Media Kita Kini 

Tulisan ini adalah copas dari sebuah posting di FB. Kebenarannya tidak diketahui, silakan di judge sendiri dan digunakan sesuai keperluan.

Mendung makin gelap di negeri kita kalau kondisi ini benar sebuah fakta atau sebagian. 

——

 Wartawan bawah dilarang terima amplop, tapi pemimpin media dapst uang dr pejabat

*Ketika TEMPO Dihajar “Jilbab Hitam”*

Sumber tulisan dari Voa-islam.com. Berikut isi tulisan Sang “Jilbab Hitam” yang nyaris menggoyangkan kemapanan struktural media Tempo.

*Heboh Pengakuan Wartawati Ex Tempo: Kebobrokan Media di Indonesia*

Rabu, 13 Nov 2013.

*Kebobrokan Media di Indonesia*

Saya adalah seorang perempuan biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan TEMPO tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok Goenawan Mohamad yang menjadi alasan utamanya. Dimulai dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam ‘Catatan Pinggir’ hingga rutin membaca Majalah TEMPO sejak masih duduk di bangku pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media TEMPO. 

Dengan polos, saya selalu berpikir, salah satu cara memberikan kontribusi yang mulia kepada masyarakat, mungkin juga negara adalah dengan menjadi bagian dalam jejaring wartawan TEMPO. Apalagi, sebagai awam saya selalu melihat TEMPO sebagai media yang bersih dari praktik-praktik kotor permainan uang. Permainan uang ini, dikenal dalam dunia wartawan dengan istilah ‘Jale’ yang merupakan perubahan kata dari kosakata ‘Jelas’.

“Jelas nggak nih acaranya?”

“Ada kejelasan nggak nih?”

“Gimana nih broh, ada jale-annya nggak?”

Kira-kira begitu pembicaraan yang sering saya dengar di area liputan. Istilah ‘Jelas’ berarti acara liputannya memberikan ongkos transportasi alias gratifikasi kepada wartawan, dengan imbal balik tentunya penulisan berita yang positif. Dari kata ‘Jelas’, kemudian bergeser istilah menjadi ‘Jale’ yang menjadi kosakata slank untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’. 

Perilaku menerima uang sudah menjadi sangat umum dalam dunia wartawan. Saya pribadi jujur sangat jijik dengan perilaku tersebut.

Ketika (akhirnya) saya bergabung dengan grup TEMPO di tahun 2006, sebagaimana cita-cita saya dulu sekali, saya merasa lega.

“Setidaknya, saya tidak menjadi bagian dari media-media ecek-ecek yang kotor dan sarat permainan uang” pikir saya.

Dulu, saya berpikir, media besar seperti TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya, tidak mungkin bermain uang dalam peliputannya. Dulu, saya pikir, hanya media-media tidak jelas saja yang bermain seperti itu. 

Namun fakta berkata lain. Sempat tidak percaya karena begitu dibutakan kekaguman saya pada kewartawanan, Goenawan Mohamad, TEMPO dan lainnya, saya sempat menolak percaya bahwa wartawan-wartawan TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Antara dan lain-lainnya, rupanya terlibat juga dalam jejaring permainan uang.

Media-media tidak jelas atau yang lebih dikenal dengan media Bodrek bermain uang dalam peliputannya. Hanya saja, dari segi uang yang diterima, saya bisa katakan kalau itu hanya Uang Receh. 

Mafia-nya bukan disitu. Media-media Bodrek bukan menjadi mafia permainan uang dalam jual beli pencitraan para raksasa politik, korporasi, pemerintahan. Adalah media-media besar seperti TEMPO, Kompas, Detik, Antara, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan sebagainya, yang menjadi pelaku jual beli pencitraan alias menjadi mafia permainan uang wartawan. 

Siapa tak kenal Fajar (Kompas) yang menjadi kepala mafia uang dari Bank Indonesia dalam permainan uang di kalangan wartawan perbankan?

Siapa tak kenal Kang Budi (Antara News) yang mengatur seluruh permainan uang di kalangan wartawan Bursa Efek Indonesia?

Siapa tak kenal duet Anto (Investor Daily) dan Yusuf (Bisnis Indonesia) yang mengatur peredaran uang wartawan di sektor Industri? 

Banyak lagi lainnya, yang tak perlu saya ungkap disini. Tapi beberapa nama berikut ini, sungguh menyakitkan hati dan pikiran saya, sempat menggoyahkan iman saya, lantas betul-betul membuat saya kehilangan iman. 

Adalah Bambang Harimurti (eks Pimred TEMPO yang kemudian menjadi pejabat Dewan Pers, juga salah satu orang kepercayaan Goenawan Mohamad di grup TEMPO) yang menjadi kepala permainan uang didalam grup TEMPO.

Siapa bilang TEMPO bersih? 

Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham grup Bakrie setelah TEMPO mati-matian menghajar grup Bakrie di tahun 2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu dan memborong saham Bakrie.

Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya, seperti yang sebut di atas. 

Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawapos. Teman saya di Jawapos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawapos) adalah, gaji para wartawan Jawapos tidak besar, namun manajemen Jawapos menganjurkan para wartawannya mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan.

TEMPO berbeda. Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka 3 jutaan. Terakhir malah mencapai 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior bermain proyek pemberitaan. 

Media sekelas TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia dan sebagainya yang sebut tadi di atas, tidak bermain Receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita tayang seperti media ecek-ecek. Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang. 

Memangnya, ketika TEMPO begitu membela Sri Mulyani, tidak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI?

Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Surjadjaja (kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)? 

Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana dari Sinarmas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery? 

Memangnya, ketika grup TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam Skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harimurti dengan Mustafa Abubakar? Saat itu, Bambang Harimurti juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa Abubakar. 

Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tidak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. Grup TEMPO sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa? 

Fakta-fakta itu, yang semula begitu enggan saya percayai karena fundamentalisme saya yang begitu buta terhadap TEMPO, sempat membuat saya frustrasi. Kalau boleh saya samakan, mungkin kebimbangan saya seperti seorang yang hendak berpindah agama. Spiritualitas dan mentalitas saya goncang akibat adanya fakta-fakta tersebut. Bukan hanya fakta soal permainan mafia grup TEMPO, tetapi juga fakta bahwa media-media besar bersama wartawan-wartawannya, lebih jauh terlibat dalam permainan uang dan jual beli pencitraan, layaknya jasa konsultan. 

Mereka, media-media besar ini, tidak bermain Receh, mereka bermain dalam cakupan yang lebih luas lagi, baik deal politik tingkat tinggi, juga transaksi korporasi kelas berat. 

Namun semua itu sebetulnya tidak terlalu saya masalahkan, hingga suatu hari saya lihat sendiri bahwa permainan uang dan jual beli pencitraan juga terjadi pada media tempat saya bekerja, TEMPO. Dikepalai oleh Bambang Harimurti sebagai salah satu Godfather mafia permainan uang dan transaksi jual beli pencitraan dalam grup TEMPO, kini tidak hanya bergerak dari dalam TEMPO, tetapi sudah menjadi jejaring antara grup TEMPO dengan para eks-wartawan TEMPO yang membangun kapal-kapal semi-konsultan untuk memperluas jaringan mereka, masih di bawah Bambang Harimurti. 

Saya pribadi, memutuskan resign dari TEMPO pada awal tahun 2013. Muak dengan segala kekotoran TEMPO, kejorokan media-media di Indonesia, kejijikan melihat jejaring permainan uang dan jual beli pencitraan di kalangan wartawan TEMPO dan media-media besar lainnya.

Praktik mafia TEMPO kini semakin menjadi-jadi. 

Agustus lalu, masih di tahun 2013, saya sempat mampir ke Bank Mandiri pusat di jalan Gatot Subroto. Saat itu, saya sudah resign dari grup TEMPO. Tak perlu saya sebut, kini saya bekerja sebagai buruh biasa di sebuah perusahaan kecil-kecilan, namun jauh dari permainan kotor TEMPO. 

Di gedung pusat Bank Mandiri itu, saya memang janjian dengan eks-wartawan TEMPO bernama Eko Nopiansyah yang kini bekerja sebagai Media Relations Bank Mandiri. Ia keluar dari TEMPO dan pindah ke Bank Mandiri sejak tahun 2009, karena dibajak oleh Humas Bank Mandiri Iskandar Tumbuan. 

Pada pertemuan santai itu, hadir juga Dicky Kristanto, eks-wartawan Antara yang kini juga  menjabat sebagai Media Relations Bank Mandiri. Kami bincang bertiga. Pak Iskandar, yang dulu juga saya kenal ketika sempat meliput berita-berita perbankan sempat mampir menemui kami bertiga. Namun karena ada meeting dengan bos-bos Mandiri, pak Iskandar pun pamit. 

Sambil menyeruput kopi pagi, saya berbincang bersama Eko dan Dicky. Mulai dari obrolan ringan seputar kabar masing-masing, hingga bicara konspirasi politik dan berujung pada obrolan soal aksi lanjutan TEMPO dalam ‘memeras’ Bank Mandiri terkait kasus SKK Migas.

Saya lupa siapa yang memulai pembicaraan mengagetkan itu, meski sebetulnya kami sudah tidak kaget lagi karena memang kami, kalangan wartawan (atau eks-wartawan) sudah paham betul perilaku wartawan.

Siapapun itu, Eko maupun Dicky menuturkan keluhannya terhadap grup TEMPO. Begini ceritanya. 

“Ketika kasus suap SKK Migas yang melibatkan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini terkuak, saat itu beliau juga menjabat sebagai Komisaris Bank Mandiri. Dan memang harus diakui bahwa aktivitas transaksi suap, pencairan dana dan sebagainya, menggunakan rekening Bank Mandiri. Tapi ya itu kami nilai sebagai transaksi individu. Karena berdasarkan UU Kerahasiaan Nasabah, kami Bank Mandiri pun tidak dapat melihat dan memang tidak diizinkan menilai tujuan dari sebuah transaksi pencairan, transfer atau apapun, kecuali ada permintaan dari pihak Bank Indonesia, PPATK, pokoknya yang berwenang. Oleh sebab itu, kami tidak terlalu memusingkan soal apakah Bank Mandiri akan dilibatkan dalam kasus SKK Migas,” tuturnya. 

“Tiba-tiba, masuklah proposal kepada divisi Corporate Secretary dan Humas Bank Mandiri dari KataData. Itu lho lembaga barunya Metta Dharmasaputra (eks-wartawan TEMPO) yang didanai oleh Lin Che Wei (eks-broker Danareksa). Gua kira KataData murni bergerak di bidang pemberitaan. Eh, nggak taunya KataData juga bergerak sebagai lembaga konsultan. Jadi KataData menawarkan jasa solusi komunikasi kepada Bank Mandiri untuk berjaga-jaga apabila isu SKK Migas meluas dan mengaitkan Bank Mandiri sebagai fasilitator aksi suap,” ungkapnya. 

“Rekomendasinya sih menarik, KataData menawarkan agar aksi suap SKK Migas dipersonalisasi menjadi hanya kejahatan Individu, bukan kejahatan kelembagaan, baik itu lembaga SKK Migas maupun Bank Mandiri. Apalagi, Metta mengatakan bahwa tim KataData juga sudah bergerak di social media untuk mendiskreditkan Rudi Rubiandini dalam isu perselingkuhan, sehingga akan mempermudah proses mempersonalisasi kasus suap SKK Migas menjadi kejahatan individu semata,” jelasnya. 

“Data-data yang ditampilkan KataData memang menarik, karena riset data dilakukan oleh IRAI, lembaga riset milik Lin Che Wei yang menjadi penyedia data utama KataData. Kalau tidak salah waktu itu data utang-utang grup Bakrie yang dibongkar TEMPO juga dari IRAI ya? Itu lho, yang tadinya ditawarin ke pak Nirwan dan karena ditolak kemudian dibayarin Agus Marto Rp 2 miliar untuk menghajar grup Bakrie,” papar dia. 
“Kita sih waktu itu melaporkan proposal tersebut kepada para direksi Bank Mandiri. Dan selama sekitar 2 pekan, memang belum ada arahan dari direksi mau diapakan proposal tersebut. Penjelasan pak Iskandar (humas Bank Mandiri) sih, direksi masih melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan pemerintahan. Biar bagaimanapun ini isu besar, salah langkah bisa berabe akibatnya. Gua sih yakin, saat itu bos-bos lagi memetakan dulu kemana arah isu ini sebelum memberikan jawaban terhadap proposal yang masuk. Karena selain KataData juga ada dari pihak-pihak konsultan lainnya,” kata dia.

“Eeh, tau-tau Pak Iskandar bilang, gila, TEMPO makin jadi aja kelakuannya. Masak BHM (Bambang Harimurti) sampai menelpon langsung ke pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin) terkait proposal KataData yang memang belum kita respon karena masih memetakan arah isunya. Secara tersirat kita tau lah telepon itu semacam ancaman halus dari BHM dan KataData bahwa jika tidak segera direspon, maka data-data akan dipublikasi, tentunya dalam cara TEMPO mempublikasi data dong yang selalu penuh asumsi dan bertendensi negatif,” ungkap dia.

“Menurut Pak Iskandar, meski sudah diperingati soal bahaya menolak tawaran (alias ancaman) TEMPO grup adalah terjadinya serangan isu negatif kepada Bank Mandiri, rupanya Pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri) bersikeras tidak takut terhadap grup TEMPO. Penolakan memberikan respon cepat terhadap proposal KataData pun disampaikan kepada BHM (Bambang Harimurti),” singkap dia.

“Alhasil, terbitlah Majalah TEMPO edisi 18 Agustus 2013 dengan judul Setelah Rudi, Siapa Terciprat? yang isinya begitu mendiskreditkan Bank Mandiri dalam kasus SKK Migas. TEMPO membentuk opini bahwa aksi suap Rudi Rubiandini tidak akan terjadi apabila Bank Mandiri tidak memfasilitasinya,” keluh dia. 

“Ini kan semacam pemerasan halus atau pemerasan Kerah Putih dari jejaring TEMPO (Bambang Harimurti), KataData (Metta Dharmasaputra, Eks-Wartawan TEMPO) dan IRAI (Lin Che Wei, Eks-Broker Danareksa dan pendana utama KataData). Begitu edisi tersebut tayang, kita sih tepuk dada saja menghadapi mafia TEMPO dalam memeras korban-korbannya. Biasanya memang begitu polanya. Begitu ada kasus skala nasional, calon-calon korban seperti kita (Bank Mandiri) akan didekati oleh mereka, ditawari jasa konsultan dengan ancaman kalau tidak deal, ya di blow up. Padahal data yang mereka publish tidak sepenuhnya benar. Tapi semua orang juga tau kalau TEMPO sangat pintar memainkan asumsi dan tendensi negatif,” keluh dia. 

Mendengar cerita tersebut, dalam hati saya bersyukur kalau saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari TEMPO yang sudah tidak bersih lagi. Mereka sudah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. Sama saja dengan media-media lainnya kayak Kompas, Antara, Detik, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan lain-lain. 

Saya lega sudah dibukakan mata dan tidak lagi buta terhadap TEMPO maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan yang bersih. Sulit menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak. Tidak hanya di luar organisasi tempat kamu bekerja, tetapi juga di dalam organisasi tempatmu bekerja. 

Hampir mirip seperti PNS, mengikuti arus korupsi adalah sebuah keharusan, karena jika tidak, karirmu akan mandek. Korupsi yang melembaga tidak hanya terjadi di lembaga pemerintah. Jejaring wartawan, media seperti yang terjadi pada grup TEMPO, meski mereka seringkali memeras dengan ‘kedok’ melawan korupsi, toh kenyataannya grup TEMPO telah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. 

TEMPO dan media-media besar lainnya tidak lagi bersih. Korupsi dalam grup TEMPO telah melembaga alias terorganisir, sebagaimana korupsi di organisasi pemerintahan, departemen dan sebagainya.

Saya bersyukur dibukakan mata dan dijauhkan dari dunia itu. Lebih senang dan tenang batin bekerja sebagai buruh biasa seperti yang saya lakukan kini. Insya Allah jauh dari dunia hitam. [selesai]

Atas tulisan di atas Tempo memberikan tanggapan sebagai berikut:

Majalah Tempo bersama lembaga riset KataData dituding melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh penulis anonim dengan nama Jilbab Hitam, yang mengaku bekas wartawan Tempo angkatan 2006, di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013. Di tulisan berjudul “TEMPO dan KataData ‘Memeras’ Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas?” disebutkan Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harimurti menelepon Dirut Mandiri Budi Gunadi Sadikin menanyakan soal proposal KataData, yang menawarkan diri sebagai konsultan komunikasi terkait penangkapan Direktur SKK Migas Rudi Rubiandini. Rudi adalah komisaris bank pemerintah itu.Menurut penulis itu, karena Mandiri tak meloloskan proposal KataData, majalah Tempo lalu menerbitkan laporan bertajuk “Setelah Rudi, Siapa Terciprat?” pada edisi 18 Agustus 2013 dengan gambar sampul Rudi Rubiandini. “Saya malah baru tahu ada proposal Metta (KataData) ke Mandiri dari tulisan ini. Kalau Tempo jauhlah dari memeras. Iklan yang diduga ‘bermasalah’ saja kami tolak kok,” kata Bambang. KataData adalah lembaga riset yang dipimpin Metta Darmasaputra, mantan wartawan Tempo. Menurut dia, staf humas Mandiri, Eko Nopiansyah, yang disebut dalam tulisan itu sudah ditanya, dan membantahnya. “Kata Eko, hoax, dia tak pernah bertemu dengan eks wartawanTempo angkatan 2006, atau angkatan berapa pun, atau yang bukan eks wartawan Tempo, dan membicarakan yang dituduhkan penulis artikel itu,” kata Bambang.

Dari sisi ruh tulisan, jelas tulisan “Jilbab Hitam” lebih kuat, lebih jujur, lebih asli, tidak dibumbui bahasa-bahasa hipokrit dan formalisme. Tidak salah jika orang seperti “Jilbab Hitam” layak diberi anugerah: Media Whistleblower Award.

Oh ya, karena tulisan di atas penting, silakan di-copy dan disimpan. Jangan sampai nanti seperti Kompasiana.com, baru juga tulisan nongol, langsung delete saja. Sayang sekali. Itulah cara “media” membela “sesama media” sekuler.

Oke, terimakasih. Terimakasih juga buat “Jilbab Hitam”. Meskipun banyak orang mencoba meremehkanmu; tapi tulisanmu menceritakan realitas sebenarnya tentang kebobrokan dunia media. Terimakasih sobat.

Bali, Taxi, dan Turis (BTT)

bali3-nov
Alhamdulillah, dalam rangka menghadiri sebuah rapat sosialisasi, saya harus ke Bali lagi. Meski dibayangi oleh kemungkinan meletusnya gunung Agung, saya tetap pergi, sambil berdoa gunung Agung masih akan bersahabat, paling tidak selama kunjungan saya. Tidak ada pilihan jika itu menyangkut tugas. Singkat cerita, sore ini, Kamis 23 November 2017 saya mendarat di Bandara Ngurah Rai yang masih basah sehabis hujan cukup deras.
Seperti biasa, baik di dalam atau di luar negeri sekalipun, saya cenderung mencari pengalaman baru dengan memanfaatkan jasa transportasi lokal atau taxi on line. Seperti kunjungan sebelumnya, saya sudah mahfum alias paham, bahwa untuk menggunakan taxi bandara jika hanya sendirian adalah suatu kebodohan dan pemborosan. Betapa tidak, untuk jarak bandara – Kuta yang biasanya sebelum renovasi bandara hanya Rp 50-60 ribuan (argo kurang lebih Rp30 ribuan), sekarang sudah di banderol Rp 120 ribu, maasuk wilayah Kuta1, Kuta2 dll. Taxi argo nyaris tidak tersedia lagi.
bali2-nov
Saya putuskan book taxi online, paling biayanya sekitar Rp 30 ribu dan tip untuk driver, Rp 20 ribu sudah pantas dan bisa membantu kehidupan orang lain. Begitu jalan pikiran saya. Alternatif lain tentu saja tersedia, yaitu menelpon teman atau pejabat terkait dan meminjam supirnya untuk menjemput dari bandara dan drop ke hotel. Alternatif yang terakhir ini sudah lama saya tinggalkan, kecuali terpaksa sekali atau ketika menjadi tamu atau nara sumber.
Booking pertama Grab, saya batalkan karena driver masih jauh, di uluwatu. Booking ke2 berhasil, biaya Rp 33 ribu, sesuai perkiraan saya. Tetapi ini harus saya batalkan lagi, karena driver menelpon saya duluan meminta tambahan bayaran Rp 30 ribu, karena itu uang “jago” yang harus disetor ke seseorang di Bandara. Saya maklum, ketidakjelasan regulasi taxi online telah memicu berbagai praktek di lapangan yang kembali ke zaman zahiliyah. Muncul mafia baru dengan selubung berbeda. Setengah percaya saya, tapi apapun saya putuskan untuk cancel.
Kemudian saya coba cek ke counter taxi, ternyata benar, masih masuk ring Kuta1 dan itu tarif Rp 120 ribu. Ada kemajuan ternyata, ada counter taxi argo. Saya tidak tahu apakah sekelas taxi Blue Bird atau taxi argo model lain. Saya ambil dulu stroke untuk antrian, jika memang ini alternatif yang paling masuk akan saya pilih.
Rasa penasaran dengan Grab, membuat saya sekali lagi mencoba. Booking ke 3 berhasil dan si driver tidak bertanya atau memberikan syarat tambahan. Hanya seperti biasa, meminta saya geser ke arah kedatangan (Departure area). Biasa, saya maklum dan menuju kesana. Kalau tidak mau, alternatif lain adalah berjalan kaki keluar bandara, dan disana mencegat taxi argo atau online (duh..jadi ribet ya hidup kita..).
Tidak ada permasalahan. Saya sudah duduk tenang dalam taxi karena driver ini cukup jeli dan berani, telah memindai posisi saya dan langsung menjemput. ALhamdulillah.
Keluar bandara Bali seperti biasa adalah kemacetan panjang melingkar. Salah satunya tentu saja bercampurnya kendaraan yang keluar dari arah terminal internasional dengan kendaraan pengantar ke keberangkatan, dengan kendaran penjemput dari area kedatangan (arrival area), 3 in 1 traffic jam management!! Ada hanya di Ngurah Rai ini.
Dalam rayapan kendaraan menuju loket parkir, barulah pengemudi taxi saya bercerita. Bahwa sejak ada taxi online, banyak timbul masalah. Bukan hanya di bandara, tetapi juga di lokasi wisata. Hah? tentu saja saya terpana, tidak percaya.
Mulai lah meluncur dari mulutnya. Singkat kata, taxi online menimbulkan mafia model lama atau malah baru untuk orang bali (dulu ini tidak ada). Atas nama desa adat mereka mengharuskan pendaftaran taxi online yang datang ke suatu DTW (Daerah Tujuan Wisata-istilah dulu banget), sekarang destinasi. Mereka hanya boleh mengantar (drop) dan tidak boleh ambil ambil penumpang. Jika timbul permasalahan, mereka pada posisi yang lemah, dimana jika terjadi pertengkaran, mobil rusak atau ybs cedera, bersedia tidak menuntut. Ruarr biasa!!!
Inilah sekilas kondisi pariwisata Bali pasca adanya perubahan aturan taxi online. SAtu yang pasti. Turis membayar lebih mahal dan aktivitas menjadi tidak nyaman. Saya tidak tahu seberapa jauh kondisi ini benar-benar terjadi, tapi nanti akan saya attach rekaman dengan driver ini sebagai pertimbangan kita. Pejabat pariwisata dan pemda tentu sedikit yang tahu kondisi ini, karena rata2 mereka di jemput teman orang daerah atau rekanan.
Tentu kita sangat menyayangkan mengapa bisa kondisi pariwisata bali menuju permasalahan yang “sempurna” di bawah permukaan, di era e-commerce dan era digital yang seharusnya bisa membuat kita lebih nyaman, baik sebagai tuan rumah maupun sebagai turis yang akan membelanjakan sumber dayanya untuk menikmati keindahan alam, budaya dan keramahtamahan masyarakat setempat.
Seyogyanya kemajuan teknologi dapat dimaksimalkan untuk ekonomi, not the other way around!
Teriring salam hangat dari Kuta yang agak dingin malam ini.
Kuta, 23 November 2017.
bali-1 nov

Seputar Praperadilan SN

Oleh : Brigjen Polisi (Purnawirawan) Victor E. Simanjuntak. Mantan Direktur Tindak Pidana Ekenomi Khusus, POLRI. 
● 

Setelah saya membaca beberapa tulisan wartawan dari hasil pertemuan di Markas *GDD* , _Minggu tanggal 19 November 2017_ tampaknya banyak yang bias atau melenceng dari apa2 yang saya telah ungkapkan saat itu. 

_Inti dari yang saya utarakan adalah sebagai berikut dibawah ini_ :

Kita apresiasi bahwa KPK telah menetapkan SN menjadi TSK kasus E-KTP, namun kekalahan mereka dalam menghadapi Pra-Peradilan menunjukkan kurangnya persiapan KPK dalam kelengkapan berkas perkara dan KPK tidak profesional dalam melengkapi administrasi penyelidikan dan penyidikan dan dalam melakukan proses penyidikan.

Kasus E-KTP sudah lama bergulir, beberapa saksi telah menyebut nama SN di persidangan, karena keterangan yang mereka berikan di bawah sumpah, maka memori sidang dapat di mintakan ke Pengadilan, di legalisir oleh Panitera, maka itu bisa menjadi satu alat bukti surat.

Para saksi sidang tersebut dan saksi lainnya bisa di panggil sebagai saksi, keterangan mereka ini juga menjadi keterangan saksi juga satu alat bukti.

Keterkaitan keterangan para saksi yang juga di kaitkan dg keterangan di persidangan, bisa juga menjadi petunjuk, sampai disini sebenarnya minimal ada 2 alat bukti ditambah dg bukti lainnya yang sudah tersedia, sudah lebih dari cukup.Selanjutnya KPK bisa memeriksa Ahli untuk menambah alat bukti. sehingga minimal ada tiga alat bukti.

Kalaulah KPK sejak awal terlebih dahulu mengumpulkan alat bukti itu untuk dijadikan berkas perkara pokok, setelah jadi berkas perkara tinggal dilengkapi dg BAP SN sebagai Tsk, sehingga ketika SN mengajukan Pra Peradilan, KPK dapat mengirimkan berkas perkara pokoknya ke pengadilan, kemudian hakim menetapkan hari sidang sebelum putusan perkara Prapid, dg di tetapkannya hari sidang, maka Pra Peradilan akan gugur.

Saat KPK kalah Pra Peradilan, maka kewajiban penyidik adalah menghentikan penyidikan, dapat di buka kembali kalau ada bukti baru (novum), namun masalahnya adalah KPK tidak mempunyai kewenangan SP3, hal ini menjadi perdebatan dan problem hukum yang juga menjadi problem dalam perkara La Nyala, KPK kalah 3 kali dalam Pra Peradilan. 

Saat ini KPK telah menetapkan lagi SN sebagai Tsk yang saya anggap agak terburu-buru, namun sudah terjadi dan SN sudah mengajukan Pra Peradlan, utk bisa menang dalam Pra Peradilan ini yang paling aman bagi KPK adalah segara memeriksa SN sebagai Tsk, melengkapi berkas perkara dan segera mengajukan ke Pengadilan, pengadilan segera menetapkan hari sidang perkara pokoknya sebelum sidang putusan Pra Peradilan di jatuhkan, dengan demikian Pra Peradilan SN gugur.

👆👆👆

 _Itulah inti yang saya kemukakan dalam acara tersebut. Terimakasih._

Hormat Saya,
 _ttd_ 

 *Victor E Simanjuntak* 
—–

10 Perintah

Kenapa 10 perintah  ALLAH  diberikan ke bangsa Israel…

Konon, 10 perintah Allah itu bukan untuk orang Israel, melainkan untuk bangsa lain. 

Tapi justru bangsa lain yang ditawarkan malah menolak.

Begini kisahnya : 

~ Malaikat pergi ke Italia,

Malaikat : “Hey kamu orang Italia, mau perintah Allah gak ???”

Orang Italia : “Apa isinya ???”

Malaikat : “Jangan membunuh !!!”

Orang Italia : “Sorry yach … Kami Ini mafia, membunuh adalah kegiatan kami !!!”

~ Malaikat pergi ke Rusia,

Malaikat : “Hey kamu orang Rusia, mau perintah Allah gak ???”

Orang Rusia : “Apa isinya ??”

Malaikat : “Sembahlah Tuhan Allahmu !!!”

Orang Rusia : “Sorry yach … Kami ini atheis, nggak percaya Tuhan !!!”

~ Malaikat ke  Negara  Cina,

Malaikat : “Hey kamu orang Tionghoa, mau perintah Allah gak ???”

Orang Tionghoa : “Apa isinya ???”

Malaikat : “Jangan berdusta !!!”

Orang Tionghoa : “Sorry yach … Kami ini pedagang, jadi mesti menipu supaya dapat untung”

~ Malaikat pergi ke Indonesia,

Malaikat : “Hey kamu orang Indonesia, mau perintah Allah gak ???”

Orang Indonesia : “Apa isinya ???”

Malaikat : “Jangan menginginkan miliki/harta sesamamu manusia!”

Orang Indonesia : “Sorry yach … Kami ini koruptor, jadi mesti merampas harta orang lain !!!”

Malaikat menjadi frustasi, akhirnya malaikat terbang ke Israel yang umatnya terkenal bandel dan pelit. “Siapa tahu mereka mau”, gumam malaikat.

Malaikat : “Hey kamu orang Israel, mau perintah Allah gak ???”

Orang  Israel : “Hemmm… bayar gak❓❓❓”

Malaikat : “Gratis…!!!”

Orang Israel : “Oke !!!  Kami minta SEPULUH❗❗❗”

3D

Again, air asia

Tony Fernandes’s top 10 tips for entrepreneurs

1) You don’t need to know everything

I came from the music business. I knew nothing about planes. To all the entrepreneurs out there, you don’t need to know everything about what you want to do. It’s all about the idea, it’s about passion, it’s about implementing it.

2) Just do it!

Don’t let anyone tell you that you can’t do it. You’ve got one life, so you can’t press the rewind button and say ‘I wished I had done that.’

So I recommend to all of you out there, just do it. Live your life to the utmost, be positive. If you fail, at least you have tried.

I have failed miserably at Formula One, but I have no regrets because I got to stand with the greats from Ferrari, McLaren, and others.

3) Passion is a key problem-solver

Dreams do come true. Don’t worry about failure. You have one life, make the most out of it. Nine times out of 10, if you have the passion, you will find a way to work through it.

4) Invest in marketing

If you have the greatest idea in the world, please, please, please put some money on marketing. This is because if you don’t put money on marketing, nobody is going to hear about your great idea.

There are so many great ideas that never took off because of a lack of marketing.

Marketing is not about the dollars, it is also about public relations (PR). In AirAsia, we had no money. So I ran around with a red cap on and said controversial things so that the press would always take a picture of me. That was our marketing in AirAsia’s early days.

We have been through so many issues, and marketing played a key role in overcoming them.

Remember SARS (severe acute respiratory syndrome)? At that time, nobody wanted to fly; we all thought we are going to die.

Everyone cut their advertising, but I told my guys not to cut because this was the best time to build our brand. In fact, we tripled our advertising and everyone looked at me and said, “Are you on drugs?” I said, no, it is the best time because no one else is advertising.

When the first Bali bomb attack happened, everyone cancelled their flights. I said to the guys, we cannot let the Bali route die. We must continue to fly.

So we came up with ‘Love Bali’ campaign, giving away 10,000 free seats, and it worked. All 10,000 seats were snapped up in like under one minute. And all those who got those seats told all their friends about it on social media. Your best advertisement is your customers.

5) Leverage social media

When Malaysians get a good deal, they will tell the whole world about it. So the 10,000 people who went and had a good time in Bali, told 10,000 people that they had a good time. That was the early gestation of AirAsia’s social media.

We realised the power of social media very early on, so when Facebook and Twitter came up, we latched onto them. We were early adopters. We now have 32 million people on our various social media platforms, and 7 per cent of our business comes directly from social media.

The Bali campaign taught us that our best advertisements are our customers.

6) Don’t be scared of complaints

Complaints are actually free market research. Someone took the effort to write to you to tell you where things went wrong and how they should be improved. These are things that companies pay a lot of money for consultants to tell them that same thing.

So we treat every email preciously.

7) Focus on one image when it comes to branding

During the early days, there was the word ‘AirAsia’ and a logo of a bird in our branding.

If you look at the top brands in the world, there’s only one image that comes to your mind. When I say “Shell,” you think of the Shell logo. When I say “Coca-Cola,” you think of the word ‘Coke’ in italics, and when I say “Nike,” you think of the swoosh.

So, back to our earlier AirAsia brand, we said drop the bird – we felt it was facing the wrong way anyway – and we used ‘AirAsia’ as our logo. Just one image. Why spend double the money to promote two images?

We also dropped the blue and the green colours. I tried very hard not to go with red, because everyone thinks that I want to be Richard Branson [the Virgin Group founder and Fernandes’ former boss] … but it was the best colour, so we picked red.

So yes, the colour does make a big difference!

8) Go on the ground

What I used to do – although I don’t do this anymore – was that once a month, I would carry bags, I would be a cabin crew [member], and also at the check-in counter.

I did this for two reasons. The first is that you can’t be an effective CEO (chief executive officer) unless you go on the ground to experience the real situation.

Here’s a true story. The baggage handling team told me that they needed belt loaders. I told them, “No, we can’t buy that as it’s too expensive.”

So one day when I was tasked to carry bags, they put me on one of the Indonesia flights. People who fly with us generally bring their house with them, but people who fly to Indonesia bring their neighbour’s house as well!

So there was a lot of bags. I broke my back in the process, and I told my team that they were right and I was wrong, and let’s buy the belt loaders.

If I didn’t do that [go on the ground] and just sat comfortably in the office, I would have made a wrong decision, damaged a lot of bags, and probably started a union.

The second reason [for going on the ground] is that I wanted to look for talent. I wasn’t looking for the talents from Oxford or Cambridge, I was looking for the Grade 3 SPM [O Levels equivalent] kind of guys who needed a second chance.

9) Never underestimate the potential of your staff

I broke all the rules in terms of hiring people. To me, as long as you have a dream, you can do anything.

There was an ex-cabin crew member – she came up to me one day and told me that her dream was to become a pilot. I told her to go for it.

Then she called me up one day and asked if she could take part in the Miss Thailand [beauty pageant], and I told her okay, as long as I get to use her photographs in our marketing materials.

She won the [Miss Universe Thailand] pageant and recently became a captain – so we are the only airline in the world with a Miss Thailand flying with us.

The moral of the story is that we have such a flat structure that she was able to tell me what her dreams were, and we were able to make a raw diamond into a diamond.

Another one of my boys, a baggage handler in Kuching, told me he wanted to become a pilot. I told him to go for it. He passed all the exams … he had the top marks in the flying academy. Today, he is a captain.

We have many of such stories at AirAsia.

Your biggest assets, besides your ideas, are your people – because at the end of the day, it is the people who will deliver your ideas.

10) Data is king

We have a huge amount of data that we don’t know what to do with it, but everyone else wants our data … so we figured it must be something very valuable and there must be an opportunity there.

We are investing in a few ventures. We plan to launch our own version of TripAdvisor, a travel dongle, a new YouTube-type of channel and more – data will be playing an essential role in these ventures. Data will be king. — 

Artikel penuh di http://www.digitalnewsasia.com

3D

Disruption …

🥐💐 Artikel copas menarik dan semoga bermanfaat 🙏

*Mengapa Saya Tidak Sepakat dengan Prof. Rhenald Kasali*

*(From Disruption to Abundance, from Paranoid to Optimism)*

Akhir2 ini saya sering dapat broadcast WA, postingan FB, dan pembicaraan simpang siur yg isinya adalah semacam peringatan, bahkan ancaman tentang bahaya “Era Disruption”. Terakhir bahkan ada seorang penulis yg mungkin karena semangat sekali, menyatakan bahwa saking mengkhawatirkannya era disruption ini, “bisa membuat anak cucu kita mati berdiri sambil memeluk kitab suci yg entah akan menolong dengan cara apa”. Maka saya terpaksa bikin tulisan ini, walaupun sedang musim ujian di program MBA saya di UK & USA.

Setelah saya lacak, histeria dan demam “Disruption” ini sepertinya salah satunya berawal dari buku, ceramah dan tulisan2 Prof. Rhenald Kasali, Guru besar FE UI, dan salah satu “World Management Guru”, khususnya dibidang Change Management. 

Saya sangat setuju dan menghormati beliau sebagai salah satu tokoh penggerak perubahan yg saya kagumi dan ikuti tulisan2nya. Dan sampai saat inipun saya masih menghormati beliau. Tulisan ini sama sekali “nothing personal”, hanya sekedar perimbangan wacana saja, agar perspektif kita lebih utuh untuk menyikapi gegap gempita demam “disruption era” yg salah kaprah. 

Saya merasa ada yg kurang lengkap dari pemaparan beliau yg akhirnya bikin banyak orang ketakutan dan salah paham.  Banyak orang awam yang akhirnya jadi panik nanti masa depan anak2nya bagaimana jika pekerjaan2 yang ada sekarang bakal lenyap. Banyak eksekutif perusahaan jadi panik jangan2 mereka akan jadi korban “disruption” berikutnya dan akhirnya tergopoh2 mau bertindak tapi jadi mati gaya karena bingung entah mau melakukan apa.

Saya bisa memahami jika Prof. Rhenald bikin banyak orang jadi ketakutan. Bahkan di acara bedah buku beliau di Periplus yg saya tonton lewat Youtube, sang moderator sendiri sampai bertanya, “Prof, Ini kita kesini mau cari ide bisnis di era disruption, tapi kok malah pada pesimis nih menatap masa depan, setelah mendengar pemaparan profesor.. Dan Prof. Rhenald masih juga belum memberikan jawaban yg tegas bagaimana menyikapi perubahan drastis ini.

Saya juga memahami mengapa Prof. Rhenald di buku2nya, tulisan2 dan ceramah2nya banyak menghasilkan kepanikan dan ketakutan. Mungkin ini berawal dari paradigma “Change Management” yg menjadi bidang keahlian beliau. Dalam ilmu manajemen perubahan, salah satu tokoh utamanya adalah Professor Emeritus Harvard Business School, John P. Kotter, dengan teori beliau tentang “8 Steps to change”. Dalam teori ini, langkah pertama untuk bikin sebuah organisasi (dan individu) mau berubah adalah dengan “increase urgency” alias bikin orang2 merasakan urgensitas perubahan. Dan cara paling ampuh untuk itu adalah dengan bikin mereka “ketakutan” apa dampaknya jika tidak mau berubah. Mungkin dengan niat baik inilah Prof. Rhenald hendak menyadarkan masyarakat agar segera “berubah”.

Saya sepakat dengan niat baik untuk menggugah kesadaran masyarakat agar berubah, tapi saya tidak sepakat dengat pendekatan yang entah disadari atau tidak oleh beliau telah menebarkan banyak ketakutan dan kegalauan. Mengapa saya tidak sepakat? Berikut ini alasannya:

A) Sebenarnya cara “menebarkan ketakutan dan kekhawatiran” ini baik2 saja diterapkan untuk jenis perubahan yang tidak membutuhkan kreativitas, tapi jadi tidak produktif jika tujuan kita adalah untuk melahirkan inovasi, kreatifitas, dan terobosan2 baru. Padahal untuk survive dan Berjaya di era disruption, salah satu syarat utamanya adalah: KREATIVITAS. 

B) Tidak pernah (atau setidaknya jarang sekali) ide2 kreatif dan terobosan2 inovatif terlahir dari rasa takut. Buku babon setebal hampir 800 halaman tentang kreativitas, The Encyclopedia of Creativity menyebutkan bahwa salah satu penghalang utama kita untuk menghadirkan solusi kreatif adalah jika kita sedang mengalami “emotional barrier”. Dan diantara semua jenis emosi penghalang kreativitas ini, rasa takut adalah yg paling melumpuhkan. Jadi anda tidak bisa memaksa orang yg sedang dilanda ketakutan tentang bahaya era disruption untuk mencari solusi kreatif tentang bagaimana sukses mengatasinya. Anda hanya akan berhasil membuat mereka ketakutan, merasa terpaksa harus berubah, semangat ikut trainingnya, tapi bingung dan mati gaya harus melakukan apa.

C) Cara yg lebih pas untuk bikin orang terbuka pintu hatinya untuk mau berubah, sekaligus terinspirasi untuk jadi kreatif menemukan solusi adalah dengan memberikan mereka rasa OPTIMISME akan hadirnya kesempatan yang sangat besar menanti di depan mata. 

1) Bill Gates melahirkan Microsoft bukan karena ketakutan kehilangan pekerjaan, tapi terinspirasi sekali akan hadirnya komputer, dan optimis bahwa dia bisa bikin software bagus. Akhirnya dia telpon ibunya bahwa dia bakal 6 bulan tidak pulang untuk mengerjakan proyek MS-DOS dari IBM.

2) Mark Zuckerberg bikin Facebook bukan berangkat dari ketakutan akan masa depannya. Bahkan dia pertaruhkan masa depannya dengan DO dari Harvard demi mengejar impian “menghubungkan tiap orang di muka bumi”. Pada saat ceramah di acara wisuda di Harvard, dia mengatakan, yg bikin dia bisa melahirkan Facebook, karena dia merasa tenang, tidak takut apapun. Dan dia ingin menekankan pentingnya setiap orang untuk “bebas dari rasa takut”, untuk mencoba hal2 baru yg inovatif.

3) Steve Jobs, Thomas Alfa Edison, Elon Musk, Jeff Bezos, sebutkan semua inovator kreatif yg bikin perubahan2 radikal abad ini, hampir semuanya tidak ada yg melahirkan inovasinya dalam suasana batin ketakutan akan ancaman situasi masa depan. Mereka semua adalah para OPTIMISTS yg melihat kesempatan besar ditengah kebanyakan orang yang sedang kalut dan takut menghadapi tantangan zamannya.

4) Terakhir, di level lokal, Trio Unicorn Indonesia (Startup bernilai diatas 14 Trilyun rupiah: Gojek, Traveloka & Tokopedia) tidak ada yg dilahirkan dari orang2 yg ketakutan akan masa depan. Mereka semua mendirikan perusahaan2 tersebut dengan suasana batin optimis dan terinspirasi akan peluang besar di depan mata.

5) Singkat kata: Takut & pesimis = Bingung & Mati Gaya, Tenang & Optimis = Kreatif & Solutif

D) Era Disruption adalah era yg seharusnya bikin kita optimis, bukannya malah ketakutan. Mengapa? Karena ini hanyalah era transisi menuju era abundance (keberlimpahan). Minggu lalu saya baru pulang dari training di Singularity Univeristy. Ini adalah salah satu lembaga yg meneliti, mengajarkan dan mempopulerkan istilah “Disruption Era”. Lembaga ini di disponsori oleh NASA, Google, dan perusahaan2 teknologi paling top di Silicon Valley, bahkan bertempat di pusat penelitian NASA disana. Di pusatnya sini, Istilah “disruption era” itu menimbulkan aura positif, optimis, dan penuh semangat. Saya ndak tahu lha kenapa begitu sampai di Indonesia malah diartikan salah kaparah sebagai istilah yg menakutkan dan penuh ancaman. Mungkin karena Prof. Renald sebagai juru bicara utamanya menyampaikannya sepenggal saja (sisi seramnya), jadi banyak orang salah paham, panik dan ketakutan. Itulah mengapa belajar setengah2 itu berbahaya, “little bit learning is dangerous”.

E) Era disruption adalah fase ke-3 dari 6 fase Exponential Growth. Yg menelorkan teori ini adalah Peter Diamandis (Co-founder dari Singularity University tersebut). Menurut beliau, abad ini akan ditandai perubahan besar2an yg terjadi dalam 6 fase (6D’s of Exponential Growth):

1) Digitalization (Transformasi dari analog menjadi Digital. Misal: Kodak menemukan Foto Digital. Atau Musik, Film, Buku, dll dijadikan bentuk digital MP3, MP4, PDF, dll)

2) Deception (Kodak tertipu karena dikira ini teknologi amatir yg ndak bakal bisa menggantikan keindahan dan ketajaman foto manual, karena saat itu resolusinya masih 0,1 Mega Pixel). 

3) Disruption (Diluar kendali Kodak, tiap 18 bulan, ketajaman foto digital naik 2x lipat secara eksponensial. Dan pada saat ketajamannya mencapai 2 Mega Pixel, kualitasnya sudah sama dengan foto analog. Saat itulah Kodak mulai terdisrupsi.) Fase inilah yg bikin kehebohan disana sini, karena di fase ini, Uber mendisrupt perusahaan taxy, AirBnB mendisrupt Hotel, dll. Terjadi kepanikan masal karena dipikir dunia (minimal bisnis kita) akan runtuh.

4) Dematerialization (semua produk digital akhirnya tidak perlu wadah “material” karena tiba2 semua bisa disimpan di Cloud yg siap diunduh kapanpun dan dimanapun. Jadi silahkan dibuang Semua hardisk yg beirisi koleksi Foto digital anda. Upload aja ke Google Foto yg gratis penyimpanannya, kapanpun, dimanapun, pake alat apapun yg kompatibel, jika anda perlu foto itu tinggal download)

5) Demonetization (Begitu semua tidak dalam wadah material, maka harganya makin lama makin turun. Dan satu saat bisa sangat murah dan terjangkau buat semua. Begitu buku sudah di .Pdf kan, harganya nyaris Nol. Silahkan aja ke koleksi 300 juta buku gratis di: http://www.pdfdrive.net. Sekarang semua Musik, foto, buku, film, serial tv sudah dibikin versi digitalnya, yg kita masih diminta bayar, tapi ini makin lama makin murah, karena tidak ada lagi “biaya cetak”.

6) Democratization (Pada puncaknya, semua produk akan menjadi murah dan tersedia buat semua orang. Anda telah merasakan sebagian, Video call gratis, HP Murah, Belajar & Baca Buku, Nonton Film dan dengar musik gratis, dll. Inilah fase Abundance for All: Keberlimpahan buat semua). Peter Diamandi menulis buku khusus yg menjelaskan fenomenna “Abundance” ini. Sekedar intermezzo: Saat Bill Clinton mempromosikan buku ini, Peter ditanya sama Bill, “mengapa anda jadi orang kok sangat optimis?” Peter menjawabnya, “Karena saya tidak pernah baca berita (apalagi hoax), dan saya hanya percaya sama data2 ilmiah. Dan semua data ilmiah ini mengarah kesana, bahwa kita semua akan berkelimpahan, abundance for all”. Mungkin ada baiknya kita tiru kebiasaaan Peter Diamandis ini agar kita tidak serba pesimis dan ketakutan: Jangan banyak baca berita, mulailah baca data2 ilmiah. 

Maka mestinya, era disruption itu tidak perlu ditakuti atau bikin panik, cuman perlu dipahami bahwa ini bagian dari revolusi kemajuan peradaban yg makin lama akan makin cepat dan insya Allah mengarah pada perbaikan buat semua.. the greatest good for the greatest number of people. Kalau dalam revolusi ada korban2 yg bergelimpangan karena ndak cukup paham dan tanggap, itu hal yg biasa. Nanti juga mereka akan belajar. Dan kita semuapun perlu belajar lebih tuntas untuk menyambut Era Baru yang sangat menjanjikan ini.
Kesimpulan:

Terimakasih Prof. Renald Kasali, yang atas jasa bapak telah menggugah banyak orang dan perusahaan untuk shock dan mau berubah. Tapi semoga ini jangan kebablasan jadi ketakutan dan kekhawatiran massal. Karena itu perlu dilengkapi juga dengan wacana penyeimbang yang menyuntikkan optimisme dan harapan. 

Karena ide2 besar kreatif dan terobosan2 baru inovatif untuk survive dan Berjaya di era disruption ini tidak akan pernah lahir dari rasa takut dan panik, tapi akan tumbuh subur di pikiran orang2 dan perusahaan2 yg tenang dan optimis. 

Salam takdzim buat Prof. Rhenald Kasali dan kawan2 semua yg membaca tulisan ini.

Bloomington, 14 November 2017

Ahmad Faiz Zainuddin

Mahasiswa MBA

Warwick Business School, UK

Indiana University, USA

Alumni Singularity University, Silicon Valley, USA 🙏🙏🙏