangan sendiri dengan ringan dimintakan maaf dan kasusnya ditutup buku. Ibarat adagium, “Masuk ke mulut dimuntahkan, tiba di perut dikempiskan”.
Agama dan kehidupan beragama serta Pancasila dan kehidupan berpancasila maupun berkebudayaan luhur bangsa kehilangan orientasi dan fungsi nyata dalam mengarahkan perilaku manusia Indonesia. Nilai kemanusiaan dengan dasar Ketuhanan pun mulai mengalami peluruhan.
Menurut Sukidi Mulyadi, pemikir kebinekaan lulusan Harvard yang juga kader Muhammadiyah, mestinya nilai ketuhanan menjadi pondasi bernegara dan bermasyarakat. Namun, “Itu harus selalu diingatkan di tengah situasi krisis, di mana nilai-nilai yang semestinya menjadi pegangan kita hidup berbangsa dan bernegara, ini mengalami satu nilai terkoyak,” ujarnya tegas (Kompas, 27/4/2023).
Keterkoyakan nilai itu tentu mempengaruhi perilaku berbangsa dan bernegara, yang berakar pada banyak sebab serta manifestasinya.
Mochtar Lubis (1977) menunjuk pada watak orang Indonesia yang munafik atau hipokrit, enggan bertangggung jawab atas perbuatannya, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, erotik, dan lemah karakter.
Temuan senada juga dilakukan Koentjaraningrat (1974), yang menunjukkan mentalitas lemah orang Indonesia akibat revolusi, penjajahan, dan sistem sosial budaya yang rentan. Kelemahan-kelemahan mentalitas yang terstruktur oleh sistem yang ringkih itu tampaknya masih hidup di tubuh sebagian elite dan warga bangsa!
Kelemahan-kelemahan mentalitas yang terstruktur oleh sistem yang ringkih itu tampaknya masih hidup di tubuh sebagian elite dan warga bangsa!
Situasi Rentan
Kelemahan nilai dan mentalitas yang mengidap di tubuh bangsa Indonesia memang tidak dapat digeneralisasi. Kini mungkin telah terjadi perubahan-perubahan baru ke arah yang lebih maju dan positif, terutama pada generasi muda.
Namun ketika dihadapkan pada sejumlah kasus, kejadian, peristiwa, dan masalah kebangsaan bagaimana terjadi akhir-akhir ini tampak nyata kelemahan mentalitas itu. Antara lain sikap tak bertanggungjawab secara murni.
Bangsa ini tampak masih ringkih, ibarat rumput kering mudah terbakar. Kehilangan rasionalitas dan mentalitas dewasa. Ilmuwan pun tidak menunjukkan keluhuran akal budi, ilmunya tak mencerahkan nalar dan perangainya.
Insan dewasa nan berilmu mestinya tahu membedakan benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas sehingga tidak berkata dan bertindak onar atau anarkistis. Bilamana salah dan menimbulkan keonaran semestinya segera mengakui secara kesatria tanpa mencari pembenaran.
Publik pun seyogianya tidak melakukan pembelaan, hanya karena yang bersangkutan berasal dari kaumnya. Institusi-institusi yang terkait atau otoritatif pun segera bertindak sebagaimana mestinya tanpa menunggu kegaduhan.
Mentalitas lemah yang bersenyawa dengan sistem yang sama lemahnya, akhirnya membuahkan daur ulang kesalahan demi kesalahan dalam kehidupan berbangsa. Tiada efek jera, para pelaku onar dan korupsi pun usai menjalani hukuman seolah tiada beban salah, malah ada yang diperlakukan seperti sang hero.
Mentalitas lemah yang bersenyawa dengan sistem yang sama lemahnya, akhirnya membuahkan daur ulang kesalahan demi kesalahan dalam kehidupan berbangsa.
Pola pikir menghadapi masalah tidak jarang salah kaprah. Jika ada satu peristiwa akibat ulah pelaku onar kemudian muncul reaksi yang menimbulkan kegaduhan, kecenderungannya kegaduhan itulah yang dipersoalkan. Sumber keonarannya diabaikan atau disamakan posisinya dengan reaksinya.
Lalu pesannya klise, jangan gaduh. Lupa bahwa kegaduhan itu ada pemicu utamanya, yakni aktor dan perbuatan yang meresahkan.
Lebih parah, dalam relasi aksi dan reaksi maka reaksi itulah yang disalahkan. Adapun sebabnya berlalu begitu saja. Inilah bentuk kerentanan berpikir ala Indonesia yang ingin harmoni dan alergi konflik secara salah kaprah. Pada saat sama menoleransi sumber pemicu rusaknya harmoni dan terjadinya konflik.
Negara atau pemerintah tidak hadir sebagai pemecah masalah dan pemersatu yang otoritatif. Bhinneka Tunggal Ika dan sila Persatuan Indonesia lebih banyak disuarakan menjadi nilai normatif semata, tidak menjadi nilai manifes dalam kehidupan berbangsa-bernegara.
Negara Indonesia itu Berketuhanan Yang Maha Esa serta keberadaan agama dijamin konstitusi. Namun manakala negara mengambil kebijakan yang memihak pada satu mazhab, golongan, dan pandangan tertentu terutama yang bersifat perbedaan atau ikhtilafiyah, maka yang terjadi kontroversi.
Negara ikut memproduksi masalah. Fungsi wasit dan adil menjadi hilang dari negara dalam mengatasi perbedaan dan merekat persatuan.
Dari kuasa negara yang tidak objektif itulah lahir arogansi intelektual yang bersenyawa dengan dominasi paham keagamaan yang menghasilkan persekusi verbal dan nonverbal (mihnah) serta rezimentasi agama.
Adapun para elite negeri makin sibuk dengan dirinya, terutama memasuki kontestasi politik tahun 2024. Pemilu memang niscaya dan menjadi agenda politik yang penting bagi bangsa Indonesia.
Namun, manakala kesibukan dari hari ke hari terfokus pada kursi kekuasaan dan abai pada masalah-masalah krusial kebangsaan, maka di situlah titik-titik rawan kehidupan bernegara. Para elite hanya memikirkan bagaimana mempertahankan dan melangsungkan kekuasaan secara mati-matian. Elite lainnya terkonsentrasi merebut dan menduduki kekuasaan.
Lahirlah kevakuman kepemimpinan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam beragam bentuk. Politik dan kekuasaan menjadi kehilangan fungsinya dalam memecahkan masalah (problem solving) dan menegakkan kebajikan umum (public-good) di tubuh bangsa.
Hasil akhirnya, kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di negeri ini menjadi ringkih!
Filed under: reformasi | Tagged: buzzer, indonesia, Indonesia Emas, radikal, Ringkih, rupiah | Leave a comment »