Ancaman Perang Asap di Lingkungan ASEAN

Pernyataan mantan Menlu Singapura Kasiviswanathan Shanmugam (Menlu yang baru adalah Vivian Balakrishnan) pekan lalu di Facebook tentang kabut asap di negaranya akibat pembalakan hutan di kawasan Sumatera yang dampaknya mencapai Singapura menjadi menarik dalam perkembangan hubungan antarnegara ASEAN.

Kita melihat dimulainya diplomasi sosial media sebagai bentuk kekecewaan atas terjadinya kabut asap berkepanjangan selama satu bulan terakhir di Singapura. Atau, bisa jadi karena Shanmugam tahu tidak akan mengurus masalah luar negeri lagi, ia geram tentang asap yang menyelimuti negaranya.

Dalam lingkup lebih luas, kita merasakan adanya kebuntuan dalam mendiskusikan kabut asap yang melintas setidaknya ketiga negara ASEAN, Singapura, Malaysia, dan sebagian Thailand. Persoalan kabut asap selain menyengsarakan ketiga negara ASEAN juga menyengsarakan penduduk di kawasan Sumatera dan Kalimantan yang menjadi sumber asap akibat pembalakan semena-mena dan selalu berulang setiap tahun.

Celakanya, generasi pemimpin Indonesia sekarang tidak memiliki kemampuan mengantisipasi, apalagi menyelesaikan inti persoalan asap tahunan ini. Kita mencatat tiga persoalan, pertama, kepentingan komersial terlalu dominan yang seenaknya melindas kekhawatiran banyak negara atas keamanan lingkungan hidup, khususnya terkait emisi karbon.

Kedua, birokrasi Indonesia tidak peduli dengan pengurangan emisi gas karbon karena perilaku pemerintahnya yang lemah dan tidak memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi serta dibumbui dengan masalah korupsi yang korosif. Dan, ketiga, otonomi daerah-daerah Indonesia menjadi terlalu kuat sehingga keputusan terkait pembalakan hutan ataupun kesadaran lingkungan terletak pada para gubernur ataupun bupati.

Celakanya menjadi bertambah ketika komentar pejabat seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Kepala Staf Presiden Teten Masduki berbicara seolah-olah Indonesia adalah Sinterklas memberikan kenikmatan oksigen ke negara tetangga di luar musim kabut asap yang terjadi 1-2 bulan setiap tahunnya.

Apakah mereka lupa atau tidak tahu, Indonesia tahun 2014 meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Perjanjian ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas). Perjanjian ini memberikan pemanfaatan sumber daya di negara ASEAN dan di luar negara ASEAN untuk mengatasi persoalan yang sudah puluhan tahun tersebut. Melalui ratifikasi ini, sebenarnya Indonesia bisa memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan dan ikut aktif mengarahkan keputusan ASEAN mengendalikan kebakaran lahan atau hutan.

Ada dua faktor lain yang menyebabkan persoalan kabut asap ini. Pertama, Presiden Joko Widodo sejak awal memerintah sudah menunjukkan ketidakpahamannya tentang ASEAN dan tidak berminat menjadikan persoalan regionalisme sebagai mandala perspektif kebijakan luar negerinya.

Ini yang menjelaskan mengapa Presiden Jokowi menunjuk Wapres-nya menghadiri Sidang Umum PBB atau acara internasional penting lainnya. Ditambah kurangnya pemahaman tentang regionalisme dan multilateralisme di kalangan para menteri sekarang ini, beberapa tampuk pimpinan di Indonesia tidak memiliki pengetahuan dan memberikan masukan yang tidak tepat dalam menyelesaikan persoalan kabut asap ini.

Kedua, sejak tahun 2004, Indonesia tidak mampu menghasilkan kebijakan konkret memperjuangkan diplomasi emisi karbon sesuai Protokol Kyoto. Indonesia sampai sekarang tidak pernah berhasil melaksanakan dehutanisasi dan degradasi hutan mengurangi jumlah emisi karbon.

Dalam Masyarakat ASEAN 2015 yang pengejawantahannya mulai Januari 2016, kesepakatan program PBB melalui program REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation), jumlah emisi karbon diperhitungkan dalam volume total perdagangan bebas Indonesia. Indonesia harus bersikap terbuka terhadap persoalan ini karena perhitungan perdagangan karbon mengurangi emisi polusi lingkungan hidup selalu melekat pada masalah regionalisme dan multilateralisme.

”Perang asap” di lingkungan ASEAN, yang menjadi cemooh banyak pihak, harus segera dicermati para pejabat di segala lini pemerintahan Presiden Jokowi. Selain persoalan pembalakan masif berbagai hutan di Indonesia oleh para konglomerat, persoalan serius lain adalah pengentasan kemiskinan berkepanjangan di berbagai sumber kebakaran hutan yang selalu terlupakan oleh siapa pun yang berkuasa.

E-mail: rlp@kompas.com SMS: 081802-KOMPAS

Twitter: @renepatti

Syukurlah akhirnya disuarakan oleh Wapres dan Pemerintah Indonesia..

Perbaiki Manajemen Haji

34 Anggota Jemaah RI Jadi Korban Musibah Mina

JAKARTA, KOMPAS — Musibah di Mina, Arab Saudi, dengan 769 korban, pekan lalu, hendaknya menjadi momen untuk memperbaiki manajemen penyelenggaraan haji. Selain mencegah peristiwa serupa terulang, pembenahan perlu untuk menjamin jemaah dapat beribadah dengan khusyuk dan aman.

Pemerintah Arab Saudi terus melakukan perbaikan infrastruktur untuk memberikan kenyamanan kepada jemaah haji, seperti terlihat di Masjidil Haram, Minggu (27/9). Meski demikian, sejumlah pihak meminta Pemerintah Arab Saudi mau menerima masukan dari negara-negara asal jemaah haji untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan jemaah.
AFP/MOHAMMED AL-SHAIKHPemerintah Arab Saudi terus melakukan perbaikan infrastruktur untuk memberikan kenyamanan kepada jemaah haji, seperti terlihat di Masjidil Haram, Minggu (27/9). Meski demikian, sejumlah pihak meminta Pemerintah Arab Saudi mau menerima masukan dari negara-negara asal jemaah haji untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan jemaah.

Pelaksanaan ibadah haji pada tahun 2015 (1436 Hijriah) ini diwarnai beberapa insiden. Ambruknya mesin derek (crane) di Masjidil Haram, Mekkah, 12

September 2015, menyebabkan 111 anggota jemaah meninggal dan 331 orang luka-luka. Diantara mereka, terdapat 11 anggota jemaah asal Indonesia yang meninggal dan 42 orang luka-luka.

Pada puncak haji, Kamis (24/9), terjadi insiden saling desak yang menyebabkan 769 orang dari sejumlah negara meninggal, termasuk 34 orang (angka sementara) dari Indonesia, sebagaimana dilaporkan wartawanKompas,Rakaryan Sukarjaputra, dari Mekkah.

Peristiwa ini mengingatkan pada tragedi serupa sebelumnya. Dalam catatan LitbangKompas,sejak tahun 1975 sampai 2015, setidaknya terjadi 10 kali insiden di Mina. Total lebih dari 3.000 anggota jemaah meninggal dalam semua insiden itu.

Para pemangku kepentingan ibadah haji mendesak agar tragedi terakhir itu dijadikan momen untuk membenahi manajemen haji.

Jalin komunikasi aktif

Di tengah kunjungan kerjanya di Karawang, Jawa Barat, Minggu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan, setelah penanganan korban musibah Mina usai, Pemerintah RI akan menjalin komunikasi aktif dengan Pemerintah Arab Saudi, termasuk membuka diskusi terkait penyebab musibah tersebut.

content

Wakil Presiden Jusuf Kalla, di sela-sela kunjungan di New York, Amerika Serikat, meminta Pemerintah Arab Saudi terus menerima masukan dari negara-negara yang warganya menjadi korban insiden Mina dan berbenah diri. Meskipun tiap tahun terus memperbaiki pengelolaan jemaah haji di Tanah Suci, Pemerintah Arab Saudi diminta lebih menyempurnakannya lagi.

Iran, dengan 155 anggota jemaah meninggal, mengecam keras Arab Saudi atas musibahMina. ”Arab Saudi seharusnya menerima tanggung jawab dan meminta maaf kepada Muslim dan keluarga para korban,”kata Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, seperti dikutip dalam laman pribadinya.

Berbicara di New York, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir menuding Iran mengeksploitasi musibah Mina untuk tujuan politik. ”Saya berharappara pemimpin Iran lebih bijaksana,” katanya sebelum bertemu Menteri Luar Negeri AS John Kerry, Sabtu waktu setempat.

Pemerintah Arab Saudi sebenarnya terus memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji. Salah satunya, dibangun terowongan baru di jalur Terowongan Muasim untuk memperpendek jarak mencapai Jamarat. Area untuk melempar jumrah juga diperluas dan bertingkat dengan dilengkapi eskalator sehingga lebih nyaman bagi jemaah. Masjidil Haram juga diperluas serta dibangun jalur kereta api cepat dari Mekkah-Jeddah-Madinah.

”Alarm” perbaikan

Menurut Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin, berulangnya musibah di Mina menjadi ”alarm” bahwa sudah waktunya tata kelola haji diperbaiki. Itu mencakup sistem pengaturan, kapasitas petugas haji, dan kedisiplinan jemaah.

Pengaturan haji, misalnya, selama ini mengandalkan rambu-rambu di jalanan, tempatibadah, dan pemondokan. Initidak efektif karena jemaah berasal dari berbagai tingkat pendidikan dan kemampuan berbahasa berbeda. Di lokasi-lokasi rawan, seperti Arafah, Mina,dan Muzdalifah, diperlukan keterlibatan pengawas untuk memastikan jemaah tidak salah jalan.

AFP /MOHAMMED AL-SHAIKH
AFP /MOHAMMED AL-SHAIKH

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengimbau Pemerintah Indonesia untuk menambah kualitas layanan kepada jemaah. ”Harus ada jaminan keselamatan dan kenyamanan untuk mereka,” ujarnya.

Ketua Tim Pengawas Haji Komisi VIII DPR Saleh P Daulay mengatakan, Pemerintah Arab Saudi harus terus meningkatkan langkah-langkah antisipatif menghadapi membeludaknya jemaah haji.

Pramono U Tanthowi, anggota jemaah haji asal Tangerang, Banten, mengeluhkan minimnya sarana komunikasi antara pengurus daerah kerja, sektor, dan ketua kelompok terbang (kloter). Ketua kloter tak memiliki sarana komunikasi dengan para anggotanya. Petugas Arab Saudihanya mengerti bahasa Arab sehingga jemaah sulit berkomunikasi. ”Bangun sistem komunikasi berbasis teknologi yang efisien,” katanya.

Fokus tangani korban

Di Mekkah, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan masih fokus menangani korban meninggal dan luka dari Indonesia. ”Pada saatnya nanti (setelah semua tahapan proses haji selesai), Kemenag (Kementerian Agama) akan melakukan evaluasi komprehensif,” katanya.

Direktur Jenderal Pelaksanaan Haji dan Umrah Kemenag Abdul Djamil menyetujui bahwa kedisiplinan semua pihak, baik Indonesia, Arab Saudi, maupun negara-negara lain, perlu ditingkatkan demi penyelenggaraan ibadah haji yang lebih baik.

Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia Slamet Effendy Yusuf mengatakan, pembenahan tata kelola haji bergantung pada keterbukaan Pemerintah Arab Saudi dan keaktifan negara-negara asal jemaah haji untuk mengusulkan perbaikan.

Hingga Minggu siang waktu Arab Saudi, Tim Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Arab Saudi kembali mengidentifikasi 15 anggota jenazah jemaah asal Indonesia korban musibah Mina. Sebanyak 3 orang berasal dari Kloter BTH 14 (Batam), 9 orang dari JKS 61 (Jakarta-Bekasi), 2 orang dari Kloter SUB 48 (Surabaya), dan 1 orang dari Kloter UPG 10 (Makassar). Ditambah data sebelumnya, total 34 anggota jemaah Indonesia meninggal. Adapun jumlah jemaah yang hilang berkurang menjadi 90 orang. Mereka masih terus dicari oleh petugas haji.(NDY/HAR/DNE/IAM/B12/ESA/RAZ/DMU/AFP/REUTERS/SAM/RTS)

AFP /MOHAMMED AL-SHAIKH

content

content

AFP /MOHAMMED AL-SHAIKH

Polemik Proyek 35.000 MW

Polemik Proyek 35.000 MW

Opini Liek Wilardjo di Kompas (11/9/) diawali pernyataan: ”Ekonom yang baru saja menjadi Menko Kemaritiman Rizal Ramli menilai target pembangunan pembangkit tenaga listrik 35.000 MW terlalu ambisius untuk diselesaikan 2019. Apalagi kalau ditambah ’tunggakan’ 7 GWe yang tidak dapat dirampungkan pemerintahan Presiden SBY”.

Ditambahkan pula dalam artikel itu bahwa pandangan seperti itu sudah pernah saya kemukakan sebelum megaproyek ini dicanangkan Presiden Joko Widodo. Kalaupun dari segi dana, pembebasan lahan, amdal, dan perizinan tidak ada masalah, waktunya jelas tidak cukup.

Kuantifikasi jadwal waktu pembangunan merupakan masalah rutin yang dilakukan para pengembang proyek, baik PLN maupun swasta (IPP). Tujuannya, agar perencanaan tahapan proyek dapat dirancang sehingga proyek dapat diselesaikan sesuai target. Sayangnya, dalam hal proyek 35.000 MW, para pengembang proyek terkesan segan dan takut berterus terang bahwa membangun dalam jumlah sebanyak itu dalam waktu lima tahun sukar terpenuhi. Selain menghadapi masalah teknis pembangunan, bangsa ini juga terperangkap dalam masalah budaya, yaitu tidak berani berbeda pendapat dengan pimpinan. Apa yang dikatakan pimpinan dianggap benar dan tidak bisa dibantah.

Dalam hal pembangunan kelistrikan, para insinyur yang seharusnya piawai berhitung ditaklukkan para politisi. Contohnya bisa dilihat dari proyek 10.000 MW tahap I, 10.000 MW tahap II, dan kini proyek 35.000 MW. Persoalan mental budaya inilah yang perlu diperbaiki kalau bangsa ini ingin maju. Selain masalah jadwal penyelesaian proyek, penting juga dibahas berapa besar sebenarnya kebutuhan listrik ke depan. Apakah benar kita butuh 35.000 MW untuk periode 2015-2019 dan 70.400 MW untuk 2015-2024 seperti dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPT)? Apakah besaran ini dapat didiskusikan kembali di depan publik sebagai jawaban atas kritik Rizal Ramli?

Angka riil kebutuhan

Sesuai paparan target pembangunanpembangkit listrik 35.000 MW yang disampaikan Kementerian ESDM dalam sebuah forum diskusi di BPPT (2/9), daya terpasang pada 2015 sebesar 53.535 MW dan pertumbuhan listrik rata-rata 8,7 persen per tahun periode 2015-2019. Sementara statistik PLN 2014 menyatakan, beban puncak mencapai 33.321 MW. Ini berarti rasio daya terpasang terhadap beban puncak 1,61. Jika dipakai rasio cadangan cukup andal sebesar 1,30, berarti awal 2015 terjadi kelebihan pasokan (oversupply) 31 persen.

Dari uraian Kementerian ESDM tersebut dapat dihitung kebutuhan daya terpasang dengan menghitung perkiraan beban puncak pada 2019 dengan mengacu pada pertumbuhan 8,7 persen per tahun, akan menjadi sebesar: (1+0,087)5 x 33.321 MW = 50.567 MW. Jika dipakai besar cadangan andal 30 persen, kapasitas daya yang diperlukan: 1,30 x 50.567 MW = 65.737 MW. Jika daya terpasangtersedia 2019 tetap 53.535 MW, tambahan kapasitas daya yang diperlukan 2015-2019: 65.737 MW – 53.535 MW = 12.202 MW.

Dari perhitungan itu, kebutuhandaya terpasang 2015-2019 cukup 12.202 MW untuk mendukung tingkat pertumbuhan rata-rata 8,7 persen per tahun. Jadi, bukan 35.000 MW ataupun 35.000 MW + 7.400 MW. Tambahan kapasitas 12.202 MW diperkirakan dapat ditalangi dari rencana pembangunan proyek dalam tahap konstruksi sebesar 7.400 MW. Dengan demikian, akan ada kekurangan daya 12.202 MW – 7.400 MW = 4.802 MW. Menurut Menko Kemaritiman Rizal Ramli, yang dapat dibangun pada 2015-2019 sebesar 16.000 MW. Jika ini dapat diwujudkan, akan ada kelebihan pasokan 16.000 MW – 12.202 MW = 3.798 MW. Kalau begitu cukup bagus, ada kelebihan cadangan, tetapi tidak terlampau besar.

Jika analisis dilanjutkan untukkurun waktu RUPTL 2015-2024, akan diperolehbeban puncak pada 2024: (1+0,087)10 x 33.321 MW = 76.739 MW. Jika dipakai besar cadangan 30 persen, kapasitas daya yang diperlukan 1,30 x 76.739 MW = 99.760 MW. Jika daya terpasang yang tersedia pada 2019 tetap 53.535 MW (2015), tambahan kapasitas daya yang diperlukan selama 2015-2024 sebesar 99.760 MW – 53.535 MW = 46.225 MW. Jadi, bukan 70.400 MW dan jadwal pembangunannya bisa lebih cepat.

Ada baiknya analisis di atas dipertimbangkan, apa ada kesalahan perhitungan, terutama apakah memang daya terpasang53.535 MW pada awal 2015 akan berkurang pada akhir 2019 dan 2024 karena pembangkit yang ada akan menua dan tidak andal lagi. Jika kapasitas pembangkit berkurang, berapa besar jumlahnya? PLN dan IPP sebagai pemilik serta pemerintahsebagai badan pengawas tentu mengetahui data ini secara lebih pasti.

Perlu diperhatikan dua risiko/bahaya perencanaan sistem. Pertama,oversupply, merencanakan pembangkit terlalu besar, berkelebihan 30 persen di atas beban puncak, akan mengakibatkan investasi berlebihan, utang besar, pendapatan kurang, arus kas keuangan terganggu, menyebabkan kerugian finansial. Kedua, undersupply, merencanakan terlalu kecil, kurang dari 30 persen beban puncak, mengakibatkan kekurangan pasokan, bahkan pemadaman listrik yang mengganggu pertumbuhan ekonomi, sosial, ketidaknyamanan pelanggan. Bahaya oversupply ataupun undersupply tidak saja dari segi pembangkitan, tetapi juga penyaluran, transmisi, dan distribusi. Kebutuhan saluran transmisi 46.597 kilometer periode 2015-2019, atau 9.320 km per tahun, atau 25,53 km per hari. Berapa banyak kontraktor diperlukan untuk merampungkan proyek transmisi pada waktunya?

Terjadi kelebihan pasokan?

Pada awal 2015, dengan beban puncak 33.321 MW dan kapasitas daya terpasang 53.535 MW, ada indikasi kelebihan pasokan. Namun, kenyataannya, akhir-akhir ini terjadi pemadaman listrik di banyak wilayah di Tanah Air. Apakah ada kesalahan alokasi daya terpasang? Sistem pembangkitan Jawa-Bali aman, tetapi di luar Jawa pemadaman masih terus terjadi. Kiranya terkait masalah oversupply dan undersupply alokasi pembangkitan ini perlu ada penjelasan dan pertanggungjawaban kepada publik.

Selain itu, perlu catatan mengenai pertumbuhan 8,7 persen per tahun selama periode 2015-2019. Jika dipakai elastisitas pertumbuhan listrik terhadap ekonomi 1,3, berarti pertumbuhan ekonomi (PDB) sebesar 8,7/1,3 = 6,9 persen per tahun. Menurut Bank Pembangunan Asia, tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,5 persen dan 2016 sebesar 6,0 persen. Ini berarti jika dipakai pertumbuhan ekonomi 6 persen/tahun dan elastisitas 1,3, pertumbuhan listrik 1,3 x 6 persen = 7,8 persen/tahun, lebih kecil dari pertumbuhan 8,7 persen yang dipakai pemerintah. Jika dipakai pertumbuhan listrik lebih rendah, kebutuhan penambahan kapasitas daya terpasang tentu akan lebih rendah.

Pernyataan bahwa listrik Indonesia tertinggal jauh dari negara lain perlu diwaspadai mengingat PDB Indonesia juga tertinggal. Menurut World Bank Indicator2011, besaran pemakaian listrik Indonesia 680 kWh dan PDB 3.470 dollar AS/kapita. Bandingkan dengan Singapura (8.404 kWh dan 52.871 dollar AS/kapita, Malaysia (4.246 kWh dan 10.068 dollar AS/kapita), dan Thailand (2.316 kWh dan 5.192 dollar AS/kapita). Indonesia masih lebih baik dari Filipina (647 kWh dan 2.358 dollar AS/kapita), tetapi kalah dari Vietnam (1.073 kWh meski PDB lebih rendah, 1.543 dollar AS/kapita). Kalau PDB Indonesia naik, pemakaian listrik akan naik pula. Jangan dipaksakan.

Liek Wilardjo benar, pemanfaatan energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan akan mempercepat upaya penyediaan pasokan listrik di Tanah Air. Energi angin, energi surya, perlu waktu 1-1,5 tahun untuk pembangunan, lebih cepat dibandingkan PLTU batubara yang perlu empat tahun. Untuk PLTN lebih lama, rata-rata 5-10 tahun. Biaya pembangkitan listrik angin 6 sen dollar AS/kWh, feed in tariffsurya di Jerman 2015 adalah 10 sen dollar AS/kWh. Biaya listrik energi terbarukan ini masih lebih murah daripada biaya produksi listrik PLTN berdasarkan studi kelayakan PLTN Bangka, yaitu 12 sen dollar AS/kWh, dua kali lebih mahal dari PLTU batubara (6 sen dollar AS/kWh).

NENGAH SUDJA, KEPALA LMK LITBANG PLN 1993