Mandala, Garuda, dan “At Cost”

……Berbeda kondisinya dengan tiga tahun lalu, persisnya ketika aturan at cost belum diberlakukan. PNS yang bertugas masih dapat memanfaatkan tiket murah dari Mandala, Lion air, Adam air, dan lain-lain dengan harga yang bervariasi dari 30 hingga 80 % harga tiket Garuda. Sisa dana masih bisa dikantongi untuk tambahan belanja makan serta oleh-oleh yang dapat menggerakkan sektor riil. Memang demikian kejadiannya, sehingga penerbangan selain Garuda masih dapat kecipratan “seat” yang lumayan untuk keberlangsungan usaha mereka…..

Selengkapnya

Tabel Remunerasi Depkeu (sejak 2007)

Tabel Remunerasi Depkeu « Remunerasi PNS-p

Bola, Garuda dan Media.

Ketika masih konsentrasi melaksanakan ibadah haji di tanah suci pada minggu pertama desember ini, saya menerima dan akhirnya membaca sebuah SMS yang dikirim seorang teman. Isinya memberitakan kabar gembira tentang rentetan kemenangan timnas PSSI dalam sebuah turnamen. Belakangan saya tahu itu turnamen AFF yang pada hari ini 26 des melaksanakan first leg pertama. SMS itu begitu lengkap dengan rentetan score sebelumnya.

Sewaktu menelpon ke tanah air, tidak luput anak saya yang paling kecilpun mengumbar kegembiraan nya akan prestasi timnas sepak bola kita. Terus terang waktu itu saya tidak tertarik dan merasa ada yng janggal. Masak iya? pasti ada yang salah. Pasti Thailand mengirimkan tim KW3 nya, kalau Indonesia bisa lolos, atau tim Singapore juga lagi apes.

Ketidakpercayaan saya itu semakin terbukti ketika pulang kembali ke tanah air. Menginjakkan kaki kembali di tanah air sendiri pada 20 des lalu,  merasakan aroma kejanggalan itu ketika hampir seluruh media tv telah “menyulap” opini. Ketika orang-orang berpesta luar biasa setelah baru saja berhasil menang melawan Philipines yang terus terang baru saja bisa main bola. Kegetiran saya makin bertambah, ketika berbagai pihak menarik timnas kesana dan kesini. Bahkan, astagafirullah,…ada istighozah segala. Juga ada jamuan makan malam dari salah satu ketua partai besar. Untung saja pelatih Riedl yang orang asing itu mampu menolak tawaran Menpora untuk menghadiri dinner yang hanya tinggal satu malam sebelum hari pertandingan. Tidak kurang managerpun membujuk pelatih, bukannya mendorong pelatih dan berdiri dibelakang pelatiih. sungguh sukar dipercaya.

Bangsa yang telah ketinggalan dalam banyak hal, masih bisa dengan cepat menyulap kesadaran dirinya dengan tetap mengambil jalan pintas. Bahkan seorang pemain asingpun di naturalisasi, dan berbagai jalan pintas lainnnya menyulap kesadaran orang lain, termasuk kesadaran mereka sendiri.

Bahwa kita tidak mustahil mempunyai kesebelasan yang hebat, jelas itu sudah pernah terbukti di bbrpa puluh tahun silam. Ketika bakat2 alami pemain kita diasah dengan baik oleh Toni Poganik dan Wiel Cover, yang asal Yugo dan Belanda itu. Namun kali ini, sungguh mustahil rasanya punya pemain hebat dengan kondisi yang ada saat ini. Pelaksanaan naturalisasi pemain asing mestinya dilihat sebagai kegagalan nasional mencari dan membina pemain berbakat, bukan sebaliknya malah dipuja-puja setinggi langit. Kita tidak anti itu, tapi tidak terlihat satupun kesadaran akan kegagalan pembinaan.

Bertahannya mantan narapidana memimpin PSSI jelas itu suatu “kemaluan” besar akan kegagalan organinsasi dan management PSSI, apa lagi kalau dilihat masih bertahannya bung NB menjadi Sekjen PSSI yang telah didudukinya sejak saya masih di bangku sekolah menengah dulu. Bukti nyata bahwa tidak ada reorganisasi dan transfer of leadership di PSSI.

Lalu mengapa berjuta orang terkesima? Media! media telah berhasil memainkan perannya yang “agak keliru” ketika membuat liputan2 semu tentang kemajuan timnas di AFF. Saya tidak mengikuti pertandingan demi pertanding sebelum final di BUkit Jalil. Namun saya sangat yakin, tim kita masih harus dibenahi terutama mental dan keterpaduan. Kita memang beruntung, ada kompetisi berputar meski sering dibarengi dengan tawuran. Kompetisi melahirkan pemain2 handal, namun tidaklah mudah memadukan mereka menjadi satu tim nasional yang memang kuat dan padu dalam waktu yang singkat.

Alhasil, memasuki laga final di bukit jalil malam ini, saya tidak kuasa menahan rasa pesimis dan prihatin bahwa kita akan kalah. Kalah dalam banyak hal. Pemain direcoki olah banyak pemberitaan maupun interview. Berbagai acara tv dan diskusi diisi oleh berbagai hal yang dikaitkan dengan timnas atau pemain. Sanjungan dan campur tangan politik terasa kental yang nyata-nyata mengabaikan tujuan untuk meraih kemenangan. Bahkan bbrp pemain intipun menikmatik diwawancarai ketika di atas pesawat.

Garuda? apa pula ini. Ada lagu “Garuda di dadaku” yang musiknya jelas2 mengambil irama lagu “Apuse” dari Irian jaya dulu yang kemudian di sulap menjadi semacam yel-yel. Kuranga ajar dan kurang kreatif banget ini. Mengapa tidak diciptakan saja lagu khusus? Mengapa tidak ada malu lagi hanya memoles2 lagu daerah atau lagu tertentu. Mungkin ini meniru lagu2 daerah yang disulap ketika seorang capres memenangkan pemilu. Mengapa kita tidak punya malu lagi dan meneruskan saja segala sesuatu itu sebagai penerimaan yang dipasrahkan saja. Tidak ada daya kritis disini. Semua ikut arus, semua ikut orang banyak, tanpa peduli pada kebenaran dan kepatutan.

Lalu kalau kondisinya sudah begini, apa yang bisa diharapkan di Bukit Jalil malam tadi? jelas tidak bisa banyak yang diharapkan. Ketika pemain disanjung berlebihan, ketika kekurangan tidak diperhatikan dan diabaikan, ketika itu pula kemenangan akan lepas dari genggaman.

3-0. tidak tanggung-tanggung. Itulah bukti. kita memang kalah segala-galanya. kalah gizi dan kalah IQ. Jelas bola mengalir pelan, tapi malah membiarkannya tanpa di buang lugas. Malah menghalang2i lawan. Malapetaka gol demi gol dimulai dengan dibiarkannya bola yang mengalir pelan itu bermain di atas garis di samping gawang sendiri. Alih2 dibuang dengan lugas, malah mendorong pemain lawan yang sudah menyiapkan diri untuk trick2 yang sering terjadi di berbagai liga. Laser tidak untuk jadi alasan. Konsentrasi kita memang payah dan pecah oleh ulah kiper yang terlalu mencari perlindungan dan semestinya bisa lebih PD. Jelas kiper kita yang cukup bagus itu merusak rasa PD nya sendiri.

Nasi sudah menjadi bubur. Malaysia yang bermain cukup baik telah memberikan pelajaran berharga. Jika kita memang hebat, maka semua pihak hendaklah membuktikan dukungan itu. Masih ada harapan meski berat mengejar ketinggalan tiga gol. Pelajaran lain yang harus dipetik adalah, kita sebagai bangsa memang sudah semakin tertinggal dan rusak. BUkan hanya di sepakbola. Namun rusaknya berjalan perlahan dan bertahap di dalam berbagai lini kehidupan.

Memperbaikinya bukanlah persoalan gampang dan bisa dengan jalan pintas. Seperti sepakbola telah membuktikan itu. Semoga saja terjadi keajaiban di GBK, ah atau jangan2 GBK dinilai sudah tidak layak, karena hari ini, siang tadi juga telah dirusak oleh orang2 rusak yang tega merusak pagar masuk lapangan, karena hati mereka juga dirusak oleh pengurus PSSI yang telah rusak2 itu karena sistem penjualan tiket yang benar2 merusak hati mereka. Ah disinilah rusaknya bangsaku!

Namun, hatiku masih kusediakan untuk berdoa agar kita mendapat keajaiban di leg kedua nanti. Kalau itu terjadi, bersyukurlah bangsaku dan segeralah berbenah dengan sistematis, bukan jalan pintas. Semoga!

Sawangan, 26 dec.