Minang Marentak

Minang Marentak; Saling Berwasiat dengan Ade Armando

Catatan : menurut info sumber ini adalah tulisan Gamawang Fauzi, mantan Mendagri era Presiden SBY

Mungkin inilah yang menjadi landasan pikir dari pernyataan sikap MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang mencoret nama Ade Armando sebagai orang Minang. Sikap komunitas masyarakat Minang dalam menyikapi reaksi Pemda Sumbar, MUI, MTKAAM dan yang lainnya, bisa saja dipertanyakan oleh banyak orang atau kalangan. Bisa dituduh intoleran dalam ber NKRI, diaggap sok agamis, berpandangan sempit dan terbelakang.

Saya masih ingat. Ketika menjadi Bupati Solok 20 tahun lalu, awal otonomi daerah diberlakukan, saya membuat tiga Perda Syariah, bersama DPRD yang materinya dibantu oleh MUI Kabupaten Solok, waktu itu dipimpin oleh ustad Gusrizal Gazahar. Tiga Perda itu adalah Perda Pakaian Muslimah, Perda Wajib Pandai Baca Tulis Alqur’an dan Perda Zakat.

Beberapa kalangan yang mengaku intelektual muslim atau muslim intelektual memprotes. Akhirnya, saya layani dengan debat atau dialog di salah satu stasiun TV swasta nasional di Jakarta.

Debat itu cukup lama dan hangat. Di ujung debat, saya katakan kepada profesor perempuan itu bahwa dalam sistem otonomi ini, pusat harus memberi ruang yang cukup kepada daerah untuk memelihara nilai-nilai lokalnya, sepanjang tak bertentangan dengan kepentingan nasional.

“Dalam hal ini, kepentingan nasional apa yang kami langgar. Seharusnya anda menghormati kebijakan kami yang 99,99 persen beragama Islam, dan berusaha memperkuat kehidupan islami yang diyakini masyarakat kami. Agar masyarakat hidup dalam ketentraman, kenyamanan dan kebahagiaan. Apalagi aturan itu juga disebutkan hanya untuk warga yang beraga Islam. Anda sendiri sekarang berhijab, kenapa anda tidak buka saja hijab itu,” begitu kata saya kepadanya waktu itu.

Sebagai tambahan perbandingan, bukan hanya di era otonomi saja, sejak dulu sampai sekarang siapa saja yang tengah berada di pulau Bali saat acara Nyepi, pasti ikut menghormatinya. Bahkan pesawatpun tunda berangkat beberapa saat.

Kenapa hingga kini tak pernah ada yang protes. Kenapa untuk kami anda protes? Itulah akhir dialog tersebut, karena waktu sudah habis.

Saat ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dibawah semboyan NKRI harga mati, banyak yang berlebihan menyikapi sesuatu.

Hanya karena punya gelar akademik seabreg, atau merasa jadi tokoh nasional, mereka membuat tafsiran yang berlebihan terhadap sesuatu. Bahkan men-judge orang lain berpikiran dangkal, sempit, radikal, dungu, dan sebagainya.

Begitupun dengan pernyataan Dr Ade Armando, dosen UI saat mengomentari permintaan Gubernur Sumatera Barat untuk menutup situs injil berbahasa Minang kepada Menkominfo. Dia mengatakan bahwa orang Minang terbelakang dan lebih Kadrun daripada Kadrun, padahal dulu banyak menghaslkan orang orang pintar.

Pernyataan itu mendapat reaksi yang luas di kalangan masyarakat Minang. Tak kurang dari Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar Lc MA, mengeluarkan pernyataan yang sangat berkelas. Kata Buya Gusrizal, para pemimpin asal Minang, lahir dan dibesarkan di surau. Surau adalah tempat belajar Alquran. Alquran itu adalah Kitabullah. Itulah yang menjadi filosofi masyarakat Minang, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Ketua MTKAAM, Irfianda Abidin lebih keras lagi. Beliau menyatakan mencoret nama Ade Armando sebagai orang Minang. Dan ada pula yang menantang Ade Armando untuk diskusi terbuka.

Di kalangan masyarakat luas yang umumnya terlibat dalam Sosial Media, juga merasa gerah. Banyak group WhatApp yang saya ikuti memperbincangkan dan merasa tersinggung dengan pernyataan Ade Armando itu. Walaupun seperti biasa, tentu juga ada yang diam dan bahkan membela. Tapi jumlahnya tak banyak.

Kenapa orang Minang tersinggung? Maaf… Kalau ada ucapan yang sama untuk suku bangsa lain di negeri ini, apakah masyarakatnya juga tersinggung?

Pertanyaan itu dilontarkan kepada saya dari seorang teman yang bukan berasal dari Minang.

Saya jawab, tergantung kepada suku bangsa mana pernyataan itu di alamatkan dan apa pernyataannya.

Kalau anda menghina Hindu kepada suku bangsa Bali, saya kira mereka juga akan tersinggung.

Setiap kelompok masyarakat, apalagi suku bangsa, mempunyai filosofi dalam hidup mereka. Filosofi atau falsafah hidup itu selalu menjadi rujukan dalam bersikap, berbuat dan bertingkah laku.

Bagi komunitas sosial yang kuat memegang filosofi itu, maka pelanggaran atasnya dapat dibuang dalam pergaulan sosialnya. Orang Minang menyebut, “dibuang sepanjang adat”. Tidak diikutkan sehilir semudik. Tidak diajak baiyo batido, dan tak lagi memperoleh hak waris adat. Atau dalam bahasa lugasnya “tak lagi dianggap ada dalam masyarakat”, tak ditegur sapa.

Itu hukum sosial yang hidup/The living law of the people.

Kemudian muncul pertanyaan, adat Minang punya aturan, bahwa Adat salingka Nagari, Pusako salingka kaum. Kenapa komunitas masyarakat Minang bisa memberi sanksi sosial, seperti tidak diakui, dicoret sebagai orang Minang atau dibuang sepanjang adat?

Memang benar, tapi ada yang disebut Adat sebatang panjang. Yang memuat prinsip-prinsip dasar adat secara menyeluruh dan berlaku bagi semua masyarakat Minang, dan seluruh Nagari di Minangkabau.

Maka, sudah menurut adat apabila Ade dibuang sepanjang adat. Apalagi jika ditelisik dari perilaku, kurenah.

Ada orang punya kurenah merasa paling pintar, paling terpelajar, paling maju berfikirnya. Mereka marasa menjadi bagian masyarakat dunia yang luas dan modern, sementara orang lain dianggap Kadrun, karena membawa bawa agama. Kadrun menurut Ade, adalah pikiran sempit dan radikal.

Bahkan orang-orang seperti ini kadang merasa paling NKRI dan paling Pancasila. Sehingga menganggap kalau sudah paling Pancasila dan paling NKRI, mereka juga tak tersentuh hukum.
Penyakit “merasa” belakangan ini tumbuh di beberapa kalangan. Dan merasa sangat jumawa, semua dikomentari dan semua dilawan. Saya tak mengerti, gejala apa pula ini?

Ada pula sebagian masyarakat kita dewasa ini yang berfikir bahwa kalau ada yang merujuk-rujuk ajaran Islam, merupakan indikator kebodohan dan keterbelakangan. Bahkan anehnya, seorang guru besar bidang agama sampai sampai meminta agar pelajaran agama dihapuskan saja, bila ingin negara ini maju.

Dalam alam demokrasi, melahirkan pendapat, pikiran dan menyampaikan argumentasi adalah sesuatu yang sah dan dijamin Undang Undang Dasar 1945.

Di Minangpun hal itu justeru menjadi sesuatu keniscayaan sejak zaman nenek moyangnya. Bahkan tak kurang Almarhum Nur Cholis Majid mengatakan, kalau ingin berdemokrasi belajarlah ke Minangkabau.

Orang Minang menganut paham, Basilang Kayu dalam tungku, baitu api mangko iduik. Duduak surang basampik sampik, duduak basamo ba lapang lapang.

Tapi setiap pendapat harus di sampaikan dengan cara-cara yang berakhlaq dan ber etika.
Orang Minang menyebut “Tau Di Nan Ampek”, bukan selonong boy saja! Ada jalan mandaki, ada jalan manurun, ada jalan malereang dan ada jalan mandata.

Tau sopan santun. Tau ereang jo gendeang, tau rantiang ka mancucuak, tau dahan ka ma impok. Tak peduli terpelajar dan bergelar pendidikan yang tinggi, tapi semua terdidik dan “bataratik”, berasal dari kata tertib.

Orang Minang tak pernah berlebih-lebihan menghargai orang kaya, berpangkat atau nekad pemberani. Orang Minang mengatakan, kok kayo, kami indak mamintak. Kok pandai kami tak ka batanyo. Kok bagak kami tak ka bacakak/berkelahi. Tapi kalau berbudi, kami segani.

Bagi masyarakat Minang yang bermental mandiri, sikap tak tergantung kepada orang lain adalah prinsip. Dengan sikap kemandiriannya itu, orang Minang biasanya juga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka berbaur dengan masyarakat dimana dia bertempat tinggal.

Mereka bukan suku bangsa eksklusif. Lihatlah diseluruh penjuru bumi, mana ada kampung Minang. Sementara ada kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Bugis, kampung Jawa, kampung Bali dan lain sebagainya. Karena filosofi hidup mereka, dima bumi dipijak, disitu langit di junjung. Dima ayia disawuak, disitu rantiang di patah.

Karena itu, penyataan Ade Armando yang menyinggung “puncak kada”, buat masyarakat Minang terasa menyakitkan sekali. Bisa dipahami pula, kalau orang Minang kemudian “marentak” (meminjam istilah Ery Mefri, sang Maestro Tari/gerak), yang bisa diartikan marah sambil menghantam kaki.

Jangan bicara sok hebat dengan masyarakat Minang yang sejak zaman bahela sudah berfikir Jauh ke depan (out ward looking) dan jauh ke luar (out of the box).

Tak usah merasa paling pintar, karena orang Minang yang berbasis surau itu, sejak dahulu saja sudah banyak yang menguasai belasan bahasa. Tan Malaka menguasai 14 bahasa, Agus Salim 13 bahasa dan sudah merantau, jauh ke mancanegara, sementara Republik ini belum lagi ada.

Siapa pendiri kota Manila, bukankah Raja Sulaiman yang berdarah Minang, yang patungnya berdiri di Kota Manila?

Siapa pencipta lagu Nasional Singapore? Bukankah orang Minang? Dan banyak contoh lagi yang terlalu panjang untuk saya sebutkan.

Tapi baca juga buku Payung Terkembang, yang ditulis Abdul Samad, orang Malaysia, bagaimana raja-raja Minang dijemput untuk jadi raja di Malaysia dimasa lalu.

Ade Armando yang mengkritisi sikap Gubernur Sumatera Barat, mungkin tak paham bagimana berjalin berkulindannya antara Adat dan Pemerintahan di Sumatera Barat. Gubernur itu pemimpin formal, tapi sekaligus pemimpin in formal, yang ditinggikan se rantiang dan di dahulukan selangkah oleh masyarakat. Walaupun tak dilegalkan seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lihatlah bagaimana nagari di Minangkabau, bukan hanya sebagai wilayah administratif tapi juga sebagai komunitas adat. Itu diakui dalam Undang Undang Desa.

Saya perlu mengingatkan Ade Armando, kalau lupa, bahwa di dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945, disebut secara ekplisit, Nagari Di Minangkabau, sebagai contoh.

Jika Ade Armando merasa hebat, hebat sajalah, atau silakanlah hebatnya. Jangan dibesarkan lampu sendiri, tapi dipadamkan lampu orang lain.

Presiden Jokowi mengangkat isu Revolusi Mental sejak periode pertama, jika Ade dan kita mendukung program tersebut, tentu sikap yang merendahkan itu kontradiktif dengan program pemerintahan Jokowi. Karena mental kita mestinya mental berketuhanan, bekemanusiaan, ber persatuan Indonesia, berhikmah kebijaksanaan dan berkeadilan.

Saya kira Ade Armando paham, bahwa di Minangkabau mungkin ribuan jumlah orang bergelar doktor dan profesor. Tapi mereka tak menyakiti, mereka berbagi ilmu, mereka bertutur kata pantang menyinggung. Karena orang Minang paham betul, setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan.

Kata orang Minang, tak ada kayu yang terbuang, kok pakak palatuih badia, kok buto pa ambuih lasuang, kok lumpuah pausia ayam.

Menurut saya, itulah sikap profesional, karena manusia tidak tau semua hal, no body is perfect. Dan karena itu pula pula tumbuh sikap rendah hati dan tawadhu’ dan saling menghargai.

Sekarang, kaki lah ta langkahan, tapijak arang, hitam tapak kata orang Minang. Bila berat rasanya minta maaf, saya hanya berharap, cukuplah sampai disini mencederai orang lain atau komunitas lain.

Kita ini sebagai manusia ada keterbatasan pengetahuan. Ade mungkin hebat dalam teori komunikasi bahkan bergelar doktor. Orang lain tentu hebat pula di bidangnya masing-masing.

Demi Allah, saya tak bermaksud mengajari Ade, disamping tak pantas, saya bukan orang yang lebih, juateru banyak kekurangan. Saya hanya ingin mengingatkan, agama saya mengajarkan, saling mengingatkan dengan kebenaran, kesabaran dan kasih sayang.

Karena saya menyayangi Ade Armando sebagai seorang guru mahasiswa, yang akan di gugu dan di tiru, seorang terdidik dan terpelajar, saya merasa rugi dan juga mungkin bangsa ini bila nanti tak lagi dianggap seperti itu.

Untuk masyarakat Minang, dengan rendah hati saya meminta, kita maafkanlah Ade Armando sekali ini. Pemaaf itu lebih baik kata Allah.

Mari kita terus berbenah meraih kemajuan Duniawi dan ukhrawi. Mudah mudahan kita memperoleh Fiddun ya hasanah, wa fil akhirati hasanah, waqina azabannaaar.

Masyarakat Minang tak usah ikut mencela. Kita diingatkan Allah dalam Alquran, wailullikulli humazatillumazah dst, Celakalah bagi pengumpat dan pencela.

Mari kita lanjutkan kehidupan Ranah Minang yang makin Islam, dalam negara Kesatuan Republik Indoneia ini yang kita cintai.

Kita tentu ingat, betapa kakek, nenek kita berandil besar dalam mendirikannya. Ingat angku kita Tan Malaka, Agus Salim, St. Syahrir, Imam Bonjol, M. Natsir, Buya Hamka, Rahmah El Yunusiah, Rasuna Said, St Moh Rasyid, Bung Hatta sang Proklamator dan ratusan lainnya yang tak saya sebutkan satu persatu.

Angku atau kakek Nenek kita yang bersaham dalam mendirikan republik ini cintanya selaras antara kampung halamannya dan Indonesia. Cintanya pada Tanah Air tak menyurutkan cintanya kepada kampung halaman secara subjektif, seperti kata Einstein.

Soal bernegara, Bung Hatta pernah mengutip kalimat Ernes Renan di sidang KMB; “Ada satu negeri yang menjadi negeriku, negeri itu tumbuh dengan kekuatan, kekuatan itu ada di tanganku.”

Mereka memegang keduanya sama sayangnya.

Mari kita lanjutkan kehidupan masyarakat Minangkabau dan masyarakat Indonesia dengan taat aturan, damai dan taqwa.(tm)

3 April….

Posting ini merupakan fwd message dari sebuah grup WA. Isi dan kebenaran ya diluar tanggung jawab saya. Semoga bermanfaat.

JANGAN LUPAKAN 3 APRIL, HARI NKRI!

Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Pada 3 April 1950, Mohammad Natsir, ketua Fraksi Partai Masyumi mengajukan ”Mosi Integral” di Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat).

Peristiwa itu dikenal sebagai pengajuan ”Mosi Integral Natsir”, yang memungkinkan bersatunya Negara-negara Bagian RIS ke dalam NKRI.

Mosi Integral Natsir pada 3 April 1950 itulah yang kemudian mengantarkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bung Hatta menyebutkan, bahwa Proklamasi Kedua secara resmi diumumkan pada 17 Agustus 1950. Proklamasi pertama, tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan Mosi Integral Natsir itu, maka bubarlah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan hasil konferensi Inter Indonesia – antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO – di Yogyakarta 19-22 Juli 1949.

Pembentukan BFO adalah upaya Belanda untuk ”mengepung” Republik Indonesia.

Negara-negara BFO adalah: Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, dan Negara Jawa Tengah.

Dengan demikian, Belanda berhasil menunjukkan, bahwa wilayah negara Republik Indonesia hanyalah di sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. (Lihat, Anwar Harjono dkk., Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978).

Prof. Dr. Din Syamsuddin menyatakan, bahwa Mosi Integral Mohammad Natsir merupakan tonggak sejarah penting dan menentukan dalam sejarah kehidupan bangsa.

Mosi Integral itu menyatukan dan menyelamatkan Indonesia dari upaya perpecahan.

Mosi itu juga merupakan bukti komitmen tokoh-tokoh Islam terhadap NKRI. (Lihat, buku Mosi Integral Natsir 1950, karya Ahmad Murjoko (Bandung: PersispRes, 2020).

Ketua MPR-RI (2004-2009) Dr. Hidayat Nurwahid menyampaikan bahwa Fraksi PKS DPR-RI beberapa kali menggelar peringatan Mosi Integral Natsir tersebut.

Ia pun sudah ikut menandatangani usulan agar tanggal 3 Arpil ditetapkan sebagai nasional, yaitu Hari NKRI. Bung Hatta memang menyebut peringatan Proklamasi 17 Agustus 1950 merupakan Proklamasi Kedua.

”Bangsa dan Umat perlu diingatkan bahwa tanpa karunia Allah dan kenegarawanan M. Natsir dengan Mosi Integralnya itu, mungkin RIS (Republik Indonesia Serikat) akan berlanjut, dan kita tidak mengenal lagi NKRI yang sudah ”dikubur” oleh kolonialis Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949,” tulis Hidayat Nurwahid dalam pengantarnya untuk buku karya Ahmad Murjoko.

Dr. Hidayat mengajak kaum muslim Indonesia tidak terpengaruh paham sekulerisme, Islamofobia, dan juga Indonesia-fobia.

Paham Sekulerisme menganggap bahwa keberadaan Islam di Indonesia dianggap sebagai biang masalah dan tidak ada jasanya bagi bangsa Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia-fobia menganggap Indonesia sebagai negara kafir yang tidak ada kaitannya dengan Islam dan para ulama.

Itulah pentingnya memahami dan mengingat peristiwa Mosi Integral Natsir, pada 3 April 1950. Pemerintah RI pun telah mengakui jasa besar Mohammad Natsir untuk bangsa Indonesia.

Pada tahun 2008, Mohammad Natsir, pendiri dan Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pertama, mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu jasa besarnya adalah mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelamatkan NKRI memang sangat fenomenal.

Natsir bukan hanya merumuskan gagasannya dengan cerdas, tetapi juga berhasil meyakinkan para tokoh Indonesia ketika itu yang berasal dari seluruh faksi dan aliran ideologis. Natsir memerlukan waktu dua setengah bulan untuk melakukan lobi.

Keberhasilan Mohammad Natsir dalam menggolkan ”Mosi Integral” itu menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik.

Ia memiliki integritas pribadi yang tinggi, ilmu yang kuas, kemampuan komunikasi yang piawai, dan juga lobi.

Dan tentu saja, Mohammad Natsir telah diberikan hikmah oleh Allah, sehingga bisa mengambil langkah yang tepat.

Kepada Majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989), Natsir menceritakan kisah perjuangan Mosi Integral tersebut:

Meskipun Yogya menjadi negara bagian, sesudah KMB, kita bertekad mengembalikan RI seperti semula.

Saya bicara dengan fraksi-fraksi. Dengan Kasimo dari Partai Katolik, dengan Tambunan dari Partai Kristen, dengan PKI, dan sebagainya.

Dari situ saya mendapat kesimpulan: mereka itu, negara-negara bagian itu, semuanya mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri.

Dua bulan setengah saya melakukan lobby. Tidak mudah, lebih- lebih dengan negara-negara bagian di luar Jawa. Umpamanya negara bagian di Sumatra dan Madura.

Setelah selesai semua, lantas saya adakan “mosi integral” yang kabur-kabur. Ha-ha-ha… kabur, sebab kita menghadapi Belanda. Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu ke mana perginya rencana itu.

Sesudah itu saya perlu datang ke Yogya. Tapi Yogya tidak mau membubarkan diri.

Lantas saya katakan: Kita punya program menyatukan kembali semuanya, jadi kita bayar ini dengan sama-sama membubarkan diri. Walaupun beberapa pemimpin sudah setuju, masyarakatnya belum mau, karena harga dirinya tersinggung.

Sampai pukul 3 dini hari kami membicarakan soal itu dengan jurnalis-jurnalis, orang-orang penting, dan pemimpin-pemimpin di Yogya.”


Bung Karno mengakui kehebatan perjuangan Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya.

Setelah “Mosi Integral” berhasil, Natsir dipercaya Presiden Soekarno untuk menjadi Perdana Manteri.

Wartawan Harian Merdeka Asa Bafagih bertanya kepada Soekarno tentang siapa yang akan jadi perdana menteri setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan, maka Soekarno menjawab, “Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi, mereka punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi”.

Kepahlawanan Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya, melanjutkan tradisi para tokoh Islam dalam menjaga dan mengokohkan NKRI.

Kini, setelah 75 tahun merdeka, tidak sedikit pihak yang mengkhawatirkan kondisi persatuan kita, sebagai satu bangsa.

Aneka konflik horisontal mulai bermunculan. Era disrupsi semakin mempercepat penyebaran berita-berita yang memudarkan kohesivitas sosial kita.

Dalam situasi seperti ini, bangsa Indonesia memerlukan tokoh-tokoh integratif dan solutif, seperti Soekarno-Hatta, HOS Tjokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikoesoemo, Syafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, Panglima Besar Soedirman, Mohammad Natsir, dan sebagainya.

Semoga Allah SWT menyelamatkan dan menjayakan negeri kita. Aamiin. (DDII, 1 April 2021).

NB. Makalah singkat ini disampaikan dalam Webinar Nasional ”Sosialisasi 4 Pilar dan Memperingati Mosi Integral M. Natsir, yang diselenggarakan MPR-RI dan FISIP UHAMKA, pada 1 April 2021.

Bung Hatta, Sanering dan Mesin Jahit

DEMI SEBUAH RAHASIA
Jakarta, 1950
“Aduh, Ayah! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu bahwa akan diadakan pemotongan uang? Yaaa, uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi?”. 

Sepotong kalimat bernada sedikit penyesalan itu terlontar dari mulut Rahmi Hatta, istri Wakil Presiden saat itu, Mohammad Hatta. Ceritanya, Ibu Rahmi yang ingin membeli mesin jahit telah menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta. Namun, ketika tabungannya telah cukup untuk membeli mesin jahit 

idamannya, tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp100 menjadi Rp1. Walhasil, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Rahmi menurun sehingga tidak cukup untuk membeli mesin jahit.

Padahal yang mengumumkan sanering itu adalah Bung Hatta, suaminya sendiri. 

Lalu, apa yang disampaikan Bung Hatta kepada istrinya yang mempunyai panggilan akrab Yuke itu?

“Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. 

Lalu, kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik!”

“Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sungguh pun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah 

kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya!”

Sumber : Media Edukasi Anti Korupsi, KPK.