Waspada Dokter…

🙏WASPADALAH🙏
*KATA DOKTER, KITA HARUS HATI-HATI KEPADA DOKTER* _*Terutama di Rumah Sakit SWASTA*_

Ini mungkin tulisan yang cukup *aneh*
Kok bisa, seorang dokter justru meminta kepada pasien untuk berhati-hati kepada pelayanan dokter.

Tetapi inilah saran yang diberikan oleh dokter Billy sebagaimana ditulis dalam “Konsul Sehat” (http://konsulsehat/. web.id).
Konsul sehat merupakan situs untuk kemajuan edukasi masyarakat di bidang kesehatan.

Seperti yang diceritakan dr. Billy dalam artikel tersebut, selama beberapa hari dr. Billy mengurusi abangnya yang sakit demam berdarah (DBD).
Dokter ini membuatkan surat pengantar untuk dirawat inap di salah satu *RS SWASTA yang terkenal cukup baik pelayanannya*.

Sejak masuk UGD, Billy menemani sampai masuk ke kamar perawatan, dan setiap hari dia menunggui.
Jadi dia sangat tahu perkembangan kondisi abangnya.

“Abang saya paksa untuk rawat inap karena trombositnya 82 ribu.
Agak mengkhawatirkan,” katanya.
Padahal sebenarnya si abang menolak karena merasa diri sudah sehat, tidak demam, tidak mual, hanya merasa badannya agak lemas.

Mulai di UGD Billy sudah merasa ada yang ‘mencurigakan’.
Karena Billy tidak menyatakan bahwa dia adalah dokter pada petugas di RS, jadi dia bisa dengar berbagai keterangan/penjelasan dan pertanyaan dari dokter dan perawat yang menurutnya ‘menggelikan’.

Pasien pun *diperiksa ulang darahnya*.
Ini masih bisa diterima.
Hasil trombositnya tetap sama, 82 ribu.

Ketika abangnya akan di *EKG* , si abang sudah mulai ‘ribut’ karena Desember lalu baru tes EKG dengan treadmill dan hasilnya sangat baik.
Lalu Billy menenangkan bahwa itu prosedur di Rumah Sakit.

Tetapi yang membuat Billy heran adalah si Abang harus *disuntik obat Ranitidin* (obat untuk penyakit lambung), padahal dia tidak sakit lambung, dan tidak mengeluh perih sama sekali.
Obat ini disuntikkan ketika Billy mengantarkan sampel darah ke lab.

Oleh *dokter jaga diberi resep untuk dibeli*, diresepkan untuk tiga hari, padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung, dan *biasanya obatnya pasti ganti lagi*.
Belum lagi resepnya pun isinya tidak tepat untuk DBD. Jadi resep tidak dibeli.
Dokter penyakit dalamnya setelah ditanya ke temannya yang praktek di RS tersebut, katanya dipilihkan yang dia rekomendasikan, karena ‘bagus dan pintar’, ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada di RS.

Malamnya, *via telepon*, dokter penyakit dalam memberi instruksi *periksa lab macam-macam*.
Setelah Billy lihat, banyak yang ‘nggak nyambung’, jadi Billy minta Abang untuk hanya menyetujui sebagian yang masih rasional.

Besoknya, Billy datang ke RS agak siang.
Dokter penyakit dalam sudah visite dan tidak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak.
Billy diminta perawat untuk *menebus resep ke apotek*.
Ketika Billy melihat resepnya, dia heran.
Di resep tertulis obat *Ondansetron suntik*, obat anti mual/muntah untuk orang yang sakit kanker dan menjalani kemoterapi.
Padahal Abangnya sama sekali tidak mual apalagi muntah.
Tertulis juga *Ranitidin suntik*, yang tidak diperlukan karena Abangnya tidak sakit lambung.
Bahkan *parasetamol bermerek* pun diresepkan lagi, padahal Abang sudah bilang bahwa dia punya banyak.

Karena bingung, Billy cek di internet. Apakah ada protokol baru penanganan DBD yang dia lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron.
Ternyata tidak.
Akhirnya Billy hanya membeli suplemen vitamin saja dari resep.

Pas Billy menyerahkan obat ke perawat, perawat tanya ‘obat suntiknya mana?’
Billy jawab bahwa pasien tidak setuju diberi obat-obat itu.
*Si perawat malah seperti menantang*.
Akhirnya dengan terpaksa Billy sampaikan bahwa profesi dia adalah dokter, dan dia yang merujuk pasien ke RS.
“Abang saya menolak obat-obat itu setelah tanya pada saya”.
Malah saya dipanggil ke nurse station dan *diminta menandatangani surat refusal consent* (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat, papar Billy.

“Saya beritahu saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang menandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung.
Sementara dokter saat visite nggak menjelaskan apapun mengenai obat-obat yang dia berikan.
Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang ‘bengong’.” katanya.

Saat Billy menunggu Abangnya, pasien di ranjang sebelahnya ternyata sakit DBD juga, dan dia sudah *diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal* dan sudah 2 botol yang dipakai, padahal kondisi fisik dan hasil labnya tidak ada infeksi bakteri.
Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain.
Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong ‘sakit ya?’, ‘masih panas?’, ‘ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya’.
Visite nggak sampai tiga menit.

Besoknya dokter penyakit dalam yang menangani Abangnya Billy visite kembali dan tidak berkomentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan.
Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh pulang.

“Saya jadi membayangkan, nggak heran PONARI dan *orang pandai* dkk laris, karena dokter pun ternyata pengobatannya nggak rasional.

Kasihan, banyak pasien yang terpaksa *diracun* oleh obat-obat yang nggak diperlukan, dan *dibuat ‘miskin’* untuk membeli obat-obat yang mahal. Ini belum biaya dokter ahli yang hrs ‘dibayar’ cukup mahal yang ternyata nggak banyak memberi penjelasan kepada pasien, sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visite.” papar dokter Billy.

Beberapa waktu sebelumnya Billy juga pernah menunggui saudaranya yang lain yang dirawat inap di salah satu *RS swasta yang katanya terbaik* di salah satu kota kecil di Jateng akibat sakit tifoid.

Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak *obat yang tidak rasional* yang diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.

“Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN.
Semoga info ini bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk pembaca semua agar berhati-hati dan kritis terhadap pengobatan dokter,” tulis Billy menutup artikelnya.

Pertanyaan kita sekarang, apakah semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya yang berprofesi dokter supaya tidak mendapat pengobatan sembarangan?

Sahabatmu, *dr. Billy Nugraha*……. viralkan

Penghapus.

Belum dapat siapa anak mesin yg nulis ini. Syc akan cari di google.

KOLOM: Kisah Sebuah Penghapus

Di kelas saya di ITB dulu saya sebenarnya termasuk golongan minoritas: perwakilan dari kelas pinggiran. Ya, saya memang berasal dari kampung jepung di pelosok Jawa. Saya lahir di Karanganyar atau Solo coret. Dan masa kecil saya habiskan di desa Karangpandan, Karanganyar coret (atau Solo coret kuadrat). Saya dulu tentunya tidak kenal apa itu penghapus (kata dalam judul di atas), tahunya setip. Dulu bentuknya kotak dengan warna putih dan ujungnya hijau. Kadang ada gambarnya bendera atau buah dsb. Baunya wangi, yang merupakan sejenis sumber kegembiraan tersendiri bagi anak desa. Buku saya sampulnya ungu dan dibuat oleh pabrik kertas Letjes. Tapi suatu saat ada juga yang bergambar Koes Plus dan bahkan gambar yang membuat saya percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini: Astronot Edwin B Aldrin yang sedang menjejak bulan. Sementara itu kosa kata untuk peruncing pensil adalah ongotan atau urek. Demikianlah tentu kata-kata ini asing bagi anak kota.

Kondisi saya, alhamdulillah, cukup tertolong dengan pergaulan di kampus yang tentunya merupakan arena pembauran segala kalangan. Kadang saya merasa lega ternyata banyak juga teman-teman saya yang berasal dari pelosok. Mereka belajar ke ITB sebagai kaum pendatang dan perantau. Masing-masing mempunyai strategi untuk survive di dunia akademik yang penuh kompetisi itu. Kalo kita boleh percaya pada bunyi tulisan pada plang di depan gerbang kampus maka mereka adalah “putra putri terbaik Indonesia”. Terbaik dari kecamatannya masing-masing. Kita tidak pernah tahu betapa sebagian dari mereka melewati proses keputusan yang tidak mudah. Untuk menanggung biaya pindah ke kota perlu untuk either menjual sawah atau kerbaunya. Bila sawah dijual, kerbaunya nganggur. Kalo kerbau dijual, siapa yang menarik garu dan luku?

🍂

Bila anak-anak millenials sekarang ini meja belajarnya buatan IKEA maka masa itu sebagian teman saya (yang berada) memakai buatan Ligna. Saya sendiri sangat bersyukur mempunyai meja lungsuran dari kakak saya. Meja tersebut adalah karya dari desainer pinggir jalan di seberang pasar Balubur. Bila desain IKEA terkesan slim dan minimalis. Maka desain Balubur ini bergaya… recycle. Papan kayu banyak yang tidak rata atau malah berlubang sehingga harus didempul. Saya curiga bahan bakunya memang dari boks bekas. Tapi tentunya tetap saya syukuri, minimal berbentuk menyerupai meja belajar. Apalagi kakak saya cukup kreatif dengan melapisi permukaan meja dengan sejenis plastik atau vynil bercorak. Believe it or not, penampakan akhirnya tidak jauh dari meja-meja di majalah interior. Terutama kalo dilihat, agak jauh, dari luar rumah.

Dengan setting seperti di atas saya menyelesaikan pendidikan saya dalam waktu 4.5 tahun. Bila ada yang mengatakan you are the average of five people around you, maka saya merasa sangat beruntung karena interaksi dengan dosen-dosen di ITB yang hebat kala itu. Saya kadang terheran-heran atau kagum dengan cara berpikir dan kepercayaan diri para pendidik tersebut. Bagaimana mereka memperoleh way of thinking seperti itu. Saya membatin ini pastilah datang dari pendidikannya. Sebagian besar dosen yang mengajar saya lulus dari universitas terkemuka Amerika: MIT, Purdue, Berkeley dsb. Blio-blio yang membentuk cara berpikir dan juga attitude secara keseluruhan: cara berpikir analitis dan kritis, pendekatan yang sistematis dan yang paling utama kemandirian dan self confidence. Resilience. Sikap dan pendirian bahwa setiap masalah ada jalan keluarnya. In the most hopeless situation, there IS light on the other side of the tunnel.

🍂

Dalam sebuah episod, setelah saya lulus dan ditawari posisi dosen muda, saya memperoleh admission letter dari MIT (sesudah proses rumit selama setahun). Menteri Ristek Habibie menandatangani beasiswa saya. Namun karena birokrasi yang panjang beasiswa tidak bisa cair sampai minggu pertama kuliah. Pintu dan harapan terakhir saya adalah pintu kantor Professor O Diran. Pendiri Jurusan Teknik Penerbangan. Di lingkungan ITB ruang Prof Diran ibarat sarang naga. You should know what you’re doing with the entry. Namun saya tahu persis objective dan resikonya. Bila saya tidak memperoleh beasiswa semester itu everything is gone. Semua persiapan panjang dan hasil admission yang seperti unta masuk lubang jarum bisa tidak ada gunanya. Now or never. Demikianlah dengan mengumpulkan segenap keberanian saya mengetuk pintu.

Prof Diran mendongakkan kepala dari tempat duduknya di antara berkas-berkas yang sedang ditekuninya:
“Yes, Sir…?”
Pandangannya tajam dan bila diartikulasikan kira-kira berbunyi : I am busy and you’d better not waste my time.

Saya menelan ludah dan mengatakan,
“Your door is the last one. If I don’t succeed I have nowhere else to go”.
Demi mendengar kalimat tersebut blio melepaskan ballpennya dan mempersilakan saya masuk. Saya ceritakan beasiswa saya yang nyangkut. Dan bahwa saya juga sudah mencoba berbagai jalur: Bappenas, BPPT, US Embassy,… Juga sudah konsultasi ke semua dosen senior. To no avail.

“When do you need to go (to start your study at MIT)?”
“Two days ago. The spring semester started last Tuesday..”.

Di luar dugaan, bukan kalimat penghiburan atau apa yang disampaikan, blio beranjak dari tempat duduk berjalan keluar sambil mengatakan:
“Follow me Pak”

Kebiasaan blio adalah menggunakan bahasa Inggris dan mengaddress siapa saja (kolega, bawahan, para menteri, dirjen, KSAU, pak penjual bakso, petugas cleaning service, dan para mahasiswa) secara flat: Pak.

Yang dituju ternyata adalah ruangan Kepala Jurusan Teknik Mesin, kala itu dijabat oleh Pak Satryo Sumantri Brodjonegoro. Secara singkat Pak Diran menjelaskan casenya:

“Pak Agus should have started his study several days ago at MIT, Pak Satryo. As his scholarship is pending, we need to find a way to support him at least temporarily. I will call Pak Habibie this evening to update him and make sure his scholarship is secured. Meanwhile, can you arrange an interim support? I will be his ‘borg’”

Tanpa ada diskusi, Pak Satryo membuka laci mejanya dan mengeluarkan check. Berapa yang diperlukan. Saya sudah membuat hitung-hitungan di kepala dan menjawab, empat puluh lima juta rupiah. Cukup untuk airfare, bayar dorm dan biaya hidup beberapa waktu. Dari pembicaraan pendek yang berlangsung, saya mengetahui bahwa uang yang diberikan ke saya sore itu “dipinjamkan” dari uang Koperasi ITB. Salah seorang teman saya kebetulan bekerja part time di sana, yang dijual adalah alat tulis: pensil, ballpen, penggaris dan penghapus. Saya terharu, sementara teman-teman saya sekelas di MIT memperoleh beasiswa dari perusahaan raksasa seperti General Dynamics, Raytheon atau Airbus, saya berangkat dengan biaya dari laba jualan penghapus.

Dalam perjalanan kembali kembali ke kantornya Prof Diran meminta saya segera pergi dan mengurus semua yang diperlukan untuk keberangkatan saya secepatnya. Saya menghaturkan terima kasih dan berpamitan. Saya mendengar tentunya percakapan antara Pak Satryo yang membahas dan mengkhawatirkan para penerima beasiswa yang tidak kembali (sesudah selesai belajar). Entah darimana Professor Diran menyimpulkan sambil melihat ke arah saya: “But he will come back”.

Dari dekat pintu ruangannya, belum tiga langkah saya berjalan, blio mengatakan:
“Please remember this arrangement for you Pak. Do not forget your country”

🍂

Saya menyelesaikan studi saya di MIT (dimana Edwin B Aldrin dulu belajar) dan total berada di lingkungannya selama hampir 10 tahun. Berpuluh-puluh tahun kemudian saya masih mengingat dan mengamalkan kata-kata professor saya.

Cinta NKRI

SIMAKLAH SEJARAH: SIAPA CINTA NKRI?

Dr. Ir. Masri Sitanggang

Aku betul-betul terganggu dg tudingan anti NKRI, anti kebhinekaan dan anti Pancasila yg dialamatkan kepada kelompok Islam hanya karena mereka mengamalkan syariat agamanya. Aku tersinggung, marah dan “terpaksa” menuliskan kembali catatan-catatan penting sejarah tentang perjuangan memerdekakan bangsa ini; agar jelas kelompok mana berperan sebagai apa : Pahlawan cinta NKRI atau bagian dari penjajah? Terpaksa, karena akhlaq Islam mengajarkan umatnya untuk tidak menepuk dada, menyebut-nyebut kebaikan yang pernah dibuatnya. Karena itu pula aku, dalam artikel ini, akan mengutip sumber-sumber dari kalangan non muslim.

Perjuangan kemerdekaan muncul karena adanya penjajahan dan itu dimulai sejak Portugis menyerang Kesultanan Malaka di sekitar tahun 1511. Sebelum itu, tidak ada perjuangan kemerdekaan, artinya, tidak ada penjajahan. Meski berbeda suku bangsa dan bahasa di tengah mayoritas muslim, rakyat hidup aman tentram di bawah Pemerintahan Kesultanan. Nusantara ketika itu memang berada di bawah kekuasaan kesultanan-kesultanan di mana antar kesultanan terjalin hubungan erat bahkan hingga ke luar Nusantara; dan perlu diingat, yang namanya Sultan sudah pastilah muslim dan Syariat Islam diberlakukan.

Kedatangan Portugis tidak terlepas dari semangat Perang Salib. Dr.W.Bonar Sijabat (dalam KH Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, 1979) menerangkan, sekalipun orang-orang Eropa kocar-kacir akibat pukulan-pukulan dari musuhnya (Islam) dalam bagian terakhir dari Perang Salib, namun takluknya Kerajaan Islam di Granada (Spanyol) tahun 1492 dan berhasilnya Colombus mendarat di benua Amerika membuat Spanyol dan Portugis masuk kepada suatu lonjakan sejarah yang maha hebat. Tetapi itu bukanlah alasan satu-satunya. Menurut Pdt. Dr. Jan S. Aritonang (Sejarah Penjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 2005), Paus Alexander VI membagi dua kekuasaan di dunia : belahan Barat untuk Spanyol dan belahan Timur untuk Portugis. Paus memberi restu dan mandat kepada kedua negara itu –sebagai penghargaan atas jasa mereka dalam Perang Salib melawan tentara Islam, untuk menaklukkan kawasan-kawasan yang mereka lalui dan menanamkan Kristen kepada penduduknya. Mandat ini tertuang di dalam Bulla (maklumat) Paus Alexander VI tanggal 4 Mei 1493 dan perjanjian Tordesillas 9 Juni 1494. Karena itulah Hamka (Sejarah Umat Islam IV, 1976) menilai penyerbuan ke negeri-negeri Timur lebih besar karena dorongan kemenangan dan penyiaran agama ketimbang keinginan berniaga. Demikian juga pendapat tokoh gereja Indonesia, TB. Simatupang (Iman Kristen dan Pancasila, 1989), katanya:
“Orang Portugis datang ke Indonesia dengan suatu pengertian teologi dan politik di balik tujuan mereka untuk mematahkan ekonomi orang Islam (yang menguasai perdagangan dari Indonesia ke Eropa), dan menduduki wilayah negeri-negeri lain dalam nama raja Portugal serta memenangkan penduduk negeri-negeri itu untuk Gereja Roma Katolik”.

Jan S. Aritonang (2005) menyebut bangsa Barat datang sambil mengibarkan panji-panji Kristen, termasuk tanda salib di bendera kapal-kapal dagang mereka. Di dalam diri penguasa Portugis dan Sepanyol tertanam dendam yang mendalam terhadap Islam, dendam Perang Salib. Dan Semua itu tergambar dalam pidato Panglima Perang Portugis Alfonso Albuquerque di depan pasukannya ketika akan menyarang kerajaan Islam Malaka ( Hamka, 1976) : “Adalah satu pengabdian maha besar dari kita kepada Tuhan apabila kita telah dapat mengusir orang Arab dari daerah ini kelak, sehingga nyala pelita ajaran Muhammad itu padam dan tidak akan bangkit lagi untuk selama-lamanya”.
Pada bagian lain pidatonya, dikatakan :
“…karena saya yakin apabila semenanjung Malaka ini telah kita rebut dari tangan mereka, Kaum Muslimin itu, dengan sendirinya Kairo dan Mekkah jadi tanah tandus yang tidak ada penduduknya lagi. Dan orang Venesia sendiri tidak akan dapat berniaga rempah-rempah kalau tidak membeli kepada kita”.
Bagian akhir pidato ini membuktikan hal lain, yakni eratnya hubungan negeri-negeri Islam saat itu, betapa negeri Melayu ini tidak terpisahkan dengan (sejarah) negeri Islam di mana pun. Saifuddin Zuhri (1979) bahkan mengatakan bahwa peranan Kerajaan Pasai di Aceh sangat besar dalam mempertahankan Masjid Aqsha pada masa Perang Salib. Karena itu pula kemudian dapat dipahami mengapa Mesir (Kairo) dan negara-negara Islam menjadi negara pertama yang mengakui Kemerdekaan RI, sementara negara Barat Kristen sangat terlambat.

Di mana-mana di Nusantra ini Portugis menghadapi kekuatan Islam yang dipimpin para Sultan dan Ulama. Meski Kesultanan Malaka dan Kerajaan Islam Pasai di Aceh dapat ditaklukkan, tetapi ambisi Portugis untuk menguasai Sunda Kelapa dapat dipatahkan oleh Sultan Fatahillah yang kemudian memberi nama Jayakarta (Jakarta) untuk daerah itu.

Di Ternate, setelah terjadi beberapa kali konflik senjata, terdapat kesepakatan antara Portugis dan Sultan Khairun : perdagangan boleh dimonopoli Portugis, tapi bidang agama Sultan Khairun yang berwenang. Namun seperti dikatakan T.B. Simatupang (1989) bahwa misi Portugis ke Indonesia adalah menduduki wilayah dalam nama raja Portugal serta memenangkan penduduk negerinya untuk Gereja Roma Katolik, maka keadaan tetap tidak aman; umat Islam di mana-mana mendapat tekanan. Akhirnya Sultan Khairun membolehkan penyiaran Kristen dengan catatan harus dilakukan di daerah yang penduduknya belum Islam, yakni Ambon. Di Ternate, karena pendudukya sudah Islam, Portugis hanya boleh berdagang. Ini ditempuh Sultan karena Baginda merasa bertanggung jawab terhadap aqidah rakyatnya.

Tetapi oleh Portugis dibalik, Ambon dijadikan pusat perdagangan dan Ternate dijadikan pusat penyiaran Kristen, yang menyebabkan Sultan memaklumkan’’Perang Sabil’’. Kepada pasukannya, Baginda memerintahkan untuk mengusir semua orang Kristen dari Ternate, baik orang Portugis maupun pribumi. Mengapa ? Menurut Hamka (1976), orang-orang yang telah memeluk Kristen tidak mau mengakui kekuasaan Sultan lagi. “Dan yang lebih berbahaya daripada itu”, tulis Hamka, “ialah bahwa seketika terjadi perselisihan-perselisihan di antara Sultan dengan Gabnor, orang-orang Krsiten anak negeri selalu berpihak kepada Potugis, bahkan ada yang menjadi mata-mata Portugis.” Jan S. Aritonang (2005) mengonfirmasi adanya missionaris Portugis bersama Kristen anak negeri yang tewas dalam beberapa kali bentrokan melawan pihak kesultanan, yang memberi bukti bahwa anak negeri yang telah Kristen memang berada di pihak Penjajah.

Ketika Portugis terdesak dan kemudian meminta damai, Sultan bersedia bersahabat lagi asal portugis tidak menjadikan Ternate sebagai pusat penyiaran Kristen. Ini menunjukkan betapa faktor agama menjadi begitu penting dalam hubungan kedua bangsa ini. Perjanjian damai ditandatangani, Sultan memegang Al-Quran dan Gubernur Portugis memegang Injil; do’a dipimpin oleh qadi Islam.

Tapi sayang, Sultan di bunuh ketika bersantap dalam jamuan makan yang sengaja dibuat oleh Portugis untuk menghormati perjanjaian suci itu, Pebruari 1570. Suatu penghianatan yang sangat keji, yang membakar semangat perang total melawan Portugis, Sultan Babullah, pengganti Sultan Khairun, mengepung benteng penjajah Portugis di Ambon. Terbukti pula Raja Bacan, yang telah memeluk Kristen, membantu Portugis yang terkepung dengan menyuplai bahan makanan. Bukan main murkanya Sultan Babullah sehingga mengancam akan memusnahkan kerajaan Bacan. Takut akan ancaman, Bacan berhenti menyuplai bahan makanan. Benteng Ambon jatuh ke tangan Pasukan Islam, Portugis lari ke Malaka. Sultan Babullah menyatakan tidak akan membunuh Kristen anak negeri dan tidak akan dipaksa masuk Islam asal mereka tunduk kepada kekuasaan Sultan.

Masuklah ke era kolonial Kristen Protestan Belanda. Sudah umum pula diketahui bahwa mereka yang tampil memimpin perjuangan mengusir Belanda adalah para pemuka agama Islam. Clifford Greetz (dalam A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, 1995) menyebut perlawanan menentang Belanda ini sebagai “pemberontakan Santri’’. Simbol-simbol perjuangan dan slogannya menonjolkan semangat Islam, semangat jihad dan kesediaan mati syahid. Imam Bonjol di Padang dengan perang Paderinya, Teuku Umar dan Cik Ditiro di Aceh dengan “Perang Sabil” melawan orang “kape”-nya, Diponegoro di Jawa dengan “Perang Sabil” dan jubah putihnya, begitu juga Sultan Hasanuddin di Sulawesi dan Si Singamangaraja ke XII di Toba. Suryanegara (1995) menyebut, penyebaran Kristen menjadi pangkal perlawanan Si Singamangaraja XII (SSM XII) terhadap Belanda. Ini sejalan dengan pernyataan J.P.G.Westhoff : ”Untuk tetap memiliki jajahan-jajahan kita, sebagian besar adalah tergantung dari pengkristenan rakyat.”

Aritonang (2005) menyebut SSM XII menentang Zending Kristen dikarenakan Zending dijadikan alat pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai wilayahnya. Menurut Suryanegara (1995) daerah-daerah yang telah dipengaruhi Kristen secara administrasi diserahkan oleh misionaris kepada Belanda. Untuk itu pemerintah Belanda merasa berhutang budi kepada missionaris Nomensen sehingga 1991 ia diberi bintang Officer van Oranje-Nassau.
Fakta-fakta yang disampaikan Suryanegara (1995) berupa kliping koran yang diterbitkan Belanda dan kenyataan bahwa dalam perlawanannya menentang Belanda Raja Toba itu dibantu oleh Panglima Nali dari Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Aceh, meyakinkan Bahwa SSM XII adalah muslim.

Bagaimana sikap orang-orang yang telah “ditunjuki” Belanda kepada Kristen ? T.B. Simatupang (1989) menuturkan : “Orang-orang Kristen yang menjadi nasionalis –yang berarti menentang Belanda, dianggap oleh gereja sebagai tidak lagi orang-orang Kristen yang baik.” Sementara tokoh Kristen lainnya, Dr. Mulia (dalam Simatupang 1989) mengakui adaya kesan bahwa misi Kristen di Tapanuli, Minabasa dan Maluku hanya melayani tata hidup kolonial dan kapitalis. Artinya, gereja secara lembaga tidak berada pada barisan perjuangan kemerdekaan, melainkan di pihak penjajah Belanda.

Uraian Ahmad Mansur Suryanegara (Api Sejarah 2, 2012) ini perlu juga dicatat. Kongres Nasional Syarikat Islam di Bandung, 17-24 Juni 1916, memutuskan memelopori tuntutan pemerintahan sendiri, berjuang untuk Indonesia merdeka dan tegaknya pemerintahan yang demokratis dengan adanya parlemen. Lain dari itu, para pemimpin Islam berupaya membangun organisasi kesenjataan modern melalui Indie Weerbar Actie, untuk membangkitkan kembali semangat keprajuritan pemuda. Namun tuntutan Indie Weerbar itu itu ditolak Belanda. Ini terjadi karena pimpinan partai-partai non religius dan sekuler seperti Parindra, Gerindo, Parpindo serta partai non Islam seperti Partai Kristen dan Partai Katolik dengan politik asosiasinya berpihak dan memertahankan pemerintahan penjajah Belanda. Mengutip A.K. Pringgodigdo, Suryanegara (2012) mengatakan sikap partai-partai Kristen itu sebagai akibat partai tersebut dipimpin oleh orang Belanda.

Begitulah perjuangan Ummat Islam memerdekaan bangsa ini dari penjajah Katolik Portugis, begitu pula di masa penjajah Protestan Belanda serta Inggris dan demikian juga di masa mempertahankan kemerdekaan dari sekutu. Pada masa serangan sekutu, Resolusi Jihad Ulama dan teriakan Takbir Bung Tomo serta kepemimpinan Jendral Sudirman adalah legenda rakyat muslim Indonesia mempertahankan NKRI yang tak boleh dilupakan.

Jujurlah pada sejarah, agar kita bisa saling hormat dan menghargai. Jujur pulalah dalam bernegara agar Indonesia benar-benar menjadi milik bersama. Jangan ada dusta di antara kita, agar bangsa ini bisa tumbuh besar dan kuat dengan rakyat yang rukun dan damai. Meski di antara kita ada yang “ditunjuki” oleh penjajah (Portugis atau Belanda), tinggalkanlah cara-cara bangsa asing itu. Jadilah sepenuhnya bangsa Indonesia. Janganlah Umat Islam dituduh anti NKRI, anti kebhinekaan, radikal dan lain semacamnya karena itu menyakitkan. Tuduhan itu hanya layak dilontarkan oleh penjajah dan itu berarti membangkitkan kenangan lama : perlawanan umat Islam menentang penjajah dan antek-anteknya !.

Wallahu a’lam bishshawab.