Rungkad..!!

Wah ada yang mengingatkan kita nih. Emang sih, istri saya sempat bertanya apa artinya Rungkad. Setelah saya jelaskan panjang lebar, dia komentar singkat “kalau gitu kenapa lagunya untuk joget dan Happy2?”

Benar juga ya, gumamku sambil memujinya dalam dalam. Ya iyalah… Istri siapa dulu🤣❤️

======

78 TAHUN MERDEKA:
PESTA KORUPSI DAN JOGETAN ISTANA

Abdullah Hehamahua Saya tidak pernah menghadiri upacara pengibaran Merah Putih di istana negara. Padahal, sebagai Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) selama empat tahun, saya selalu mendapat undangan dari Sekneg. Hal yang sama berlaku sewaktu delapan tahun menjadi Penasihat KPK. Hari itu, 16 Agustus 2023. Seorang tamu menegur sikapku ini. “Saya tidak mau jadi orang munafik,” jawabku. Sebab, lanjutku: “kuingat jasa pahlawan nasional. Mulai dari Teuku Umar di belahan barat sampai Pattimura di penghujung timur Indonesia. Mereka menyabung nyawa untuk melawan penjajahan. Namun, kita sekarang saling menjajah. Ber-KKN- riya. Ada 14 menteri dan 70% Kepala Daerah ditangkap”

Pengibaran Merah Putih


Alergi terhadap upacara pengibaran bendera.? Tidak. Sebab, sewaktu di SMA, setiap Senin, dilakukan upacara pengibaran Merah Putih. Saya tidak pernah bolos.
Alergi terhadap istana.? Tidak juga. Sebab, pertama kali kumasuki istana, tahun 1971. Saya dan peserta Pendidikan Pers IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) seluruh Indonesia, berangjasana ke istana. Itulah pertama kali kusalami Soeharto.

Kudatangi lagi istana negara ketika mengikuti pelantikanku sebagai Wakil Ketua KPKPN (2001) oleh presiden Gusdur. Selama 10 tahun SBY, saya sering hadir di istana negara, mengikuti pelantikan Pimpinan KPK dan Lembaga Negara lainnya. Namun, saya enggan hadir dalam upacara pengibaran Merah Putih, setiap 17 Agustus di istana negara. Penyebabnya, mungkin sangat pribadi. Penyebab pertama, mataku akan berkaca-kaca setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebab, ketika menyanyikan lagu tersebut, pikiranku melayang ke seluruh pelosok negeri. Kubayangkan perjuangan Teuku Umar, Teungku Chik di Tiro, Panglima Polem dan Cut Nyak Dhien di Aceh. Ada Imam Bonjol di Sumatera Barat. Lalu Fatahillah dan Diponegoro di Jawa. Ada pula Antasari serta Hasanuddin di Kalsel dan Makassar. Begitu pula Sultan Babullah serta Pattimura di Ternate dan Ambon. Ada di antara mereka yang mati di tiang gantungan. Ada yang diasingkan ke daerah lain, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Mereka semua mengorbankan waktu, pikiran, harta, keluarga, bahkan nyawa, demi membebaskan Indonesia dari penjajahan.

Hari ini, kita sendiri yang undang penjajah, khususnya AS dan China. Mereka menguasai politik, hukum, dan ekonomi nasional. Bahkan, SDA kita, “dirampok.” Penyebab kedua, saya selalu berusaha untuk tidak menjadi orang munafik. Tidak mau menjadi orang yang berbeda di antara ucapan dan perbuatan. Sebab, setiap upacara pengibaran merah putih, dibacakan teks proklamasi. Di sinilah terlihat kemunafikan presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya. Sebab, teks proklamasi itu berbunyi: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Bagi orang dungu, teks proklamasi hanya dilihat sebagai rangkaian 27 perkataan. Orang cerdas, pasti menghayati filosofi yang berada di rangkaian kata-kata tersebut. Presiden dan pejabat cerdas akan tau, sejatinya teks proklamasi yang akan dibaca pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Mukadimah UUD 45. Namun, kondisi waktu itu sangat kritis. Apalagi, Soekarno kurang sehat. Olehnya, ditulislah teks baru yang sangat sederhana. Bung Hatta mengimlakan redaksinya. Soekarno menuliskannya. Maknanya, dewasa ini, setiap membaca teks proklamasi, presiden, wakil presiden, para Menteri, Kepala Daerah, dan anggota legislative, bermuhasabah. Apakah tujuan kemerdekaan yang ada di Mukadimah UUD 45, sudah tercapai, kehilangan arah atau tergadai.

Pengkhianatan Utama


“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Inilah alinea pertama Mukadimah UUD 45. Bukankah Presiden, Wapres, Menteri, Kepala Daerah, anggota legislative dan Aparat Penegak Hukum (APH) melapor, mengintimidasi, bahkan menangkap dan memenjarakan rakyat yang menyuarakan aspirasi.? Bukankah pembunuhan 6 laskar FPI, 9 Pengunjukrasa di Bawaslu, dan sejumlah mahasiswa di seluruh Indonesia merupakan pengkhianatan terhadap Mukadimah UUD 45.? Bukankah penangkapan HRS, pengurus KAMI, ulama, dan aktivis merupakan pengkhianatan proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah pengkhianatan utama pemerintahan Jokowi.

Penjajahan Modern
“Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Paragraf di atas adalah alinea keempat Mukadimah UUD 45. Isinya merupakan tujuan kemerdekaan: NKRI yang terlindungi eksistensinya, rakyat sejahtera, bangsa cerdas, dan Indonesia berperan dalam terciptanya ketertiban dunia. Presiden, para Menteri, Kepala Daerah, dan anggota legislative, jujurlah. Jokowi menawarkan 34.000 hektar lahan di IKN untuk pengusaha China. Bahkan, bisa mendapat HGU selama 190 tahun. Padahal, UU menetapkan, maksimal 25 tahun. Dapat diperpanjang, maksimal 10 tahun. Apakah Jokowi tidak pernah baca undang-undang.? Mungkin saja. Mungkin pula beliau baca, tapi kurang paham. Namun, bagaimana para Menteri dan anggota legislative, bergelar profesor dan doktor yang ijazahnya asli, membiarkan hal tersebut.? Bukankah ia merupakan penjajahan modern.?

Joget bersama Utang dan Penderitaan Rakyat


Putri Ariani, tuna netra. Beliau ekspresi nuraninya dalam lagu Rungkad yang didendangkan di istana merdeka. Hari itu, 17 Agustus 2023, tepat 78 tahun usia Indonesia. Tragisnya, presiden, wakil presiden, para Menteri, dan pejabat negara yang melek, tapi buta hati. Mereka berjoget di atas penderitaan orang lain seperti substansi lirik lagu yang dinyanyikan Putri. “Rungkad,” lagu yang menggambarkan frustrasi luar biasa karena dikhianati. Mereka dikhianati orang yang dipercayai selama ini. Betapa tidak, Putri, orang tuanya dan 278 juta rakyat Indonesia, harus menanggung utang negara, Rp. 28 juta setiap orang karena ulah pemerintahan Jokowi. Tragis !!!,

Presiden, orang Solo. Namun, beliau tidak mengerti bahasa Jawa dari lagu yang dinyanyikan Putri Ariani. Dahsyatnya, Putri, remaja tunanetra tapi tidak tunahati. Berbeda dengan presiden dan kabinetnya yang tunahati. (Depok, 18 Agustus 2023).

Tks Cak Imin, it’s a very well written..!

BERFIKIRLAH SEPERTI ORANG MINANG

Serial Minangkabau dalam Pikiran Cak Imin (Bagian 1/satu)

Oleh:
Muhaimin Iskandar

Covesia.com â€“ Beberapa waktu lalu, di tahun-tahun politik yang panas, saya dalam kondisi pelik dalam mengambil keputusan.

Entah mengikuti arus, entah melawan. Saya gamang melangkah, gugup bertindak, ruang gerak yang sempit kian merumitkan.

Sementara dalam kekakuan, waktu terus berjalan. Ia (waktu) sedikit juga tidak mau menunggu. Keputusan yang akan saya ambil memang harus cepat, sebab akan menentukan nasib jutaan orang, bahkan arah dan nasib Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saya nakhodai. Sungguh teramat pelik.

Sebagai politisi, saya memang terbiasa dihempas badai, sudah sering dalam kondisi tak enak. Tapi waktu itu, badai yang datang tak biasa. Ia beriringan dengan gemuruh yang hebat.

Di ujung kepasrahan, saya menemui beberapa sepuh, orang-orang tua yang kenyang pengalaman. Minta petunjuk. Saya memang terbiasa seperti itu, tak mau buru-buru memutuskan sesuatu.

Bagi saya, musyawarah mufakat, adalah harga mati, apalagi jika keputusan yang akan diambil menyangkut hajat orang banyak.

Dari sekian banyak sepuh yang saya temui, ada satu orang yang hanya berucap satu kalimat. “Berpikirlah seperti orang Minangkabau,” katanya. Ini satu kata yang magis, saya tersentak, jaga dari keragu-raguan.

Ya, saya harus berpikir seperti orang Minang. Orang-orang cadiak pandai dari Pulau Andalas. Orang-orang yang dalam memutuskan suatu perkara penuh kehati -hatian, samuik tapijak indak mati.

Para pemikir Minangkabau selalu punya spirit dalam bertindak, dan tak pernah gamang dalam mengambil keputusan. Indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak ka Janiah.

Demikian falsafahnya. Saya terlecut untuk berpikir jernih dalam mengambil keputusan. “Berpikirlah seperti orang Minang,” kata itu terngiang.

Ya, pada akhirnya, saya “menjadi” orang Minang dalam mengambil keputusan pelik itu, dan saya yakini, keputusan yang saya ambil tepat, nasib politik banyak orang terselamatkan, PKB melaju dan kini masuk dalam deretan partai pemenang dalam pemilihan umum.

Setelah badai politik berlalu, saya kian gandrung untuk “menjadi” orang Minang, dalam artian selalu menyelami kebiasaan-kebiasaan Minang, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Semakin saya mempelajari Minangkabau

Semakin saya jatuh cinta, barangkali, nilai-nilai yang terkandung dalam adat dan budaya Minang pulalah yang membuat Agus Salim bisa menjadi diplomat ulung, menjadi pencerah bangsa., kekaguman pada Minangkabau itu pula yang membuat saya berkali-kali datang ke Sumatera Barat (Sumbar), yang menjadi pusat Minangkabau, datang ke Sumbar, bagi saya seperti datang ke gudang ilmu. Segala ada.

Setiap mengunjungi Sumbar, saya selalu menyempatkan berdiskusi. Dengan siapa saja. Saya yakin, orang Minang memiliki doktrin politik yang kuat, yang tak diajarkan di bangku sekolah. Ilmu politik yang mereka punya diasah dari surau ke surau, lapau ke lapau, hingga ke tanah tanah perantauan.

Saya suka berlama-lama di surau, duduk di lapau, mendengar ota orang Minangkabau. Kalau ada waktu luang di Jakarta, saya main-main ke Tanah Abang, tempat orang Minang banyak berniaga. Sekadar berdiskusi dan bertukar pikiran. Segala hal didiskusikan dengan bernas.

Surau dan lapau memang menjadi wadah penting dalam mengasah keterampilan diplomasi orang Minangkabau. Itulah kenapa tak ada orang Minang yang buta politik, sekalipun dia tidak bersekolah tinggi.

Kecerdasan yang dimiliki oleh orang Minang, berbanding lurus dengan iman yang dimiliki.

Tingkat religious orang Minang memang tidak akan bisa ditakar, keputusan yang diambil orang Minang, tidak semata didasari oleh pemikiran duniawi semata, tapi juga pemikiran religious.

Keseimbangan antara ilmu dan agama membuat setiap keputusan yang diambil jarang meleset selalu tepat.

Minangkabau, baik secara suku, budaya dan sejarah, merupakan sebuah kemashyuran. Baik di masa silam, atau di masa sekarang. Majalah Tempo pada tahun 2000 bahkan mencatat, enam dari 10 tokoh penting di negeri ini pada abad 20, merupakan orang Minangkabau. Bahkan, dari empat pahlawan yang menjadi pendiri Republik Indonesia, tiga orang merupakan putera Minangkabau.

Lipatan kemashyuran Minangkabau memang tak bisa dimungkiri, tengoklah sejarah, bagaimana orang Minangkabau mengorbankan segalanya untuk bangsa ini. Terlepas dari nama besar Bung Hatta, Inyiak Canduang, Tan Malaka, Tuanku Imam Bonjol dan deretan nama besar lainnya, gerakan civil society di Ranah Minang yang berkiblat pada nasionalisme memang tidak bisa dikesampigkan begitu saja. Pesawat ketiga yang dipunyai Indonesia dibeli dengan harta sumbangan perempuan -perempuan Minang. Bundo kanduang rela melepaskan gelang emasnya, liontin bahkan antingnya untuk pembeli pesawat Avro Anson RI-003.

Peristiwa bersejarah pada 27 September 1947 membuktikan, kalau bangsa dan negara ini adalah cinta pertama orang Minangkabau dalam ruang politik. Cinta yang melanda seluruh putra-putrinya tanpa terkecuali.

Indonesia bagi orang Minang adalah harga mati, tidak bisa diganggu gugat. Saya sejujurnya, mengangkat topi atas sikap sejarah yang dilakukan.

“Menjadi” orang Minangkabau secara pemikiran, bagi saya suatu kebanggaan. Bahkan, gagasan -gagasan yang menjadi penopang tumbuh kembangnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dewasa ini banyak didasari oleh filosofi Minangkabau, dan terpengaruh oleh langkah politisi diplomasi pendahulu dari negeri cadiak pandai itu. Politik yang dimainkan orang Minang merupakan politik murni. Instrumennya kejujuran, amanah dan totalitas.

Tiga instrumen itu memunculkan hirarki politik yang dinamis. Orang Minangkabau tidak mengenal pola kepemimpinan otoriter.

Beda dengan daerah lain, pemimpin di Minangkabau bukan pemimpin yang dikultuskan. Mereka, yang ditunjuk sebagai pemimpin, hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Artinya, Demokrasi begitu hidup.

Saya mengira, demokrasi yang paling bersih itu ada di Minangkabau. Bahkan, siapa saja di Minangkabau, tanpa menunjuk latar, asal, pangkat dan jabatan, punya hak untuk mengkritik.

Rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah.

Artinya, ketaatan orang Minangkabau pada pemimpinnya, berlaku Ketika pemimpinnya adil dan amanah. Tapi, ketika pemimpinnya sudah zalim, keluar dari jalur, masyarakat Minangkabau akan lantang bersuara, mengkritik. Filosofi inilah yang pada akhirnya membuat saya paham, kenapa orang Minang tidak punya urat takut dalam membela kebenaran, tajam mengkritik, dan keras dalam melawan.

Mereka memang sudah diajarkan sedari kecil untuk terus menjaga nilai-nilai luhur, termasuk nilai dalam berpolitik. Jika nilai itu dilanggar, reaksi keras akan dilakukan.

Minangkabau, bagi saya adalah harapan di lekuk-lekuk Bukit Barisan, wawasan kebangsaan mekar secara alami. Orang- orang Minangkabau, berwatak keras tentang kebenaran. Bagi mereka, kebenaran adalah jalan buntu. Tak bisa dibelok-belitkan. Harga mati. Itu kenapa, pada akhirnya banyak orang-orang Minangkabau yang bersuara lantang, melawan sesuatu yang menurut mereka pantas dilawan.

Saya terkesima degan sikap keminangan demikian, dan selalu berharap bisa “menjadi” orang Minang seutuhnya.!

https://covesia.com/warna-warni/111464/berfikirlah-seperi-orang-minang/

Betul Jendral, Kok Jadi Gini …..

Kesedihan Menhan Ryamizard Adalah Kesedihan Kita Semua
(Hersubeno Arief)

Sebagai purnawirawan perwira tinggi, Menteri Pertahanan Jenderal Ryamizard Ryacudu adalah tipe prajurit tulen. Lugas tak kenal basa-basi. Hitam, putih tak ada warna abu-abu.

Dia juga dikenal sebagai pejabat tinggi negara yang irit bicara. Kalau bicara juga tak pernah di luar konteks bidang kerja dan tanggung jawabnya. Baginya urusan politik, sudah ada yang mengurus. Dia fokus bicara tentang pertahanan negara.

Namun dalam dua hari terakhir Ryamizard keluar dari pakemnya. Rabu (29/5) di Istana Presiden dia bicara dua isu sensitif.

Pertama dia tak yakin adanya rencana pembunuhan terhadap empat tokoh nasional: Menkopolhukam Wiranto, Menko Maritim Luhut Panjaitan, Kepala BIN Budi Gunawan dan Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen Gories Mere.

Kedua dia tidak yakin, mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI (Purn) Soenarko menyelundupkan senjata untuk mengacaukan dan melakukan pembunuhan dalam aksi 22 Mei di depan Gedung Bawaslu.
Selang sehari kemudian Kamis (30/5) Ryamizard menyampaikan pernyataan yang terkesan sangat personal. Curhat. Dia mengaku sedih karena sejumlah rekannya purnawirawan dituduh melakukan makar.

“Terus terang saja di sana yang diperiksa banyak yang purnawirawan, itu senior saya, ada adik-adik angkatan saya,” ujarnya di kantor Kementerian Pertahanan.

Sebagai sesama purnawirawan, Ryamizard melihat ini tidak baik. Ini tidak boleh terjadi, kenapa bisa begitu. “Jangan menghilangkan image. Mereka-mereka itu sudah berpuluh-puluh tahun mengabdi kepada bangsa dan negara,” ujarnya.

”Banyak teman kita gugur di Aceh, Papua, terutama di Timor Timur. Nah ini sisa-sisa yang belum gugur ini, kenapa jadi begitu? Kalau boleh dikatakan sedih, sedih saya. Bagi saya, tidak ada 01, 02,” sambung dia.

*Bukan hanya masalah personal*

Bagi yang kenal dekat menantu mantan Wapres Try Sutrisno ini pasti akan terheran-heran. Mengapa dia sampai bicara hal-hal yang sangat personal dalam nada yang melankolis, di depan umum?

Pasti ada hal-hal yang sangat sensitif, menyentuh perasaannya yang terdalam.

Belum lagi ucapannya ini juga menunjukkan adanya perbedaan pandangan dalam kabinet Jokowi dalam menghadapi aksi protes kecurangan Pilpres.
Ryamizard benar. Diantara para purnawiraan TNI yang kini tengah terjerat perkara makar dan rencana pembunuhan, ada seniornya Kivlan Zen dan yuniornya Soenarko.

Kivlan adalah alumni Akademi Militer (Akmil) lulusan 1971. Kakak tingkat Ryamizard (Akmil 74). Korps mereka juga sama, pasukan baret hijau Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad).

Kivlan pernah menjadi Kepala Staf Kostrad ( 1998-2000) saat Pangkostrad dijabat Prabowo Subianto. Sementara Ryamizard pernah menjadi Pangkostrad (2000-2002), dan mengakhiri karir militernya sebagai Kepala Staf TNI AD ( 2000-2005).

Selain berbagai operasi pertempuran di dalam negeri menghadapi aksi separatisme Papua dan TimTim), prestasi Kivlan yang paling moncer adalah perannya menjadi pasukan penyangga perdamaian di Filipina Selatan (1995-1996).

Dia ikut berperan mendamaikan konflik antara pemerintah Filipina dengan kelompok Front Pembebasan Moro (MNLF) pimpinan Nur Misuari.

Nama Kivlan kembali moncer ketika dia berhasil membebaskan 10 orang WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf pada April 2016. Berkat kedekatannya dengan kelompok-kelompok perlawanan Islam di Filipina Selatan, Kivlan berhasil menjadi negosiator yang dipercaya.

Soenarko (Akmil 78) adalah adik kelas Ryamizard. Prajurit yang sering berperang, begitu Ryamizard menyebutnya. Dia tercatat 9 kali terlibat dalam operasi tempur baik di Tim-tim dan Aceh. Tidak banyak prajurit yang punya pengalaman dan pengabdian seperti dia.

Sebagai prajurit Komando, Soenarko mencapai puncak karir sebagai Danjen Kopassus (2007-2008), Pangdam I Iskandar Muda (2008-2009), dan setelah itu mengakhiri karir sebagai Dan Pussenif (2009-2010) di Bandung.

Dengan perjalanan karir semacam itu, merupakan sebuah ironi besar bila kini mereka menjadi tersangka perkara makar, apalagi rencana pembunuhan terhadap sejumlah pejabat negara.

Seperti dikatakan Ryamizard, mereka-mereka ini punya sejarah panjang mempertahankan kedaulatan negara. Sejak usia muda, mereka rela mengorban jiwa dan raga.

Dalam berbagai pertempuran banyak rekan-rekan mereka yang gugur. Keduanya termasuk yang survive dan melanjutkan pengabdian sampai ke jenjang jabatan yang tinggi.

Ketika kini mereka seharusnya tinggal menikmati hari tua, menikmati hasil pembangunan Indonesia, menikmati masa transisi Indonesia menjadi sebuah negara demokrasi, tiba-tiba harus dihadapkan pada sebuah realitas yang pahit! Menjadi tersangka makar dan harus mendekam di dalam tahanan. Mereka dijebloskan ke penjara oleh anak bangsa sendiri.

Sumber masalah yang akhirnya menyeret para purnawirawan ini adalah protes kecurangan Pilpres. Di barisan ini ada ratusan perwira tinggi (Pati) dari TNI AD, AL, AU, dan Polri. Bila ditambah perwira menengah, perwira pertama, bintara, dan tamtama, jumlah bisa mencapai puluhan ribu.

Pada tanggal 21 Mei sebanyak 108 orang Pati dari TNI-Polri mengumumkan terbentuknya Front Kedaulatan Bangsa. Selain mempersoalkan Pilpres yang curang, mereka juga mengingatkan ancaman bahaya atas kedaulatan bangsa.
Dalam barisan ini ada nama-nama besar seperti mantan KSAD Jenderal Tyasno Sudarto, mantan Menkopolhukam/Kepala Staf KSAL Tedjo Edhy Purdjiatno, mantan KSAU Imam Sufaat, mantan Kassospol TNI Letjen TNI Syarwan Hamid dan mantan Kapolda Metro Jaya Komjen Pol Sofjan Jacoeb.

Di luar mereka masih ada puluhan jenderal dari angkatan 60an sampai 80an. Mayjen TNI Sulatin, dan Mayjen TNI Haris Sudarno (AMN 1965), mantan Wamenhan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin (Akmil 1974), mantan Danjen Kopassus Letjen TNI Agus Soetomo (Akmil 1984).

Selain operasi di Papua, Timtim, dan Aceh, beberapa generasi senior TNI juga terlibat dalam aksi penumpasan pemberontakan G.30S/PKI dan sisa-sisanya. Mereka adalah generasi 60an seperti Sulatin, Haris Sudarno dan Syarwan Hamid ( AMN 1966).

Ini bukan hanya kesedihan bagi Ryamizard, tapi kesedihan bersama kita sebagai bangsa. Kita tidak bisa menghormati dan memuliakan secara layak kepada para pejuang bangsa. Perjuangan menyampaikan pendapat menjadi sebuah hal yang terlarang dalam negara demokrasi.

Harus muncul sikap yang bijak. Tidak menang-menangan, apalagi mengandalkan kuasa.

Perlu figur-figur bijak dan berkepala dingin model Ryamizard yang berani dan bersedia menanggalkan baju 01, atau 02.

Kita adalah sesama anak bangsa. Mengapa karena perbedaan pilihan, tiba-tiba kita saling intai, saling membinasakan sambil bersuka cita. Sementara ancaman disintegrasi ada di Depan mata. end

Beginilah orang menilai kita..just take it or leave it..!

AP

…….. Only a quarter of the measures he promised in 2004 to improve the investment climate have been implemented. Desperately needed infrastructure development has been sluggish. Legal and judicial reforms have been patchy. Little progress has been made on improving labour-market regulation. The armed forces are so under-financed that aircraft crashes have become a monthly occurrence.
Meanwhile official poverty and unemployment rates, at 14.2% and 8.2% respectively, are much higher than he promised when he was first elected. Health-service delivery is widely considered woeful. Religious minorities believe they are more fiercely persecuted than five years ago………

Selengkapnya……..

Debat Capres Dimataku: Ketika Sebuah Awal yang Baik Telah Dimulai…!

MY NOTES ON DEBAT

Dengan membuat score untuk masing pertanyaan untuk sementara catatan saya mendapatkan total angka tertinggi 17 untuk Mega, 14 untuk SBY dan 15 untuk JK. Ini tentu subyektif hasil penilaian saya sendiri. Namun meski subyektif, saya memberikan penilaian didasarkan kepada berbagai aspek seperti penampilan dan cara penyampaian visi misi, cara dan bobot dalam memberikan jawaban pertanyaan, keseriusan dalam mendengarkan, hingga tak lupa adalah memanfaatkan momentum yang muncul dengan tiba-tiba untuk bisa menambah baik penampilan secara total.

Mega tercatat tampil baik dalam menyampaikan visi misi dengan ketenangan dan tanpa alat bantu berarti……

……Selengkapnya