PERCEPATLAH e-Voting untuk Pemilu

Banyaknya kisruh serta biaya dan sumber daya yang besar untuk Pemilu konvensional, semestinya sudah bisa memaksa pemerintah untuk segera beralih ke e-Voting. Berikut sekilas tulisan ringkas saya terkait e-Voting. Semoga berguna.

Rungkad..!!

Wah ada yang mengingatkan kita nih. Emang sih, istri saya sempat bertanya apa artinya Rungkad. Setelah saya jelaskan panjang lebar, dia komentar singkat “kalau gitu kenapa lagunya untuk joget dan Happy2?”

Benar juga ya, gumamku sambil memujinya dalam dalam. Ya iyalah… Istri siapa dulu🤣❤️

======

78 TAHUN MERDEKA:
PESTA KORUPSI DAN JOGETAN ISTANA

Abdullah Hehamahua Saya tidak pernah menghadiri upacara pengibaran Merah Putih di istana negara. Padahal, sebagai Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) selama empat tahun, saya selalu mendapat undangan dari Sekneg. Hal yang sama berlaku sewaktu delapan tahun menjadi Penasihat KPK. Hari itu, 16 Agustus 2023. Seorang tamu menegur sikapku ini. “Saya tidak mau jadi orang munafik,” jawabku. Sebab, lanjutku: “kuingat jasa pahlawan nasional. Mulai dari Teuku Umar di belahan barat sampai Pattimura di penghujung timur Indonesia. Mereka menyabung nyawa untuk melawan penjajahan. Namun, kita sekarang saling menjajah. Ber-KKN- riya. Ada 14 menteri dan 70% Kepala Daerah ditangkap”

Pengibaran Merah Putih


Alergi terhadap upacara pengibaran bendera.? Tidak. Sebab, sewaktu di SMA, setiap Senin, dilakukan upacara pengibaran Merah Putih. Saya tidak pernah bolos.
Alergi terhadap istana.? Tidak juga. Sebab, pertama kali kumasuki istana, tahun 1971. Saya dan peserta Pendidikan Pers IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) seluruh Indonesia, berangjasana ke istana. Itulah pertama kali kusalami Soeharto.

Kudatangi lagi istana negara ketika mengikuti pelantikanku sebagai Wakil Ketua KPKPN (2001) oleh presiden Gusdur. Selama 10 tahun SBY, saya sering hadir di istana negara, mengikuti pelantikan Pimpinan KPK dan Lembaga Negara lainnya. Namun, saya enggan hadir dalam upacara pengibaran Merah Putih, setiap 17 Agustus di istana negara. Penyebabnya, mungkin sangat pribadi. Penyebab pertama, mataku akan berkaca-kaca setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebab, ketika menyanyikan lagu tersebut, pikiranku melayang ke seluruh pelosok negeri. Kubayangkan perjuangan Teuku Umar, Teungku Chik di Tiro, Panglima Polem dan Cut Nyak Dhien di Aceh. Ada Imam Bonjol di Sumatera Barat. Lalu Fatahillah dan Diponegoro di Jawa. Ada pula Antasari serta Hasanuddin di Kalsel dan Makassar. Begitu pula Sultan Babullah serta Pattimura di Ternate dan Ambon. Ada di antara mereka yang mati di tiang gantungan. Ada yang diasingkan ke daerah lain, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Mereka semua mengorbankan waktu, pikiran, harta, keluarga, bahkan nyawa, demi membebaskan Indonesia dari penjajahan.

Hari ini, kita sendiri yang undang penjajah, khususnya AS dan China. Mereka menguasai politik, hukum, dan ekonomi nasional. Bahkan, SDA kita, “dirampok.” Penyebab kedua, saya selalu berusaha untuk tidak menjadi orang munafik. Tidak mau menjadi orang yang berbeda di antara ucapan dan perbuatan. Sebab, setiap upacara pengibaran merah putih, dibacakan teks proklamasi. Di sinilah terlihat kemunafikan presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya. Sebab, teks proklamasi itu berbunyi: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Bagi orang dungu, teks proklamasi hanya dilihat sebagai rangkaian 27 perkataan. Orang cerdas, pasti menghayati filosofi yang berada di rangkaian kata-kata tersebut. Presiden dan pejabat cerdas akan tau, sejatinya teks proklamasi yang akan dibaca pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Mukadimah UUD 45. Namun, kondisi waktu itu sangat kritis. Apalagi, Soekarno kurang sehat. Olehnya, ditulislah teks baru yang sangat sederhana. Bung Hatta mengimlakan redaksinya. Soekarno menuliskannya. Maknanya, dewasa ini, setiap membaca teks proklamasi, presiden, wakil presiden, para Menteri, Kepala Daerah, dan anggota legislative, bermuhasabah. Apakah tujuan kemerdekaan yang ada di Mukadimah UUD 45, sudah tercapai, kehilangan arah atau tergadai.

Pengkhianatan Utama


“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Inilah alinea pertama Mukadimah UUD 45. Bukankah Presiden, Wapres, Menteri, Kepala Daerah, anggota legislative dan Aparat Penegak Hukum (APH) melapor, mengintimidasi, bahkan menangkap dan memenjarakan rakyat yang menyuarakan aspirasi.? Bukankah pembunuhan 6 laskar FPI, 9 Pengunjukrasa di Bawaslu, dan sejumlah mahasiswa di seluruh Indonesia merupakan pengkhianatan terhadap Mukadimah UUD 45.? Bukankah penangkapan HRS, pengurus KAMI, ulama, dan aktivis merupakan pengkhianatan proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah pengkhianatan utama pemerintahan Jokowi.

Penjajahan Modern
“Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Paragraf di atas adalah alinea keempat Mukadimah UUD 45. Isinya merupakan tujuan kemerdekaan: NKRI yang terlindungi eksistensinya, rakyat sejahtera, bangsa cerdas, dan Indonesia berperan dalam terciptanya ketertiban dunia. Presiden, para Menteri, Kepala Daerah, dan anggota legislative, jujurlah. Jokowi menawarkan 34.000 hektar lahan di IKN untuk pengusaha China. Bahkan, bisa mendapat HGU selama 190 tahun. Padahal, UU menetapkan, maksimal 25 tahun. Dapat diperpanjang, maksimal 10 tahun. Apakah Jokowi tidak pernah baca undang-undang.? Mungkin saja. Mungkin pula beliau baca, tapi kurang paham. Namun, bagaimana para Menteri dan anggota legislative, bergelar profesor dan doktor yang ijazahnya asli, membiarkan hal tersebut.? Bukankah ia merupakan penjajahan modern.?

Joget bersama Utang dan Penderitaan Rakyat


Putri Ariani, tuna netra. Beliau ekspresi nuraninya dalam lagu Rungkad yang didendangkan di istana merdeka. Hari itu, 17 Agustus 2023, tepat 78 tahun usia Indonesia. Tragisnya, presiden, wakil presiden, para Menteri, dan pejabat negara yang melek, tapi buta hati. Mereka berjoget di atas penderitaan orang lain seperti substansi lirik lagu yang dinyanyikan Putri. “Rungkad,” lagu yang menggambarkan frustrasi luar biasa karena dikhianati. Mereka dikhianati orang yang dipercayai selama ini. Betapa tidak, Putri, orang tuanya dan 278 juta rakyat Indonesia, harus menanggung utang negara, Rp. 28 juta setiap orang karena ulah pemerintahan Jokowi. Tragis !!!,

Presiden, orang Solo. Namun, beliau tidak mengerti bahasa Jawa dari lagu yang dinyanyikan Putri Ariani. Dahsyatnya, Putri, remaja tunanetra tapi tidak tunahati. Berbeda dengan presiden dan kabinetnya yang tunahati. (Depok, 18 Agustus 2023).

Booklet Perencanaan

Booklet tentang perencanaan, semoga berguna.

Benarkah Indonesia Ringkih..?

Ini perlu perhatian khusus dan serius nih.!!

https://www.republika.id/posts/40177/keringkihan-berbangsa

KERINGKIHAN BERBANGSA

Oleh : HAEDAR NASHIR

Bangsa ini tampak masih ringkih, ibarat rumput kering mudah terbakar.

Apa kabar Indonesia? Dari wujud luar menggembirakan. Apalagi ragad fisik dan kemeriahan dunia politik.

Bila menyaksikan tampilan iklan para tokoh di berbagai sudut kota untuk kontestasi politik 2024, sungguh luar biasa!

Indonesia tampil megah. Laksana negara gemah ripah loh jinawi. Apalagi dengan proyek-proyek raksasa.

Para elitenya ceria dan sangat populis kalau dekat pemilu, tiada raut muka berat beban sarat masalah kebangsaan. Apalagi berkerut wajah soal utang luar negeri dan sumber daya alam yang terkuras tuntas.

Wajah Indonesia lainnya seolah paradoks. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia di peringkat 130 dari 199 negara sedunia, terbawah di ASEAN. Indonesia berada di peringkat 44 dari 63 negara dalam World Competitiveness Yearbook 2022 yang dirilis Institute for Management Development (IMD).

Jangan ditanya indeks korupsi, mantan terpidana korupsi bisa jadi pahlawan di negeri ini. Apalagi soal keadaban bermedsos, memprihatinkan.

World Population Review 2022 menunjukkan data, nilai rata-rata IQ penduduk di Indonesia dengan skor 78,49 menempatkan Indonesia pada posisi 130 dari total 199 negara, tidak jauh dari Timor Leste dan Papua Nugini.

Microsoft tahun 2020 merilis orang Indonesia terendah digility atau kesopanannya di ASEAN. Padahal bangsa ini selalu mendengungkan keramahan berbudaya adiluhung.

Para buzzer tampil ganas di media sosial. Publik resah dengan para buzzer rupiah alias berbayar. Ilmuwan tampil layak buzzer, bahkan ada yang mengancam bunuh banyak orang.

Perangai buzzer maupun warganet yang sejatinya bermuatan radikal oleh sebagian pihak dianggap ringan, yang penting meminta maaf, lebih-lebih di bulan Lebaran. Seringan itu persoalan moral dan sikap tak bertanggung jawab di negeri ini!

Problem Nilai

Di balik sejumlah karut marut kebangsaan yang menjadi ironi di negeri ini, sejatinya ada problem nilai fundamental yang mengalami erosi, distrorsi, devaluasi, dan disintegrasi.

Agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa yang menjadi sumber nilai utama bangsa Indonesia masih belum mewujud secara masif dalam keselarasan dan konsistensi tindakan yang mencerdaskan, mencerahkan, dan memajukan keadaban hidup kolektif.

Verbalitas ketiga nilai mendasar itu memang hidup bersemarak, tapi kehilangan aktualisasinya yang kokoh di tubuh elite dan warga. Tidak mungkin korupsi, kekerasan, kerendahan etika, dan keliaran perilaku di ruang publik maupun media sosial jika nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa berfungsi manifes.

Nilai sebagai pola bagi perilaku (mode for action) sekaligus pola dari perilaku (mode of action) yang hidup di dunia nyata; kemudian melahirkan martabat berpikir, bersikap, dan bertindak nan utama di tubuh bangsa ini.

Berbagai ujaran kebencian, caci maki, menghasut, merendahkan, permusuhan, serta perangai tak pantas merebak di media sosial tanpa kendali etika dan moralitas luhur. Untuk menghindar dari jeratan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), mereka piawai memainkan kata dan cara meski isinya berisi ujaran-ujaran buruk.

Makin canggih penguasaan teknologi informasi, kian cerdik manusia bersimulakra yang muaranya menebar onar, hasud, dengki, dan keliaran. Bila perlu usai itu minta maaf dengan ringan sambil mencari dalih pembenar.

Di tubuh bangsa ini sedang terjadi perilaku permisif dan ambivalensi standar nilai.

Di tubuh bangsa ini sedang terjadi perilaku permisif dan ambivalensi standar nilai. Para buzzer dan pembikin keonaran sering ditoleransi dan leluasa menyebarkan virus kepremanannya tanpa kontrol kuat dari publik dan tindakan cepat institusi otoritatif.

Kalau pihak lain yang melakukan keonaran di ruang publik dengan mudah dicap radikal dan dihujat untuk segera ditindak serta diproses hukum. Sementara bila pelaku onar itu datang dari kalangan sendiri dengan ringan dimintakan maaf dan kasusnya ditutup buku. Ibarat adagium, “Masuk ke mulut dimuntahkan, tiba di perut dikempiskan”.

Agama dan kehidupan beragama serta Pancasila dan kehidupan berpancasila maupun berkebudayaan luhur bangsa kehilangan orientasi dan fungsi nyata dalam mengarahkan perilaku manusia Indonesia. Nilai kemanusiaan dengan dasar Ketuhanan pun mulai mengalami peluruhan.

Menurut Sukidi Mulyadi, pemikir kebinekaan lulusan Harvard yang juga kader Muhammadiyah, mestinya nilai ketuhanan menjadi pondasi bernegara dan bermasyarakat. Namun, “Itu harus selalu diingatkan di tengah situasi krisis, di mana nilai-nilai yang semestinya menjadi pegangan kita hidup berbangsa dan bernegara, ini mengalami satu nilai terkoyak,” ujarnya tegas (Kompas, 27/4/2023).

Keterkoyakan nilai itu tentu mempengaruhi perilaku berbangsa dan bernegara, yang berakar pada banyak sebab serta manifestasinya.

Mochtar Lubis (1977) menunjuk pada watak orang Indonesia yang munafik atau hipokrit, enggan bertangggung jawab atas perbuatannya, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, erotik, dan lemah karakter.

Temuan senada juga dilakukan Koentjaraningrat (1974), yang menunjukkan mentalitas lemah orang Indonesia akibat revolusi, penjajahan, dan sistem sosial budaya yang rentan. Kelemahan-kelemahan mentalitas yang terstruktur oleh sistem yang ringkih itu tampaknya masih hidup di tubuh sebagian elite dan warga bangsa!

Kelemahan-kelemahan mentalitas yang terstruktur oleh sistem yang ringkih itu tampaknya masih hidup di tubuh sebagian elite dan warga bangsa!

Situasi Rentan

Kelemahan nilai dan mentalitas yang mengidap di tubuh bangsa Indonesia memang tidak dapat digeneralisasi. Kini mungkin telah terjadi perubahan-perubahan baru ke arah yang lebih maju dan positif, terutama pada generasi muda.

Namun ketika dihadapkan pada sejumlah kasus, kejadian, peristiwa, dan masalah kebangsaan bagaimana terjadi akhir-akhir ini tampak nyata kelemahan mentalitas itu. Antara lain sikap tak bertanggungjawab secara murni.

Bangsa ini tampak masih ringkih, ibarat rumput kering mudah terbakar. Kehilangan rasionalitas dan mentalitas dewasa. Ilmuwan pun tidak menunjukkan keluhuran akal budi, ilmunya tak mencerahkan nalar dan perangainya.

Insan dewasa nan berilmu mestinya tahu membedakan benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas sehingga tidak berkata dan bertindak onar atau anarkistis. Bilamana salah dan menimbulkan keonaran semestinya segera mengakui secara kesatria tanpa mencari pembenaran.

Publik pun seyogianya tidak melakukan pembelaan, hanya karena yang bersangkutan berasal dari kaumnya. Institusi-institusi yang terkait atau otoritatif pun segera bertindak sebagaimana mestinya tanpa menunggu kegaduhan.

Mentalitas lemah yang bersenyawa dengan sistem yang sama lemahnya, akhirnya membuahkan daur ulang kesalahan demi kesalahan dalam kehidupan berbangsa. Tiada efek jera, para pelaku onar dan korupsi pun usai menjalani hukuman seolah tiada beban salah, malah ada yang diperlakukan seperti sang hero.

Mentalitas lemah yang bersenyawa dengan sistem yang sama lemahnya, akhirnya membuahkan daur ulang kesalahan demi kesalahan dalam kehidupan berbangsa.

Pola pikir menghadapi masalah tidak jarang salah kaprah. Jika ada satu peristiwa akibat ulah pelaku onar kemudian muncul reaksi yang menimbulkan kegaduhan, kecenderungannya kegaduhan itulah yang dipersoalkan. Sumber keonarannya diabaikan atau disamakan posisinya dengan reaksinya.

Lalu pesannya klise, jangan gaduh. Lupa bahwa kegaduhan itu ada pemicu utamanya, yakni aktor dan perbuatan yang meresahkan.

Lebih parah, dalam relasi aksi dan reaksi maka reaksi itulah yang disalahkan. Adapun sebabnya berlalu begitu saja. Inilah bentuk kerentanan berpikir ala Indonesia yang ingin harmoni dan alergi konflik secara salah kaprah. Pada saat sama menoleransi sumber pemicu rusaknya harmoni dan terjadinya konflik.

Negara atau pemerintah tidak hadir sebagai pemecah masalah dan pemersatu yang otoritatif. Bhinneka Tunggal Ika dan sila Persatuan Indonesia lebih banyak disuarakan menjadi nilai normatif semata, tidak menjadi nilai manifes dalam kehidupan berbangsa-bernegara.

Negara Indonesia itu Berketuhanan Yang Maha Esa serta keberadaan agama dijamin konstitusi. Namun manakala negara mengambil kebijakan yang memihak pada satu mazhab, golongan, dan pandangan tertentu terutama yang bersifat perbedaan atau ikhtilafiyah, maka yang terjadi kontroversi.

Negara ikut memproduksi masalah. Fungsi wasit dan adil menjadi hilang dari negara dalam mengatasi perbedaan dan merekat persatuan.

Dari kuasa negara yang tidak objektif itulah lahir arogansi intelektual yang bersenyawa dengan dominasi paham keagamaan yang menghasilkan persekusi verbal dan nonverbal (mihnah) serta rezimentasi agama.

Adapun para elite negeri makin sibuk dengan dirinya, terutama memasuki kontestasi politik tahun 2024. Pemilu memang niscaya dan menjadi agenda politik yang penting bagi bangsa Indonesia.

Namun, manakala kesibukan dari hari ke hari terfokus pada kursi kekuasaan dan abai pada masalah-masalah krusial kebangsaan, maka di situlah titik-titik rawan kehidupan bernegara. Para elite hanya memikirkan bagaimana mempertahankan dan melangsungkan kekuasaan secara mati-matian. Elite lainnya terkonsentrasi merebut dan menduduki kekuasaan.

Lahirlah kevakuman kepemimpinan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam beragam bentuk. Politik dan kekuasaan menjadi kehilangan fungsinya dalam memecahkan masalah (problem solving) dan menegakkan kebajikan umum (public-good) di tubuh bangsa.

Hasil akhirnya, kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di negeri ini menjadi ringkih!

Stats tell you everything..

JAbatan Rangkap?

Sebuah TUlisan lama saya, semoga masih bisa berguna. Terlalu lama Reformasi Birokrasi kita lupakan.

Curhat Seorang PNS

Ini curhatan seorang PNS menanggapi situasi terkini. Bukan tulisan saya sendiri. Terima kasih

Share tentang👇🏽_
PENSIUN PNS/ASN DIANGGAP BEBAN APBN_
😰😱🤔

Kepada Yth :
Bp. Presiden Republik Indonesia
dan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Komisaris Utama dan Direktur Utama PT TASPEN PERSERO.

Assalaamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Dengan penuh rasa prihatin sebagai seorang pensiunan yang semasa muda telah bekerja dengan penuh kesungguhan, tanpa berharap lebih dengan keikhlasan yang penuh, walaupun digaji di bawah standar hidup layak.

Akan tetapi tidak adanya penghargaan dan sedikitpun perhatian kepada para Pensiunan dari Pemerintah Bapak Joko Widodo, Menteri Keuangan Republik Indonesia yang telah menganggap Pensiunan adalah manusia-manusia tak berarti yang hanya menjadi Beban Negara. Yang memberati APBN pada tiap tahun.

Bapak-bapak yang terhormat, kalau boleh saya yang rendah bertanya Di mana Uang Tabungan Pensiun Kami? Uang Pensiun PNS itu bukan bagian dari APBN tapi merupakan Hasil Tabungan Pensiun yang dikumpulkan dan dipotong dari gaji tiap bulan, walaupun dengan gaji yang ada di bawah standar kehidupan yang layak.

Tabungan Pensiun itu sebuah tabungan asuransi yang dikembangkan secara bunga bertumbuh setiap bulan selama 30 tahun Yang apabila diperhitungkan dengan standar BI rate uang pensiun terendah PNS Gol II itu akan mencapai Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) per bulan. Perhitungan dengan Standar BI Rate 6% per tahun yang dipotong dari 4,75 % gaji selama 30 tahun akan menghasilkan Dana Pensiun mencapai Rp 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) Sedangkan Golongan III sebesar sampai Rp 1.000.000.000,- (satu miliar) atau pensiun per bulan sekitar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) sedangkan selama ini yang kami terima sebagai uang pensiun hanya sekitar 40% dari potensi Dana Pensiun yang kami tabung.

Mengapa Kami PENSIUNAN masih dianggap menjadi beban APBN?

Bapak Presiden, Menteri Keuangan yang terhormat, uang pensiun itu uang tabungan kami yang kami pinjamkan bukan uang belas kasihan Negara Kepada Kami. Adalah sangat tidak layak bila kami Pensiunan dianggap menjadi Beban Negara apapun alasannya.

Betapa ganjilnya bahwa kami para pensiunan dianggap sampah kehidupan yang menjadi beban Pemerintah saat ini, yang seharusnya berani mengambil tanggung jawab Pemerintah yang terdahulu.

Bapak Presiden, ibu Sri Mulyani Menteri Keuangan dengan disaksikan Komisaris Utama dan Direktur Utama PT. TASPEN PERSERO yang makan Gaji dari Tabungan pensiun Kami, tolong hargai kami sebagai mana layaknya. Ingat keberadaan Pemerintahan saat ini TIDAK AKAN PERNAH TERJADI tanpa pengorbanan kami. Tanpa perjuangan kami apa yang Bapak –bapak dapatkan saat ini tidak akan pernah Bapak-Bapak rasakan.

Tolong hargai kami.

D Aziz,
bersama pensiunan renta yang diperhinakan.

3 April….

Posting ini merupakan fwd message dari sebuah grup WA. Isi dan kebenaran ya diluar tanggung jawab saya. Semoga bermanfaat.

JANGAN LUPAKAN 3 APRIL, HARI NKRI!

Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Pada 3 April 1950, Mohammad Natsir, ketua Fraksi Partai Masyumi mengajukan ”Mosi Integral” di Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat).

Peristiwa itu dikenal sebagai pengajuan ”Mosi Integral Natsir”, yang memungkinkan bersatunya Negara-negara Bagian RIS ke dalam NKRI.

Mosi Integral Natsir pada 3 April 1950 itulah yang kemudian mengantarkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bung Hatta menyebutkan, bahwa Proklamasi Kedua secara resmi diumumkan pada 17 Agustus 1950. Proklamasi pertama, tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan Mosi Integral Natsir itu, maka bubarlah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan hasil konferensi Inter Indonesia – antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO – di Yogyakarta 19-22 Juli 1949.

Pembentukan BFO adalah upaya Belanda untuk ”mengepung” Republik Indonesia.

Negara-negara BFO adalah: Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, dan Negara Jawa Tengah.

Dengan demikian, Belanda berhasil menunjukkan, bahwa wilayah negara Republik Indonesia hanyalah di sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. (Lihat, Anwar Harjono dkk., Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978).

Prof. Dr. Din Syamsuddin menyatakan, bahwa Mosi Integral Mohammad Natsir merupakan tonggak sejarah penting dan menentukan dalam sejarah kehidupan bangsa.

Mosi Integral itu menyatukan dan menyelamatkan Indonesia dari upaya perpecahan.

Mosi itu juga merupakan bukti komitmen tokoh-tokoh Islam terhadap NKRI. (Lihat, buku Mosi Integral Natsir 1950, karya Ahmad Murjoko (Bandung: PersispRes, 2020).

Ketua MPR-RI (2004-2009) Dr. Hidayat Nurwahid menyampaikan bahwa Fraksi PKS DPR-RI beberapa kali menggelar peringatan Mosi Integral Natsir tersebut.

Ia pun sudah ikut menandatangani usulan agar tanggal 3 Arpil ditetapkan sebagai nasional, yaitu Hari NKRI. Bung Hatta memang menyebut peringatan Proklamasi 17 Agustus 1950 merupakan Proklamasi Kedua.

”Bangsa dan Umat perlu diingatkan bahwa tanpa karunia Allah dan kenegarawanan M. Natsir dengan Mosi Integralnya itu, mungkin RIS (Republik Indonesia Serikat) akan berlanjut, dan kita tidak mengenal lagi NKRI yang sudah ”dikubur” oleh kolonialis Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949,” tulis Hidayat Nurwahid dalam pengantarnya untuk buku karya Ahmad Murjoko.

Dr. Hidayat mengajak kaum muslim Indonesia tidak terpengaruh paham sekulerisme, Islamofobia, dan juga Indonesia-fobia.

Paham Sekulerisme menganggap bahwa keberadaan Islam di Indonesia dianggap sebagai biang masalah dan tidak ada jasanya bagi bangsa Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia-fobia menganggap Indonesia sebagai negara kafir yang tidak ada kaitannya dengan Islam dan para ulama.

Itulah pentingnya memahami dan mengingat peristiwa Mosi Integral Natsir, pada 3 April 1950. Pemerintah RI pun telah mengakui jasa besar Mohammad Natsir untuk bangsa Indonesia.

Pada tahun 2008, Mohammad Natsir, pendiri dan Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pertama, mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu jasa besarnya adalah mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelamatkan NKRI memang sangat fenomenal.

Natsir bukan hanya merumuskan gagasannya dengan cerdas, tetapi juga berhasil meyakinkan para tokoh Indonesia ketika itu yang berasal dari seluruh faksi dan aliran ideologis. Natsir memerlukan waktu dua setengah bulan untuk melakukan lobi.

Keberhasilan Mohammad Natsir dalam menggolkan ”Mosi Integral” itu menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik.

Ia memiliki integritas pribadi yang tinggi, ilmu yang kuas, kemampuan komunikasi yang piawai, dan juga lobi.

Dan tentu saja, Mohammad Natsir telah diberikan hikmah oleh Allah, sehingga bisa mengambil langkah yang tepat.

Kepada Majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989), Natsir menceritakan kisah perjuangan Mosi Integral tersebut:

Meskipun Yogya menjadi negara bagian, sesudah KMB, kita bertekad mengembalikan RI seperti semula.

Saya bicara dengan fraksi-fraksi. Dengan Kasimo dari Partai Katolik, dengan Tambunan dari Partai Kristen, dengan PKI, dan sebagainya.

Dari situ saya mendapat kesimpulan: mereka itu, negara-negara bagian itu, semuanya mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri.

Dua bulan setengah saya melakukan lobby. Tidak mudah, lebih- lebih dengan negara-negara bagian di luar Jawa. Umpamanya negara bagian di Sumatra dan Madura.

Setelah selesai semua, lantas saya adakan “mosi integral” yang kabur-kabur. Ha-ha-ha… kabur, sebab kita menghadapi Belanda. Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu ke mana perginya rencana itu.

Sesudah itu saya perlu datang ke Yogya. Tapi Yogya tidak mau membubarkan diri.

Lantas saya katakan: Kita punya program menyatukan kembali semuanya, jadi kita bayar ini dengan sama-sama membubarkan diri. Walaupun beberapa pemimpin sudah setuju, masyarakatnya belum mau, karena harga dirinya tersinggung.

Sampai pukul 3 dini hari kami membicarakan soal itu dengan jurnalis-jurnalis, orang-orang penting, dan pemimpin-pemimpin di Yogya.”


Bung Karno mengakui kehebatan perjuangan Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya.

Setelah “Mosi Integral” berhasil, Natsir dipercaya Presiden Soekarno untuk menjadi Perdana Manteri.

Wartawan Harian Merdeka Asa Bafagih bertanya kepada Soekarno tentang siapa yang akan jadi perdana menteri setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan, maka Soekarno menjawab, “Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi, mereka punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi”.

Kepahlawanan Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya, melanjutkan tradisi para tokoh Islam dalam menjaga dan mengokohkan NKRI.

Kini, setelah 75 tahun merdeka, tidak sedikit pihak yang mengkhawatirkan kondisi persatuan kita, sebagai satu bangsa.

Aneka konflik horisontal mulai bermunculan. Era disrupsi semakin mempercepat penyebaran berita-berita yang memudarkan kohesivitas sosial kita.

Dalam situasi seperti ini, bangsa Indonesia memerlukan tokoh-tokoh integratif dan solutif, seperti Soekarno-Hatta, HOS Tjokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikoesoemo, Syafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, Panglima Besar Soedirman, Mohammad Natsir, dan sebagainya.

Semoga Allah SWT menyelamatkan dan menjayakan negeri kita. Aamiin. (DDII, 1 April 2021).

NB. Makalah singkat ini disampaikan dalam Webinar Nasional ”Sosialisasi 4 Pilar dan Memperingati Mosi Integral M. Natsir, yang diselenggarakan MPR-RI dan FISIP UHAMKA, pada 1 April 2021.

Ketut Tantri, from Glasgow to Bali

Sumber : WA seorang teman. Semoga benar dan sah.

Saya mungkin akan dilupakan oleh Indonesia…Tapi Indonesia adalah bagian hidup saya K’TUT TANTRI……

Masih sangat di sayangkan banyak yng tidak tahu perjuangan wanita bule untuk negri ini. Disiksa Jepang nyaris membuat ia gila bahkan tewas… Tapi tak menyurutkan hati nya untuk memperjuangkan negri barunya itu… Bahkan Bung Tomo terkesiap saat menyaksikan bagaimana dengan tenang nya K’tut Tantri menyiarkan bombardir tentara Inggris pada kota Soerabaia dengan menulis catatan….. “Saja tidak akan melupakan detik detik dikala Tantri dengan tenang mengutjapkan pidatonja dimuka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru2 mortir berdjatuhan dengan dahsjatnja dikeliling pemantjar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo…..

K’tut Tantri lahir di Glasgow Skotlandia dengan nama Muriel Stuart Walker, pada 18 Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle. Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan Karl Jenning Pearson. Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, “Bali, The Last Paradise”. Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.

“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise”. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri. “Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu. Ternyata mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia yakini adalah pura.

Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja Bangli Anak Agung Gede –sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang raja. Tantri menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan. Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo.

Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio. “Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,”.. tulisnya dalam Revolt in Paradise. Pilihannya untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu membuat kalangan pers internasional menjulukinya “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya.

Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura — putra tertua raja yang mengangkatnya sebagai anak. Menyadari dirinya menjadi target Jepang, Tantri memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai –satuan polisi militer Jepang. Perempuan itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri.

Kondisi selnya sangat memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di sampingnya. Tantri hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam. Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama.

Kelaparan dan kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang dibutuhkan. Kendati mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun dibebaskan.

Pasca-kebebasannya, ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua. Pada satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk siaran di “radio gelap” yang mereka kelola. Namun ia berhasil dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.

Ketika pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat. Mara bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik. Ia diutus oleh pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Berbeda dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno – Hatta tak mendapat dukungan. Tantri juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos dari blokade laut Belanda.

Dari Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda. Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan Belanda di Negeri Kanguru itu. K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947.

Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950. Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking –sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan– tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident sejak 1985. Perempuan yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia – Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai warga negara Indonesia. K’tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko. Dalam tulisan di buku catatan harian nya sebelum meninggal ia menulis….. “Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali”…… Saat wanita gagah ini meninggal di peti jenasahnya ditutupi bendera Merah Putih dan di beri renda renda khas Bali seperti permintaannya…. 👍😊 Mengenang sejarah sekitar orang2 yg berjasa bagi NKRI dimasa masa perjuangan.🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Waspada Corona

SHARE dr Direktur RS. Sari Asih Pamulang :
JANGAN TUNGGU HARI KE 7 Waspada covid19, jangan tunggu timbulnya banyaknya tinggi dan banyak batuk, baru berpikir ! Terlambat sudah !

Kenali lebih awal mulai hari ke1 masuknya virus ke dalam tubuh, agar parahnya sakit bisa dicegah. Gejala demam tinggi baru muncul di hari ke 8, dimana virus sudah berhasil berkembang, merusak dan merasuk luas di dalam tubuh. Tingkatkan daya tahan tubuh sebelum virus berhasil menghancurkan kita.

Perhatikan keadaan diri kita sejak kemungkinan mulai terpapar, yaitu sebagai berikut :

Hari ke 1- 3 :
• Hanya seperti masuk angin ringan.
• Makan minum masih normal.
• Tenggorokan hanya sedikit sakit.

Hari ke 4 :
• Sakit kepala ringan.
• Badan sedikit anget, sekitar 36.5°C.
• Sakit tenggorokan ringan.
• Suara mulai serak.
• Selera makan mulai terganggu.
• Indera Perasa/Pengecap “hilang”
• Indera penciuman juga menghilang.
• Sedikit diare ringan.

Hari ke 5 :
• Sakit tenggorokan.
• Suara serak.
• Badan mulai terasa meriang.
• Temperatur sekitar 36.5 – 36.7 °C.
• Badan terasa lelah, cape, sakit.
• Jari² dan persendian terasa sakit.

Hari ke 6 :
• Mulai demam ringan sekitar 37°C.
• Batuk kering atau sedikit berlendir.
• Sesekali terasa susah bernapas.
• Sakit Tenggorokan ketika bicara.
• Sakit waktu makan dan menelan.
• Mual dan mungkin muntah.
• Ada diare.

Hari ke 7 :
• Demam agak tinggi 37.4 – 37.8 °C.
• Batuk lebih banyak dan berdahak.
• Napas pendek² dan tetap.
• Kepala sakit kepala dan berat.
• Nyeri² seluruh tubuh.
• Diare bertambah.

Hari ke 8 :
• Demam tinggi 38°C atau lebih.
• Sulit bernapas, dada terasa berat.
• Sakit kepala, punggung dan sendi².
• Batuk terus menerus.
• Sulit berbicara, seperti bisu.

Hari ke 9 :
• Semua gejala tidak berubah.
• Batuk bertambah parah.
• Demam tak menentu, tak teratur.
• Napas bertambah Sulit.
• Pencegahan sudah tak mungkin.
• Harus segera ditolong intensif.

Bila waspada di hari ke 1-3 tingkatkan daya tahan tubuh, minum vitamin² C, D, E serta sedia panadol (parasetamol), mungkin penyakit ini dapat dihalau untuk berakhir sebelum parah dan kesembuhan boleh didapatkan.

Gejala hari ke 1-3 sangat² ringan dan sering terabaikan tak terdeteksi.
Mungkin hari ke 4 baru mulai curiga. Cepat isolasi mandiri, banyak minum air hangat atau jamu²an juga boleh. Berjemur diri, banyak cuci tangan, cuci muka, ganti baju. Makan makanan yg bergizi dan minum vitamin².

Selamat bersikap dan waspada. Tetap tenang namun bijak. Hindari kemungkinan terpapar sebisa mungkin. Semoga berhasil “berperang” melawan covid dan semoga kita tetap sehat.

Harap Perhatikan Perbedaannya !!! (Supaya tidak berprasangka buruk)

  1. Batuk kering + Bersin = Polusi udara.
  2. Batuk + Lendir + Bersin + Pilek = Pilek biasa.
  3. Batuk + Lendir + Bersin + Pilek + Sakit tubuh + Kelemahan + Demam ringan = Flu.
  4. Batuk kering + Bersin + Nyeri tubuh + Kelemahan + Demam tinggi + Kesulitan bernapas + Hilangnya indra pengecap dan perasa = Corona virus.

Departemen patologi AIIMS,
Din. Kes.


ini kiriman dari Din. Kes. tolong di share ke wadah dan komunitas masing-masing

Jadikan pesan ini tersedia untuk diketahui orang sebanyak mungkin !🙏🏻🙏🏻