Minang Marentak

Minang Marentak; Saling Berwasiat dengan Ade Armando

Catatan : menurut info sumber ini adalah tulisan Gamawang Fauzi, mantan Mendagri era Presiden SBY

Mungkin inilah yang menjadi landasan pikir dari pernyataan sikap MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang mencoret nama Ade Armando sebagai orang Minang. Sikap komunitas masyarakat Minang dalam menyikapi reaksi Pemda Sumbar, MUI, MTKAAM dan yang lainnya, bisa saja dipertanyakan oleh banyak orang atau kalangan. Bisa dituduh intoleran dalam ber NKRI, diaggap sok agamis, berpandangan sempit dan terbelakang.

Saya masih ingat. Ketika menjadi Bupati Solok 20 tahun lalu, awal otonomi daerah diberlakukan, saya membuat tiga Perda Syariah, bersama DPRD yang materinya dibantu oleh MUI Kabupaten Solok, waktu itu dipimpin oleh ustad Gusrizal Gazahar. Tiga Perda itu adalah Perda Pakaian Muslimah, Perda Wajib Pandai Baca Tulis Alqur’an dan Perda Zakat.

Beberapa kalangan yang mengaku intelektual muslim atau muslim intelektual memprotes. Akhirnya, saya layani dengan debat atau dialog di salah satu stasiun TV swasta nasional di Jakarta.

Debat itu cukup lama dan hangat. Di ujung debat, saya katakan kepada profesor perempuan itu bahwa dalam sistem otonomi ini, pusat harus memberi ruang yang cukup kepada daerah untuk memelihara nilai-nilai lokalnya, sepanjang tak bertentangan dengan kepentingan nasional.

“Dalam hal ini, kepentingan nasional apa yang kami langgar. Seharusnya anda menghormati kebijakan kami yang 99,99 persen beragama Islam, dan berusaha memperkuat kehidupan islami yang diyakini masyarakat kami. Agar masyarakat hidup dalam ketentraman, kenyamanan dan kebahagiaan. Apalagi aturan itu juga disebutkan hanya untuk warga yang beraga Islam. Anda sendiri sekarang berhijab, kenapa anda tidak buka saja hijab itu,” begitu kata saya kepadanya waktu itu.

Sebagai tambahan perbandingan, bukan hanya di era otonomi saja, sejak dulu sampai sekarang siapa saja yang tengah berada di pulau Bali saat acara Nyepi, pasti ikut menghormatinya. Bahkan pesawatpun tunda berangkat beberapa saat.

Kenapa hingga kini tak pernah ada yang protes. Kenapa untuk kami anda protes? Itulah akhir dialog tersebut, karena waktu sudah habis.

Saat ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dibawah semboyan NKRI harga mati, banyak yang berlebihan menyikapi sesuatu.

Hanya karena punya gelar akademik seabreg, atau merasa jadi tokoh nasional, mereka membuat tafsiran yang berlebihan terhadap sesuatu. Bahkan men-judge orang lain berpikiran dangkal, sempit, radikal, dungu, dan sebagainya.

Begitupun dengan pernyataan Dr Ade Armando, dosen UI saat mengomentari permintaan Gubernur Sumatera Barat untuk menutup situs injil berbahasa Minang kepada Menkominfo. Dia mengatakan bahwa orang Minang terbelakang dan lebih Kadrun daripada Kadrun, padahal dulu banyak menghaslkan orang orang pintar.

Pernyataan itu mendapat reaksi yang luas di kalangan masyarakat Minang. Tak kurang dari Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar Lc MA, mengeluarkan pernyataan yang sangat berkelas. Kata Buya Gusrizal, para pemimpin asal Minang, lahir dan dibesarkan di surau. Surau adalah tempat belajar Alquran. Alquran itu adalah Kitabullah. Itulah yang menjadi filosofi masyarakat Minang, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Ketua MTKAAM, Irfianda Abidin lebih keras lagi. Beliau menyatakan mencoret nama Ade Armando sebagai orang Minang. Dan ada pula yang menantang Ade Armando untuk diskusi terbuka.

Di kalangan masyarakat luas yang umumnya terlibat dalam Sosial Media, juga merasa gerah. Banyak group WhatApp yang saya ikuti memperbincangkan dan merasa tersinggung dengan pernyataan Ade Armando itu. Walaupun seperti biasa, tentu juga ada yang diam dan bahkan membela. Tapi jumlahnya tak banyak.

Kenapa orang Minang tersinggung? Maaf… Kalau ada ucapan yang sama untuk suku bangsa lain di negeri ini, apakah masyarakatnya juga tersinggung?

Pertanyaan itu dilontarkan kepada saya dari seorang teman yang bukan berasal dari Minang.

Saya jawab, tergantung kepada suku bangsa mana pernyataan itu di alamatkan dan apa pernyataannya.

Kalau anda menghina Hindu kepada suku bangsa Bali, saya kira mereka juga akan tersinggung.

Setiap kelompok masyarakat, apalagi suku bangsa, mempunyai filosofi dalam hidup mereka. Filosofi atau falsafah hidup itu selalu menjadi rujukan dalam bersikap, berbuat dan bertingkah laku.

Bagi komunitas sosial yang kuat memegang filosofi itu, maka pelanggaran atasnya dapat dibuang dalam pergaulan sosialnya. Orang Minang menyebut, “dibuang sepanjang adat”. Tidak diikutkan sehilir semudik. Tidak diajak baiyo batido, dan tak lagi memperoleh hak waris adat. Atau dalam bahasa lugasnya “tak lagi dianggap ada dalam masyarakat”, tak ditegur sapa.

Itu hukum sosial yang hidup/The living law of the people.

Kemudian muncul pertanyaan, adat Minang punya aturan, bahwa Adat salingka Nagari, Pusako salingka kaum. Kenapa komunitas masyarakat Minang bisa memberi sanksi sosial, seperti tidak diakui, dicoret sebagai orang Minang atau dibuang sepanjang adat?

Memang benar, tapi ada yang disebut Adat sebatang panjang. Yang memuat prinsip-prinsip dasar adat secara menyeluruh dan berlaku bagi semua masyarakat Minang, dan seluruh Nagari di Minangkabau.

Maka, sudah menurut adat apabila Ade dibuang sepanjang adat. Apalagi jika ditelisik dari perilaku, kurenah.

Ada orang punya kurenah merasa paling pintar, paling terpelajar, paling maju berfikirnya. Mereka marasa menjadi bagian masyarakat dunia yang luas dan modern, sementara orang lain dianggap Kadrun, karena membawa bawa agama. Kadrun menurut Ade, adalah pikiran sempit dan radikal.

Bahkan orang-orang seperti ini kadang merasa paling NKRI dan paling Pancasila. Sehingga menganggap kalau sudah paling Pancasila dan paling NKRI, mereka juga tak tersentuh hukum.
Penyakit “merasa” belakangan ini tumbuh di beberapa kalangan. Dan merasa sangat jumawa, semua dikomentari dan semua dilawan. Saya tak mengerti, gejala apa pula ini?

Ada pula sebagian masyarakat kita dewasa ini yang berfikir bahwa kalau ada yang merujuk-rujuk ajaran Islam, merupakan indikator kebodohan dan keterbelakangan. Bahkan anehnya, seorang guru besar bidang agama sampai sampai meminta agar pelajaran agama dihapuskan saja, bila ingin negara ini maju.

Dalam alam demokrasi, melahirkan pendapat, pikiran dan menyampaikan argumentasi adalah sesuatu yang sah dan dijamin Undang Undang Dasar 1945.

Di Minangpun hal itu justeru menjadi sesuatu keniscayaan sejak zaman nenek moyangnya. Bahkan tak kurang Almarhum Nur Cholis Majid mengatakan, kalau ingin berdemokrasi belajarlah ke Minangkabau.

Orang Minang menganut paham, Basilang Kayu dalam tungku, baitu api mangko iduik. Duduak surang basampik sampik, duduak basamo ba lapang lapang.

Tapi setiap pendapat harus di sampaikan dengan cara-cara yang berakhlaq dan ber etika.
Orang Minang menyebut “Tau Di Nan Ampek”, bukan selonong boy saja! Ada jalan mandaki, ada jalan manurun, ada jalan malereang dan ada jalan mandata.

Tau sopan santun. Tau ereang jo gendeang, tau rantiang ka mancucuak, tau dahan ka ma impok. Tak peduli terpelajar dan bergelar pendidikan yang tinggi, tapi semua terdidik dan “bataratik”, berasal dari kata tertib.

Orang Minang tak pernah berlebih-lebihan menghargai orang kaya, berpangkat atau nekad pemberani. Orang Minang mengatakan, kok kayo, kami indak mamintak. Kok pandai kami tak ka batanyo. Kok bagak kami tak ka bacakak/berkelahi. Tapi kalau berbudi, kami segani.

Bagi masyarakat Minang yang bermental mandiri, sikap tak tergantung kepada orang lain adalah prinsip. Dengan sikap kemandiriannya itu, orang Minang biasanya juga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka berbaur dengan masyarakat dimana dia bertempat tinggal.

Mereka bukan suku bangsa eksklusif. Lihatlah diseluruh penjuru bumi, mana ada kampung Minang. Sementara ada kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Bugis, kampung Jawa, kampung Bali dan lain sebagainya. Karena filosofi hidup mereka, dima bumi dipijak, disitu langit di junjung. Dima ayia disawuak, disitu rantiang di patah.

Karena itu, penyataan Ade Armando yang menyinggung “puncak kada”, buat masyarakat Minang terasa menyakitkan sekali. Bisa dipahami pula, kalau orang Minang kemudian “marentak” (meminjam istilah Ery Mefri, sang Maestro Tari/gerak), yang bisa diartikan marah sambil menghantam kaki.

Jangan bicara sok hebat dengan masyarakat Minang yang sejak zaman bahela sudah berfikir Jauh ke depan (out ward looking) dan jauh ke luar (out of the box).

Tak usah merasa paling pintar, karena orang Minang yang berbasis surau itu, sejak dahulu saja sudah banyak yang menguasai belasan bahasa. Tan Malaka menguasai 14 bahasa, Agus Salim 13 bahasa dan sudah merantau, jauh ke mancanegara, sementara Republik ini belum lagi ada.

Siapa pendiri kota Manila, bukankah Raja Sulaiman yang berdarah Minang, yang patungnya berdiri di Kota Manila?

Siapa pencipta lagu Nasional Singapore? Bukankah orang Minang? Dan banyak contoh lagi yang terlalu panjang untuk saya sebutkan.

Tapi baca juga buku Payung Terkembang, yang ditulis Abdul Samad, orang Malaysia, bagaimana raja-raja Minang dijemput untuk jadi raja di Malaysia dimasa lalu.

Ade Armando yang mengkritisi sikap Gubernur Sumatera Barat, mungkin tak paham bagimana berjalin berkulindannya antara Adat dan Pemerintahan di Sumatera Barat. Gubernur itu pemimpin formal, tapi sekaligus pemimpin in formal, yang ditinggikan se rantiang dan di dahulukan selangkah oleh masyarakat. Walaupun tak dilegalkan seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lihatlah bagaimana nagari di Minangkabau, bukan hanya sebagai wilayah administratif tapi juga sebagai komunitas adat. Itu diakui dalam Undang Undang Desa.

Saya perlu mengingatkan Ade Armando, kalau lupa, bahwa di dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945, disebut secara ekplisit, Nagari Di Minangkabau, sebagai contoh.

Jika Ade Armando merasa hebat, hebat sajalah, atau silakanlah hebatnya. Jangan dibesarkan lampu sendiri, tapi dipadamkan lampu orang lain.

Presiden Jokowi mengangkat isu Revolusi Mental sejak periode pertama, jika Ade dan kita mendukung program tersebut, tentu sikap yang merendahkan itu kontradiktif dengan program pemerintahan Jokowi. Karena mental kita mestinya mental berketuhanan, bekemanusiaan, ber persatuan Indonesia, berhikmah kebijaksanaan dan berkeadilan.

Saya kira Ade Armando paham, bahwa di Minangkabau mungkin ribuan jumlah orang bergelar doktor dan profesor. Tapi mereka tak menyakiti, mereka berbagi ilmu, mereka bertutur kata pantang menyinggung. Karena orang Minang paham betul, setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan.

Kata orang Minang, tak ada kayu yang terbuang, kok pakak palatuih badia, kok buto pa ambuih lasuang, kok lumpuah pausia ayam.

Menurut saya, itulah sikap profesional, karena manusia tidak tau semua hal, no body is perfect. Dan karena itu pula pula tumbuh sikap rendah hati dan tawadhu’ dan saling menghargai.

Sekarang, kaki lah ta langkahan, tapijak arang, hitam tapak kata orang Minang. Bila berat rasanya minta maaf, saya hanya berharap, cukuplah sampai disini mencederai orang lain atau komunitas lain.

Kita ini sebagai manusia ada keterbatasan pengetahuan. Ade mungkin hebat dalam teori komunikasi bahkan bergelar doktor. Orang lain tentu hebat pula di bidangnya masing-masing.

Demi Allah, saya tak bermaksud mengajari Ade, disamping tak pantas, saya bukan orang yang lebih, juateru banyak kekurangan. Saya hanya ingin mengingatkan, agama saya mengajarkan, saling mengingatkan dengan kebenaran, kesabaran dan kasih sayang.

Karena saya menyayangi Ade Armando sebagai seorang guru mahasiswa, yang akan di gugu dan di tiru, seorang terdidik dan terpelajar, saya merasa rugi dan juga mungkin bangsa ini bila nanti tak lagi dianggap seperti itu.

Untuk masyarakat Minang, dengan rendah hati saya meminta, kita maafkanlah Ade Armando sekali ini. Pemaaf itu lebih baik kata Allah.

Mari kita terus berbenah meraih kemajuan Duniawi dan ukhrawi. Mudah mudahan kita memperoleh Fiddun ya hasanah, wa fil akhirati hasanah, waqina azabannaaar.

Masyarakat Minang tak usah ikut mencela. Kita diingatkan Allah dalam Alquran, wailullikulli humazatillumazah dst, Celakalah bagi pengumpat dan pencela.

Mari kita lanjutkan kehidupan Ranah Minang yang makin Islam, dalam negara Kesatuan Republik Indoneia ini yang kita cintai.

Kita tentu ingat, betapa kakek, nenek kita berandil besar dalam mendirikannya. Ingat angku kita Tan Malaka, Agus Salim, St. Syahrir, Imam Bonjol, M. Natsir, Buya Hamka, Rahmah El Yunusiah, Rasuna Said, St Moh Rasyid, Bung Hatta sang Proklamator dan ratusan lainnya yang tak saya sebutkan satu persatu.

Angku atau kakek Nenek kita yang bersaham dalam mendirikan republik ini cintanya selaras antara kampung halamannya dan Indonesia. Cintanya pada Tanah Air tak menyurutkan cintanya kepada kampung halaman secara subjektif, seperti kata Einstein.

Soal bernegara, Bung Hatta pernah mengutip kalimat Ernes Renan di sidang KMB; “Ada satu negeri yang menjadi negeriku, negeri itu tumbuh dengan kekuatan, kekuatan itu ada di tanganku.”

Mereka memegang keduanya sama sayangnya.

Mari kita lanjutkan kehidupan masyarakat Minangkabau dan masyarakat Indonesia dengan taat aturan, damai dan taqwa.(tm)

Sekitar Prof Achmad Muchtar.

Dari sebuah fwd di wag… Saya tidak sempat memverifikasi kebenarannya. Silakan sekedar utk bahan bacaan.

Prof Dr Achmad Mochtar
Ahli Virus dan Bakteri

Selama ini kita mungkin tidak mengenal sosok Prof. DR. Achmad Mochtar, yang namanya diabadikan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Barat sebagai nama RSUD Provinsi Sumatera Barat pada bekas Rumah Sakit Militer Belanda di Bukittinggi

Namun siapa yang tahu, mengapa nama orang besar putra Bonjol Pasaman di abad modern ini yang mengetahuinya

Seperti apa kiprah dan bagaimana tragis kematiannya, bahkan kampung kelahirannya pun banyak orang tidak mengetahui.

Mari telusuri jejak dan rumah kelahiran sang “Doktor Ahli Virus dan Bakteri pertama Indonesia berkelas Dunia” itu, ke kampung halamannya di Nagari Ganggo Hilia Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman.

Bersama Bupati Pasaman Yusuf Lubis, mengunjungi rumah tua dokter Achmad Mochtar, kami diterima oleh dua orang cucunya (garis keturunan ibu), dr. Rubaiyat Proehoeman (64) yang akrab disapa ‘dokter rubi’, dan Prof. DR. Siti Chairani Proehoeman (68), senias dan dosen seriosa mancanegara.

Siti Chairani memaparkan bahwa Achmad Mochtar lahir pada pada tahun 1892 dari pasangan Omar dan Roekayah di Ganggo Hilia kecamatan Bonjol.

Omar sang ayah adalah seorang guru yang berasal dari Mandahiling (Prov. Sumut sekarang) sedangkan Roekayah adalah putri asli Bonjol cucu seorang Laras Hoof (Ketua Laras se-Minangkabau).

Sewaktu masih kecil Achmad Mochtar sering dibawa pindah orang tuanya yang seorang guru (dimutasi), tempat tugasnya, dan akhirnya Achmad Mochtar melanjutkan sekolah menengah, semacam SMA sekarang di Batavia.

Setelah tamat sekolah menengah, pada tahun 1916 Achmad Mochtar melanjutkan studinya ke Sekolah Dokter STOVIA di Batavia. Setelah tamat sekolah dokter di Stovia beliau melanjutkan kuliahnya di Amsterdam University Belanda.

Achmad Mochtar dapat menyelesaikan disertasinya pada tahun 1927 dengan hasil penelitiannya membantah (sangkalan) bahwa Leptus Spera bukanlah penyebab penyakit kuning/lever, sehingga beliau berhak menyandang gelar Doktor pada bidang Bakteri Tropic dari Amsterdam University tersebut.

Selesai meraih gelar doctor tersebut (1927) beliau kembali ke tanah air dan dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda di laboratorium yang ada di tanah air, seperti di Bukittinggi, Padang, Bengkulu, Semarang dan Batavia.

Pada masa selanjutnya, atas hasil penelitiannya terus menerus dan menulis buku-buku dibidang kedokteran, terutama terkait keahliannya itu,

Achmad Mochtar dianugerahi gelar Guru Besar (Profesor) di Perguruan Tinggi yang sama (Belanda).
Pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengangkatnya sebagai direktur The Central Medical Laboratory, kemudian lembaga ini bertukar nama menjadi Eijkman Laboratory.

Prof.DR. Achmad Mochtar, diangkat juga sebagai dosen dan sekaligus sebagai wakil rektor STOVIA, sementara rektornya adalah orang Belanda.
Di angkat sebagai kepala laboratorium sekaligus wakil rektor STOVIA adalah sebuah prestasi yang gemilang bagi rakyat pribumi karena tidak sembarang orang yang dapat dipercaya memegang kedua jabatan penting tersebut, apalagi bagi rakyat inlander semasa itu.

Petaka itupun tiba sewaktu tanah jajahan Hindia Belanda dirampas oleh tentara Jepang (1942), dan Jepang mendirikan Pemerintahan Militer.
Pada pemerintahan militer Jepang itu, banyak terjadi penyiksaan dan romusha dilaksankan, dibalik semua penyiksaan dan romusha ini teremban misi jahat Jepang untuk menghabisi orang-orang kita.

Salah satu program Jepang tersebut adalah menebarkan virus/bakteri TCD (Typhus Cholera Dysentery) di tahun 1944 ke seluruh orang kita, terutama yang dipekerjakan sebagai kuli paksa (romusha) tersebut.

Untuk membuat produksi virus/bakteri itu, militer Jepang memaksa Achmad Mochtar laboratoriumnya memproduksi sebanyak -banyaknya virus/bakteri tersebut.

Namun Achmad Mochtar menolak kedua perintah militer Jepang tersebut, karena tidak mungkin dia mengkhianati dan membunuh bangsanya sendiri dengan memanfatkan keahlianya itu, karena selama ini dia meneliti dan mendalami berbagai bakteri tropis untuk membuat pencegahan dan berbagai macam obat supaya anak bangsanya tidak terjangkit penyakit yang berujung kematian akibat berbagai macam bakteri yang hidup subur di daerah berhawa topis seperti Indonesia, namun
virus tcd tersebut tetap disebar oleh tentara Jepang yang entah dari mana asalnya, untuk menghindari tuduhan sebagai “penjahat perang” yang mungkin saja pada suatu ketika nanti akan dibocorkan oleh Achmad Mochtar,

Jepang meng kambing hitamkan Prof.DR. Achmad Mochtar dengan laboratorium yang dipimpinnya sebagai produsen virus/bakteri TCD (Typhus Cholera Dysentery) dan sekaligus sebagai penebarnya.

Atas tuduhan yang direkayasa Pemerintahan Militer Jepang tersebut maka laboratorium itu ditutup paksa dan seluruh staf laboratorium itu diancam bunuh oleh Jepang.

Karena merasa tidak berbuat atas tuduhan Jepang itu ‘si Jenius’ putra Bonjol ini melakukan pembelaan dan melindungi seluruh stafnya.

Namun fakta bercerita lain atas adatnya “si penguasa-Fasis”. Tuduhan terhadap Prof.DR. Achmad Mochtar, staf dan labournya tak mengalami perubahan.

Akhirnya hukuman tetap dijalankan, sejumlah dokter dan ilmuwan ditawan untuk dieksekusi mati oleh tentara Jepang dengan tuduhan melakukan sabotase.

Setelah lebih dari 1.000 romusha di Klender, Jakarta tewas usai divaksin TCD (Typhus Cholera Dysentery) dengan rasa tanggung jawab selaku seorang pimpinan dan jati dirinya ‘Sang Profesor bakteri berkelas dunia dan yang pertama dari Asia’ ini mengambil sikap, daripada anak buah dan kawan- kawan penelitinya yang menjadi korban keganasan militer Jepang maka dia meminta para peneliti dibebaskan dengan taruhan merelakan dirinya untuk menjalani eksekusi.

Dan Achmad Mochtar di eksekusi pada 3 Juli 1945, dari informasi yang berkembang selama ini diduga Prof.DR. Achmad Muchtar dibunuh Militer Jepang dengan cara dibantai.

Menurut Siti Chairani, dengan mata yang berkaca-kaca menuturkan sebagaimana yang diceritakan oleh ibunya (keponakan Achmad Muchtar), bahwa kakeknya itu dibunuh lebih tragis, lebih kejam lagi seperti yang diduga tersebut.

Sebetulnya dengan cara digilas pakai mesin stomboal (mesin pelican pengaspal jalan) bertenaga uap.

Siti Chairani melanjutkan kisahnya, setelah kakeknya itu digilas bolak balik dengan mesin stomboal, barulah Jepang memanggil ibunya Achmad Mochtar untuk menjemput pakaian yang dipakai beliau yang sudah lumat dan berdarah-darah itu.

Dari kesaksian ibunya Chairani, pakaian yang dijemput tersebut sudah hancur dan tidak berbentuk lagi, tak ubahnya sudah seperti daun dimamah ulat.

Achmad Mochtar pergi tak meninggalkan bekas, kalaupun ada nisannya di Ereveld, Ancol atau di Verzamelgraf Antjol, sekalipun di Makam Pahlawan Kalibata tak lebih hanyalah pajangan tulisan saja.

Achmad Mochtar meninggalkan seorang istri dan dua orang anak laki-laki.

Kedua anaknya ini semasa SMP sudah di sekolahkan di Belanda dan tak pernah lagi pulang ke Indonesia, dan menurut Chairani, kedua anak pamanya ini pun sekarang sudah meninggal dunia di Belanda.
👆🏼👆🏼⤴️⤴️⤴️

Democrazy. “Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila itu Demokrasi Otoriter” Gonggong.

Indahnya Menyimak sejarah dari ahlinya, dg pikiran positif dan hati terbuka. No prejudice insights inside!

Minang 1

KERIS ORANG MINANG

Keris orang Minangkabau itu di depan, bukan di samping atau di belakang, ada falsafah yg tersembunyi disana mengapa keris orang Minang itu di depan.

“Patah lidah bakeh kalah, patah karih bakeh mati”
Begitu bunyi pepatah, orang Minang hanya mengangguk pantang untuk membungkuk, jika disuruh atau di paksa membungkuk keris mesti dicabut dahulu, patah karih bakeh mati”

Sukar bagi orang lain (bukan orang Minang) untuk memahami falsafah ini, hanya orang Minang yg mengerti itu pun bagi mereka yg arif dan bijak dalam memahami kiasan, setiap kieh atau kiasan memerlukan kejelian dan ketangkasan dalam berfikir kadang kiasan itu tidak bisa di artikan dengan logika.

Falsafah atau Kiasan² inilah yg telah membentuk kepribadian anak Minang baik di kampung maupun di rantau orang.

Ada satu lagi kiasan yg sudah jarang di sebut orang “Anak Minang tidak merantau kalau tidak berisi”

Makna atau arti secara mendatar orang beranggapan berisi yg di maksud tentulah isi dalam ilmu kebatinan, kalau di artikan dengan mendalam berisi yg di maksud adalah kiasan²-an atau falsafah yg membimbing atau menuntun diri si anak Minang dalam menjalani kehidupan di rantau orang, secara tidak langsung falsafah ini juga sebagai penasehat dan juga pelindung diri bagi anak Minang dimanapun berada.

Jikok tagak, tagaklah di nan data
Jikok bajalan, bajalanlah di nan luruih
Jikok bakato, bakatolah di nan bana
Di mano aia disauak di sinan rantiang di patah
Di mano bumi dipijak disinan langik dijunjuang

Karatau madang di hulu, babuah babungo balun
Ka rantau bujang dahulu, dikampuang paguno balun

Jikok pandai ba kain panjang labiah bak raso ba kain saruang
Jikok pandai ba induak samang Labiah bak raso badunsanak kanduang

Nak kanduang ijan panangih, Urang panangih lakeh rabun
Urang panggamang mati jatuah
Urang parusuah lakeh tuo
Urang pamberang tangga iman

Sikajuik si bilang bilang Nan ka tigo si rumpun sarai
Hiduik usah mangapalang Tak kayo barani pakai

dan banyak lagi kiasan² yg jadi bekal untuk anak Minang merantau di negeri orang.

Kembali kita ke atas ndan👆

Bagi orang Minang adat dan syarak sudah sehati tidak dapat di pisahkan lagi dengan orang Minang, biar mati anak asal jangan mati adat, adat di Islamkan dan Islam di adatkan, bukan orang Minang kalau bukan beragama Islam, sebab itu si penjilat sangatlah hina dimata orang Minang jika Alquran mengutuk si penjilat orang Minang juga mengutuk, si penjilat itu sendiri yg mencabut kerisnya, dia tidak lagi mengangguk bahkan mematahkan kerisnya untuk membungkuk demi kepentingan diri, mati akal, mati rasa, mati maruah diri, adat dan syarak dibuang jauh², malu bukan lagi pakaian diri, hina badan bagaikan yg berkaki empat, membungkuk membelakangi langit.
Wassalam…

Sumber; dari FB seorang kawan

Ikan Sapek (Sepat) Penambah Selera Makan

Mungkin banyak dari kita yang suka ikan. Termasuk ikan asin yang biasanya dimakan bersama lauk utama untuk penambah selera makan, atau tambahan bumbu masakan. Terkadang, jika lauk utama tidak ada, ikan asin bagi sebagian penduduk yang tergolong miskin adalah lauk terhebat untuk makan nasi.

Kemaren, kami berbuka dengan lauk seadanya. Karena keterbatasan waktu dan alasan lain, hidangan berbuka pas-pasan. Namun ternyata berkah berbuka memang sedemikian luasnya diberikan Allah Swt, Tuhan semesta alam. Kami berbuka dengan lahap. Tanpa terasa, saya makan dengan nikmat dan tak terasa, untuk pertama kalinya menambah nasi. Jadilah diet pas setengah piring nasi setiap makan terlanggar, dengan sadar.

Semua nya hanya gara-gara ikan sepat Banjarmasin, yang tidak jauh berbeda dengan sepat dari kampung saya dulu, Bukittinggi. Ikan sepat memang nikmat, namun harus hati2 jika digoreng kering, durinnya atau bagian tulang utama bisa menusuk langit-langit atau tenggorokan kita. Namun jika dicampur memakannya dengan sayuran, anda akan aman.

Cerita tentang sepat ini mengingatkan saya akan salah seorang tetua kami. Masih tergolong paman dari ibu saya, yaitu Angku Wen. Seorang yang tekun bekerja di toko dipan atau tempat tidur seorang Tionghoa di kampung Cina Bukittinggi, tepatnya di sekitar bawah jam gadang yang terkenal itu. Tokonya kurang lebih 7-8 toko dari arah KFC ke arah Benteng atau tembok, menurun ke arah luar kota.

Dahulu saya dititipin Mama untuk mengantarkan sepat goreng balado ke ANgku Wen ini, karena Mama dengar angku ini sakit. Berasal dari SUngai Puar, dia kelihatannya diizinkan menginap di toko itu, jadi orang kepercayaan rupanya. Sekaligus pekerja yang tekun. Setahu saya pekerjaan utamanya adalah mengecat tempat tidur/dipan/kui. Lebih sering saya lihat angku ini memberikan lukisan tambahan atau hiasan di tiang-tiang tempat tidur. Dengan seni yang tinggi ia mengecat dan melukis ornamen ala Minang di bagian-bagian tertentu.

Setelah menyampaikan kiriman sepat itu ke Angku Wen, kemudian dia masuk ke dalam toko dan kalau tidak salah menyalin ikan itu dan mengembalikan wadah piring atau kotak sepat tadi kepada saya. Sambil mengucapkan salam dan minta tolong sampaikan rasa terima kasih nya kepada Mama saya. “BIlang ke si Emma ya, terima kasih!” begitu kira-kira pesannya kepada saya. Saya yang masih usia sekolah SD segera pulang dan menyampaikan pesan ANgku kepada Mama, ya Mamaku, Emmahaven alias Emma Heaven.

Saya ingat, si ANgku juga menyelipkan uang jajan di kantong baju saya. Hm, tentu saya gembira. Setelah itu, saya tidak tahu kenapa, berkala saya sengaja lewat di depan toko tempat tidur itu, toko kui itu. Sekalinya si Angku pas bekerja diluar karena mengecat di tempat yang agak panas. Agar cepat kering. Dan tentu dia melihat saya, lalu kami saling tegur. Dia, ya siAngku menyelipkan kembali uang jajan. Tidak tergolong banyak, tapi buat saya sangat berarti.

Ritual mampir ke toko kui ini, ternyata keterusan. Meski tidak setiap hari, saya berkala mampir. Mungkin jiwa anak2 saya bercampur kangen bertemu Angku atau Inyiak ini jadi satu. Jika tidak melihat dia, biasanya saya akan berdiri saja sambil melihat-lihat sekitar menunggu sampai si Angku keluar. Begitulah, kenangan sepat ini membawa ingatan saya kepada salah seorang Angku atau Inyiak saya yang wajahnya dengan uban yang mungkin seperti saya sekarang, masih sering terbayang.

Terakhir, kalau tidak salah ketika saya kuliah, angku Wen meninggal, setelah menderita sakit cukup berat. Seingat saya ia perokok juga dan bekerja dengan cat dan zat kimia mungkin memperburuk kesehatan beliau. Bersyukur, ia yang hidup sendiri di pasar BUkittinggi ini meninggal dalam tangan yang tepat. Diurus dengan baik oleh Papa saya, Muchlis Idris Sutan Rangkayo Sati, yang kemudian bergelar Datuak Mangkuto Rajo. Papa memang terkenal ringan tangan membantu orang lain, apalagi masih tergolong kerabat atau saudara, baik dari pihak Papa maupun Mama.

Isitirahatlah dengan tenang kalian bertiga disana. Angku Wen, Papa dan Mama.

Alfatehah.

Sawangan 14 Mei 2019 bada Subuh

Duka di Bukittinggi

Ratok Pasa Ateh by Eddy Satriya on Scribd

https://www.scribd.com/embeds/363078321/content?start_page=1&view_mode=scroll&access_key=key-0tT9WzUgg5W048Vmpx8x&show_recommendations=true(function() { var scribd = document.createElement(“script”); scribd.type = “text/javascript”; scribd.async = true; scribd.src = “https://www.scribd.com/javascripts/embed_code/inject.js”; var s = document.getElementsByTagName(“script”)[0]; s.parentNode.insertBefore(scribd, s); })();

PERSAHABATAN BAGAI KEPOMPONG (To all the friends I’ve loved before…!)

………….Jika anda ribut2 menyuruh kerukunan dilaksanakan, kami di Bukittinggi telah menikmatinya. Sekali lagi, kami telah menikmatinya. Sungguh suatu pelajaran dan perjalan hidup yang kemudian memberi bekal ketika harus hidup di Jawa dan juga di negeri orang, jauh di seberang dunia dengan adat, agama, dan kebiasaan berbeda….

Selengkapnya

jam gadang itu dilihat dari depan pasar atas

jam gadang itu dilihat dari depan pasar atas