Judulnya Mohon Petunjuk!!

Ada ada saja Saudara! Masih belum lepas kita dari budaya lama. Itulah gambaran politik kita.

————————-

KETUA DPR

Ade Klarifikasi Penggantian kepada Megawati

JAKARTA, KOMPAS — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin, Jumat (25/11), menemui Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di rumah kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Selain meminta nasihat, Ade mengklarifikasi kemungkinan pengembalian jabatan Ketua DPR dari dirinya kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto dilatarbelakangi oleh keinginan Megawati.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat  Ade Komarudin (tengah) didampingi  Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Utut Ardiyanto (kiri) dan Wakil Sekjen PDI-P Enrico Sotarduga (kanan) memberikan keterangan tentang pertemuannya dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, di  Jakarta, Jumat (25/11). Selain menjalin silaturahim, keduanya juga  membahas kondisi bangsa terkini.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNGKetua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin (tengah) didampingi Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Utut Ardiyanto (kiri) dan Wakil Sekjen PDI-P Enrico Sotarduga (kanan) memberikan keterangan tentang pertemuannya dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, di Jakarta, Jumat (25/11). Selain menjalin silaturahim, keduanya juga membahas kondisi bangsa terkini.

“Ibu (Megawati) mengatakan tidak sama sekali sebab tidak pada posisi itu (menginginkan). Yang terpenting untuk beliau adalah taat aturan,” kata Ade, yang dalam keterangan persnya, seusai diterima Megawati hampir dua jam, didampingi juga oleh Ketua PDI-P Utut Adianto dan Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Eriko Sotarduga.

Menurut Ade, Megawati menegaskan dirinya tak mencampuri urusan Partai Golkar. “Taat hukum lebih penting. Patuh pada aturan yang berlaku di DPR ataupun patuh pada aturan partai jika sebagai kader,” kata Ade.

Terkait nasihat yang diminta kepada Megawati, Ade mengatakan hal itu ia lakukan karena Megawati adalah salah seorang negarawan dan presiden kelima RI. “Saya dulu dapat didikan mengenai nasionalisme dan kebangsaan dari almarhum Taufiq Kiemas, suami Megawati,” kata Ade.

Sebelumnya, Rapat Pleno DPP Partai Golkar, Senin (21/11), yang dipimpin Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid, memutuskan mengembalikan jabatan Ketua DPR kepada Novanto. Meskipun tak dihadiri Novanto, rapat dihadiri Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dan Ketua Partai Golkar lainnya.

Novanto, yang mundur dari jabatannya Desember 2015, sebelumnya dilantik menjadi Ketua DPR Oktober 2014. Novanto kemudian mundur setelah semua fraksi di Mahkamah Kehormatan Dewan menilainya melanggar etika terkait kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kasus permintaan saham PT Freeport Indonesia. Posisinya kemudian digantikan Ade Komarudin (Kompas, 23/11).

Sementara terkait penggantian Ade, Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie, seusai rapat internal Dewan Pembina Partai Golkar, menyatakan, dewan pembina belum bersikap. Keputusan mengenai hal itu akan dibicarakan lebih dulu dengan DPP. Pasalnya, pengisian pimpinan lembaga negara merupakan salah satu kebijakan strategis yang harus diputuskan bersama. Ia mengatakan, dalam waktu dekat, ia akan bertemu dengan Novanto untuk membahas penggantian tersebut.

Sebaliknya, seusai silaturahim Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Golkar Provinsi se-Indonesia dengan Novanto di Bali, DPD Partai Golkar justru mendukung keputusan DPP Partai Golkar sebelumnya. Pernyataan dukungan dibacakan oleh Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Timur Nyono Suharli Wihandoko. (INA/REK/COK)

SUmber: KOmpas 26 Nov 2016

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161126kompas/#/2/

Wawancara (Imajiner) Tokoh Bangsa

Mari mengenang tokoh sejarah nasional kita.

————————

Wawancara (Imajiner) Tokoh Bangsa

Baru berusia 71 tahun (Proklamasi 1945), negeri ini serasa sudah menua. Kalau menandai dengan peristiwa Sumpah Pemuda 1928, bangsa ini juga serasa cepat merapuh. Akhir-akhir ini, kohesi nasional rasanya merenggang. Perbedaan yang pada masa Kebangkitan Nasional awal abad XX menjadi elemen perekat, sekarang justru unsur perenggang. Dalam kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, implikasinya luar biasa. Sentimen primordial menguat, menggerus pilar-pilar persatuan. Kebinekaan yang menjadi kerangka bangsa ini seakan terkoyak. Jangan-jangan banyak yang lupa pada Pancasila, falsafah yang menjadi pemersatu bangsa. Mendengar ’Pancasila’ langsung teringat Soekarno (Bung Karno), penggali Pancasila, presiden pertama RI (1945-1967).

Bung, sebagai pendiri bangsa dan proklamator, apa yang terjadi dengan Indonesia sekarang ini?

Bung Karno: Kejadian-kejadian akhir-akhir ini, saudara-saudara, membuktikan sejelas-jelasnya bahwa jikalau tidak di atas dasar Pancasila kita terpecah-belah, membuktikan dengan jelas bahwa hanya Pancasila-lah yang dapat tetap mengutuhkan negara kita, tetap dapat menyelamatkan negara kita. Oleh karena itu, saya harap saudara- saudara nanti kalau saya sudah menguraikan Pancasila ini selalu ingat kepada background yang pada malam ini saya berikan kepada saudara-saudara, bahwa kita membutuhkan persatuan dan bahwa Pancasila adalah kecuali satu Weltanschauung adalah satu alat pemersatu daripada rakyat Indonesia yang aneka warna ini (Peringatan Hari Pancasila, 1 Juni 1964).

Sebetulnya, bukankah kebinekaan Indonesia sudah selesai. Generasi hebat yang dimiliki bangsa ini berhasil membangun tonggak-tonggak pencapaian luar biasa, seperti konsep ”satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa” di dalam Sumpah Pemuda 1928. Pada zaman dulu, perbedaan justru menyatukan. Sekarang, perbedaan malah dikorek-korek. Pada era otonomi sekarang ini, sentimen kedaerahan dan primordialisme justru menyembul ke permukaan. Gerakan kedaerahan bergolak kuat pada dekade 1950-an yang menjadi ancaman disintegrasi, semisal pemberontakan PRRI/Permesta, RMS, Andi Azis, DI/TII, dan lain-lain. Jadi teringat Letnan Jenderal TB Simatupang, Kepala Staf Angkatan Perang 1950-1953, yang harus berhadapan dengan gerakan-gerakan daerah tersebut.

Apa arti kedaerahan dalam bingkai Indonesia?

TB Simatupang: Saya bukanlah orang Jawa, saya adalah orang Indonesia yang lahir di Tapanuli. Namun sedikit pun saya tidak pernah merasa asing selama pengembaraan di Pulau Jawa dalam perang kemerdekaan ini. Syafruddin, putra Jawa Barat, yang memimpin seluruh perang rakyat ini dari pegunungan alam Minangkabau, pastilah tidak akan merasa dirinya asing di sana. Demikian juga halnya dengan Hidayat, putra Jawa Barat, yang sedang memimpin perang rakyat di seluruh Sumatera; Simbolon yang lahir di Tapanuli dan sedang memimpin perang rakyat di Sumatera Selatan; Kawilarang, Kawanua yang memimpin perang rakyat di Tapanuli dan sedang memimpin perang rakyat di Tapanuli dan Sumatera Timur; Nasution yang lahir di Tapanuli dan sekarang menjadi Panglima Jawa; Sadikin, orang Banyumas yang memimpin perang di Jawa Barat; Gatot Subroto, orang Banyumas yang memimpin perang rakyat di Solo; Sungkono, anak Banyumas yang memimpin perang kemerdekaan di Jawa Timur. Adalah bukti yang lebih nyata bahwa perang rakyat ini adalah perang nasional, walaupun berhubung dengan faktor-faktor yang obyektif perang rakyat itu diorganisir secara regional (Laporan dari Banaran, 1960).

Di ajang pilkada pada era demokrasi langsung saat ini, di mana-mana kontestasi politik mengerucut pada rivalitas sengit. Nyaris tidak ada yang tidak membawa-bawa sentimen primordial (bisa suku atau agama) atau isu ”putra daerah”. Contoh paling aktual adalah Pilkada DKI Jakarta. Walaupun ada 101 daerah yang menggelar ajang sama pada 15 Februari 2017, tetap saja Pilkada DKI Jakarta paling gaduh dan panas. Rivalitas sangat sengit. Bisa jadi karena faktor Basuki yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, selain dua pasangan lainnya: Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Basuki memang sudah pro-kontra sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Joko Widodo pada 2015. Basuki tidak hanya membuat situasi menjelang pilkada gaduh, tetapi panggung nasional pun memanas, terutama sejak ia diduga menista agama. Bisa jadi ada hubungannya, agar publik tak terbelah, di jalan-jalan terbentang spanduk-spanduk bertuliskan ”Kita Semua Bersaudara”. Ternyata, menjaga situasi tetap sejuk dengan memahami segala keberagaman tidaklah mudah. Jadi teringat Mohammad Natsir, pimpinan Masyumi, Perdana Menteri 1950-1951.

Negeri ini sudah merdeka 71 tahun. Keragaman negeri ini adalah anugerah, tetapi kerap menjadi titik lemah juga. Jadi, bagaimana merawatnya?

M Natsir: Usaha ini tidak dapat dijalankan oleh satu dua orang saja, akan tetapi harus dilakukan oleh masing-masing kita, sebab, ini mengenai satu segi dari ideologi kita yang harus kita dukung, kita tumbuh dan suburkan dalam masyarakat seluruh bangsa kita umumnya. Sudah ada satu cita-cita kemerdekaan beragama yang diajarkan oleh Islam dan yang diketahui oleh orang banyak, dan yang merupakan cara pemecahan soal yang dihadapi oleh negara kita, yakni ”Menjaga keragaman hidup di dalam lingkungan RI ini yang terdiri dari penduduk yang berbeda-beda agamanya” (”Keragaman Hidup Antar-Agama”, Hikmah, 1954).

Tiba-tiba saya tersadar, seakan-akan tengah mewawancarai (secara imajiner) para tokoh bangsa itu bahwa negeri dan bangsa ini tidak boleh rapuh.

Sumber: Kompas, 26 Nov 2016

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161126kompas/#/3/