Janggal

Kalau dugaan manipulasi tukin kok dari laporan masyarakat. Agak janggal menurut saya, masak masyarakat ngerti tukin. Aya aya wae.. Nih, menjelang 2024 banyak yang memerlukan panggung nampaknya.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230328124539-85-930257/menteri-esdm-endus-dugaan-manipulasi-tukin-di-kementeriannya

Continue reading

Nilai Otak dan Goyang

lumayan ada yg nulis meski sdh tidak menjabat. semoga saya mampu, sanggup dan punya keberanian nulis hal sejenis ketika msh menjabat. aamiin yra.

🙏

Nilai Otak dan Goyang
Oleh: Gamawan Fauzi 07/03/2022 | 21:35 WIB

Dua hari lalu saya membaca sebuah artikel tentang uang penghargaan atau honor seorang artis. Disebutkan dalam tulisan tersebut bahwa seorang artis yang sangat populer mendapat uang jasanya sebagai master of ceremony (MC) sebesar Rp5,5 miliar untuk 45 menit dia bekerja.

Pada lain kesempatan saya pernah diceritakan besaran bayaran seorang artis penyanyi terkenal yang sekali diundang menghibur bisa mengeluarkan biaya hingga 200 juta rupiah hanya untuk 5 atau 6 lagu saja. Itu sudah termasuk biaya hotel, asisten dan pesawatnya.

Kemarin saya hadir dalam sebuah perhelatan pesta pernikahan mewah. Hadir di situ seorang biduan terkenal tanah air. Dia membawakan 4 atau 5 Iagu saja, kemudian istirahat di kamar hotel tempat acara. Tampilannya luar biasa. Berbaju glamor dan berdandan bak bidadari. Undangan mendekat ke panggung. Cucu saya tak mau ketinggalan. Sebagai milenial dia juga terpukau dengan segala tampilan sang artis. Mulai dari gaunnya yang wah, dandanannya yang mempesona hingga Iantunan Iagunya yang sangat memanjakan telinga pendengar. Saya hanya senyum dan manggut-manggut memahami kenyataan itu. Saya berfikir. Cucu saya adalah bagian dari mode hidup yang terjadi dewasa ini, yang mungkin juga menjadi trend dunia semisal budaya Korea.

Negeri gingseng yang tiba tiba menggeser obat herbal menjadi penjual drama, make up dan gaya hingga tak kurang dari Kiyai Makruf Amin pernah merujuknya dalam sebuah pidato beliau. Belakangan ini saya jarang sekali menonton TV, apalagi sinetron dan nyanyi. Saya jadi “ketinggalan kereta” untuk urusan sejenis itu.

Beberapa tahun Ialu, ketika saya duduk bersebelahan dengan DR. Imam Prasodjo, dosen sosiologi UI dalam acara dialog pada sebuah stasiun televisi, beliau berucap kepada saya. Di negeri ini harga goyang bebek, goyang Dumang dan goyang-goyang lainnya honornya ratusan kali harga pikiran. Dengan menyebut nama seorang artis dangdut, beliau mengatakan bahwa honornya Rp100 juta dan kita nanti akan terima honor Rp500 ribu. Saya tak berkomentar dan hanya tersenyum. Eh.. pada saat acara usai, karyawan TV tersebut menyorongkan kuitansi dan saya baca sudah terima dari dan seterusnya honor tersebut besarannya tertulis Rp500 ribu.

Saya tak kaget lantaran sudah biasa dan memang sebesar itu nilai sebelum sebelumnya, apalagi bagi saya yang saat itu sebagai seorang pejabat, yang penting momen diskusi bisa dimanfaatkan menjelaskan pandangan, sikap atau program kelembagaan di tempat saya menjabat. Soal honor itu bukan tujuan.

Tapi dengan membaca artikel dua hari Ialu itu, saya menjadi ingat uoapan Dr. Imam Prasodjo dan saya coba berfikir komperatif dan lebih substantif sebab saya juga tau besaran uang kehormatan untuk para mubalig dan ulama yang menyiram qalbu jemaah 60 menit atau Khutbah Jumat sekitar 30 menit. Saya juga tau upah buruh lepas, bekerja 8 jam seratus ribu, tukang yang terampil 8 jam bekerja Rp150 ribu dan honor dosen untuk sekali ngajar rata rata Rp350 ribu rupiah, dan sederet daftar upah/ honor/ uang lelah atau apapunlah namanya.untuk berbagai profesi.

Para pengajar, dosen atau semacamnya memang beda beda untuk setiap lembaga pendidikan. Guru besar konon mendapat uang kehormatan setiap bulan Rp18 juta diluar gaji. Tapi para direktur bank dan dirut BUMN besar rata rata mendapat gaji dll tak kurang dari Rp150 juta bahkan ada yang mencapai Rp250 juta per bulan. BUMN yang amat besar bisa menoapai Rp300 juta Belum lagi termasuk Tantiem tahunan yang jumahnya miliaran bahkan ratusan miliar jumlahnya, tergantung Iaba perusahaan.

Pada jajaran birokrasi, gaji presiden tak lebih dari Rp60 juta per bulan, gubernur Rp8,7 juta dan bupati/ wali kota Rp6,2 juta. Sementara biaya kampanye yang dikeluarkan dipastikan hitungan milyar. Pernah saya menanyakan kepada salah seorang gubernur di salah satu Propinsi “kaya” Berapa uang keluar buat biaya kampanye? Dia mengangkat satu jari telunjuknya. Saya kaget. “Seratus miliar?” tanya saya menegaskan. Dia mengangguk. “Kenapa sebesar itu?” tanya saya. “Saya kan banyak partai yang mendukung Pak,” katanya. “Biaya kapal berlayar kan besar,” jawabnya. Saya manggut-manggut tanda paham. Belum lagi biaya alat peraga kampanye yang sangat masif.

Tapi saya tak berlarut Iarut membandingkan sistem gaji Birokrat. Dulu saya pernah menjadi bagian dari team yang merumuskan sistem penggajian yang adil dan proporsional di lingkungan pejabat negara dari pusat sampai daerah. Drafnya sudah selesai dan dianggap final. Tapi tak mudah untuk di tanda tangani pejabat berwenang karena ributnya pasti lama. Dan yang tanda tangan pasti akan di hujat berbulan bulan karena bisa di cap hanya memikirkan nasib pejabat, bukan nasib rakyat.

Tapi yang saya ingin bandingkan adalah honor penceramah yang memberi pencerahan dengan honor penghibur. Dua-dua nya menyentuh rasa dan jiwa. Penceramah adalah orang berilmu yang bermaksud membasuh qalbu agar menjadi qalbun Salim atau jiwa yang tenang dan menuntun jalan untuk “pulang” dengan husnul khatimah, meningkatkan ketaqwaan sebagai sesuatu yang sangat mendasar serta menyempurnakan iman bagi orang yang beriman agar hidup yang singkat ini berbuah manis dengar sorga yang abadi dalam kehidupan yang sebenarnya (akhirat). Sementara hiburan adalah hiburan. Hiburan adalah untuk kesenangan sesaat ketika lagu yang merdu itu didengar telinga dan dirasakan jiwa yang halus. Atau juga untuk memanjakan mata dari menikmati lenggang lenggok penyanyi yang di idolakan. Kadang tampilan itu membius dan menuntun pribadi hingga melupakan kesulitan hidup bagi yang kering atau menyempurnakan kenikmatan hidup bagi yang berpunya. Kebahagian ini jangan cepat berlalu. Katanya. Tapi kenikmatan itu hanya sesaat, tak mampu membuat batin tenang. Setelah penyanyi berlalu, persoalan hidup tak akan teratasi. Kegalauan muncul kembali bagi yang sedang galau.

Apalagi juga tak memberikan sumbangan apa-apa untuk kehidupan sesudah mati. Tapi itulah fakta yang kita jumpai. Rp100 juta bersih, buat artis populer, dan Rp500 ribu buat penceramah atau da’i, sudah termasuk biaya transportasi dll.

Saya tak bermaksud menyalahkan siapa-siapa. Dan saya juga tak bermaksud menyudutkan orang yang membayar mahal para artis. Itu hak mereka. Tapi saya sekedar bercerita bahwa itulah fenomena kehidupan kita. Kadang-kadang karena demikian kompleksitasnya persoalan hidup, membuat kita lupa bermuhasabah.
Kadang karena berjalan terlalu jauh dan hidup terlalu panjang, membuat kita lupa akan hakekat. Sehingga sesuatu yang sederhana kita hargai berlebih, sementara sesuatu yang penting dan bernilai tinggi kita abaikan. Saya bisa juga salah. Galibnya manusia.

Alahan Panjang 7 Maret 2022.

Dr. Gamawan Fauzi, SH. MM adalah menteri dalam negeri (2009-2014), gubernur Sumbar (2005-2009), bupati Solok (1995-2005),

My Masterpiece…

My first, My Masterpiece..

Sebuah tulisan lama, hasil perenungan 14 tahun semenjak bekerja di Bappenas akhir 1989 lalu. Diterbitkan pada 11 Januari 2003 lalu, persis ketika saya ultah ke-40, sekaligus sebagai kado ultah.Semoga berguna.

Aamiin yra.

PENATAAN KEMENTERIAN Pengisian Pejabat Bisa Lebih Cepat

JAKARTA, KOMPAS — Pengisian posisi lowong jabatan pimpinan yang masih terjadi di sejumlah kementerian, terutama yang mengalami perubahan nomenklatur, seharusnya bisa lebih cepat dilakukan tanpa harus mengabaikan sistem merit. Langkah ini perlu ditempuh agar semua program kementerian dapat segera dijalankan,

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Gabriel Lele, mengatakan, untuk posisi jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya atau pejabat eselon I, percepatan bisa dilakukan dengan mengintensifkan sidang tim penilai akhir (TPA) yang diketuai Presiden Joko Widodo. Sementara pengisian JPT pratama atau pejabat eselon II serta pejabat eselon III dan IV, percepatan bisa dilakukan dengan melaksanakan seleksi secara paralel. “Tak perlu menunggu pejabat eselon I terisi, baru kemudian eselon II dan seterusnya,” katanya, Selasa (12/5).

Pantauan Kompas, panitia seleksi (pansel) di sejumlah kementerian telah menyeleksi dan menyerahkan tiga calon dengan nilai terbaik untuk mengisi posisi satu JPT madya. Namun, penetapan calon terpilih harus menunggu TPA bersidang dan ini sangat bergantung pada tersedianya waktu Presiden.

Hal ini antara lain terjadi di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pada minggu ketiga April, pansel sudah menyerahkan 42 calon untuk mengisi 14 posisi JPT madya di kementerian itu. Namun, hingga saat ini, sidang TPA untuk menetapkan calon terpilih belum juga digelar.

Sekretaris Jenderal Kementerian Pariwisata Ukus Kuswara juga menyampaikan, hasil pansel jabatan untuk sembilan eselon I di kementerian itu sudah diserahkan kepada Presiden.

Hadi Daryanto yang menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan sebelum kementerian itu dilebur menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menambahkan, dari 13 posisi JPT madya, pansel telah menyelesaikan seleksi terbuka untuk delapan posisi sejak akhir April. Namun, pelantikan masih harus menanti keputusan sidang TPA.

Selain itu, di sejumlah kementerian, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pengisian pejabat dilakukan secara bertahap. Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Taufik Widjoyono mengatakan, setelah eselon I terisi, kini berproses untuk pengisian eselon II, selanjutnya eselon III, dan terakhir eselon IV. Diperkirakan seluruhnya tuntas bulan Juni.

Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Irham Dilmy mengatakan, saat ini sidang TPA digelar dua sampai tiga kali setiap bulan. Keputusan TPA di setiap sidang bisa untuk 8-22 posisi.

Menurut Irham, proses seleksi sulit lebih dipercepat. “Ini memilih pemimpin di pemerintahan untuk waktu yang lama. Jadi tidak bisa asal-asalan. Jika dipaksakan untuk lebih dipercepat, bisa jadi pejabat yang terpilih bukanlah pegawai yang terbaik di bidangnya,” ujarnya.

Irham menuturkan, proses seleksi saat ini sudah jauh lebih cepat setelah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengisian JPT pada Kementerian/Lembaga keluar. Seperti diketahui, Inpres membolehkan pengisian JPT selama 10 hari. Sebelumnya, proses pengisian JPT bisa memakan waktu hingga 10 minggu jika mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Kesulitan

Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy menyatakan, dirinya memahami kesulitan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menata kementerian. Dia bahkan menilai pemerintahan Jokowi-Kalla terbentuk dalam waktu yang tidak tepat. Pasalnya, di masa pemerintahan ini, UU No 5/214 harus diberlakukan. Masalah makin sulit karena adanya perubahan nomenklatur di sejumlah kementerian.

Akibatnya, banyak pejabat eselon I dan II yang berstatus pelaksana tugas. Padahal, pejabat eselon I dan II merupakan kuasa pengguna anggaran. Anggaran tak bisa cair tanpa ada persetujuan dari pejabat eselon I dan II. Sementara, pejabat berstatus pelaksana tugas tak berwenang menandatangani usulan pencairan anggaran. Ini yang mengakibatkan APBN tidak jalan-jalan. “Kondisi ini turut berkontribusi pada pelambatan ekonomi yang kini terjadi,” kata Lukman.

Menurut Lukman, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat pertumbuhan ekonomi melemah, Presiden selalu memerintahkan mencairkan APBN. Langkah ini diyakini dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.

Percepatan pengisian jabatan eselon I dan II, menurut Lukman, kini jadi solusi untuk mempercepat pencairan anggaran di APBN. Jika percepatan itu tak mungkin lagi dilakukan, pemerintah diharapkan membuat payung hukum agar pelaksana tugas eselon I dan II mendapat wewenang mencairkan anggaran. Payung hukum bisa berupa peraturan menteri sampai keputusan presiden.

Belajar dari masalah yang kini terjadi, Kepala Pusat Pembinaan Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara Anwar Sanusi berharap, ke depan, calon presiden/wakil presiden sudah memikirkan arsitektur kementerian berikut struktur organisasinya sebelum mereka dipilih. Dengan demikian, setelah dilantik, pemerintahan bisa langsung berjalan, tidak butuh waktu lama untuk menata organisasi.

(NTA/MED/APA)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/05/13/Pengisian-Pejabat-Bisa-Lebih-Cepat 

Aparat Birokrasi Belum Siap. Presiden: Regulasi Kepegawaian Terlalu Rumit

Kita doakan semoga ada jalan keluar.

JAKARTA, KOMPAS — Aparat birokrasi di sejumlah kementerian yang mengalami perubahan nomenklatur belum sepenuhnya siap menjalankan program pemerintah. Pasalnya, meski sebagian anggaran sudah cair, masih banyak jabatan pimpinan di kementerian itu yang lowong dan belum tuntasnya distribusi pegawai.

Situasi di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di Jakarta, Senin (11/5). Enam bulan sejak kementerian berdiri, sarana dan prasarana pendukung masih terbatas, jumlah pegawai juga masih minim, sehingga kementerian belum bisa bekerja maksimal.
KOMPAS/A PONCO ANGGOROSituasi di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di Jakarta, Senin (11/5). Enam bulan sejak kementerian berdiri, sarana dan prasarana pendukung masih terbatas, jumlah pegawai juga masih minim, sehingga kementerian belum bisa bekerja maksimal.

Jika tidak segera diatasi, kondisi itu dapat mengancam pelaksanaan program-program prioritas pemerintahan.

”Regulasi kepegawaian di pemerintahan kita terlalu rumit. Oleh sebab itu, ke depan, kita akan sederhanakan,” kata Presiden Joko Widodo di Papua, Senin (11/5), saat ditanya tentang masalah ini.

Kerumitan ini disebabkan penataan kelembagaan harus mengikuti regulasi kepegawaian. Sebagai contoh, untuk pengisian jabatan eselon I dan II harus melalui seleksi terbuka, sementara untuk eselon III dan IV lewat seleksi internal.

Kondisi tersebut, kata Presiden, membuat penyerapan anggaran yang seharusnya sudah dilakukan bulan April baru bisa dicairkan pada Mei atau Juni 2015. Ini menjadi salah satu faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi melambat.

Kepala Pusat Pembinaan Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara Anwar Sanusi mengatakan, pejabat eselon I dan eselon II berperan penting dalam pencairan anggaran proyek atau program. Hal itu disebabkan mereka berperan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) dan pejabat pembuat komitmen (PPK).

Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Irham Dilmy mengatakan, pengisian jabatan pimpinan tinggi (JPT), yaitu untuk eselon I dan II, sudah lebih cepat setelah keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengisian JPT pada kementerian/lembaga.

Dengan inpres yang ditandatangani pada 25 Februari 2015 tersebut, seleksi terbuka untuk pengisian JPT dapat dilakukan dalam waktu sepuluh hari.

Padahal, menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN dan RB) Nomor 13 Tahun 2014, pengisian JPT membutuhkan waktu sekitar 10 minggu. Aturan di Permen PAN dan RB ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. ”Kami perkirakan posisi JPT ini sudah terisi semua sebelum akhir Mei,” kata Irham.

Untuk pengisian pejabat eselon III dan IV, menurut Irham, tergantung setiap kementerian. Ini karena keputusan pejabat yang dilantik ada di tangan menteri.

Selain banyaknya jabatan pimpinan yang masih lowong, distribusi pegawai ke kementerian baru dan unit organisasi baru yang dibentuk setelah penataan organisasi di 11 kementerian yang mengalami perubahan nomenklatur juga belum tuntas.

Deputi Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PAN dan RB Setiawan Wangsaatmaja memperkirakan, proses distribusi pegawai membutuhkan waktu enam bulan. Ini karena kapabilitas pegawai yang dipindah ke tempat kerja baru setidaknya harus sama dengan tugas pokok dan fungsi tempat kerja baru itu.

Anwar Sanusi menambahkan, persoalan lain yang harus diatasi adalah mengonsolidasikan pegawai yang berasal dari beragam kementerian ke kementerian yang baru dibentuk. Pegawai butuh waktu untuk menyesuaikan dengan tugas pokok, fungsi, dan visi kementerian baru selain menyesuaikan kultur kerja di kementerian baru. ”Ini pekerjaan yang tidak mudah,” katanya.

Program strategis

Sejumlah pegawai menuturkan, masih kosongnya posisi pejabat eselon I dan II di lingkungan kerja mereka tak hanya menyebabkan anggaran belum bisa digunakan, tetapi juga menghambat penyusunan program kementerian. Pasalnya, jika sudah disusun, tidak tertutup kemungkinan program itu berbeda dengan kebijakan pimpinan sehingga harus diubah. Lagi pula, hanya pimpinan definitif yang bisa mengeluarkan kebijakan strategis di setiap unit organisasi.

”Biasanya setiap April kami sudah turun ke lapangan, melaksanakan rencana kerja kementerian. Sekarang, meskipun anggaran sudah cair, kami tetap belum bisa banyak bergerak karena pimpinannya belum ada,” kata salah satu pegawai di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menuturkan, pemilihan pejabat eselon I di kementeriannya oleh panitia seleksi yang dipimpin mantan Menteri LH Sarwono Kusumaatmadja telah selesai sejak akhir April 2015. ”Sekarang sedang dikumpulkan info tambahan dan akan segera naik ke Presiden,” katanya.

Adapun pengisian pejabat eselon II di Kementerian LHK dalam tahap penilaian untuk kemudian diseleksi panitia seleksi (pansel).

Sekretaris Jenderal Kementerian Pariwisata Ukus Kuswara mengatakan, hasil pansel jabatan untuk eselon I sudah diserahkan kepada Presiden. Sementara di tingkat eselon II, panitia seleksi telah menyerahkan hasilnya kepada Menteri Pariwisata.

Di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dan Transmigrasi, pengisian posisi 14 pejabat eselon I sedang menanti proses di tim penilai akhir (TPA) yang dipimpin Presiden. Sementara itu, 54 pejabat eselon II menurut rencana dilantik hari ini.

Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi Muhammad Nurdin mengatakan, pengisian JPT di kementeriannya dilakukan dengan cepat karena anggaran mulai cair. ”Setidaknya sebelum akhir Mei, semua posisi itu sudah terisi,” katanya.

Sekjen Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Taufik Widjoyono mengatakan, proses pemilihan pejabat untuk eselon II dan III diupayakan selesai bulan ini. Pejabat eselon I telah dilantik awal Mei lalu. ”Sesuai ketentuan, calon untuk eselon II dapat dari internal Kementerian PUPR, tapi tetap lewat pansel,” katanya.

Kepala Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian Tenaga Kerja Suhartono menuturkan, proses seleksi di kementeriannya diharapkan dapat segera dilakukan agar program-program yang membutuhkan keberadaan penanggung jawab kegiatan dapat segera berjalan.

Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) Kemnaker di tahun 2015 sebesar Rp 4,2 triliun. Akibat proses pengisian jabatan belum rampung, penyerapan anggaran hingga saat ini masih kurang dari 10 persen dari total DIPA tersebut.

Suhartono mengatakan, program yang sudah dapat dijalankan adalah untuk kegiatan operasional, misalnya kegiatan terkait pemeliharaan gedung. ”Sementara yang tertunda antara lain program teknis pelatihan, pengisian kelengkapan balai latihan kerja, dan program pengembangan kewirausahaan,” ujarnya.

Menurut Suhartono, saat ini tengah dicari kemungkinan percepatan dengan menunjuk KPA pada program-program teknis yang mendesak segera dikerjakan jika proses pengisian jabatan tersebut berlangsung terlalu lama. ”Kami masih mencari kemungkinan untuk menunjuk penanggung jawab kegiatan sebelum ada pelantikan,” ujarnya.

Pegawai

Selain pengisian jabatan, masalah juga terjadi dalam pengisian pegawai. Hal ini terutama terjadi di kementerian baru seperti Kementerian Koordinator Kemaritiman. Dari kebutuhan 200 pegawai, kini kementerian itu baru memiliki 42 pegawai.

Sekretaris Kemenko Kemaritiman Asep Muhammad menuturkan, kementeriannya kesulitan mengajak pegawai dari instansi pemerintah lain untuk pindah ke kementeriannya. Ini karena belum adanya tunjangan kinerja bagi pegawai di kementerian baru. ”Kondisi ini membuat kami belum bisa berjalan maksimal,” kata Asep.(NAD/MED/CAS/ONG/ICH/DNE/ARN/HAR/APA)

Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150512kompas/#/1/

Hukum, Pancasila, dan Pekerti Bangsa

Sebuah artikel saya di Kompasiana.

Sering kita dengar semua sama dihadapan hukum. Juga kita maklumi bahwa lain padang lain pula ilalang. Karena itu bagi sebagian orang yang sudah terbiasa dengan dunia persidangan di sebuah pengadilan, tentulah terbiasa pula melihat tata cara persidangan. Termasuk mendengarkan penggunaan kata “Saudara” kepada para saksi atau terdakwa atau tersangka di dalam sebuah kasus yang sedang di sidang. Kata Saudara dipakaikan kepada semua saksi atau tersangka itu tanpa batas dan pengecualian termasuk kepada orang tua sekalipun.

Hal ini terjadi juga ketika Bp, Budiono yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia harus memberikan kesaksiannya dalam kasus yang membelit salah seorang stafnya di pengadilan Tipikor hari Jumat 9 Mei 2014 kemarin.

Meski hanya menontonnya selintas saja, saya dapat memahami apa yang terjadi ketika seorang jaksa, atau hakim yang jauh lebih muda harus memanggil Pak Budiono dengan sebutan hanya “Saudara”. Anak2 yang jauh lebih muda dengan enteng memanggil “Saudara”, sebaliknya pak Bud (demikian kita memanggilnya) dengan ikhlas dan lancar juga memanggil anak2 muda tadi dengan sebutan “Yang Mulia!”.

Sebenarnya tidak ada yang salah memang.Namun sebagai orang timur dan Bangsa yang berbudaya, rasa jengah saya terpancing. Apalagi sebagian dari jaksa dan hakim atau perangkat pengadilan tersebut juga tanpa ragu terkadang memanggil dengan sebutan Bapak, yang jauh lebih enak di dengar. Mungkin di dalam hati mereka juga timbul kebimbangan antara dengan lantang memanggil “Saudara” atau dengan sopan memanggil saksi dengan sapaan yang baik, “Bapak”.

Kita mengetahui bahwa produk hukum kita memang banyak yang diambil atau diturunkan dari hukum Belanda atau negara2 di Eropah yang memang menjadi panutan di bidang hukum sejak zaman kolonial. Sudah selayaknya lah kita bertanya kembali ke diri sendiri, apakah tidak mungkin nilai2 Pancasila yang menjunjung tinggi rasa saling menghormati juga bisa di aplikasikan dalam pengembangan hukum di Indonesia. Misalkan dengan mengganti istilah “Saudara” dalam persidangan tadi dengan “Bapak” atau “Ibu” ketika harus berkomunikasi dengan seorang bapak atau ibu, apalagi yang memang usianya jauh di atas penanya.

Tidaklah mudah membohongi hati kita sendiri dalam keseharian. Mengatakan sesuatu yang tidak sejalan dengan hati terkadang bisa menjadi siksaan dan mengganggu konsentrasi. Meski lama-lama terbiasa, secara pekerti dan sopan santun dalam suatu bangsa yang ingin menjadi bangsa besar di dunia, maka rasanya hal ini mungkin perlu mendapat perhatian. Tidakkah mungkin mereformasi penggunaan panggilan ini di dalam tata cara persidangan atau aturan hukum kita. Bukankah sudah saatnya kita memperbaiki hal-hal yag memang harus kita tinggalkan karena mungkin sudah tidak sesuai dengan zaman atau juga karena tidak sejalan dengan kepatutan, bahkan nurani sendiri.

Saya bukan ahli hukum. Pasti banyak yang berdalih, memang sudah demikian aturannya, tetapi saya juga menyaksikan banyak hakim atau jaksa yang lain justru menggunakan panggilan “Bapak” kepada wapres kita ini kemaren. Jadi mestinya tidaklah harus menjadi kartu mati kita harus menggunakan sapaan “Saudara” kepada saksi yang nota bene tidak harus jadi tersangka, atau bahkan ketika pengadilan justru membutuhkan kesaksian mereka untuk membantu persidangan.

Reformasi adalah memperbaiki yang rusak atau salah, meneruskan yang sudah baik, namun juga menyelaraskan segala sesuatu dengan nurani! Semoga ada perbaikan dimasa mendatang, sekecil apapun, sangatlah berarti buat bangsa dan generasi baru. Bukan hanya mempertahankan dengan mata dan hati yang tertutup karena sesuatu sudah menjadi kebiasaan. Semoga reformasi memang bisa merekah di negeri ini, bukan hanya slogan semata.

Foto Courtesy of Metro TV dan Youtube.

SAJAK SEBATANG LISONG (ws rendra)

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka.

Matahari terbit
Fajar tiba
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa danau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………….

Menghisap udara
yang disemprot deodoran,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan.

Dan di langit;
para teknokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam
terhimpit dibawah tilam

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi disampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
……………………..

..

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kia sendiri harus merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku.
Pamplet masa darurat.
apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

Otokritik: Tentang Panik Itu..

…..Beginilah nasib bangsa jika birokrasi yang memang di seluruh dunia diperlukan untuk mengatur kehidupan kenegaraan, justru diperlakukan dengan sikap munafik. Di pandang sebelah mata. Apakah mungkin berbagai data akurat akan bisa didapat ketika para pejabatnya sendiri sedang libur panjang? Dan justru hasil sesaat ini sekarang menjadi trend untuk digunakan dalam proses pengambilan berbagai keputusan penting. Al hasil, seperti kata salah seorang teman saya di facebook nya, “pemerintah panik karena keseringan menyatakan jangan panik dan tidak perlu panik.”….

…selengkapnya.