PKI, Pancasila, dan Indonesia.


SEJARAH YANG TIDAK BOLEH DILUPAKAN OLEH KITA SEMUA

Tgl 31 Oktober 1948:
Muso dieksekusi di Desa Niten, Kecamatan Sumoroto – Kabupaten Ponorogo. Sedangkan MH. Lukman dan Nyoto pergi ke Pengasingan di Republik Rakyat China (RRC).

Akhir November 1948:
Seluruh Pimpinan PKI Muso berhasil dibunuh atau ditangkap, dan seluruh daerah yang semula dikuasai PKI berhasil direbut, antara lain:

  1. Ponorogo,
  2. Magetan,
  3. Pacitan,
  4. Purwodadi,
  5. Cepu,
  6. Blora,
  7. Pati,
  8. Kudus, dan lainnya.

Tgl 19 Desember 1948:
Agresi Militer Belanda kedua – Yogyakarta.

Tahun 1949:
PKI tetap Tidak Dilarang, sehingga tahun 1949 dilakukan Rekonstruksi PKI dan tetap tumbuh berkembang hingga tahun 1965.

Awal Januari 1950:
Pemerintah RI dengan disaksikan puluhan ribu masyarakat yang datang dari berbagai pelosok daerah seperti; Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo dan Trenggalek, melakukan Pembongkaran 7 (tujuh) Sumur Neraka PKI dan mengidentifikasi Para Korban. Di Sumur Neraka Soco I ditemukan 108 Kerangka Mayat, yang 68 dikenali dan 40 tidak dikenali, sedangkan di Sumur Neraka Soco II ditemukan 21 Kerangka Mayat yang semuanya berhasil diidentifikasi.
Para Korban berasal dari berbagai kalangan Ulama dan Umara serta Tokoh Masyarakat.

Tahun 1950:
PKI memulai kembali kegiatan penerbitan Harian Rakyat dan Bintang Merah.

Tgl 6 Agustus 1951:
Gerombolan Eteh dari PKI menyerbu Asrama Brimob di Tanjung Priok dan merampas semua senjata api yang ada.

Tahun 1951:
Dipa Nusantara Aidit memimpin PKI sebagai Partai Nasionalis yang sepenuhnya mendukung Presiden Soekarno sehingga disukai Soekarno, lalu Lukman dan Nyoto pun kembali dari pengasingan untuk membantu DN Aidit membangun kembali PKI.

Tahun 1955:
PKI ikut Pemilu Pertama di Indonesia dan berhasil masuk 4 Besar setelah MASYUMI, PNI dan NU.

Tgl 8-11 September 1957:
Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang – Sumatera Selatan, Mengharamkan Ideologi Komunis dan mendesak Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Pelarangan PKI dan semua mantel organisasinya, tapi ditolak oleh Soekarno.

Tahun 1958:
Kedekatan Soekarno dengan PKI mendorong Kelompok anti-PKI di Sumatera dan Sulawesi melakukan koreksi, sehingga melakukan pemberontakan terhadap Soekarno. Saat itu MASYUMI dituduh terlibat, karena Masyumi merupakan MUSUH BESAR PKI.

Tgl 15 Februari 1958:
Para pemberontak di Sumatera dan Sulawesi mendeklarasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dipimpin Kahar Muzakar, namun pemberontakan ini berhasil ditumpas dan dipadamkan.

Tanggal 11 Juli 1958:
DN Aidit dan Rewang mewakili PKI ikut Kongres Partai Persatuan Sosialis di Berlin – Jerman.

Bulan Agustus 1959:
TNI berusaha menggagalkan Kongres PKI, namun Kongres tersebut tetap berjalan karena ditangani sendiri oleh Presiden Soekarno.

Tahun 1960:
Soekarno meluncurkan slogan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang didukung penuh oleh PNI, NU dan PKI. Dengan demikian PKI kembali terlembagakan sebagai bagian dari Pemerintahan RI.

Tgl 17 Agustus 1960:
Atas desakan dan tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.200 Th.1960 tertanggal 17 Agustus 1960 tentang “PEMBUBARAN MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia)” dengan dalih tuduhan keterlibatan Masyumi dalam Pemberontakan PRRI, padahal hanya karena ANTI NASAKOM.

Medio Tahun 1960: Departemen Luar Negeri AS melaporkan bahwa PKI semakin kuat dengan keanggotaan mencapai 2 juta orang.

Bulan Maret 1962:
PKI resmi masuk dalam Pemerintahan Soekarno, DN Aidit dan Nyoto diangkat oleh Soekarno sebagai Menteri Penasehat.

Bulan April 1962:
Kongres PKI.

Tahun 1963:
PKI memprovokasi Presiden Soekarno untuk Konfrontasi dengan Malaysia, dan mengusulkan dibentuknya Angkatan Kelima yang terdiri dari BURUH, TANI dan NELAYAN untuk dipersenjatai dengan dalih ”Mempersenjatai Rakyat untuk Bela Negara” melawan Malaysia.

Tgl 10 Juli 1963:
Atas desakan dan tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.139 Th.1963 tertanggal 10 Juli 1963 tentang PEMBUBARAN GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), lagi-lagi hanya karena ANTI NASAKOM.

Tahun 1963:
Atas desakan dan tekanan PKI terjadi penangkapan Tokoh-Tokoh Masyumi dan GPII serta Ulama anti-PKI, antara lain:

  1. KH. Buya Hamka,
  2. KH. Yunan Helmi Nasution,
  3. KH. Isa Anshari,
  4. KH. Mukhtar Ghazali,
  5. KH. EZ. Muttaqien,
  6. KH. Soleh Iskandar,
  7. KH. Ghazali Sahlan dan
  8. KH. Dalari Umar.

Bulan Desember 1964:
Chaerul Saleh –Pimpinan Partai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak), yang didirikan oleh mantan pimpinan PKI, Tan Malaka, menyatakan bahwa PKI sedang menyiapkan KUDETA.

Tgl 6 Januari 1965:
Atas Desakan dan Tekanan PKI terbit Surat Keputusan Presiden RI No.1/KOTI/1965 tertanggal 6 Januari 1965 tentang PEMBEKUAN PARTAI MURBA, dengan dalih telah Memfitnah PKI.

Tgl 13 Januari 1965:
Dua Sayap PKI yaitu PR (Pemuda Rakyat) dan BTI (Barisan Tani Indonesia) Menyerang dan Menyiksa Peserta Training PII (Pelajar Islam Indonesia) di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras – Kabupaten Kediri, sekaligus melecehkan Pelajar Wanitanya, dan juga merampas sejumlah Mushaf Al-Qur’an dan merobek serta menginjak-injaknya.

Awal Tahun 1965:
PKI dengan 3 Juta Anggota menjadi Partai Komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. PKI memiliki banyak Ormas, antara lain: SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia), LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakjat) dan HSI (Himpunan Sardjana Indonesia).

Tgl 14 Mei 1965:
Tiga Sayap Organisasi PKI yaitu PR, BTI dan GERWANI merebut Perkebunan Negara di Bandar Betsi, Pematang Siantar – Sumatera Utara, dengan menangkap dan menyiksa serta membunuh Pelda Soedjono penjaga PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) Karet IX – Bandar Betsi.

Bulan Juli 1965:
PKI menggelar Pelatihan Militer untuk 2000 anggotanya di Pangkalan Udara Halim dengan dalih ”Mempersenjatai Rakyat untuk Bela Negara”.

Tgl 21 September 1965:
Atas desakan dan tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.291 Th.1965 tertanggal 21 September 1965 tentang PEMBUBARAN PARTAI MURBA, karena sangat memusuhi PKI.

Tgl 30 September 1965 Pagi:
Ormas PKI Pemuda Rakjat dan Gerwani menggelar Demo Besar di Jakarta.

Tgl 30 September 1965 Malam:
Terjadi Gerakan G30S/PKI atau disebut GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh). PKI Menculik dan Membunuh 6 (enam) Jenderal Senior TNI AD di Jakarta dan membuang mayatnya ke dalam sumur di LUBANG BUAYA Halim, mereka adalah:

  1. Jenderal Ahmad Yani,
  2. Letjen R.Suprapto,
  3. Letjen MT.Haryono,
  4. Letjen S.Parman,
  5. Mayjen Panjaitan dan
  6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo.
    PKI juga menculik dan membunuh Kapten Pierre Tendean karena dikira Jenderal Abdul Haris Nasution. PKI pun membunuh Aiptu Karel Sasuit Tubun seorang Ajun Inspektur Polisi yang sedang bertugas menjaga Rumah Kediaman Wakil PM Dr. J. Leimena yang bersebelahan dengan rumah Jenderal AH. Nasution.
    PKI juga menembak Putri Bungsu Jenderal AH. Nasution yang baru berusia 5 (lima) tahun, Ade Irma Suryani Nasution, yang berusaha menjadi perisai ayahandanya dari tembakan PKI, kemudian ia terluka tembak dan akhirnya wafat pada tanggal 6 Oktober 1965.
    G30S/PKI dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang membentuk 3 kelompok gugus tugas penculikan, yaitu:
  7. Pasukan Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief, dan
  8. Pasukan Pringgondani dipimpin Mayor Udara Sujono, serta
  9. Pasukan Bima Sakti dipimpin Kapten Suradi.
    Selain Letkol Untung dan kawan-kawan, PKI didukung oleh sejumlah Perwira ABRI (TNI/Polri) dari berbagai Angkatan, antara lain:
    Angkatan Darat:
  10. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro,
  11. Brigjen TNI Soepardjo dan
  12. Kolonel Infantri A. Latief.
    Angkatan Laut:
  13. Mayor KKO Pramuko Sudarno,
  14. Letkol Laut Ranu Sunardi dan
  15. Komodor Laut Soenardi.
    Angkatan Udara:
  16. Men/Pangau Laksda Udara Omar Dhani,
  17. Letkol Udara Heru Atmodjo dan
  18. Mayor Udara Sujono.
    Kepolisian:
  19. Brigjen Pol. Soetarto,
  20. Kombes Pol. Imam Supoyo dan
  21. AKBP Anwas Tanuamidjaja.

Tgl 1 Oktober 1965:
PKI di Yogyakarta juga Membunuh :

  1. Brigjen Katamso Darmokusumo dan
  2. Kolonel Sugiono.

Lalu di Jakarta PKI mengumumkan terbentuknya DEWAN REVOLUSI baru yang telah mengambil Alih Kekuasaan.

Tgl 2 Oktober 1965:
Letjen TNI Soeharto mengambil alih Kepemimpinan TNI dan menyatakan Kudeta PKI gagal dan mengirim TNI AD menyerbu dan merebut Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dari PKI.

Tgl 6 Oktober 1965:
Soekarno menggelar Pertemuan Kabinet dan Menteri PKI pun ikut hadir serta berusaha Melegalkan G30S, tapi ditolak, bahkan terbit Resolusi Kecaman terhadap G30S, lalu usai rapat Nyoto pun langsung ditangkap.

Tgl 13 Oktober 1965:
Ormas Anshor NU gelar Aksi unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa.

Tgl 18 Oktober 1965:
PKI menyamar sebagai Anshor Desa Karangasem (kini Desa Yosomulyo), Kecamatan Gambiran, lalu mengundang Anshor Kecamatan Muncar untuk Pengajian. Saat Pemuda Anshor Muncar datang, mereka disambut oleh Gerwani yang menyamar sebagai Fatayat NU, lalu mereka diracuni, setelah Keracunan mereka dibantai oleh PKI dan jenazahnya dibuang ke Lubang Buaya di Dusun Cemetuk Desa/Kecamatan Cluring – Kabupaten Banyuwangi. Sebanyak 62 (enam puluh dua) orang Pemuda Anshor yang dibantai, dan ada beberapa pemuda yang selamat dan melarikan diri, sehingga menjadi saksi mata peristiwa. Peristiwa Tragis itu disebut Tragedi Cemetuk, dan kini oleh masyarakat secara swadaya dibangun Monumen Pancasila Jaya.

Tgl 19 Oktober 1965: Anshor NU dan PKI mulai bentrok di berbagai daerah di Jawa.

Tgl 11 November 1965:
PNI dan PKI bentrok di Bali.

Tgl 22 November 1965:
DN Aidit ditangkap dan diadili serta di Hukum Mati.

Bulan Desember 1965:
Aceh dinyatakan telah bersih dari PKI.

Tgl 11 Maret 1966:
Terbit Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberi wewenang penuh kepada Letjen TNI Soeharto untuk mengambil langkah-langkah Pengamanan Negara RI.

Tgl 12 Maret 1966:
Soeharto melarang secara resmi PKI.

Bulan April 1966:
Soeharto melarang Serikat Buruh pro-PKI yaitu SOBSI.

Tgl 13 Februari 1966:
Bung Karno masih tetap membela PKI, bahkan secara terbuka di dalam pidatonya di muka Front Nasional di Senayan mengatakan:
”di Indonesia ini tidak ada partai yang oengorbanannya terhadap Nusa dan Bangsa sebesar Partai Komunis Indonesia…”

Tgl 5 Juli 1966:
Terbit TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 yang ditandatangani oleh Ketua MPRS – RI Jenderal TNI AH. Nasution, tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme.

Bulan Desember 1966:
Sudisman mencoba menggantikan Aidit dan Nyoto untuk membangun kembali PKI, tapi ditangkap dan dijatuhi Hukuman Mati pada tahun 1967.

Tahun 1967:
Sejumlah kader PKI seperti Rewang, Oloan Hutapea dan Ruslan Widjajasastra, bersembunyi di wilayah terpencil di Blitar Selatan bersama Kaum Tani PKI.

Bulan Maret 1968:
Kaum Tani PKI di Blitar Selatan menyerang para pemimpin dan kader NU, sehingga 60 (enam puluh) orang NU tewas dibunuh.

Pertengahan 1968:
TNI menyerang Blitar Selatan dan menghancurkan persembunyian terakhir PKI.

Dari tahun 1968 s/d 1998
Sepanjang Orde Baru secara resmi PKI dan seluruh mantel organisasinya DILARANG di seluruh Indonesia dengan dasar TAP MPRS No.XXV Tahun 1966.

Semoga Tuhan YME senantiasa melindungi kita semua…

BAGIKAN SEJARAH INI KEPADA ANAK-ANAK KITA, JADIKAN PELAJARAN BERHARGA BUAT GENERASI YANG AKAN DATANG !

🇲🇨🇲🇨🇲🇨🇲🇨🇮🇩

Sumber: unknown

Lampu Kuning Penerbangan Sipil Kita

https://news.detik.com/kolom/d-6949280/lampu-kuning-penerbangan-sipil-kita

Sekedar Tahu Saja!

SURAT TERBUKA KAREN untuk Presiden

PORSENI Bappenas

https://vt.tiktok.com/ZSLEu6NXv/

Cara Pandang

Assalamu’alaykum warahmatullaahi wabarakatuh

MENGUBAH SUDUT PANDANG

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki.

Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah ditanganinya sendiri.

Suami serta anak-anaknya menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yg pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya.

Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu :
“Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan”.
Ibu itu kemudian menutup matanya.
“Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?”
Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yg murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan;
“Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka.

Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi”.
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.

“Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu”. Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.

“Sekarang bukalah mata ibu” Ibu itu membuka matanya  “Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi kekhawatiran buat ibu?”
Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu maksud anda” ujar sang ibu, “Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif”.

Sejak saat itu, sang ibu  tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming).
Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita ‘membingkai ulang’ sudut pandang kita sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

Berikut beberapa contoh pengubahan sudut pandang :

Saya BERSYUKUR:
1⃣Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.

2⃣Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat negatif.

3⃣Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan.

4⃣Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, itu berarti syukur Alloh Ta’ala memberikan rezeki utk kita berpenghasilan.

5⃣Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman.

6⃣Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan.

7⃣Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras.

8⃣Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat.

9⃣Untuk bunyi alarm keras jam 4.30 pagi yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup.

🔟Untuk yang memposting broadcast panjang dan ‘mengganggu’ ini artinya masih ada orang yang peduli mau berbagi Nasihat dan CINTA.

***

Kita (pernah) Punya Kebebasan Pers

Sekedar Bacaan di era Pemilu

Forum Ayo Selamatkan Indonesia! (FASI)

Catatan Harian – Broadcast Whattsapp Services – 04/09/2023

Pengantar:
Memang Jokowi adalah Presiden Indonesia, tapi Indonesia bukanlah Jokowi..! Tanpa Indonesia, Jokowi pun niscaya ‘tiada’ dan bukan apa-apa. Tapi tanpa Jokowi, Indonesia akan selalu dan harus tetap ada!

NO Jokowi, NO Kemenangan???
Oleh : Erros Djarot

Memasuki babak kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kubu Ganjar dan terlebih lagi Prabowo, terkesan masih sangat kuat mengharapkan uluran tangan atau cawe-cawenya Pak Presiden, Jokowi. Harapan ini tentunya berdasarkan asumsi atau ilusi bahwa dalam kedudukan seorang Presiden, Jokowi dapat mempengaruhi hasil akhir Pemillu Pilpres yang sesuai dengan arahannya. Megingat Presiden ala milenial sekarang ini boleh ‘bermain’, cawe-cawe, atur sana atur sini, tidak wajib netral, dan dibenarkan membuat code of conduct-nya sendiri.

Para pimpinan partai kubu Ganjar dan Prabowo pun terkesan saling berlomba memperebutkan tempat duduk paling dekat dengan diri Pak Presiden, Jokowi. Seperti kurang percaya diri, seakan kalau tidak nempel ke Pak Presiden, Jokowi, kemenangan tidak bakal diraih…seolah NO Jokowi, NO Way to win!

Hanya Anies Baswedan yang sampai hari ini masih tampil PeDe. Itu pun karena Jokowi memang sengaja menjauh. Belum tentu juga bila Presiden Jokowi tak menjauh, apa Anies tetap PeDe untuk memilih mengambil jarak menolak cawe-cawenya seorang Presiden??? Wallahu A’lam Bishawab..!

Belakangan ini, figur Jokowi menjadi seolah-olah sebagai sang penentu utama hasil akhir Pilpres 2024. Seakan, siapa pun kandidat capres yang terbidik oleh jari telunjuk Jokowi, berpeluang besar akan keluar sebagai pemenang.

Sebegitu hebatnya terbangun keyakinan ini sehingga nyaris menjadi mitos resep menang pilpres (NO Jokowi, NO Way to win). Terbukti para pemimpin partai peserta pemilu pun seperti kehilangan percaya diri. Sukma dan jiwa mandiri mereka seperti hilang tersedot oleh tarikan kuat sentral magnet kekuasaan yang ada di dalam istana.

Bahkan, saking begitu menghambanya, seorang kandidat capres dari salah satu kubu rela menyodorkan kursi kandidat cawapresnya kepada putra mahkota ‘Dinasti Jokowi’, Gibran. Sedangkan PDIP, menurut seorang petinggi kunci, partainya melakukan hanya sebagai tindakan ‘ngelulu’, ingin tahu sejauh mana ambisi seorang kader belia bernama Gibran. Jangan-jangan malah semua ini desain bapaknya, sang sutradara. Terbukti ketika faktor umur menjadi kendala Gibran untuk bisa tampil, mereka terus bermanuver pantang mundur. Mahkamah Konstitusi pun ‘digrudug’ oleh tuntutan agar batasan umur minimum Capres/Cawapres, diubah lagi dari 40 tahun kembali lagi ke angka 35 tahun seperti sebelum diubah pada tahun 2017. Luar biasa…!

Fenomena Gibran layak Cawapres ini, sungguh merupakan peristiwa krisis mental, karakter, dan moral politik kenegarawanan dari para pimpinan partai di Republik ini. Di atas panggung politik nasional, mereka sering tampil bergerombol saling berebut antri paling dulu mendekat kursi Pak Presiden.

Suatu pemandangan yang menyayat hati dan sangat memprihatinkan. Padahal mereka ini adalah para pimpinan partai, penanggungjawab, pimpinan, dan pengarah lembaga legislatif di Republik ini. Rakyat menugaskan mereka untuk bekerja mengawasi dan mengontrol kinerja Presiden (Eksekutif) walau dalam bingkai kerjasama kemitraan. Bukan menjadi pekathik (bawahan) yang menghamba dan mengharap belas kasihan dari sang majikan, Presiden.

Di tangan mereka dititipkan oleh rakyat hak yang sangat istimewa; bisa melakukan impeachment bila Presiden melakukan perbuatan tercela yang sangat berat. Atau nyata-nyata terbukti telah melakukan pelanggaran mendasar terhadap UUD 1945. Celakanya, antara yang diberi tugas mengawasi dan yang diawasi malah duduk bersama main mata dan ‘main kartu’ di satu meja. Ditambah lagi dengan para penanggung jawab lembaga Yudikatif ikut nimbrung berkomplot, maka selamat tinggallah impian… Good governance, sebagai salah satu cita-cita Reformasi 1998! Pelecehan terhadap kepercayaan rakyat ini pertanda… ‘’matinya institusi negarawan di negeri ini!”

Kembali ke mitos ‘NO Jokowi, NO Way to win’ rasanya menjadi perlu untuk secara rasional, melalui pintu budaya politik, dipertanyakan; apakah benar Presiden, Jokowi, merupakan sang penentu utama bagi kemenangan seorang kandidat capres dalam kontestasi Pilpres 2024? Karena anehnya, cukup banyak pengamat yang bersetuju dengan mitos ini. Secara pribadi, saya memberanikan diri untuk menyisakan kesangsian. Sekali pun tidak saya pungkiri bahwa berdasarkan UUD 1945, kekuasaan seorang Presiden Republik Indonesia sangat luarbiasa besarnya.

Saya teringat peristiwa tarik menarik di ruang politik kekuasaan pada zaman Orde Baru yang bisa kita jadikan referensi. Saya masih ingat betul bagaimana di masa jayanya seorang Ali Murtopo, Jenderal intel kepercayaan Pak Harto paling atas yang begitu sangat powerfull. Perintahnya selalu ditaati dan sigap dilaksanakan oleh para anak buahnya maupun para pemimpin institusi penyelengggara negara. Tapi begitu kedudukannya dilengserkan Pak Harto, dan lewat pintu Sekertaris Negara Sudharmono ditampilkan menjadi pemimpin baru, mendadak sontak berbondong-bondong para pengikut hingga kaki tangan Ali Murtopo melakukan hijrah pengabdian. Sebagian besar langsung hanya menuruti perintah sang bos baru, Sudharmono.

Hal yang sama terjadi pada diri Jenderal yang dikenal sangat berkuasa menentukan nasib seseorang, sangat ditakuti dan menyeramkan, Benny Murdani. Namun, ketika dilengserkan, dan Habibie (bos ICMI) dimunculkan Pak Harto sebagai putra mahkota, langsung Jenderal Benny Murdani tampil tak ubahnya bak singa ompong bahkan mirip seekor bebek lumpuh. Terakhir, terjadi pada Pak SBY. Tokoh yang dipuja-puja dan dielukan begitu tinggi selama satu dasa warsa, jelang masa purna jabatan sebagai Presiden, kehadiran tokoh kharismatik ini di mata publik politik tak lebih seperti figur kosong melompong yang omongan dan perintahnya diterima bawahan seperti angin lalu yang lewat begitu saja.

Pemujaan dan garis komando pun beralih ke sang idola harapan baru 2014, Joko Widodo alias Jokowi. Dan sebagai catatan tambahan yang sangat penting; Setiap penguasa/Raja baru tidak akan membiarkan dirinya hidup dalam bayang-bayang kejayaan penguasa/Raja sebelumnya! Begitulah tarik menarik-timbul tenggelamnya kekuasaan yang sering dan hampir selalu terjadi dalam wilayah budaya kekuasaan selama ini.

Oleh karenanya, sangat ahistoris bila di masa-masa akhir kekuasaan Jokowi, beliau masih diposisikan sebagai figur pemimpin yang perintahnya selalu ditaati bawahan di wilayah institusi negara, baik sipil maupun militer.

Sekalipun saat ini mereka sudah jauh terpenjara dalam ilusi yang secara intens digelembungkan oleh para buzzer dan para penyihir di kalangan intelektual pendukung buta Jokowi. Sehingga mereka masih percaya bahwa ‘NO Jokowi, NO Way to win’ adalah realita. Seakan tanpa Jokowi sama dengan tanpa kemenangan….hmmm???

Ingat bapak-bapak dan Ibu, masih ada jarak cukup panjang hingga ‘hari H’ pencoblosan. Dalam dinamika politik yang liar seperti sekarang ini, segala sesuatu bisa terjadi. Termasuk juga hal yang tidak kita harapkan!

Untuk itu, sebagai tawaran, motto yang rasanya perlu kita kembangkan sebaiknya berbunyi begini… TANPA RAKYAT, pastilah TANPA KEMENANGAN SEJATI..!

Memang Jokowi adalah Presiden Indonesia, tapi Indonesia bukanlah Jokowi..! Tanpa Indonesia, Jokowi pun niscaya ‘tiada’ dan bukan apa-apa. Tapi tanpa Jokowi, Indonesia akan selalu dan harus tetap ada!