Selamat Isra Mi’raj..

Muara Yusuf….

Senin 21 February 2022

Muara Yusuf,
Eksportir ikan, asal Dumai, suku Minang.
Oleh : Dahlan Iskan

IA terus membangun pabrik. Pun di masa pandemi ini. Saya diajak melihat salah satu pabrik barunya itu. Di Muara Baru, Jakarta. Sudah hampir jadi.

Muara Baru adalah ikan. Itu memang pabrik ikan: untuk memproses agar ikan menjadi beku. Lalu diekspor ke berbagai negara.

Ia punya pabrik ikan banyak sekali: di Dobo, Maluku Selatan; di Bitung; di Tuban, di Cilacap; di Pelabuhan Ratu; dan di mana-mana. Ia juga punya kapal-kapal penangkap ikan ukuran maksimum yang diizinkan: 350 Ton. Juga punya kapal-kapal pengangkut ikan.

Namanya: Yusuf Ramli.

Asal: Dumai –keturunan Padang.

Usaha Yusuf terus berkembang. Pun di masa pandemi. Belakangan ia malah bisa ekspor ikan yang mengherankan: ikan asin! Tujuan ekspornya ke Colombo, Sri Lanka. Saya baru tahu ini: orang Sri Lanka-lah penggemar ikan asin terkemuka di dunia. Sampai-sampai, di sana, ada McDonald’s ikan asin.

Tentu saya harus percaya itu. Daripada harus ke Sri Lanka lagi untuk membuktikannya. Terbukti tiap bulan Yusuf bisa ekspor dua kontainer ikan asin ke Colombo. Rutin.

Itu bukan ikan asin biasa. Bukan sejenis ikan kembung atau peda –yang biasa kita makan di desa-desa di Jawa. Ikan asin untuk ekspor ini ikan besar: ikan manyung. Yang satu ekor bisa 10 kg. Bagian badannya yang diasinkan. Sedang kepalanya, Anda sudah tahu. Terutama bagi Anda yang sering lewat pantura. Lebih utama lagi kalau lewat jalan antara Pati-Rembang. Banyak papan mencolok di pinggir jalan: menawarkan masakan kepala ikan manyung.

Yusuf dapat izin menangkap ikan di laut Arafuru –di antara Bandaneira, Saumlaki, dan Dobo. Saya belum pernah ke Bandaneira, tapi pernah ke Dobo dan Saumlaki. Jauh sekali.

Empat kapalnya beroperasi di sana. Disediakan kapling khusus di laut di sana. Yang batasnya bisa dilihat di GPS. Kapal-kapalnya tidak boleh mencari ikan di luar titik-titik koordinat yang sudah ditentukan. Itu sudah kaplingnya perusahaan lain lagi.

Laut Arafuru, memang sudah dikapling-kapling –menjadi lebih 1.000 kapling. Silakan ambil salah satu kapling di situ. Dengan cara minta izin ke kementerian perikanan dan kelautan.

Setiap kapal penangkap milik Yusuf punya 40 orang awak kapal. Aat akan sangat cocok bekerja di kapal ini: tidak boleh pulang selama satu tahun. Mereka harus tetap di atas laut selama satu tahun itu.

Menjelang Lebaran mereka baru boleh pulang. Setelah itu mereka balik lagi ke Arafuru untuk setahun ke depan.

Tugas kapal itu hanya menangkap ikan. Lalu membekukannya. Ada alat pembeku di perut kapal. Yang suhunya minus 40 derajat. Yang bisa membuat ikan langsung beku.

Kapal penangkap tidak perlu mengirim hari tangkapan. Ada kapal pengangkut yang datang dan pergi. Datang membawa air dan bahan makanan. Pulang membawa ikan beku: ke Muara Baru, Jakarta.

Dua kapal pengangkut itulah yang mondar-mandir Arafuru–Muara Baru.

Yusuf baru berumur 49 tahun. Ia punya anak satu –perempuan.

Anak itu ia sekolahan ke Tiongkok: ke kota Xiamen. Sekarang sudah pulang. Sudah berumah tangga, dengan satu bayi.

Sang Putri kini tinggal di Bitung: memimpin dua pabrik ikannya yang ada di Sulut. “Biar matang di sana,” ujar Yusuf.

Tidakkah kasihan pada anak perempuan? “Tentu saya sayang sekali. Tapi kalau di Jakarta dia nanti hanya tahu matang. Kalau di Bitung bisa tahu ikan sejak A sampai Z,” tambahnya.

Yusuf sendiri memulai usaha dari bawah. Dua kali bangkrut. Habis. Sampai terlempar menjadi sopir truk –jurusan Jakarta-Cirebon. Lalu Yusuf diterima menjadi sopir pribadi seorang pengusaha Tionghoa. Lukas namanya. “Pak Lukas orangnya baik. Saya diberi modal usaha,” ujar Yusuf.

Ayah kandung Yusuf sendiri seorang pedagang kecil di Dumai. Sang ayah menyekolahkan anaknya itu ke Sekolah Menengah Usaha Perikanan di Dumai. Begitu tamat Yusuf jadi awak kapal. Milik asing. Jurusan Guam di Samudera Pasifik. Sampai dua tahun Yusuf di sana.

Setelah punya sedikit tabungan Yusuf pindah ke Jakarta. Usaha kecil-kecilan. Gagal. Bangkit lagi. Gagal lagi. Lalu jadi sopir truk tadi.

Juragannya itulah yang menyarankan Yusuf mulai dagang lagi. Dagang ikan. Beli ikan di Muara Baru, dijual di pasar-pasar kampung. Mulailah ia jual beli ikan. Kian lama kian besar. Pinjaman yang diberikan Lukas pun bisa ia lunasi. Lukas masih sempat melihat Yusuf berkembang menjadi pengusaha besar. Lukas juga sempat tahu Yusuf sudah punya begitu banyak pabrik ikan. Juga sempat tahu Yusuf sampai punya enam kapal.

Setelah Lukas meninggal dunia Yusuf tetap menjalin hubungan keluarga dengan anak-anaknya.

Kini Yusuf membina pengusaha kecil ikan di kampung-kampung. Jumlah mereka sudah mencapai 60.000 orang. Itulah mereka yang membuat ikan pindang di rumah masing-masing. Yusuf yang memasok ikan ke para pemindang itu: ikan layang, tongkol, cakalang, dan salem.

Ikan kecil-kecil itulah yang dimasuk-masukkan ke besek bambu. Besek yang sudah berisi ikan itu lantas dimasukkan ke air mendidih yang sudah berbumbu. Jadilah ikan pindang siap jual.

Pemindang itu tergabung dalam Koperasi Komira. Komira adalah nama perusahaan milik Yusuf: PT Komira Group.

Komira memang menangkap banyak sekali ikan layang. Terutama ikan layang muroaji. Tujuan utamanya bukan untuk dipindang, melainkan untuk ekspor ke Taiwan dan Korea.

Diapakankah ikan itu di sana?

“Untuk umpan memancing tuna besar,” ujar Yusuf.

Pancingnya tentu bukan seperti pancing di kolam ikan. Pancing di lautan ini diikatkan ke kapal. Tali pancingnya bercabang-cabang. Satu rangkaian tali pancing punya 5.000 mata pancing. Berarti perlu 5.000 umpan kiriman dari Yusuf.

Yusuf tidak hanya ekspor. Untuk ikan-ikan tertentu Yusuf justru impor. Misalnya ikan salmon untuk disajikan sebagai sashimi di resto-resto Jepang di Indonesia. Juga ikan yang diperlukan pabrik-pabrik sarden dalam kaleng. Indonesia sudah kekurangan ikan untuk bahan baku sarden ini.

Di tengah lautan pengusaha besar Tionghoa di Muara Baru ternyata masih ada satu orang Dumai bernama Yusuf Ramli. (Dahlan Iskan)

Hidup itu Indah..

WS RENDRA
Lahir di SURAKARTA pada tahun 1935.
Meninggal di DEPOK pada tahun 2009.

Puisi terakhir WS Rendra
di buat sesaat sebelum dia wafat, sangat luar biasa kata-katanya.

Hidup itu seperti UAP, yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap !!
Ketika Orang memuji MILIKKU,
aku berkata bahwa ini HANYA TITIPAN saja.

Bahwa mobilku adalah titipan- NYA,
Bahwa rumahku adalah titipan- NYA,
Bahwa hartaku adalah titipan- NYA,
Bahwa putra-putriku hanyalah titipan- NYA

Tapi mengapa aku tidak pernah bertanya,
MENGAPA DIA menitipkannya kepadaku?
UNTUK APA DIA menitipkan semuanya kepadaku.

Dan kalau bukan milikku,
apa yang seharusnya aku lakukan untuk milik- NYA ini?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh- NYA ?

Malahan ketika diminta kembali,
kusebut itu MUSIBAH,
kusebut itu UJIAN,
kusebut itu PETAKA,
kusebut itu apa saja …
Untuk melukiskan, bahwa semua itu adalah DERITA….

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan
KEBUTUHAN DUNIAWI,
Aku ingin lebih banyak HARTA,
Aku ingin lebih banyak MOBIL,
Aku ingin lebih banyak RUMAH,
Aku ingin lebih banyak POPULARITAS,

Dan kutolak SAKIT,
Kutolak KEMISKINAN,
Seolah semua DERITA adalah hukuman bagiku.

Seolah KEADILAN dan KASIH-NYA,
harus berjalan seperti penyelesaian matematika dan sesuai dengan kehendakku.

Aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita itu menjauh dariku,
Dan nikmat dunia seharusnya kerap menghampiriku …

Betapa curangnya aku,
Kuperlakukan DIA seolah Mitra Dagang ku
dan bukan sebagai Kekasih !

Kuminta DIA membalas perlakuan baikku
dan menolak keputusan- NYA yang tidak sesuai dengan keinginanku …

Padahal setiap hari kuucapkan,
“Hidup dan Matiku, Hanyalah untuk-MU”

Mulai hari ini,
ajari aku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam setiap keadaan
dan menjadi bijaksana,
mau menuruti kehendakMU saja ya ALLAH

Sebab aku yakin….
ENGKAU akan memberikan anugerah dalam hidupku …
KEHENDAKMU adalah yang ter BAIK bagiku ..

Ketika aku ingin hidup KAYA,
aku lupa,
bahwa HIDUP itu sendiri
adalah sebuah KEKAYAAN.

Ketika aku berat utk MEMBERI,
aku lupa,
bahwa SEMUA yang aku miliki
juga adalah PEMBERIAN.

Ketika aku ingin jadi yang TERKUAT,
….aku lupa,
bahwa dalam KELEMAHAN,
Tuhan memberikan aku KEKUATAN.

Ketika aku takut Rugi,
Aku lupa,
bahwa HIDUPKU adalah
sebuah KEBERUNTUNGAN,
kerana AnugerahNYA.

Ternyata hidup ini sangat indah, ketika kita selalu BERSYUKUR kepada NYA

Bukan karena hari ini INDAH kita BAHAGIA.
Tetapi karena kita BAHAGIA,
maka hari ini menjadi INDAH.

Bukan karena tak ada RINTANGAN kita menjadi OPTIMIS.
Tetapi karena kita optimis, RINTANGAN akan menjadi tak terasa.

Bukan karena MUDAH kita YAKIN BISA.
Tetapi karena kita YAKIN BISA.!
semuanya menjadi MUDAH.

Bukan karena semua BAIK kita TERSENYUM.
Tetapi karena kita TERSENYUM, maka semua menjadi BAIK,

Tak ada hari yang MENYULITKAN kita, kecuali kita SENDIRI yang membuat SULIT.

Bila kita tidak dapat menjadi jalan besar,
cukuplah menjadi JALAN SETAPAK
yang dapat dilalui orang,

Bila kita tidak dapat menjadi matahari,
cukuplah menjadi LENTERA
yang dapat menerangi sekitar kita,

Bila kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk seseorang,
maka BERDOALAH untuk
kebaikan.

(Sumber : dari sebuah WAG) 🙏🙏

Got Problems?

RENUNGAN UNTUK KITA BERSAMA

Alkisah seekor rusa betina
sedang sarat bunting.
Ketika hampir detik-detik kelahirannya,
rusa ini pergi ke suatu tempat yang jauh
di pinggir hutan yang berdekatan
dengan sungai.

Tiba-tiba…..
sesuatu yang tidak ia bayangkan terjadi !

Terdengar suara gemuruh dari langit dan tiba-tiba tampak kilat yang menyambar kepermukaan bumi. Hutan kering ini terbakar dahsyat karena percikan api dari petir tersebut.

Ketika rusa ini menoleh ke kiri,
tampak seorang pemburu telah siap melesatkan anak panah ke arahnya.

Saat menoleh ke kanan,
ia pun terkejut melihat seekor singa lapar
yang siap menerkamnya.

Maka tidak ada pilihan bagi rusa ini selain :

  1. Mati dimangsa singa.
  2. Mati terkena panah.
  3. Mati terbakar.
  4. Atau mati tenggelam karena melompat
    ke sungai.

Yang jelas …
Bahaya mengancam dari berbagai penjuru
dan tidak ada lagi kesempatan untuk berlari.

Lalu apa yang harus ia lakukan?
Bersedih dan merintih?

Menangis dan menjerit?
Atau ia harus berlari
sementara kondisinya begitu lemah?
Atau menyerah pada keadaan?

Rusa pun pasrah.
Dia hanya fokus untuk melahirkan bayinya.

Lalu apa yang terjadi?

Kilat-kilat yang menyambar mengganggu pandangan si pemburu.
Akhirnya panah yang dilesatkan pun meleset dan mengenai si singa lapar.
Singa malang itu mati seketika.

Tiba-tiba hujan datang begitu deras dan memadamkan kebakaran di hutan tersebut.

Pemburu lari mencari tempat berteduh dan tidak fokus lagi kepada rusa tersebut.

Rusa pun melahirkan dengan selamat !

Sahabatku….

Segala kesulitan menyerbumu dari segala arah. Masalah datang bertubi-tubi seakan tak memberimu kesempatan untuk bernafas lega.

Masalah di tempat bekerja,
masalah di dalam rumah,
masalah di jalan,
masalah dengan anak-anak kita semuanya datang bersamaan.

Seakan kamu tidak bisa lagi berbuat apa-apa..

Lalu apa yang harus dilakukan?
Jadilah seperti Rusa.
Biarkan semuanya berjalan apa adanya.

Lakukan sesuatu yang mampu kau lakukan !
Selebihnya serahkan kepada ALLAH

Karena Allah lah yang mengatur jalan kehidupanmu..

Saudaraku…
Sungguh TUHAN menyayangi hamba-NYA melebihi kasih sayang ibu pada anak-anaknya.

DIA lah yang akan menyelesaikan semua masalahmu dan menyembuhkan luka-lukamu.

Jangan berkata,
“Ya Tuhan,
aku memiliki masalah yang besar…”

Tapi katakanlah,
“Hei masalah,
Aku memiliki ALLAH Yang Maha Besar!”

Allahu Akbar… !

Sumber: Dari kiriman seorang kawan di WAG.

TND, Pahlawan Wanita Kita

Tjoet Nyak Dhien, Sumedang, 6 November 1908

HARI itu.. tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua renta, rabun serta menderita encok, seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tampak tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.

Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria tidak menempatkannya di penjara, melainkan memilih tempat disalah satu
rumah tokoh agama setempat. Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta penderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 6 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu.

Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatan yang sangat buruk, perempuan tua itu nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajar mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung. Sesekali mereka membawakan pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu, yang belakangan karena pengetahuan ilmu-ilmu agamanya disebut dengan Ibu Perbu.

Waktu itu tak ada yang menyangka bila
perempuan yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah “The Queen of Aceh Battle” dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Singa betina dengan rencong ditangan yang terjun langsung ke medan perang. Pahlawan sejati tanpa kompromi yg tidak bisa menerima daerahnya dijajah. 

Hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintai. Gadis kecil cantik dan cerdas dipanggil Cut Nyak dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat di Lampadang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia, keturunan perantau Minang pendatang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.

Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Di usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan orangtuanya dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.

Suasana perang yang meggelayuti atmosfir Aceh pecah ketika tanggal 1 April 1873  F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh, dan Tjoet Nyak tentu ada disana. Diantara tebasan rencong, pekik perang wanita perkasa itu dan dentuman meriam, dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan dibakar tentara Belanda…

“..Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh ! Lihatlah !! Saksikan dengan matamu Masjid kita dibakar !! Tempat Ibadah kita dibinasakan !! Mereka menentang Allah !! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kaphe (kafir) Belanda !!”. Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata (Szekely Lulofs, 1951:59).

Perang Aceh adalah cerita keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir. Begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap hari.. setiap waktu dihabiskan untuk berperang dan berperang melawan kaphe-kaphe Belanda. Tetapi perang juga lah yang mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1870. 

Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.

Tetapi bagi Tjoet Nyak, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, atau Teungku Ibrahim Lamnga suaminya, bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia ayahnya, atau para lelaki Aceh. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat.. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak, dia tetap mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.

Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiran putri bangsawan itu hanya dicurahkan kepada perang mengusir penjajah.. Berpindah dari satu tempat persembunyian ke persembunyian yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain, kurang makan dan kurangnya perawatan membuat kondisi kesehatannya merosot. Kondisi pasukanpun tak jauh berbeda. 

Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada 16 November 1905 Kaphe Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya.. Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak. Dengan usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan, Tjoet Nyak memang tak bisa berbuat banyak. Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya, Tjoet Nyak tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Perjuangan Tjoet Nyak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing hingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.

Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berbicara tentang persamaan hak yang bernama emansipasi perempuan.

Tjoet Nyak, “The Queen of Aceh Battle”, wanita perkasa, pahlawan yang sebenarnya dari suatu realita jamannya.. berakhir sepi di negeri seberang..

Innalillahi wainnailaihi rojiun..

Sumber : WAG minang bandung

Buya AR Sutan Mansur: BINTANG BARAT DAN IMAM MUHAMMADIYAH SUMATERABy Suara Muhammadiyah

Buya AR Sutan Mansur, Buya Ahmad Rasyid Sutan Mansur

Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Buya AR Sutan Mansur nama lengkapnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam senin 26 Jumadil Akhir 1313 Hijriah, bertepatan 15 Desember 1895 Masehi. Anak ketiga dari tujuh bersaudara merupakan karunia Allah pada kedua orang tuanya, yaitu Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah tokoh dan guru agama di kampung Ai Angek (Air Hangat), Maninjau.

Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari kedua orang tuanya. Selain itu, untuk pendidikan umum, ia belajar di Inlandshe School (IS) tahun 1902-1909. Di sini ia belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studinya di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukittinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun, tawaran tersebut ditolak karena ia lebih tertarik untuk mempelajari agama, disamping itu ia sudah dirasuki semangat anti-penjajah Belanda.

Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajah tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia akan tetapi bahkan seringkali berupaya menghadang dan mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi seperti dengan membantu pihak-pihak Zending atau Missi Kristen dalam penyebarluasan agamanya.

Maka, tidak mengherankan bila pada tahuh 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Hindia Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yagn tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang maghrib.

Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr Abu Hanifah) ia belajar kepada Haji Rasul (Dr Abdul Karim Amrullah, ayahnya Buya HAMKA), seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Di bawah bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia belajar ilmu Tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, Al-Qur’an, tafsir, dan hadis dengan mustolahnya.

Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr. Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya Hamka serta diberi gelar Sutan Mansur. Setelah kemudian ia dikirim gurunya ke Kuala Simpang, Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun di Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.

Buya AR Sutan Mansur: Bintang Barat dan Imam Muhammadiyah Sumatera
Haji Mochtar, Junus Anis, dan Sutan Mansur di Minangkabau Dok Pusdalit SM
Terjadinya pemberontakan melawan Inggris di Mesir menghambat keinginannya untuk melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo, karena ia tidak diizinkan pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.

Kegelisahan pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan KH Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama-sama para pedagang dari Sungai Batang, Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah di Pekalongan.

Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan di Sumatera Barat, yaitu agar umat Islam kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat umat Islam terbelakang dan tertinggal dari umat-umat lain. Selain itu, ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban usai menunaikan shalat Idul Adha dan membagikannya kepada fakir miskin.

Pada tahun 1923, Sutan Mansur menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tablih serta menjadi guru agama.

Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menatan Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.

Pada tahun 1927 bersama Fakhruddin, Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekatan raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan Cabang-Cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mandawai, dan Amuntai. Dengan demikian, anara tahun 1926-1929 tersebut Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.

Selain di Muhammadiyah, Sutan Mansur sebagaimana KH Ahmad Dahlan pada dasawarsa 1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin organisasi bagi anggota yang merangkap di Muhammadiyah.

Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap keresidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Karena itu, pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah Minangkabau (Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944. Bahkan, sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumatera dan Jawa.

Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Mubalighin Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini, dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang bertugas menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minagkabau dan daerah-daerah sekitar. Kelak, mubaligh-mubaligh ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda persyarikatan Muhammadiyah. Sutan Mansur, oleh Konsul-Konsul daerah lain di Sumatera, dijuluki Imam Muhammadiyah Sumatera.

Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938, Sutan Mansur menjadi penasehat agama bagi Bung Karno. Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi salah seorang anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat. Setelah itu, sejak tahun 1947 sampai 1949 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukittingi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.

Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1950, ia diminta menjadi penasehat TNI Angkatan Darat dan harus berkantor di Markas Besar Angkatan Darat. Namun, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera untuk bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Sukarno memintanya lagi menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukittingi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya. Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.

Dalam kongres Masyumi tahun 1952, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkan oleh Presiden Sukarno. Tahun 1958 ketika pecah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, ia berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno, meskipun peran yang dimainkannya dalam pergolakan itu diakuinya sendiri tidak terlalu besar.

Buya AR Sutan Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua kali periode kongres. Kongres Muhammadiyah ke-32 di Banyumas, Purwokerto tahun 1953 mengukuhkannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode 1953-1956. Karena itu, ia harus pindah ke Yogyakarta. Pada Kongres Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi Ketua PB Muhammadiyah periode 1956-1959.

Pada masa kepemimpinannya, upaya pemulihan ruh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal. Pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam ruh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhi. Kedua, mengusahakan buq’ah mubarokah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada wal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunnah hari Senin dan Kamis, juga pada tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan taqwa. Selain itu, juga diupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara Majelis dan Cabang atau Ranting banyak diselengarakan

Saat beliau memimpin, Muhammadiyah berhasil merumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1956-1959 atau yang populer sebagai Khittah Palembang, yaitu:

Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tahid, menyempurnakan ibadan dengan khusyu’ dan tawadlu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan,d an menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab
Melaksanakan uswatun hasanah
Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi
Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak
Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader
Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk mengantisipasi terjadi keretakan dan perselisihan
Menuntun penghidupan anggota
Msekipun setelah 1959 tidak lagi menjabat sebagai ketua, Buya AR Sutan Mansur yang sudah mulai uzur tetap menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke periode. Ia, meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat, konferensi, Tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah tetap menjadi guru pengajian keluarga Muhammadiyah.

Buya AR Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya, antara lain berjudul Jihad, Seruan kepada Kehidupan Baru, Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim, dan Ruh Islam, nampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islan ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan Al-Qur’an dan hadis.

Buya H Ahmad Rasyid Sutan Mansur meninggal Senin 25 Maret 1985 bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang Ulama, da’i, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap Ahad pagi senantiasa memberikan pelajaran agama terutama tentang tauhid di ruang pertemuan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Jenazah almarhum Buya dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan setelah dishalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah.

Buya Hamka menyebutkan sebagai seorang ideolog Muhammadiyah. Dan, M Yunus Anis dalam salah satu Kongres Muhammadiyah mengatakan, bahwa di Muhamamdiyah ada dua bintang. Bintang timur adalah KH Mas Mansur dari Surabaya, dan bintang barat adalah Buya AR Sutan Mansur dari Minangkabau, Ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.

Sumber: Profil 1 Abad Muhammadiyah

Ombak Mentawai, No Ukulele This Time…!

Suasana dalam kapal Bupati Kabupaten Mentawai
Ombak nya Mentawai….

Gordyn biru di ruang VIP kapal cepat Bupati dengan 4 mesin baru seolah-olah hendak copot dari gagangnya. Terjangan ombak dengan tinggi mencapai 2 meter membuat kapal kami terhempas. Ke kanan, sebentar ke kiri. Ayunan ombak mengangkat bagian belakang kapal dan tiba-tiba terhempas, berderak. Brakk…., seperti ada yang akan patah. Beruntung lambung kapal terbuat dari alumunium khusus, bukan lagi fiber. Kapalnya dibuat di Batam dengan spesifikasi khusus, dan telah diuji coba melewati selat Sunda. Itu info yang saya dapat sesaat sebelum berangkat dan selama perjalanan dari pelabuhan Tua Pejat, pulau Sipora menuju dermaga Meileppet di pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, provinsi Sumatera Barat (Sumbar)

Sekitar jam 14.00 WIB, setelah beristirahat makan siang dengan Dan Lantamal 2, Laksamana Pertama TNI Endra Sulistiyono dan Bupati Judas Sabaggalet di aula kantor Bupati, kapal kecil kami berlayar menyeberangi perairan Mentawai menuju arah utara dan melawan arus dengan angin cukup kencang dari arah barat. Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai, rupanya sudah sangat berpengalaman. Beliau sudah siap di pojok kanan depan mengisi satu dari 4 kursi VIP yang tersedia. Beliau sepertinya sudah memejamkan mata dan tidak bersuara. Pak Bupati di awal perjalanan dengan tenang memberikan informasi meyakinkan bahwa perjalanan akan baik-baik saja. “Paling nanti 15 menit pertama ada pertemuan arus!”, demikian beliau berujar ketika kapal sudah bergerak keluar alur pelabuhan Tua Pejat.

Saya yang sudah cukup terbiasa naik speed boat dan kapal merasa tenang dan biasa saja. Kapal cukup besar dengan lambung kapal memiliki fasilitas tempat tidur yang nyaman, ruang yang cukup lebar dan ruang VIP lengkap dengan tempat dan peralatan minum dann kopi serta sound system kelas yahud untuk berkaraoke. Ketika masuk kapal, saya memilih duduk berdekatan dengan Bupati Judas, sambil ngobrol, saya duduk berselahan. Beliau di kiri, saya agak ke tengah. kami berdua menghadap menyamping ke kanan lambung kapal. Di sebelah kanan saya menghadap ke depan adalah Kepala Dinas Pendidikan. berdiri di dekat pintu masuk ke ruangan bawah dan tengah kapal adalah bapak Kadis Koperasi dan UMKM provinsi Sumbar, pak Nazwir. Pak Nazwir masih memilih berdiri menghadap kami. Ngobrol. Sementara Ketua DPRD bapak Yosep Sarogdok pulas.

Ombak kembali menggeliatkan kapal. Sebentar mendorong badan kita maju, lalu berganti ke samping, naik cukup tinggi, dan tiba-tiba menghempas ke bawah. Lama kelamaan goncangan semakin kuat. Saya dengar juga suara raungan 4 mesin baru kapal juga semakin keras dan menandakan nakhoda dengan lihai berusaha untuk berselancar diantara gelombang.

Gubrakkkkk..tiba-tiba goncangan sangat keras terjadi, menghempaskan pak Nazwir yang tadinya merasa paling aman berdiri untuk mencegah mabok, jatuh ke lantai. Beruntung beliau tidak cedera, dan segera kami minta pelan-pelan merayap, merangkak ke kursi VIP di belakang Sang Ketua DPRD yang sudah lelap. Kami juga tidak bisa langsung menolong, karena harus berpegangan erat, sebisanya. AKhirnya pak Nazwir bisa mencapai tempat duduk di samping teman saya Pak Andri Alfian, pensiunan Pertamina yang ikut rombongan. Pak Andri yang memang terbiasa mabok, sudah siap dengan kantong plastik hitam untuk mencegah muntahnya bertebaran di karpet kapal Bupati yang baru.

Tangan saya juga terlepas dari sandaran kursi. Tidak ada pegangan lagi buat kami. Kami, saya dan pak Bupati hanya punya pegangan bantalan kursi berupa busa. Busa itulah yang saya pencet dan pegang seerat mungkin. Mau duduk di lantai mencari posisi yang enak, ada rasa gengsi dan memang tidak menjamin kenyamanan juga.

Ombak pun datang, gelombang terus menerjang. Benar saja, pas sekitar seperempat jam guncangan hebat itu terjadi. Kemudian berkurang sedikit, namun konstan dengan ancaman yang tetap kencang dan goyangan kanan kiri depan belakang atas bawah tidak beraturan. Saya pikir kapal kami sudah di laut lepas dan tidak ada palung lagi. Agak tenang batin saya, karena sudah tidak ada pertemuan arus besar atau palung. Saya ikuti ayunan gelombang dengan tarikan nafas dan kemudian melepaskannya. Ketika kapal diangkat gelombang naik, saya tarik nafas dalam-dalam lalu tahan. kemudian ketika kapal diturunkan gelombang, nafas saya lepas perlahan. Sangat membantu, seperti biasa dalam perjalanan speed boat yang pernah saya lakukan di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Pontianak, Bandaneira, Labuan Bajo, Bunaken-Manado, juga di Sorong dan Raja Ampat.

Harapan saya bahwa berlayar di laut lepas agak lebih tenang, ternyata keliru. Melawan arus ke utara di sore hari dengan angin dari arah barat ternyata cukup menyiksa. Beberapa kali kapal kami dihantam ombak tinggi, sehingga nakhoda melambatkan kapal untuk mencegah terguling, tapi goncangan makin terasa. Begitulah terus perjalanan kami sore itu. Saya mencatat ada beberapa kali kapal kami keluar dari bawah siraman ombak yang cukup besar dengan air alut menutup jendela.

Akhirnya daratan pulau Siberut mulai terlihat di sebelah kiri kapal. saya mulai tenang. Namun perut mulai tidak enak dan fisik sudah agak terkuras. Saya tadi agak lengah karena setelah saya cek di google map, jarak ke dermaga Meileppet sudah dekat. Namun ternyata memasuki alur SIberut, goncangan keras mulai terasa lagi. Sama kelihatannya dengan posisi kami ketika akan keluar dari dermaga Tua Pejat tadi. Goncangan dengan hempasan yang sama muncul lagi. Andri sudah beberapa kali mencoba untuk muntah, masih gagal. Saya meminta minyak angin yang dia pegang, karena tengkuk saya dan perut sudah mulai terasa mual. Tanda-tanda mabok muncul. Beruntung cepat-cepat, saya atur lagi nafas. Tarik dalam-dalam -tahan -lalu lepaskan pelan. Tadinya saya sudah optimis karena akan sampai dan ini membuat lengah. Pak Bupati masih sama dengan saya, posisi siaga dengan tangan direntang meremas bantalan kursi dan mata terpejam. Pak Nazwir dan ketua DPRD, sudah tak bersuara. Beruntung Pak Kadis pendidikan pindah ke kursi disamping ketua Ketua DPRD. Ia kelihatannya sudah terbiasa, dan sesekali sempat juga memeriksa HP nya, karena sinyal sudah di dapat.

Saya pindah menggantikan posisi Kadis Pendidikan, ke sofa samping yang membuat saya duduk menghadap ke depan, dan ada pegangan persis di bagian bawah tempat duduk saya. Meski pegangan tidak sempurna, lumayan kuat untuk mencegah hempasan. Beberapa botol aqua tergolek dan oleng menggelinding mengikuti arus dan ombak. Tidak ada yang memungut, karena kondisi belum memungkinkan. Saya tidak tahu apa yang terjadi di lambung kapal. Mungkin goncangan agak kurang disana, tetapi pandangan relatif lebih tertutup. Sebagian penumpang lain kelihatannya ikut di dekat nakhoda untuk melawan dan mengikuti arah ombak. Salah satu cara mudah untuk tidak mabok.

Setelah hampir 2 jam perjalanan dan beberapa terjangan ombak cukup besar, kami pun akhirnya merapat di Meileppet. Saya yang masih agak goyang, merasa bersyukur tidak muntah dan mabok laut. Tadi ketika di tengah terjangan ombak saya sempat bertanya dan ngobrol dengan pak Bupati. Saya bertanya untuk menghibur diri dan meyakinkan diri sendiri. Beberapa pertanyaan saya dijawab oleh Bupati, meski saya tahu beliau juga sudah tidak antusias menjawabnya, tetap beliau meladeni dan menghibur saya. Ketika kami sudah di darat, barulah tahu bagaimana staf saya mabok berat dilambung kapal dan hampir separoh perjalanan memeluk bak sampah untuk tempat muntahnya. Tadinya dia membawa plastik, tetapi kemudian dipinggirkan karena sudah berhasil melewati perjalanan kami paginya dari dermaga Muaro Padang ke Tua pejat dengan kapal cepat Mentawai Fast. Rupanya dia salah perkiraan dan sedikit jumawa, ombak Mentawai cukup membuat dia menderita, berkesan, dan memberi pelajaran berharga.

Alhamdulillah, ketika kami turun dan naik ke daratan, saya dengar pak Bupati memuji saya, karena tadinya beliau mengira saya akan mengalami masalah. Sama pak, Pak Bupati juga luar biasa. Betapa besar pengorbanan seorang pemimpin di daerah 3T, terluar, terpencil, dan tertinggal. Salut pak Bupati! Selamat berjuang terus untuk masyarakat kita di Mentawai. Semoga perjalanan pendek kita ke SIberut dalam rangka memberikan pengarahan kepada peserta pelatihan vocational pelaku Usaha Mikro di Mentawai ini memberi manfaat ya Pak Bupati. Aamiin yra.

Beruntung ketika sudah reda, saya masih sempat membuat video pendek, namun tidak ketika goncangan berat terjadi. Dan Ombak Mentawai meniadakan alunan ukulele, seperti perjalanan2 sebelumnya di lautan.

Bersambung.. (Sawangan, Jumat Malam, 11 Februari 2022)

_____________

You Kill Them, They Save You

CNN merilis foto ini ke seluruh dunia. Mungkin foto ini akan tetap abadi. Foto diambil oleh fotografer Anil Prabhakar di hutan Kalimantan, Indonesia. Foto ini menunjukkan orangutan yang saat ini terancam punah mengulurkan tangannya untuk menolong seorang ahli geologi yang terjebak dalam kolam lumpur saat sedang mengexplorasi hutan. Sebuah pemandangan yang sangat menyentuh.. Pelajaran berharga bagi manusia, yang mengancam habitat dan kaumnya. Fotografer itu menulis kata2 yg menggugah dalam foto itu : _*”Di saat rasa kemanusiaan kita mati, hewan datang membawa prinsip kemanusiaan kepada kita, mari kita merenung..”*_

Olahraga – BENUANEWS.COM

https://benuanews.com/category/olahraga-otomotif/

Guru Kencing berdiri, anak sekarang mengajari.

MERINDING DAN SEDIH
Berita ini mungkin sdh ada yg pernah membacanya , tapi ndak rugi kalau diulang.

Ini.. serius anak SD ?
Kok bisa.. 😢😢
Sesudah jum’atan aku masih duduk di teras mesjid di salah satu kompleks sekolah. Jamaah mesjid sudah sepi, bubar masing-masing dengan kesibukannya.

Seorang nenek tua menawarkan dagangannya, kue traditional. Satu plastik harganya lima ribu rupiah. Aku sebetulnya tidak berminat, tetapi karena kasihan aku beli satu plastik.

Si nenek penjual kue terlihat letih dan duduk di teras mesjid tak jauh dariku. Kulihat
. Tak lama kulihat seorang anak lelaki dari komplek sekolah itu mendatangi si nenek. Aku perkirakan bocah itu baru murid kelas satu atau dua.

Dialognya dengan si nenek jelas terdengar dari tempat aku duduk.

“Berapa harganya Nek?”
“Satu plastik kue Lima ribu, nak”, jawab si nenek.

Anak kecil itu mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari kantongnya dan berkata :

“Saya beli 10 plastik, ini uangnya, tapi buat Nenek aja kuenya kan bisa dijual lagi.”

Si nenek jelas sekali terlihat berbinar2 matanya :

“Ya Allah terima ksh bnyk Nak. Alhamdulillah ya Allah kabulkan doa saya utk beli obat cucu yg lagi sakit.” Si nenek langsung jalan.

Refleks aku panggil anak lelaki itu.

“Siapa namamu ? Kelas berapa?”
“Nama saya Radit, kelas 2, pak”, jawabnya sopan.
“Uang jajan kamu sehari lima puluh ribu?’”

” Oh .. tidak Pak, saya dikasih uang jajan sama papa sepuluh ribu sehari. Tapi saya tidak pernah jajan, karena saya juga bawa bekal makanan dari rumah.”
“Jadi yang kamu kasih ke nenek tadi tabungan uang jajan kamu sejak hari senin?”, tanyaku semakin tertarik.

“Betul Pak, jadi setiap jumat saya bisa sedekah Lima puluh ribu rupiah. Dan sesudah itu saya selalu berdoa agar Allah berikan pahalanya untuk ibu saya yang sudah meninggal. Saya pernah mendengar ceramah ada seorang ibu yang Allah ampuni dan selamatkan dari api neraka karena anaknya bersedekah sepotong roti, Pak”, anak SD itu berbicara dengan fasihnya.

Aku pegang bahu anak itu :

” Sejak kapan ibumu meninggal, Radit?”
“Ketika saya masih TK, pak”

Tak terasa air mataku menetes :

“Hatimu jauh lebih mulia dari aku Radit, ini aku ganti uang kamu yg Lima puluh ribu tadi ya…”, kataku sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan ke tangannya.

Tapi dengan sopan Radit menolaknya dan berkata :

“Terima kasih banyak, Pak… Tapi untuk keperluan bapak aja, saya masih anak kecil tidak punya tanggungan… Tapi bapa punya keluarga…. Saya pamit pulang dulu Pak”.

Radit menyalami tanganku dan menciumnya.

“Allah menjagamu, nak ..”, jawabku lirih.

Aku pun beranjak pergi, tidak jauh dari situ kulihat si nenek penjual kue ada di sebuah apotik. Bergegas aku kesana, kulihat si nenek akan membayar obat yang dibelinya.

Aku bertanya kepada kasir berapa harga obatnya. Kasir menjawab : ” Empat puluh ribu rupiah..”

Aku serahkan uang yang ditolak anak tadi ke kasir : ” Ini saya yang bayar… Kembaliannya berikan kepada si nenek ini..”

“Ya Allah.. Pak…”

Belum sempat si nenek berterima kasih, aku sudah bergegas meninggalkan apotik… Aku bergegas pergi untuk melanjutkan perjalananku lagi.

Dalam hati aku berdoa semoga Allah terima sedekahku dan ampuni kedua orang tuaku yg sudah meninggal serta anak2ku yg sedang berjuang menuntut ilmu.

Saudara & Sahabatku ada kalanya seorang anak lebih jujur dri pada orang dewasa, ajarkan lah anak2 kita dri dini tindakan nyata yg bukan teori semata.

Kisah ini dari hamba Alloh.

Silahkan di share sahabat

SHARE AJA….

Boleh di share biar lebih bermanfaat buat orang banyak, kalo pelit di simpen sendiri juga gak apa apa.
Rasulullah S.A.W bersabda :”Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yang mengamalkannya,maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala.” (HR. Al-Bukhari)

Ya ALLAH…
▶ Muliakanlah orang yang membaca dan membagikan status ini
▶ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
▶ Lapangkanlah hatinya
▶ Bahagiakanlah keluarganya
▶ Luaskan rezekinya seluas lautan
▶ Mudahkan segala urusannya
▶ Kabulkan cita-citanya
▶ Jauhkan dari segala Musibah
▶ Jauhkan dari segala Penyakit, Fitnah, Prasangka Keji, Berkata Kasar dan Mungkar.
▶ Dan dekatkanlah jodohnya untuk yg blm punya jodoh & orang yang
membaca serta membagikan status ini.
Aamiin yaa Rabbal’alamin

NB: JIKA ANDA MENDUKUNG PERJUANGAN DAKWAH INI, KAMI MINTA DO’ANYA & BANTU SHARE POSTINGAN INI BIAR SEMAKIN BANYAK YANG BISA MEMETIK MANFAAT… DAN SEMOGA juga on AMAL JARIYAH BAGI ANDA… AAMIIN…!!!

‏​‏
Silahkan kalau mau dikirimkan keseluruh sahabat,tetangga dan kluarga Anda, mudah²an menjadi Amal Jariah. Aamiin.