Presiden
Emha Ainun Nadjib
Presiden kita berikutnya jangan asal presiden.
Rakyatlah yang harus mencari pemimpin bukan menunggu orang-orang yang
menyodorkan diri untuk menjadi pemimpin.
- Rakyat adalah pemegang kedaulatan. Mari kita
belajar untuk tidak meneruskan tradisi kelalaian: membiarkan diri dipimpin
”pemimpin setoran” perusahaan bernama partai politik. Parpol tidak perlu
pemimpin sejati. Ekspektasi parpol adalah laba sehingga dipilihlah pemimpin
yang paling menguntungkan perusahaannya.
Kalau konstitusi dan undang-undang tidak
memungkinkan rakyat mencari pemimpin, berarti undang-undang dibuat tanpa
kejernihan ilmu, kejujuran demokrasi, dan kecintaan kepada rakyat.
Saya tidak percaya bangsa Indonesia hobi
masuk ranjau sehingga menjalani sejarah dengan gairah sakit jiwa mencari
ranjau-ranjau baru. Apakah penderitaan dan ketertindasan sudah menjadi narkoba
psikologi dan budaya kita?
Mari melipatgandakan kriteria dibanding
presiden-presiden sebelumnya. Ini negara besar dan kaya raya, tetapi dikelola
dengan kesembronoan melampaui batas. Ini kepulauan raksasa dengan
manusia-manusia spesifik dan multitalenta, tetapi di titik nadir
ketidakpercayaan diri. Ini garuda yang mabuk jadi emprit.
Calon pemimpin tidak sekadar diuji integritas,
kredibilitas, dan kematangan profesionalnya. Ia harus punya visi dan berani
mengambil risiko pribadi untuk keperluan rakyat.
Secara nalar, presiden dan pemerintah berani
tidak makan sebelum rakyatnya kenyang. Ibarat kepala keluarga, saat kenduri ia
makan terakhir. Kalau kebakaran, anggota keluarga ia selamatkan dulu. Ia siap
jadi orang paling sedih.
Secara agama presiden adalah orang yang paling
berat hatinya melihat penderitaan rakyat dan tidak cengeng atas penderitaannya
sendiri. Kalau malaikat mendadak mencabut nyawanya, presiden merintih,
”Rakyatku, rakyatku….” Bukan ”Ibu…”, ”Istriku…”, atau ”Anakku….”Hamba dengan Tuhan
Adab sosial Bangsa Jawa menemukan idiom
manunggaling kawula lan Gusti. Menyatunya hamba dengan Tuhan.
Bukan berarti hamba adalah rakyat, Presiden
adalah Tuhan. Itu pemahaman manipulatif kekuasaan politik. Dalam demokrasi
Tanah Air dan lembaga negara adalah hak milik rakyat. Presiden pada posisi
dimandati, dipinjami sebagian kedaulatan dalam batas ruang dan waktu tertentu.
Maka tafsir feodal ”menyatunya hamba dengan Tuhan” tidak bisa dipinjam untuk
mengabsolutkan kekuasaan.
Mungkin sebagian raja masa lalu memperdaya rakyat
dengan penafsiran rakyat adalah ”kawula” dan raja adalah ”Gusti”. Namun, sejak
Sunan Kalijaga pada abad ke-14 hingga ke-16 menginovasikan kehadiran Semar
dalam peta kekuasaan raja-raja lewat wayang, struktur hubungan vertikal
hamba-Gusti rakyat-raja menjadi relatif.
Semar adalah rakyat biasa. Lengkapnya Ki Lurah
Semar Badranaya, tinggal di dusun Karang Kedempel. Pada saat yang sama ia
adalah Panembahan Ismaya, dewa senior berposisi sangat tinggi, di atas Batara
Guru yang jadi presiden Jagat Raya. Di atas Semar adalah Sang Hyang Widhi
(istilah Arabnya ”Ilahi”) atau Sang Hyang Wenang (”Robbi”), atau Tuhan.
Kehadiran Semar melengkungkan struktur kedaulatan
vertikal menjadi bulatan. Semar ada di titik tertinggi di bawah Tuhan,
sekaligus di titik terendah bersama rakyat. Dua titik itu satu sehingga garis
lurus vertikal jadi bulatan. Inilah indahnya desain demokrasi Sunan Kalijaga.
Maka dalam diri seorang presiden, kawula dengan
”Gusti” itu manunggal. Di dalam entitas tugas kepresidenan, rakyat dengan Tuhan
menyatu. Kalau Presiden menindas rakyat, Tuhan sakit hati. Kalau Presiden
mengkhianati Tuhan, rakyat turut tertimpa kehancuran.
Isi kepala presiden adalah upaya menyejahterakan
rakyat. Isi dadanya adalah ”rasa bersalah” karena belum maksimal bekerja, serta
”kerendahan hati” kepada Tuhan dan rakyatnya.
Maka sejak semula ia tidak menawar-nawarkan diri,
memasang gambar wajahnya di sepanjang jalan, menyatakan ”aku yang baik”. Kata
tukang becak di Yogyakarta: Bisa rumangsa, ora
rumangsa bisa: sanggup merasa tak mampu, bukan mampu merasa ”bisa”. Rakyat yang
menilai apakah presiden bisa atau ber-bisa.
Sebenarnya mengherankan melihat orang Jawa
kehilangan kearifan lokalnya dan terseret model aplikasi tipu-daya demokrasi
untuk memilih pemimpin.
Seluruh cara mencalonkan diri—entah menjadi
presiden atau lurah—sangat menunjukkan bahwa mereka ”rumangsa bisa”. Ini
membuat semua orang yang berkualitas ”bisa rumangsa” minggir dari politik.
Dengan demikian, hampir mustahil rakyat akan memperoleh pemimpin dambaan dari
antara para pemamer wajah yang bermutu ”rumangsa bisa”.
Di masjid dan mushala mana pun tidak ada orang
bodoh tak tahu diri yang berteriak, ”Ayo berbaris makmum, saya yang paling
pantas menjadi imam shalat”.
Dalam kehidupan manusia yang berakal, pemimpin
lahir dari apresiasi rakyatnya. Rakyat pulalah yang mendaulatnya menjadi
pemimpin. Presiden kita haruslah orang yang mengerti dan mengerti bahwa ia
mengerti, tahu tentang banyak hal, dan ada sesuatu yang seseorang ataupun
masyarakat belum tahu. Tugasnya sebagai presiden adalah mencari tahu. Ia
berdiri paling depan menembus kegelapan untuk menemukan cahaya.Keluasan hati
Presiden menjadi presiden karena ia punya
kesanggupan akal, stamina mental, keluasan hati, kesabaran rohani, dan
kekompakan frekuensi dengan seluruh unsur jagat raya untuk membawa ”oleh-oleh”
buat rakyatnya sesuatu yang rakyat belum tahu. Untuk Indonesia yang hancur lebur
sekarang ini, presiden wajib berani mati.
Presiden adalah pengambil keputusan pertama dan
utama untuk melangkahkan kaki menapaki kegelapan. Sebab, manusia itu hidup dulu
baru mengerti, bukan mengerti dulu baru hidup.
Ya. Masa depan itu gelap. ”Aku”, kata Tuhan, ”memperjalankan
hamba-hambaKu menembus kegelapan malam hari”. Hidup adalah malam hari karena
”sekarang” sesungguhnya tak ada. Tatkala engkau berada di ”se”, tiba-tiba sudah
”ka”. Tatkala engkau tiba di ”ka”, ”se” sudah masa silam yang ”tiada”,
sementara ”rang” adalah masa depan yang engkau tak tahu.
Jika engkau melembut, waktu tampak olehmu. Jika
engkau meregang, ketidak-terbatasan ruang tak terjangkau olehmu. Maka kuda-kuda
terbaik adalah kerendahan hati. Itulah ”kesadaran debu”.
Tak bisa kau tempuh gelapnya ”rang” dengan modal
”merasa bisa”. Hari siang pun gelap. Sebab, matahari bukan benar-benar
bercahaya. Ia hanya mengantarkan kesadaran tentang cahaya. Orang menanam tak
tahu panennya, orang berjualan tak tahu berapa calon pembelinya. Orang lahir
tak tahu matinya.
Mungkin itu sebabnya Tuhan menuntun melalui salah
satu sifat-Nya: Kalau mau jadi presiden, pertama sekali kamu harus ”mempelajari
kegaiban dan menyaksikannya”. ’Alimul-ghaibi was-syahadah.’ Kognitif dan
empiris. Kegaiban yang paling utama adalah rahasia hati rakyatmu. Di situlah
sesungguhnya cahaya itu berada.
Filed under: politics | Leave a comment »