From McKinsey: What is the metaverse?

From McKinsey Insights: What is the metaverse? https://www.mckinsey.com/featured-insights/mckinsey-explainers/what-is-the-metaverse?cid=soc-app

The metaverse is the emerging 3-D-enabled digital space that uses virtual reality, augmented reality, and other advanced internet and semiconductor technology to allow people to have lifelike personal and business experiences online.

3D layered shape cyborg head on neon colored background

We strive to provide individuals with disabilities equal access to our website. If you would like information about this content we will be happy to work with you. Please email us at: McKinsey_Website_Accessibility@mckinsey.com

The metaverse is having a moment: if you’ve ever done a Google search for the term “metaverse,” you’re not alone. In 2021, internet searches for the term increased by 7,200 percent. And once people get the gist, most of them are all in: recent McKinsey research shows that approximately 60 percent of consumers are excited about the transition of everyday activities like shopping, dating, and working out to the metaverse.

But it’s not just individuals who are meta-curious: private capital is betting big money on the metaverse. In 2021, metaverse-related companies reportedly raised more than $10 billion, more than twice what they did in 2020. And so far in 2022, more than $120 billion has flowed into the metaverse. The latest McKinsey research shows that the metaverse has the potential to generate up to $5 trillion in value by 2030. It’s an opportunity that is too big to ignore.

The metaverse means different things to different people. Some believe it’s a digital playground for friends. Others think it has the potential to be a commercial space for companies and customers.

We believe both interpretations are correct. In June 2022, McKinsey released Value creation in the metaverse, a new report based on surveys of more than 3,400 consumers and executives, as well as interviews with 13 senior leaders and metaverse experts. Based on this analysis, we believe the metaverse is best characterized as an evolution of today’s internet—something we are deeply immersed in, rather than something we primarily look at. It represents a convergence of digital technology to combine and extend the reach and use of cryptocurrency, artificial intelligence (AI), augmented reality (AR) and virtual reality (VR), spatial computing, and more. And the “enterprise metaverse” may coalesce in a way that unlocks even more opportunity, beyond simply serving as a virtual place where people interact.

At its most basic, the metaverse will have three features:

  • a sense of immersion
  • real-time interactivity
  • user agency

And ultimately, the full vision of the metaverse will include the following:

  • platforms and devices that work seamlessly with each other
  • the possibility for thousands of people to interact simultaneously
  • use cases well beyond gaming

The metaverse isn’t about escaping reality, says futurist Cathy Hackl. Instead, it’s about “embracing and augmenting it with virtual content and experiences that can make things more fulfilling and make us feel more connected to our loved ones, more productive at work, and happier.” For Brian Solis, Salesforce’s global innovation evangelist, “what the metaverse is really all about is community. The value of belonging to this community. The role you can play as a user in this community so that you feel like a stakeholder and not a ‘user.’”

Menginspirasi…, patah tumbuh hilang berganti

Kepala Desa “Online”

Berada di kaki Gunung Rinjani, berjarak sekitar 95 kilometer dari Mataram, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, ternyata Pemerintah Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, justru melek internet. Berbagai informasi desa dibuka secara “online”, pelayanan bagi warga dipermudah. Semua itu tak lepas dari kerja keras Kertamalip (50), sang kepala desa.

Angin puting beliung dibarengi hujan besar Senin lalu, 1 Februari 2016, jam 15.00 Wita, mengangkat semua atap rumah Inaq Gani tanpa tersisa, membuat isi rumah berantakan, sementara penghuni rumah pergi mencari nafkah. Begitu pulang, atap rumahnya sudah tidak ada, spontan pemilik rumah menangis.”

Demikian status Kertamalip, dengan nama akun Bang Ardes, pada laman Facebook-nya, 7 Februari 2016. Catatan itu dilengkapi foto rumah mungil berdinding batako tanpa plester yang kehilangan seluruh atapnya. Puluhan orang menyukainya (like) dan beberapa berkomentar.

“Sedih melihatnya, Pak Kades,” kata seorang warga. “Jangan jadi tontonan, tapi mari kita bantu,” sahut warga lain. Ada yang langsung bertanya, “Kapan kita gotong royong untuk memperbaikinya?”

Atas semua itu, masih di laman Facebook, Bang Ardes merespons, “Jika uangnya terkumpul, baru kita gotong royong.”

Lewat media sosial, Kertamalip mengajak warga untuk mendiskusikan berbagai persoalan desa. Tak cuma bercuap-cuap di dunia maya, kepala desa itu juga bergerak nyata di lapangan. Dia sudah membuat laporan kerusakan rumah Inaq Gani ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok utara. Pada saat bersamaan, dia menggalang sumbangan.

“Butuh dana sekitar Rp 15 juta untuk memperbaiki rumah itu, seperti untuk beli kayu, atap seng, atau ongkos tukang,” ujarnya.

Obrolan di Facebook itu sedikit menggambarkan bagaimana Kertamalip memanfaatkan teknologi informasi untuk membicarakan berbagai persoalan desa. Tentu, komunikasi lewat media sosial itu hanya proses awal yang ditindaklanjuti dengan langkah-langkah nyata di lapangan. “Dengan sistemonline, kami berkomunikasi dengan warga, tanpa warga datang ke kantor desa,” katanya saat ditemui di rumahnya di Karang Bajo, suatu sore, awal Februari 2016.

Kami berbincang di barugak, balai kecil tanpa dinding di depan rumah. Kertamalip memaparkan sistem informasi desa sambil membuka komputer jinjing yang terkoneksi internet. Di luar, hujan deras mengguyur.

Kanal-kanal informasi

Meski berada di pedalaman, Desa Karang Bajo memiliki sistem informasi yang lengkap. Selain Facebook dengan akun atas nama Bang Ardes dan Desa Karang Bajo, Kertamalip juga aktif mengembangkan bloghttp://desakarangbajo.blogspot.co.id/ dan situs http://karangbajo-lombokutara.sid.web.id/. Di kanal-kanal itu, warga memperoleh berbagai informasi, mulai dari sejarah desa, visi-misi pemerintahan desa, program pembangunan, laporan keuangan, berita, peraturan desa, sampai statistik.

Ada juga informasi pelayanan, seperti membuat KTP, kartu keluarga, atau akta catatan sipil. Warga yang mau mengurus semua itu bisa menyiapkan berbagai persyaratan sebagaimana tercantum di blog atau situs. Saat datang ke kantor desa, proses administrasi bisa lebih cepat. “Kami pernah meluncurkan pelayanan 5 menit selesai,” ujar Kertamalip.

Kanal-kanal online itu juga menerima pengaduan dari warga. Kepala desa tak hanya menerima berita menyenangkan, tetapi juga bermacam aspirasi, keluhan, serta kritik yang penting untuk membangun daerah itu.

Kertamalip juga sempat aktif di Twitter dengan akun @ArdesBang. “Tapi, sudah tidak aktif lagi setelah kelupaan kata kuncinya,” katanya.

Sistem informasi Desa Karang Bajo juga leluasa diakses publik luas. Saat ini, blog dan situs Desa Karang Bajo sudah diakses oleh puluhan ribu pengunjung. Desa ini juga langganan kunjungan langsung dari mahasiswa, peneliti, atau pejabat pemerintah.

Atas pencapaian itu, Kertamalip mengantongi sejumlah penghargaan. Sebut saja, anugerah Kepala Desa Pelopor Good Governance dalam Pengelolaan Keuangan Desa (2015), Kepala Desa Berprestasi Bidang Informasi Desa (2013), serta Kader Lestari Bidang Kesehatan dari Kementerian Kesehatan RI dan Penghargaan Pelita Nusantara yang diserahkan Wakil Presiden Boediono (2013).

Penghargaan terakhir itu diberikan berkat kegigihan Kertamalip dalam menekan angka kematian ibu melahirkan sampai nol. Desa itu memiliki ambulans yang siap menjemput ibu hamil yang akan melahirkan untuk dibawa ke puskesmas.

Bermula dari radio

Pengembangan sistem informasi desa itu bermula dari aktivitas Kertamalip di radio. Pada tahun 2002, dengan peralatan siaran yang dibeli dari hasil patungan warga, dia bersama teman-temannya membuat radio komunitas, Primadona FM. Radio itu menyiarkan berita lokal, informasi, dan tembang sasak. Kertamalip tampil sebagai penyiar dengan nama udara “Bang Ardes”.

Tahun 2007, Kertamalip terpilih menjadi Kepala Desa Karang Bajo, yang merupakan hasil pemekaran. Dibangunlah studio radio di kantor desa. Bang Ardes sesekali masih tampil, terutama untuk acara Informasi dan Musik aliasInfus pada malam hari. Penggemarnya kian banyak.

Namun, studio radio itu sempat rusak. Pada saat bersamaan, Kertamalip mulai tertarik pada teknologi internet. Diluncurkanlah bloghttp://desakarangbajo.blogspot.co.id/ pada tahun 2010, lalu http://karangbajo-lombokutara.sid.web.id/ pada 2014. Situs terakhir itu merupakan program pemerintah.

Sebenarnya Kertamalip tak punya latar belakang pendidikan komunikasi, apalagi teknologi internet. Pendidikan terakhirnya adalah SMEAN 1 Mataram Jurusan Tata Usaha. Bahkan, setelah lulus, dia pernah menjadi kepala madrasah ibtidaiyah setempat. Selain itu, dia juga bertani padi seperti mayoritas warga.

Namun, ketika mulai aktif sebagai anggota staf pemerintah desa, Kertamalip menyadari betapa pentingnya sistem informasi desa. Dia pun tertantang untuk mempelajari dan menerapkan teknologi informasi. Itu tak mudah diwujudkan di desa yang ada di pelosok dengan sebagian warganya masih kurang mampu. Apalagi, sinyal internet di situ kurang stabil.

Saat pertama diluncurkan, blog itu dicibir sebagai program gagah-gagahan saja. Namun, seiring dengan penguatan internet dari telepon genggam serta tampilan blog dan situs yang kian informatif, perjuangan itu disambut positif. Sistem ini mendorong desa lebih transparan, sementara warga memperoleh informasi dan pelayanan lebih mudah.

“Jika pemerintah bisa membantu fasilitas Wi-Fi, tentu kami bisa lebih berkembang lagi,” harap Kertamalip.

KERTAMALIPu Lahir: Dasan Baro, 25 Desember 1965u Pendidikan: SMEAN 1 Mataram (1986)u Istri: Limanimu Anak: Arniati, Rusniatun, Siti Aisyah u Riwayat pekerjaan: – Kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) Tumpang Sari – Pembantu PPN di Desa Bayan, Desa Senaru, dan Desa Karang Bajo

– Kepala Desa Karang Bajo (2007-2013, 2013-2019)u Penghargaan:

– Kepala Desa Pelopor Good Governance dalam Pengelolaan Keuangan Desa (2015)- Kepala Desa Berprestasi Bidang Informasi Desa (2013)- Kader Lestari Bidang Kesehatan dari Kementerian Kesehatan (2013)- Penghargaan Pelita Nusantara, diserahkan Wakil Presiden Boediono (2013)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Februari 2016, di halaman 16 dengan judul “Kepala Desa “Online””.

Whose side are you on? In-flight Wi-Fi.

Apakah anda termasuk orang yang maniac harus terhubung ke Internet, sehingga ketika sedang terbangpun anda tetap ingin “being connected”? Itu adalah pilihan anda.  Ada yang senang 24/7 terhubung, tapi juga ada yang menjadikan pesawat terbang adalah tempat “get out” terbaik dari rutinitas. Silakan menyimak, semoga berguna.

++++++++++++

The continued unpopularity of in-flight Wi-Fi

Dec 31st 2011, 13:43 by N.B. | WASHINGTON, D.C.

GOGO, which provides in-flight Wi-Fi to many American airlines, recently filed for an initial public offering. But as Dan Frommer, a tech writer, reminds us (via Slate‘s Matt Yglesias), in-flight Wi-Fi is still quite unpopular: just 4% of passengers on flights that offer Gogo Wi-Fi actually pay for the service. (Gulliver wrote about air travellers’ unwillingness to pay for Wi-Fi service way back in 2009.)

Mr Frommer believes that the 4% statistic is a sign that a very small base of Wi-Fi users (probably business travellers and bloggers like Mr Yglesias and your correspondent) provide the majority of Gogo’s revenue. But Mr Yglesias argues that the low purchase rate “casts the sometimes questionable quality of the service in a stark light” and compares Gogo to the truly abysmal Amtrak Wi-Fi, which I’vecriticised in this space before. (Perhaps part of the problem is that many employers will not reimburse for in-flight Wi-Fi.)

Ultimately, Gogo’s business model could be threatened by the fact that using cell phones and wireless modems on an aeroplane probably won’t cause you to plummet out of the sky. (It can, however, interfere with ground-based networks and unshielded aeroplane instrumentation.) A more enlightened airport security regime and technological progress might eventually allow passengers to use their own wireless modems while airborne. If that happens at some point in the future, Gogo would be in big trouble. In my experience, the service isn’t good enough to realistically compete with the speeds offered by a 3G wireless modem.

The bigger problem for Gogo and other in-flight Wi-Fi providers is that most people aren’t willing to pay for what is usually a slow, unreliable internet connection unless they absolutely must. There’s plenty of work that even a blogger can do without an internet connection, and a plane is often the best place to do that sort of work. And if more people did start using the in-flight service, that would make it even slower. But perhaps I’m being too pessimistic about Gogo’s prospects. Mr Frommer has a lot more points to consider; his piece is definitely worth the click-through.

http://www.economist.com/blogs/gulliver/2011/12/flight-wi-fi?fsrc=scn/tw/te/bl/continuinedunpopularity