Pagi ini, sebuah WAG yang saya ikuti mendadak paten. Sebelumnya masih eyel-eyelan membahas prescawapres. Biasalah, nyaris semua group, apapun mainstreamnya, pasti ada belok-belok ke topik prescawapres ini. Seorang kawan memforward video tentang mesin scan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang menurut infonya telah berhasil dibuat oleh China.
Posting ini di WAG lulusan ITB tentu saja dilahap dan dikomentari asyik. Intinya, dengan mesin MRI buatan China ini telah berhasil menurunkan harga dari sekitar USD 6 juta menjadi hanya USD 0,6 juta atau menjadi sekitar 10 % harga saat ini. Luar biasa bukan? Dominasi negara Eropa dan brand seperti Phillips dan Siemens diancam oleh produk China. Terlepas benar tidaknya berita capaian mesin MRI ini, substansinya tetap menarik untuk dibahas.
Bagaimana China mengakhiri berbagai dominasi merk asing untuk keperluan dalam negeri dan kemampuan industri lokal tentu tidaklah akan habis dibicarakan. Dari berbagai produk sederhana mulai kebutuhan rumah tangga, apparel, hingga high tech mereka telah mengguncang dunia. Dari sekedar teknologi dan ekonomi, usaha China untuk pengembangan infrastruktur yang awalnya diremehkan Barat seperti pembangkit listrik, kereta api hingga ICT, sekarang terbukti menjadi kekuatan teknologi sekaligus ekonomi yang jika perlu dibatasi secara politik dan intrik. Jangan lupa penahanan seorang petinggi Huawei di Canada yang mempertajam persaingan China-US beberapa tahun silam.
Keruan saja, saya mengomentari bagaimana keberhasilan Indonesia, maaf pada era Soeharto untuk hal yang mirip. Dengan mengirimkan beberapa tenaga muda kita ke Siemens di Jerman dan Argentina untuk menggali pengetahuan di bidang telekomunikasi pada akhir 1980an, telah mendorong dirakitnya Sentral Telepon Digital Indonesia I (ya, pertama atau kesatu) di Bandung. PT. Inti telah menjelma menjadi salah satu BUMN di dunia yang mampu memproduksi STDI, yakni telephone exchange, digital pula dengan berbagai varian khususnya kapasitas kecil.
Melalui serial pinjaman luar negeri, soft loan dari KFW (badan ekonomi internasional Jerman), Indonesia berhasil melaksanakan pembangunan telekomunikasi besar-besaran yang diawali dengan bantuan teknis yang ketika itu di Perumtel digawangi oleh seorang teman senior saya pak Wisnu Marantika. Alhasil sampai akhir Pelita VI, Indonesia telah berhasil menyediakan hingga 10 juta satuan sambungan telepon (sst) digital untuk seluruh negeri, minimal mencapai ibukota kabupaten kota (IKK).
Dalam prosesnya, berbagai hal menarik terjadi. Tarik ulur, negosiasi, intrik dan politik berkecamuk sengit. Ibarat judul sebuah lagu, “Semua menjadi satu”. Tidak mau mengekor kepada KFW dalam hal sentral telepon ini, pemerintah kita dengan cerdik mulai memainkan jurus canggih, yaitu kompetisi. Jika pada serial KFW sampai Exchange V, VA1, VA2 pada tahun 1990 harga ekivalen 1 sst mencapai USD 1,000.0 (seribu dollar), tidak demikian untuk seterusnya. Pinjaman yang terus ditawarkan dengan bunga soft loan monopoli Jerman, mulai diakali pemerintah dengan mentenderkan pembangunan STDI 2 sebanyak 350.000 sst.
Langkah strategis ini tentu saja mengguncang bisnis telekomunikasi dunia. Hasil tender pada tahun 1990 tersebut menyisakan 2 pemenang, yaitu AT&T, dan NEC. Ya, dari dua raksasa telekomunikasi dunia, US, dan Jepang ketika itu. Tentu sudah bisa diperkirakan, setelah proses persaingan teknologi dan ekonomi selesai, maka tahap selanjutnya adalah permainan politik dan intrik. Keuntungan besar tentu saja sudah terbayang di depan mata pemenang tender. Pasar telekomunikasi yang masih jauh dari jenuh/saturated tentu akan sangat menggiurkan. Dengan jumlah penduduk saat itu baru ditahap 200an juta jiwa, penetrasi telepon masih sangat rendah. Kemungkinan locked in bisa berlangsung cukup lama, dan tentu menguntungkan.
Dengan perkiraan harga ekivalen 1 sst masih USD 1.000,0, maka investasi STDI akan memberikan angka cukup besar ketika itu, sekitar 350.000 x 1.000 x 2.000 = 700.000.000.000,0, ya mencapai angka Rp 700 Milyar pada tahun itu dengan kurs 1 USD = Rp 2.000,0.
Tidak kurang dari presiden US dan Perdana Menteri Jepang waktu itu, melayangkan surat kepada pemerintah Indonesia. Saya tidak tahu persis isinya, karena belum dapat akses membaca. Maklum masih Staf Perencana ketika itu. Dari pemberitaan saya pahami intinya adalah meminta semacam previleges atau kattebelletjeā dari Presiden Indonesia untuk memenangkan masing-masing peserta tender, ya itu tadi, AT&T dan NEC. Apa yang terjadi?
Ternyata, pemerintah kita waktu itu bukanlah kaleng-kaleng. Dengan cerdik pemerintah mengadakan tender ulang yang ujung-ujungnya memberikan proyek besar ini kepada kedua peserta tender dari US dan Jepang ini. Ups…, namun dengan masing-masing peserta mendapatkan porsi yang sama, yaitu membangun STDI 2 sebanyak 350.000 sst. Dengan biaya yang sama, dapat kuantitas 2 kali lipat!
Contoh keberhasilan lain adalah, pelaksanaan aturan local content atau TKDN yang sempat memaksa berbagai merek terkenal di bidang telekomunikasi untuk merelokasi industri mereka atau bergabung dengan industri lokal, jika masih mau berjualan di Indonesia. Kebijakan ini telah mendorong industri lokal untuk mampu membangun sendiri industri handphone 4G pertama kali di Batam sekitar 7 tahun lalu. Juga mendorong merk terkenal seperti Samsung untuk memproduksi handphone mereka di Batam. Sayang merk lokal HP 4G yang juga bekerja sama dengan ITB ini tidak terdengar lagi kelanjutannya.
Kembali ke mesin Scanner MRI dan pengembangan pesat teknologi CHina, maka berbagai pengenalan kompetisi memang menjadi salah satu terobosan untuk memangkas praktek monopoli di berbagai negara. Bidang Infrastruktur menjadi salah satu entry atau titik masuk. Ditambah dengan kesadaran berbagai negara maju dan terlebih lagi negara berkembang untuk mengurangi tingkat korupsi, telah mendorong lahirnya berbagai upaya untuk mengakhiri monopoli. Maka lahirlah berbagai peraturan perundangan-undangan anti monopoli, termasuk Indonesia dengan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pasca pengenalan kompetisi di Indonesia, pembangunan pesat infrastruktur terus digenjot. Mulai dari jalan tol, bandara, pelabuhan, kereta api, pembangkit listrik, migas, perumahan, penyediaan air bersih (water supply), hingga penyediaan jaringan internet (ICT) terus dilaksanakan dan diperluas ke seluruh negeri. Pada awalnya pengembangan ini berjalan cukup baik dan menekan harga sehingga masyarakat banyak diuntungkan.
Namun, seolah-olah mencari keseimbangan baru, berbagai harga layanan infrastruktur tersebut pelan namun pasti merangkak naik. Relatif hingga saat ini hanya sektor telekomunikasi/ICT dan kereta api yang masih bisa memberikan harga bersaing dengan mutu layanan relatif baik. Sisanya seperti akan kembali ke masa pre-kompetisi.
Untuk jalan tol, terlihat dominasi penyedia jasa. Memberlakukan tarif dengan sepihak dan memaksakan tarif maksimal untuk banyak segmen jalan tol. Pengguna jasa dipaksa membayar jarak terjauh atau jarak rata-rata, meski hanya menggunakan jasa untuk 2 atau 3 pintu tol terdekat. Migas, setali tiga uang. Dominasi monopoli BUMN telah memaksa harga relatif tinggi karena pengurangan atau pengalihan subsidi, juga menurunnya aspek keselamaan dalam bisnis migas ini.
Sektor penerbangan yang dahulu sempat memberikan dan membuat semua orang bisa terbang, saat ini telah kembali menjadi relatif mahal. Termasuk kondisi flag carrier kita yang sempat berdarah-darah karena salah urus dan korupsi di masa lalu, meski nyaris belasan tahun seluruh PNS dan pegawai BUMN diharuskan menggunakan perusahaan BUMN ini.
Sektor perhubungan lainnya masih membutuhkan peningkatan layanan dan management. Relatif tidak ada penambahan kapal besar antar pulau yang sangat dibutuhkan masyarakat, terutama golongan menengah bawah. Program tol laut, masih belum mampu menyediakan kapal dan sekaligus fery berkapasitas besar yang bisa mengangkut pemudik bersama mobil atau motor mereka. Masih tingginya angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas yang mencapai 800 jiwa ketika liburan mudik 2023 menjadi indikator yang tidak terbantahkan.
Diubahnya secara sepihak sistem abonemen air bersih oleh PDAM di beberapa daerah di Jawa Barat, dari abonemen Rp 35 ribu per bulan menjadi penggunaan minimum 10 m3 dengan biaya Rp 85 ribu, jelas-jelas memberi sinyal kembalinya monopoli yang meresahkan. Beruntung untuk jasa layanan Kereta Api, telah berhasil melakukan terobosan besar dalam hal ticketing, sangat memudahkan pengguna dan terjauh dari percaloan. Namun ditengarai, dengan naiknya BBM secara signifikan baru-baru ini, jasa KA pelan-pelan juga diperkirakan mulai memberatkan pengguna jasa. Kenaikan harga KA Parahyangan dalam kurun waktu yang sangat singkat sekitar 40%, ditengarai sebagai cara untuk mengantisipasi harga KA Cepat Jakarta-Bandung yang akan segera beroperasi. Saya juga belum terinfo, bagaimana akhirnya masalah penyediaan kanal telepon mobile untuk KA Cepat ini, apakah menggunakan frekuensi eksisting operator GSM sekarang atau band frekuensi lain.
Berlarut-larutnya penyediaan LPG 3 kg yang harusnya sementara belum diimbangi dengan percepatan pembangunan gas bumi Rumah Tangga di perkotaan yang sangat ditunggu rakyat dan UMKM. Peran koperasi pemulung dan UMKM yang lebih besar juga belum tergarap untuk mengurus dan mengolah sampah, terutama di kota besar. Padahal sampah di Indonesia itu adalah Rupiah.
Dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2025-45 ke depan, tentu saja berbagai kondisi eksisting di atas perlu diantisipasi dengan cermat. Sudah waktunya mendesign ulang beberapa hal. Pertama, perlu direncanakan penghentian monopoli oleh beberapa BUMN besar sesuai bidang masing-masing, seperti Pertamina untuk migas dan PT. PLN untuk ketenagalistrikan. Seyogyanya KemenBUMN menyiapkan road map penghentian monopoli oleh beberapa BUMN. Evaluasi menyeluruh penyediaan air bersih oleh PDAM dan memulai kompetisi juga harus menjadi perhatian. Air bersih adalah kebutuhan mutlak buat masyarakat maju. Perlu diingat, di beberapa negara maju air bersih mereka sudah drinkable dan juga gratis, sudah termasuk utilitas untuk perumahan atau apartemen. Juga jangan lupa era, sebelum interkoneksi PAM di Pejompongan, pada 1970an air PAM kita juga sudah bisa diminum. Yes, it used to be drinkable tap water!
Kedua, merevisi ulang berbagai peraturan perundang-undangan sektor-sektor di bawah infrastruktur dasar. Beberapa Undang-Undang sektor ini relatif sudah cukup lama seperti UU Telekomunikasi No 36 tahun 1999 tentu sudah harus diperbaharui dengan kondisi ICT atau TIK yang semakin maju dan berubah sangat cepat dengan kecepatan disrupsi yang luar biasa. Juga banyak sekali Undang-Undang lain yang masih dirasa perlu diperbaharui, termasuk untuk menghidupkan kembali Badan Pengatur Independen untuk masing-masing sektor. Saat ini, untuk sektor telekomunikasi dengan persaingan sangat ketat, malah dibubarkan BRTI nya. Untuk ketenagalistrikan, dahulu sudah sempat dibentuk Bapeptal nya, namun karena UU Ketenagalistrikan dibatalkan MK, penyediaan jasa ketenagalistrikan kembali ke era monopoli. Ringkasnya, pembaharuan Kebijakan dan Kerangka Regulasi harus menjadi prioritas kebijakan infastruktur ke depan.
Selanjutnya, perkuatan peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mutlak diperlukan guna melindungi industri, baik dari persaingan usaha tidak sehat domestik, juga mencegah infiltrasi dari barang impor yang sudah tidak diperlukan.
Keempat, pembinaan ekosistem industri dan Sumber Daya Manusia untuk sektor-sektor infrastruktur juga harus menjadi perhatian. Sangat banyak industri dalam negeri yang awalnya sudah cukup baik kinerja dan pemanfaatan SDM lokalnya, menjadi berantakan kembali karena ketidaksinambungan kebijakan yang ada. KOndisi ini berkaitan dengan tingkat kompetisi, semakin baik kompetisi akan mendorong percepatan ekosistem yang diharapkan, termasuk R/D seperti capaian China dengan mesin MRI di awal cerita.
Terakhir, penyediaan infrastruktur harus tetap memperhatikan ketersediaan jasa atau pembangunan di wilayah 3T, terdepan, terpencil, dan tertinggal. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui skema PSO, atau subsidi untuk Public Service Obligation juga dengan membentuk Badan Layanan Umum sektor masing-masing. Namun demikian pelajaran mahal dari dugaan kasus penyimpangan BTS 4G oleh BAKTI Kemenkominfo yang melayani penyediaan jasa dan akses telekomunikasi serta informatika di daerah unserved tentu harus diambil hikmahnya dan diperbaiki secara sistemik ke depan. Sungguh, memberikan layanan seperti PELNI, penerbangan perintis, Pos, jaringan radio/TV dan Internet ke pelosok negeri, sangatlah dibutuhkan masyarakat untuk peningkatan pengetahuan dan pengembangan ekonomi lokal.
Semoga berbagai penemuan atau invention peralatan, sistem dan barang-barang baik domestik maupun internasional, bisa disikapi oleh pemerintah dan pelaku usaha swasta secara baik sehingga mampu menurunkan harga layanan jasa dan meningkatkan pemanfaatannya untuk masyarakat kita tanpa kecuali. Jika dulu kita sudah memulai dengan cukup baik, melanjutkan rasanya bukanlah hal yang sangat berat untuk dilaksanakan.
Semoga!
Eddy Satriya, Perencana Ahli Utama (PAU) Bappenas.
23.05.23 Komentar dan koreksi dapat dikirimkan ke uddaeddy@gmail.com atau langsung di blog ini. Terima kasih banyak. Wassalammualaikum wrwb, selamat malam Rabu.
Filed under: infrastructure, ODOA-onedayonearticle | Tagged: bakti, CHina, garuda, infrastruktur, invention, mri, PAM, telekomunikasi | Leave a comment »