Bapak dan Ibu pengusaha, penguasa, termasuk pejabat baik yg tinggi sekali sekelas menteri hingga dirjen yang banyak rapat di belakang meja, maupun yang di lapangan, kiranya sangat perlu dipahami bersama bahwa kemajuan dunia digital yang dibawa oleh ICT atau TIK atau kadang kita menyebutnya telematika sudah semakin terasa dan memang tidak bisa dihindari. Perlahan tapi pasti “digital disruption”itu memang akan dan telah menghadang serta merubah berbagai tatanan kehidupan kita termasuk bisnis dan proses menjalankan kepemerintahan (governance).
Lihatlah sekeliling Bapak/Ibu, bukankah sekarang begitu mudah mentransfer dana antar bank, termasuk membayar pajak maupun membeli barang. Dalam hitungan detik anda bisa memilih barang apa saja yang tersedia di berbagai toko online dan tinggal hitungan jam atau hari sudah akan sampai di depan pintu rumah anda. Untuk berpergian termasuk yang agak confidential, anda dengan mudah bisa berselancar mencari tiket murah atau sesuai selera anda untuk berpergian ke seluruh pelosok dunia tanpa memerlukan lagi bantuan sekretaris. Begitu pula jika nada memerlukan hotel atau pun mobil sewa.
ICT juga menjadikan berbagai usaha kecil, menengah maupun mikro (UKM) dapat berpartisipasi dengan memanfaatkan dan memaksimalkan inovasi. Berbagai lapisan bisa saja menjual barang dan jasa, baik hanya melalui orderan via telpon, sms ataupun berbagai jenis messenger lain seperti BBM, WA, maupun Line. Meskipun belum sempurna, berbagai pembayaran juga bisa dilakukan sekarang dengan e-Money seperti untuk membayar tiket bioskop, parkir, hingga pembayaran di pintu tol. Ini hanya barulah sebagian revolusi digital yang akan makin kita hadapi sehari-hari.
Muncul pertanyaan, apakah memang bisa dibuat regulasi ataukah harus diregulasi? Jelaslah jawaban yang paling tepat adalah regulasi akan masih tertinggal dengan aplikasi yang muncul lebih cepat. Apakah regulasi itu di tingkat UU, PP, hingga peraturan menteri, tetap saja akan selalu telat. Lalu haruskah kita menyerah? TIdaklah perlu menyerah, kita masih bisa percaya bahwa bisnis yg baik dibangun atas dasar praktek dan aturan bisnis yang baik pula. Memang banyak maling atau pebisnis yang mencari untung sesaat hingga rent seeker yang ingin mengambil keuntungan di atas kerugian orang lain atau salah satu pihak. Namun menurut pengamatan saya, bisnis model yang terakhir ini tidaklah akan langgeng dan akan tergilas oleh digitalisasi itu sendiri.
ICT telah merubah banyak struktur atau model bisnis yang tadinya tidak mungkin atau dirasa akan sulit terpengaruh oleh teknologi, akhirnya jebol juga. Kita melihat sendiri bagaimana para operator telekomunikasi misalnya harus memeras otak, untuk tetap menjaga ARPU (average revenue per user) masih bisa mencapai tingkat yang diharapkan. Para operator harus bekerja keras karena sampai saat ini pemerintah belum mengambil sikap terhadap OTT (over the top) misalnya. Saat ini masyarakat yang telah memiliki smartphone, sudah sangat jarang menggunakan sms untuk berkomunikasi atau mengurani telpon yang menyedot pulsa mereka atau menambah bill pasca bayar mereka. Berbagai alternatif tersedia mulai dari BBM, WA, LINE dan face book yang bukan hanya bisa digunakan untuk berkirim pesan tertulis, tetapi juga dengan mudah nya bisa menelpon teman atau kerabat. Ini sudah menjadi keniscayaan.
Karena itu ketika nyaris seluruh lapisan dunia harus merubah atau harus mencari cara agar bisnis yang menyangkut Property Rights seperti musik dan film serta karya seni lainnya harus dilindungi, berbagai aplikasi dan cara juga diambil oleh penyedia jasa/kontent. Lihatlah bagaimana akhir Itunes dan berbagai portal musik lainnya harus berinovasi mengahadapi pembajakan. Terkadang bisnis hiburan pun seperti game dan toko buku juga harus mengevaluasi bisnis model mereka dari waktu ke waktu.
Tidak bisa dimungkiri, sekarang dengan mudah kita bisa menikmati musik baik berupa video (mp4) ataupun dalam format mp3, termasuk untuk musik atau filem yang baru saja diluncurkan. Kemudahan untuk menikmati streaming piala champion atau copa america juga bisa dapatkan jika anda memiliki koneksi Internet. Mungkin di Indonesia atau di domain USA dan eropa bisa anda larang atau cegah, tetapi melalui satu atau dua negara amerika latin, dengan mudah anda akan bisa menikmati streaming yang nyaris gratis dengan kualitas digital luar biasa sekelas HD. Jika TV berlangganan anda tidak bisa menyiarkan siaran sepak bola tertentu, jangan khawatir, dengan bertanya di FB dalam sekejap akan banyak teman yang memberikan link gratis. Nah, karena ini gratis, tentu tidak ” elok ” kalau anda kemudian mengadakan nonton bersama dengan layar lebar dan menarik bayaran. Namun sekali lagi, dapatlah kita meyakini, dengan kemudahan Internet, semua kesulitan terkait regulasi dan sistem transmisi bisa diatasi. Memang tentu tidak semuanya legal ada juga yang tergolong melanggar aturan berlaku.
Bagaimana mungkin mencegah apa yang sedang melanda dunia saat ini seperti phenomena Grab dan Uber taxi? Dimana ada demand, disitu akan ada supply. Sulit untuk dibatasi. Uber telah menjangkau puluhan negara di dunia dan ratusan kota, termasuk kota2 Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Denpasar. Seperti saya sampaikan didepan, bisa saja Itunes atau portal lain menjual musik dan filem atau buku dengan harga murah dan menjadi pilihan konsumen, tetapi berbagai kemudahan yang ada, tetap saja proses download gratis disebarkan oleh portal tertentu, baik karena persoalan persaingan bisnis, tetapi ada pula yag memang menginginkan konsumen menikmati gratis dan mereka dapatkan revenue dari iklan.
Jadi jika kita mendengar walikota Paris hendak melarang Uber taxi, dalam prakteknya, masyarakat yang diuntungkan dengan membayar taxi lebih murah akan tetap mencari dan memakai jasa Uber taxi. Atau kejadian kemaren yg saya alami di Bandung, karena persaingan sangat tidak sehat perusahaan taxi yang tidak memungkinkan seseorang menggunakan taxi yang ditelpon langsung via operator, orang akan menggunakan uber taxi sebagai alternatif. Kasus yang saya alami sendiri, akhirnya terpecahkan ketika taxi yang saya pesan tidak berani menjemput karena sudah ada taxi lain yang mangkal, memakai taktik menghidupkan dulu argonya sebelum sampai ke lokasi penjemputan sehingga terlihat seolah2 ada isinya. Jika tidak, maka para supir taxi yang mangkal yang biasanya memeras penumpang dengan harga non meter akan mengamuk dan akan memberi citra tidak baik untuk hotel. Sementara hotel besar sekalipun tidak kuasa mengatasi persoalan yang sangat penting untuk bisnis traveling ini, yaitu transportasi.
Jadi bapak/ibu, menurut hemat saya, selagi aplikasi ICT bisa memperbaiki kondisi externatilies dalam ekonomi yang merugikan masyarakat khususnya konsumen, maka aplikasi itu tidaklah membutuhkan regulasi, tetapi tugas utama pemerintah adalah menjalankan kompetisi. Sudah selayaknya untuk kasus Uber, pengusaha taxi juga memperbaiki service dan aplikasi kemudahan mereka untuk pelanggan. Mengharapkan regulasi jelas akan sangat membutuhkan waktu. Melarang sesuatu yang memberikan kemudahan bagi konsumen jelas itu juga perbuatan tergolong “tidak smart” dan hanya memperlihatkan ketumpulan pemikiran pengambil keputusan kepada masyarakat dan pemimpin mereka. Mesjid di komplek kami saja sudah mulai menggunakan alat penunjuk waktu digital sederhana yang bisa di set untuk penentuan waktu shalat, termasuk counting down 10 menit untuk menentukan waktu qamat yang sangat berguna sebagai penunjuk waktu bagi jamaah yang baru datang. Ia dengan mudah memberikan tanda apakah kita masih bisa mengerjakan shalat sunat mesjid atau sebaiknya menunggu qamat saja lalu shalat berjamaah. Tidak ada lagi perasaan terdiskriminasi bagi jamaah biasa2 saja dengan jamaah yang juga pengurus mesjid yang biasanya jika pun telat datang masih ditunggu muadzin sehingga shalat sunah selesai ia kerjakan.
Jadi, kita memang harus pandai menata penggunaan dan pemanfaatan teknologi, baik untuk diri sendiri maupun untuk tingkat yg lebih luas dalam bisnis, masayarakat dan pemerintahan.
________
Sekedar lampiasan pemikiran sebelum istirahat pagi ini. Selamat pagi kawan, selamat berpuasa.
Filed under: ICT | Tagged: digital disruption, e-commerce, grab, ICT, taxi, telematika, TIK, uber | Leave a comment »