Jenjang Karier Dosen oleh ELISABETH RUKMINI

KOmpas 29 April 2015

Lebih dari dua tahun lalu saya menulis “Rumitnya Jenjang Karier Dosen” (Kompas, 16/2/2013). Kali ini saya menulis demikian rumitnya jenjang karier dosen oleh tambahan peraturan dari pemerintah.

Peraturan itu ironis dengan fakta bahwa penyelenggara pendidikan tinggi terus mengeluhkan betapa sulit merekrut dosen. Karier dosen bukan pilihan terbaik lulusan S-1 hingga S-3 kita, apalagi jika mereka tahu jenjang karier dosen amat rumit.

Saya mengikuti beberapa pertemuan terkait sumber daya dosen di tingkat nasional. Pertemuan terakhir bersangkutan secara khusus dengan dosen Fakultas Kedokteran. Sungguh sulit merekrut dokter jadi dosen, apalagi, setelah direkrut, lebih sulit lagi membina dan mempertahankan dosen. Mengapa jenjang jabatan akademik dosen perlu diperumit lagi? Tulisan Rhenald Kasali (Kompas, 15/9/2014) yang disanggah Erry Yulian Triblas Adesta (Kompas, 2/12/2014) menunjukkan kegelisahan apa benar “harga dosen naik?”.

Tulisan ini menyumbang saran bagaimana mungkin menaikkan harga dosen jika penilaian atas kualitas dosen demikian kaku dari pemerintah, yang mengatur jenjang karier dosen? Apakah perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) akan memperebutkan dosen yang “hanya” asisten ahli? Berapakah “harga dosen” lektor kepala, sementara karena kakunya peraturan, lektor kepala saat ini harus doktor? Cukup berhargakah dosen muda yang belum S-2/S-3 dan hanya menunjukkan potensi publikasi?

Segera pula teringat isu tentang otonomi perguruan tinggi sebagaimana terus didengungkan Satryo Soemantri Brodjonegoro (terakhir: Kompas, 9/3/2015), termasuk tulisan para pakar pendidikan tinggi yang pro otonomi pendidikan tinggi dalam beragam aspek. Benarkah langkah pemerintah jadi penentu hingga juklak perhitungan teknis dan aturan kaku menilai karier dosen sehingga dosen di mana pun berada dengan sifat institusi sangat heterogen dinilai dengan cara seragam? Demikian besarkah kekuatan aturan pemerintah menentukan jenjang karier dosen secara sama rata?

Perhitungan teknis

Awal November 2014 ada perubahan pada perhitungan teknis beban kredit untuk publikasi ilmiah internasional dengan perhitungan kredit demikian kaku. Sebelumnya, publikasi internasional dapat memiliki poin maksimal 40, kini dibuat tiga kategori: maksimal 40 poin, maksimal 30 poin, dan maksimal 20 poin. Kelas pertama untuk artikel yang terbit dalam jurnal ilmiah internasional dengan impact factor dan terindeks Scopus atau ISI; kelas kedua untuk yang tak memiliki impact factor, tetapi terindeks di Scopus atau ISI; kelas ketiga untuk yang terindeks “hanya” di Directory of Open Access Journal (DOAJ), Google Scholar, dan Copernicus.

Dalam kerumitan ini terkandung sedikitnya empat kekurangpahaman.Benarkah dosen kita mayoritas telah mampu atau dimampukan meneliti dan publikasi? Cukup dipahamikah makna terindeks oleh lembaga berbayar indeks? Dengan begitu rumitnya jenjang karier ini, bagaimana dunia pendidikan tinggi melakukan rekrutmen (naikkah harga dosen?)? Jika remunerasi bagi dosen masih dipandang tak menarik, apalagi dengan kerumitan jenjang karier, apakah yang dapat dijanjikan dunia pendidikan tinggi merekrut dosen baru (apalagi calon dosen berkualitas)?

Bahwa harga dosen naik dan jadi rebutan tentu akan benar bagi dosen berkualitas dan memenuhi tri dharma dengan mumpuni. Berapa persen yang demikian? Sementara, lembaga yang membesarkan dosen itu hingga mumpuni dapat ditinggalkan dan sah saja dalam dunia profesional. Pertanyaannya, bagaimana PT baru, PTS, PTN relatif berukuran sedang dan kecil dapat bersaing atau dapat mempertahankan para dosennya?

Tulisan ini hanya membahas masalah pertama. Perlu diakui, dosen di negeri ini amat heterogen. Ribuan alasan jadi dosen. Heterogenitas bukan saja personal, juga institusional. Jenjang PT terbagi secara institusional berdasarkan kepemilikan (PTN dan PTS) serta jenjang studi yang ditawarkan (D-1 hingga S-3). Heterogenitas termasuk juga penghargaan atas tersebarnya PTN dan PTS dari Sabang hingga Merauke. Lokasi menentukan warna karier dosen.

Keheterogenan juga berimbas pada karya ilmiah yang paling mungkin dihasilkan dosen pada keadaan tertentu. Jumlah publikasi berbanding positif dengan ragam prodi dan jenjangnya. Riset mengenai ini sudah banyak dilakukan para ahli manajemen pendidikan tinggi di dunia. Dapat ditengarai, PT berprodi S-2 dan S-3, para dosennya “diuntungkan” dengan ketersediaan sumber daya yang dapat bekerja sama untuk penelitian dan penulisan ilmiah demi kepentingan mutualisme akademik.

PT dengan prodi S-1 tentu masih dapat bekerja sama dengan produk penulisan ilmiah yang dapat saja terserap sebagai tulisan di jurnal internasional, tetapi dengan kemungkinan lebih kecil dibandingkan PT jenis pertama. Bagaimana dengan PT yang jenjang prodinya D-1 hingga D-3? Bagaimana dengan PT yang terletak di kepulauan dengan akses terbatas untuk publikasi ilmiah?

Sulit diseragamkan

Jelaslah, jenjang karier dosen atas nama heterogenitas amat sulit diseragamkan. Idiom “sejarah ditulis pemenang” agaknya menemukan pembenarannya pada aturan seragam jenjang karier dosen ini. Pemenangnya adalah institusi dengan umur cukup senior, memiliki sumber dana cukup untuk mayoritas dosennya melakukan penelitian dan publikasi, memiliki jenjang prodi sedikitnya S-1 dan terutama S-2 dan S-3, memiliki berbagai fakultas: ilmu sosial, IPA, terapan, serta studi komprehensif, memiliki pusat studi, jejaring nasional dan internasional.

Tak terlalu sulit memahami kebalikan dari semua sifat itu adalah ketakberdayaan dosen berkarier lebih cepat dan berkualitas, apalagi dengan peraturan sedemikian kaku dari pemerintah. Imbasnya, institusi yang tak memiliki sifat itu, atau mayoritas dari sifat tersebut, ditengarai tersendat. Apa yang harus dilakukan? Tentu telah ada upaya pemerintah mengangkat PT yang butuh asuhan. Bimbingan disediakan dalam rupa pertukaran dosen atau pakar dari PT lebih maju ke PT perlu bimbingan. Rekrutmen dosen PTN di beberapa tempat juga diberikan kuota lebih daripada di tempat yang sudah maju. Kopertis disediakan untuk membina PTS.

Langkah itu perlu dihargai. Meski demikian, jika aturan dibuat sangat kaku dan seragam (termasuk untuk pihak tak berdaya), memberdayakan yang kurang berdaya saja tak cukup. Asuhan perlu diberikan dalam kerangka kebijakan. Bantuan adalah kebijakan yang berbeda pada tenggat tertentu. Namun, jika hal ini dibuat, betapa banyak peraturan harus dimunculkan pemerintah karena heterogenitas tadi. Alternatif solusinya: beri ruang-waktu bagi PT yang perlu dibina dengan peraturan yang dibuat PT itu dengan pendampingan  pemerintah.

Alternatif lain, pemerintah menghapus kekakuan peraturan baru itu. Sebagai imbal bagi prestasi dosen yang bisa melebihi aturan, beri penghargaan untuk dosen dan institusi yang memenuhi kriteria terbaik. Dengan alternatif ini, pemerintah dapat memfokuskan peraturan yang membela banyak khalayakcivitas academica Indonesia (yang heterogen), sekaligus memfokuskan usaha memberdayakan institusi dan dosen yang perlu pembinaan. Tentu tak luput memberi pacuan kepada institusi dan dosen yang sudah terbina, sudah maju, untuk lebih maju. Peran ini lebih sederhana. Jelas lebih memberikan otonomi ke penyelenggara PT, tetapi juga memberi kesempatan pemerintah menjalankan fungsi monev.

Dalam pertemuan rapat koordinasi PTS, Direktur Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti Hermawan Kresno Dipojono mengandaikan tekad untuk orientasi pada riset 2045 dapat tercapai jika tahun ini tekad itu jadi histeria massa ristek, terutama para pihak terkait civitas academica pendidikan tinggi. Sudah saatnya pemerintah ambil peran lebih bijak, bukan pada produk kaku yang menghambat kemajuan pihak tak berdaya. Pemerintah adalah pembela dan pemberdaya bangsa Indonesia, termasuk civitas academica perguruan tinggi.

ELISABETH RUKMINIPENGAJAR DI UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA

SUmber: http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150429kompas/#/9/

Kisah Seorang Pemberontak yang Sial

Sejarah ditulis oleh para pemenang. Pahlawan atau penjahat bergantung pada siapa yang menjadi pemenang. Dalam sejarah nasional kita, ada sejumlah tokoh kontroversial yang dianggap pengkhianat, tetapi sekaligus dikagumi diam-diam dan memiliki banyak pengikut. Salah satunya adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905- 1962).

Sepenggal kisah hidup imam besar Darul Islam yang berupaya mendirikan sebuah negara teokrasi di Indonesia itu menjadi sorotan dalam buku puisi terbaru Triyanto Triwikromo, Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015). Buku ini merupakan sebuah buku puisi utuh dengan satu kesatuan tema dan kisahan, bukan kumpulan sejumlah puisi dengan beragam tema seperti umumnya kumpulan puisi yang beredar dalam khazanah sastra kita. Ada 52 puisi di dalamnya yang berkisah tentang episode akhir kehidupan Kartosoewirjo sejak ditangkap oleh pasukan pemerintah pada 4 Juni 1962 di lereng Gunung Geber, Kabupaten Bandung, hingga saat eksekusi mati di Pulau Ubi, Jakarta, 4 September 1962.

Karno dan Karto: kawan atau lawan?

Sesungguhnya, pada mulanya Kartosoewirjo adalah kawan seperjuangan, bahkan teman serumah bagi Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia. Keduanya adalah murid salah satu pelopor pergerakan nasional Tjokroaminoto, sang guru bangsa yang pernah dijuluki ”Raja Jawa Tanpa Mahkota”. Salah satu ajaran Tjokro yang termasyhur adalah trisakti ”setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”. Dia juga berpesan kepada para muridnya, ”Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah sepertiwartawandan bicaralah sepertiorator.”

Kedua wasiat itu diamalkan baik oleh Karno maupun Karto. Keduanya tumbuh menjadi pemimpin yang fasih menulis dan berbicara. Bedanya, Karno tumbuh menjadi seorang pejuang nasionalis, sedangkan Karto kelak menjelma pemimpin Islam radikal.

Namun, kedua kawan itu lalu berpisah jalan. Saat Karno menjadi presiden pertama Republik Indonesia pada 1945, empat tahun kemudian Karto memproklamasikan Negara Islam Indonesia/Darul Islam (NII/DI) dengan didukung Tentara Islam Indonesia (TII) dan memberontak terhadap pemerintah yang sah.Ketika Karto tertangkap setelah belasan tahun bergerilya di hutan-hutan dan pegunungan Jawa Barat, dan Mahkamah Militer memutuskan hukuman mati baginya, Karno sebagai kepala negara harus menandatangani perintah eksekusi kawan lamanya itu.

Triyanto memotret dilema ini dengan cerdik dalam Prakisah buku puisinya.Menandatangani hukuman mati, misalnya, bukanlah pekerjaan yang memberi kesenangan kepadaku. Ambillah misalnya Kartosoewirjo. Di tahun 1918 dia kawanku yang baik. Di tahun 20-an di Bandung, kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama … Demikian Bung Karno menulis tentang betapa berat ketika dia harus menandatangani perintah eksekusi Kartosoewirjo.

Pemberontak yang sial

Ke-52 puisi dalam Kematian Kecil Kartosoewirjo dibagi dalam tiga fase: Awal (”Penangkapan”), Antara (berisi 50 puisi), dan Akhir (”Kesaksian”). Dalam puisi-puisi Triyanto, Kartosoewirjo tidak ditampilkan sebagai sosok ”penjahat” atau ”pengkhianat” seperti yang kerap disebut dalam sejarah. Dia disiratkan lebih sebagai pemberontak yang sial yang tak cukup beruntung memenangi perjudian takdirnya untuk mewujudkan impian membentuk sebuah ”Negara Islam Indonesia”. Yang makin membuktikan kesialannya, dia tertangkap secara tak sengaja oleh seorang tentara Siliwangi bernama Ara Suhara yang semula mengira dia seorang petani tua biasa. Ara yang diam-diam mengagumi sang pemberontak kemudian menamai anak lelakinya Sekar Ibrahim—dari nama depan Kartosoewirjo, ”Sekarmadji”, yang aslinya adalah Soekarmadji.

Melalui kata-kata Triyanto yang kadang bernuansa magis, Kartosoewirjo digambarkan sebagai manusia biasa yang punya rasa sedih dan dirundung harap-harap cemas, lengkap dengan sisi-sisi humanisnya, termasuk saat-saat getir ketika hendak menghadapi hukuman tembak mati di Pulau Ubi. Seperti tersurat dalam sebait puisi ini: Tetapi sungguh aku sedih. Aku tak tahu siapa nakhoda yang akan membawaku ke Pulau Kematian. Pulau di tepi surga yang dijanjikan. (”Nakhoda”). Di situlah Triyanto sanggup membuat kita merasa ikut sedih.

Tersirat simpati sang penyair kepada sang pemberontak yang sial. Sosok Kartosoewirjo kerap ditampilkan sebagai seorang hamba Tuhan yang pasrah. Puisi-puisi yang dinisbatkan sebagai bisikan hati Kartosoewirjo dikaitkan dengan beragam peristiwa historis dalam sejarah Islam yang menyebut-nyebut sang Nabi dan para khalifah semacam Abu Bakar. Misalnya dalam bait ini: Aku tak mendengar letusan itu. Aku bahkan tak merasa ada 12 penembak jitu mengacungkan senapan tepat ke jantungku. Sebagaimana Abu Bakar, aku justru mendengar pidato Nabi di mimbar. Kata Nabi, ”Ada seorang di antara hamba Allah yang diberi pilihan antara dunia ini dan pertemuan dengan-Nya, dan hamba tersebut memilih berjumpa dengan Tuhannya.” (”Aku Tak Mendengar Letusan Itu”).

Sementara, pada puisi berjudul ”Di Mobil Tahanan”, digambarkan Kartosoewirjo seakan berdialog dengan serdadu penjaga, mengisahkan riwayat hidupnya, bahkan kredo perjuangannya yang menjadi dasar perlawanan bersenjata terhadap kepemimpinan kawan lamanya, Soekarno, yang disebutnya ”Arjuna”: Bahkan embun pun harus berjuang untuk menegakkan Islam … Aku tak pernah ingin membunuh Sang Arjuna, kawan lamaku. Aku hanya ingin menyatakan padanya tanpa Islam negeri ini akan lemah.

Membaca buku ini, tersirat kegelisahan penulisnya atas sejarah kelam negeri ini yang kerap terkoyak pertikaian atas nama ideologi dan agama, dan upaya menyampaikan gugatan terhadap semua itu. Walau terkesan bersimpati kepada sosok sang pemberontak, Triyanto mampu menjaga diri sehingga puisi-puisinya tak terkesan sebagai propaganda dangkal atau sekadar pamflet yang sayu. Triyanto berupaya menyelami sisi batin Kartosoewirjo sebagai seorang manusia dengan berbagai seginya. Maka, buku puisi ini juga adalah semacam solilokui tentang kesepian, cinta, persahabatan, dan renungan spiritual. Berbeda dengan buku sejarah atau biografi yang cenderung kering, buku puisi ini bisa menampilkan sosok historis Kartosoewirjo dalam pendekatan yang berbeda dan kaya nuansa.

Seperti pernah ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam satu esainya, setiap karya sastra sesungguhnya adalah autobiografi pengarangnya pada tahap dan situasi tertentu. Maka, ia adalah produk individu dan bersifat individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari sumbangan individu pada kolektivitas. Dalam hal ini, tugas sastrawan adalah melakukan gugatan kritis atas kemapanan di semua bidang kehidupan—termasuk membongkar historiografi resmi yang kerap menyembunyikan hal-hal kecil yang terabaikan; entah karena dianggap tidak penting atau sengaja dilupakan.

Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150426kompas/#/27/

Gula Darah Terkendali Cegah Komplikasi

JAKARTA, KOMPAS — Pengendalian kadar gula darah adalah kunci untuk menghindari atau memperlambat munculnya berbagai penyakit komplikasi diabetes melitus. Namun, pengendalian gula darah itu masih sulit dilakukan sebagian besar penyandang diabetes di Indonesia.

Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) Achmad Rudijanto, di Jakarta, Sabtu (25/4), mengatakan, rata-rata kadar gula darah selama 1-3 bulan (HbA1c) penderita diabetes di Indonesia pada 2012 mencapai 8,36 persen. Padahal, pada 2008 baru 8,16 persen. “Pasien diabetes Indonesia sulit menurunkan kadar gula darah HbA1c di bawah 7 persen sesuai ketentuan Perkeni,” ujarnya.

Makin tinggi kadar gula darah penyandang diabetes, itu berarti kian tinggi pula risiko mereka menderita sejumlah penyakit komplikasi, seperti buta, stroke, jantung, ginjal, dan kaki diabetes. Penyakit komplikasi itu akan mengurangi kualitas hidup dan meningkatkan risiko kematian.

Menurut Rudijanto, kesulitan pengendalian kadar gula darah umumnya disebabkan rendahnya kepatuhan dan kemandirian pasien mengontrol gula darah. Pemicunya, banyak terjadi kesalahpahaman tentang diabetes dan penatalaksanaannya.

Munculnya komplikasi juga memperbesar biaya perawatan. Di Indonesia, pada 2010 komplikasi meningkatkan biaya perawatan hingga 22,5 kali dibandingkan penyandang diabetes tanpa komplikasi.

Sebagai gambaran, penyandang diabetes yang mengalami gagal ginjal harus menjalani cuci darah minimal 2 kali seminggu. Biaya satu kali cuci darah Rp 500.000-Rp 700.000 dan di sejumlah tempat bisa lebih mahal. Artinya, satu pasien diabetes butuh Rp 52 juta-Rp 73 juta setahun hanya untuk cuci darah.

Ginjal diabetes

Sebelumnya, dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Premier Bintaro, Tangerang Selatan, Sri Ayu Vernawati, pekan lalu, menyatakan, kerusakan ginjal akibat kadar gula darah tinggi tak menimbulkan keluhan pada tubuh penderita. Padahal, kerusakan ginjal itu mulai terjadi setelah 5 tahun kena diabetes.

Namun, banyak orang tidak tahu sejak kapan mereka terkena diabetes. Enam dari 10 penderita diabetes di Indonesia tak sadar jika terkena diabetes. “Kerusakan ginjal hanya bisa diketahui lewat pemeriksaan urine lengkap di laboratorium,” ujarnya.

Karena itu, kata Vernawati, saat seseorang terdiagnosis positif terkena diabetes, pemeriksaan menyeluruh terhadap semua organ yang terdampak tingginya kadar gula darah harus dilakukan, termasuk pemeriksaan urine lengkap. Mereka yang terkena diabetes dianjurkan periksa urine setiap 2-3 bulan. Namun, yang belum positif diabetes cukup dilakukan sekali setahun.

Keluhan akibat ginjal rusak biasanya muncul pada stadium 5 atau stadium tertinggi penyakit ginjal diabetes. Stadium tersebut biasanya terjadi 10-15 tahun setelah kena diabetes. Saat itu, pasien harus menjalani cuci darah.

Keluhan yang muncul umumnya berupa rasa mual akibat kadar ureum tinggi atau lemas akibat anemia. Selain itu, volume air kencing juga jauh berkurang.

Beberapa riset menunjukkan, memburuknya kondisi ginjal biasanya diikuti penurunan kondisi jantung penderita diabetes. Penyakit jantung dianggap sebagai tahap akhir berbagai komplikasi diabetes. Sebanyak 8 dari 10 penyandang diabetes meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah.(MZW)

Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150426kompas/#/9/ 

Mengapa kita kurang kreatif?

Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001) yang dianggap kontroversial tapi ternyata menjadi “best seller” (www.idearesort.com/trainers/T01.p) mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang:
1. Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta thdp sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang utk memiliki kekayaan banyak.
2. Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai cerita, novel, sinetron, atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran & sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir/ diterima sebagai sesuatu yg wajar.
3. Bagi org Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus iImu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.
4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yg berbasis inovasi dan kreativitas.
6. Orang Asia takut salah (KIASI) & takut kalah (KIASU). Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
7. Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah
8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi selesai sesi berakhir peserta mengerumuni guru / narasumber utk minta penjelasan tambahan.
Dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sbb:
1. Hargai proses. Hargailah org karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya
3. Jangan jejali murid dgn banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk A x B harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya
4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang. MENJADI DIRI SENDIRI
5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil resiko. AYO BERTANYA!
6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dgn bangga kalo KITA TIDAK TAU!
7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan..sebagai orangtua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya & mendukungnya.
Bagaimana menurut Anda?

Have a nice warm, clear and breeze sunday afternoon.

My wife DOES NOT WORK!!

Conversation between a Husband (H) and a Psychologist (P):

🔸P : What do you do for a living Mr. Bandy?
🔹H : I work as an Accountant in a Bank.

🔸P : Your Wife ?
🔹H : She doesn’t work. She’s a Housewife only.

🔸P : Who makes breakfast for your family in the morning?
🔹H : My Wife, because she doesn’t work.

🔸P : At what time does your wife wake up for making breakfast?
🔹H : She wakes up at around 5 am because she cleans the house first before making breakfast.

🔸P : How do your kids go to school?
🔹H : My wife takes them to school, because she doesn’t work.

🔸P : After taking your kids to school, what does she do?
🔹H : She goes to the market, then goes back home for cooking and laundry. You know, she doesn’t work.

🔸P : In the evening, after you go back home from office, what do you do?
🔹H : Take rest, because i’m tired due to all day works.

🔸P : What does your wife do then?
🔹H : She prepares meals, serving our kids, preparing meals for me and cleaning the dishes, cleaning the house then taking kids to bed.

💯✔Whom do you think works more, from the story above???

🔱The daily routines of your wives commence from early morning to late night. That is called ‘DOESN’T WORK’??!!

🎋Yes, Being Housewives do not need Certificate of Study, even High Position, but their ROLE/PART is very important!

💝Appreciate your wives. Because their sacrifices are uncountable. This should be a reminder and reflection for all of us to understand and appreciate each others roles.

🎏All about a WOMAN ….
💛When she is quiet, millions of things are running in her mind.

💙When she stares at you, she is wondering why she loves you so much in spite of being taken for granted.

💜When she says I will stand by you, she will stand by you like a rock.

💚Never hurt her or take her wrong or for granted…

↪Forward to every woman to make her smile and to every man to make him realize a woman’s …!!!
❤💚💜💙💛💖

E-DAGANG Regulasi Ditargetkan Selesai Agustus

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meminta masukan kepada pelaku perdagangan elektronik atau e-dagang untuk menyusun peta jalan e-dagang. Masukan ini akan digunakan pemerintah sebagai bahan penyusunan peta jalan berikut regulasi terkait yang diharapkan selesai pada Agustus 2015.

Demikian inti acara “Forum Usulan Roadmap E-Commerce Indonesia”, Senin (6/4), di Jakarta. Dalam acara tersebut dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Chris Kanter, Deputy Assistant Information Communication Technology and Utility Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Eddy Satriya, Ketua dan Co Founder Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) John Sihar, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo), perwakilan Kementerian Perdagangan, dan 130 anggota Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA).

“Ini adalah tindak lanjut rapat bersama kementerian di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bulan lalu. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri menyusun regulasi dan peta jalan e-dagang,” ujar Rudiantara. Masukan selama forum penting untuk mengetahui arah peta jalan ataupun regulasi yang bermanfaat untuk kemajuan e-dagang Indonesia.

Dia menyampaikan, pada Agustus 2015, pemerintah setidaknya sudah mempunyai substansi regulasi e-dagang. Pemerintah akan lebih sering mendengar masukan demi penciptaan yang tepat dan terarah untuk ekosistem e-dagang Indonesia.

Chief Marketing Officer OLX Alif Priyono menyampaikan, e-dagang bertumbuh pesat meskipun masih banyak konsumen yang belum teredukasi. Misalnya, konsumen belum mengetahui jenis-jenis berikut cara bertransaksi dalam jaringan. Soal keamanan membeli barang, mereka pun kurang memahaminya.

Dari sisi investasi, John mengatakan pentingnya mencari jalan tengah terhadap perdebatan penetapan daftar negatif investasi terhadap perusahaan e-dagang. “Investasi asing memang perlu, tetapi harus mengetahui untung ruginya bagi perusahaan lokal,” ucap John.

Founder iPaymu Riyeke Ustadiyanto menyebutkan perlunya pengaturan transaksi jual beli dalam jaringan yang aman dan nyaman. Sejauh ini, katanya, konsumen masih suka melakukan pembayaran dengan mengirim uang lewat rekening penjual. Lalu konsumen akan memotret bukti pengiriman uang untuk verifikasi data. Akibatnya, transaksi memakan waktu lama, tidak efisien, dan tidak jarang terjadi penipuan.

Vice President Sales and Marketing RPX Group Andry Adiwinarso menyoroti masih buruknya infrastruktur logistik di Indonesia. Luasnya geografis seharusnya berpotensi, tetapi belum ada pemain logistik yang mengampu optimal pengiriman barang melalui darat, laut, dan udara. (MED)

Sumber : http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150407kompas/#/17/

Artikel Menarik, “Kesehatan Sejati Ada di Dapur, Bukan di Restoran”

Organisasi Kesehatan Dunia memilih tema Hari Kesehatan Dunia 7 April 2015 ”Keamanan Pangan”. Hampir semua penyakit yang diderita orang saat ini—di mana pun di dunia—lebih karena yang orang makan makanan yang salah. Bukan saja penyakit metabolik, bahkan kanker pun faktor makanan menjadi pencetusnya.

Dunia memikul beban tingginya penyakit karena yang dimakan tidak bersih sehingga angka diare dan keracunan makanan masih tinggi. Selain itu bahaya pemakaian bahan tambahan pangan merajelela tak terkendali dalam industri makanan, dan celakanya selera lidah orang sekarang pada menu yang sudah kehilangan nutrisi.

Bersih, aman, bernutrisi

Keamanan pangan belum menjadi perhatian semua negara. Tidak semua makanan yang tiba di piring makan di rumah dinilai aman bagi tubuh. Bagaimana bahan makanan dibudidaya, diternak, dipupuk, dipestisida, diberi pakan, disembelih, dan didistribusi, belum semuanya aman selain belum tentu menyehatkan.

Sama-sama gado-gado, misalnya, betul bernutrisi, tetapi belum tentu juga sama bersihnya, atau sama aman semua bahan bakunya. Sayur-mayurnya apakah organik dan bukan dipupuk kimia? Kacang tanahnya sudahkah busuk oleh kapang sehingga mengandung aflatoxin, pencetus kanker hati? Tahu dan terasinya apa tidak dicampur formalin? Warna kesumba kerupuknya apa bukan pewarna tekstil rhodamin B yang bisa menjadi pencetus kanker juga? Masyarakat kita masih dikepung oleh itu semua, tanpa mereka tahu, apalagi menyadarinya.

Foodborne disease, penyakit yang ditularkan lewat makanan, masih menjadi beban pemerintah/negara dengan sanitasi buruk, dan standar kebersihan perorangan yang belum tinggi. Lebih 10 jenis penyebab diare mengancam masyarakat kita, bahkan di kota besar sekalipun, dari makanan dan minuman tercemar.

Kalangan kelas menengah kita pun, yang makan siang di warung nasi dan restoran, diragukan bukan saja nilai gizi dan kebersihannya, terlebih apakah aman sebagai menu. Taruhlah mereka bisa memilih yang lebih higienis, tetapi bagaimana minyak gorengnya, berapa dituangkan penyedapnya, dan seberapa asin, yang bila tidak menyehatkan dapat mencetuskan penyakit juga. Darah tinggi di kita, misalnya, lebih karena asupan garam dapur melebihi kebutuhan tubuh.

Menu tergolong tidak aman bila kurang steril, tercemar bibit penyakit lewat limbah dapur, atau tangan penjaja (food handler) karena disajikan pakai tangan. Buah dingin yang dijajakan rata-rata tercemar kuman coli dari air kali. Masih untung perut orang kita kebanyakan kebal, saking sering mengonsumsi pangan tercemar. Orang Singapura, terlebih Eropa yang perutnya steril, air minum kita saja berisiko bikin mereka mencret, apalagi makan ketoprak atau rujak cingur yang disajikan secara sembarangan.

Ngeri membayangkan sepuluh tahun ke depan nasib anak sekolah kita yang sehari-hari minum sirup warna kuning atau kesumba kinclong pewarnanyamethylene yellow dan rhodamin B berisiko bikin kanker. Boleh jadi juga mereka mengonsumsi jajanan dicampur pemanis buatan yang sudah dilarang, atau—seperti hasil investigasi yang ditayangkan sebuah program TV—jajanan anak sekolah dibuat dari sampah dapur restoran dan hotel, sungguh bikin kita miris. Alasan masuk akal adanya anjuran agar anak sekolah membawa bekal dari rumah.

Jajanan gorengan bukan hanya minyaknya yang tidak jelas apakah aman, terlebih bila minyak panasnya dicampur kantung plastik dengan tujuan agar garing. Bahan plastik bersifat karsinogen atau pencetus kanker juga. Kuah panas restoran pun diwadahi kantung plastik tergolong tak aman bagi kesehatan. Termasuk pemakaian styrofoam untuk makanan panas. Hampir tidak ada yang aman jajanan dan menu di luar rumah kita.

Lidah angkatan generasi XYZ (platinum generation) sekarang ini terbentuk oleh selera menu siap saji, menu ampas (junkfood), tak suka lodeh, pepes, dan lalapan seperti menu nenek moyangnya yang kini diakui lebih menyehatkan, diperkirakan melahirkan generasi kurang gizi tersembunyi (hidden hunger).

Badan mereka betul bongsor, tetapi bila diperiksa kekurangan sejumlah nutrien akibat menu hariannya cenderung menu ampas sebab kehilangan sebagian unsur nutrisinya. Begitu galibnya terjadi di masyakarat yang menunya kebarat-baratan. Di situ perlunya sejak kecil menciptakan lidah menu nenek moyang kita.

Investigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan belakangan ini masih menemukan bahan berbahaya dalam makanan dan bahan makanan yang dijual di pasar. Mi, kikil, tahu, bakso, ikan laut, ayam tiren (mati kemaren), bahkan bubur ayam pun dicampur kimia pengental yang tak aman. Ikan asin disemprot obat nyamuk, sementara es batu dibuat dari air kali tanpa dimasak.

Masyarakat cerdas memilih

Tangan pemerintah kelewat pendek untuk menjangkau begitu luas masyarakat yang perlu dilindungi terhadap ancaman bahaya pangan tak aman. Bagaimana mungkin mengawasi luas dan banyaknya sebaran industri makanan dan minuman rumahan yang nakal. Restoran besar pun masih kurang terjaga higienisnya: menaruh es batu di depan lantai WC, mencuci piring dekat kamar mandi.

Belum semua masyarakat tertata pola hidup bersihnya. Mayoritas belum cukup wawasan gizi dan kemampuan mencegah infeksiya. Saatnya bagaimana membentuk kebiasaan makan dengan kepala, bukan dengan hati. Ia harus masuk kurikulum pendidikan kesehatan sekolah, sebagaimana silabus di semua negara maju: bahwa, makan tak cukup sekadar kenyang, terlebih harus bersih, aman, dan bernutrisi. Ini alasan lain bagi pekerja agar membawa bekal makan siang di kantor dari rumah.

Masyarakat perlu terus diedukasi. Kuncinya pada penyuluhan. Media massa, radio, dan TV paling tepat guna mengedukasi bagaimana memilih makanan minuman yang menyehatkan. Hanya bila masyarakat cerdas memilih, semua produk yang tidak aman, tidak bersih, dan tidak bernutrisi akan kehilangan pelanggan, lalu dengan sendirinya gulung tikar.

Namun, penjualan produk yang merugikan masyarakat itu akan terus berlangsung apabila masih tetap ada permintaan. Sebab, akibat ketidaktahuannya, masyarakat masih membeli yang serba tidak sehat itu. Sukar kalau hanya mengandalkan pemerintah merazia industri makanan ”nakal” tanpa dibarengi membangun masyarakat cerdas memilih pangan yang menyehatkan.

Dalam satu dasawarsa ke depan, dunia akan kehilangan 400 juta orang yang mati prematur, sebab keliru memilih gaya hidup (Sydney Resolution, 2008). Salah satu gaya hidup yang tidak tepat itu lantaran apa yang masyarakat makan salah. Menu lebih banyak daging (animal based diet) ketimbang sayur-mayur (plant-based diet) menambah penyakit metabolik, selain kanker, karena yang manusia makan menyalahi kodrat tubuhnya.

Kodrat tubuh manusia butuh lebih banyak sayur-mayur dan buah, sedikit saja daging (mediterranean diet). Namun, orang sekarang lebih banyakmakan daging ketimbang sayur-mayur dan bebuahan (tiger diet), karena itu dirundung penyakit yang menjadikan umurnya tidak sepanjang orang Okinawa, nelayan Jepang yang centenarian, berumur seratusan tahun.

Dari nelayan Okinawa dunia kedokteran (Harvard Medical School) belajar bagaimana bisa panjang umur. Ternyata bukan bistik, melainkan nasi, tempe, tahu, ikan, sayur lodeh, serta lalapan yang menyehatkan. Bukan donat melainkan ubi rebus. Bukan buah impor melainkan buah lokal. Bukan gula pasir melainkan gula jawa. Bukan terigu, tetapi gandum.

Dunia dirangsek oleh kian meningkatnya pemakaian ratusan bahan kimia industri makanan. Sukar mengelak dari aneka macam pencemar dan bahan berbahaya pada makanan dan minuman kita. Sikap kita seyogianya berpihak kepada pilihan mengolah menu harian sendiri. Jelas bahan bakunya berkualitas, jelas cara olahnya tanpa zat tambahan yang membahayakan, jelas pula cita rasanya. Bahwa sejatinya kesehatan itu ada di dapur dan bukan di restoran.

HANDRAWAN NADESUL

DOKTER, MOTIVATOR KESEHATAN

SUnber: http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150407kompas/#/7/