Largest Econ 2100

https://youtu.be/rZCxLJ_IvDw?si=0TpEoDEGsbSsycDp

It Makes Sense…

Jujurli, pencabutan subsidi terakhir yg membuat harga BBM naik tinggi saya rasa sangat memukul daya beli masyarakat. Banyak indikator berbicara, salah satunya mahalnya tarif ojek online atau taxi online.

Penyaluran Subsidi pupuk dll juga belum berjalan dg baik dlm prakteknya.

Eyes on Apple

http://espresso.economist.com/2465caadc8e815625cdcf7c34660bbb7

The world’s most valuable company will report its quarterly earnings on Thursday. Last week the other big beasts of Silicon Valley—Alphabet, Amazon and Microsoft—delivered better-than-expected results. Now all eyes are on Apple, especially demand for its iPhone, which accounted for just over half the company’s revenue last year. Worldwide sales of the smartphone are a barometer not just of Apple’s fortunes, but of consumer demand more broadly.

Lately sales of Apple’s gadgets have been impaired by supply problems. Last year China’s zero-covid strategy forced factories to shut down, hampering production of the new iPhone14 Pro. Geopolitical frostiness has made China still riskier as a place for an American company to do business. So Apple is hedging its bets. JPMorgan Chase, a bank, forecasts that by 2025 a quarter of iPhones will be made outside China. India, Vietnam and Thailand will be among the beneficiaries of this manufacturing windfall.

Stats tell you everything..

Pungguk Merindukan Bulan… (

METAMORFOSA SEMPURNA OLIGARKHI

Kongkalikong antara elit politik dan elit kaya di Indonesia telah mengancam kehidupan berdemokrasi kita. Bahkan jalin kelindan yang terjadi telah lampaui bentuk oligarkhi dan plutokrasi, kuasa di tangan elit politik dan atau elit kaya.

Mereka sudah sublim tak tersentuh dalam berbentuk varian baru yang bernama Plutogarkhi. Dimana elit politik itu jugalah pengusaha dan pengusaha kaya raya itu jugalah elit politik.

Ruang politik yang penuh kebajikan dan medan perjuangan bagi tegaknya kepentingan bersama (bonum commune) disabotase secara vulgar dan banal tanpa rasa malu demi penuhi hasrat perdagingan segelintir elit semata. Menumpuk kekayaan dan kekuasaan sebanyak banyaknya.

Mereka tak hanya merampas ruang hidup rakyat melalui cara cara mengutil uang atau menekan dalam persaingan bisnis. Tapi mereka merangsek masuk membuat aturan dan mengeksekusi program. Slogan Milton Friedman, sebagai pengajar kelas kapitalisme merasuk di fi pikiran para ekonom. Bahwa yang baik untuk korporat adalah baik untuk masyarakat.

Dampaknya, menurut Suissie Credit, lembaga riset bereputasi laporkan Rasio Gini Kekayaan kita tahun 2020 menganga lebar di angka 0,77. Dibadingkan dengan rata rata dunia juga kondisinya sudah cukup parah. Kalau orang dewasa dengan kepemilikan assetnya di di bawah 150 juta itu hanya 58 persen. Kita sudah 82 persen. Kepemilikan kekayaan orang dewasa di atas 1,5 milyard itu jumlahnya hanya 1,1 persen, sementara rata rata dunia angkanya 10,6 persen.

Kesenjangan yang terjadi juga menunjukkan kecenderungan yang semakin buruk. Menurut hasil survei nasional ( Susenas), kepemilikan lahan perkapita rata rata tahun 1980 angkanya 1,05 hektar dan sekarang ini tinggal 0,22 hektar.

Hari ini misalnya, yang disebut buruh tani di desa desa itu jumlahnya hingga 74 persen. Sementara ada segelintir elit kaya yang kuasai lahan hingga ratusan ribu hektar. Untuk gambarkan betapa kontrasnya kehidupan para buruh tani dan petani gurem itu adalah ketika kita lihat mereka yang ada di daerah sentra beras Indramayu misalnya, justru merekalah orang pertama yang membeli beras ketika hadapi masa paceklik.

Para buruh di perkotaan juga hidup dalam kebrangsakan, mereka kebanyakan hidup di bawah perikatan kerja informal dan ditekan para penyefia outsourching yang potonganya mencekik hingga 30 persen dari gaji mereka yang sudah kecil itu.

Satu kondisi yang sangat kontras jika misalnya kita bandingkan antara salah satu gaji Presiden Direktur bank BUMN yang katanya milik rakyat itu dengan buruh outsourchignya. Perbandinganya bisa hingga 2.200 kali lipat.

Struktur ekonomi kita secara fundamental sebetulnya sudah berada dalam jerat besar mafioso. Dari sektor pangan, komoditi ekstraktif pertambangan hingga teknologi informasi. Memeras dan menindas serta ciptakan ketergantungan.

Hubungan predatorik itu dapat kita lihat misalnya dari praktek kemitraan yang monopolis dari perusahaan ternak ayam misalnya. Di lapangan, para peternak rakyat itu hanya jadi bulan bulanan perusahaan konglomerat hitam nasional dan internasional.

Mereka dibuat bergabtung dengan benih ( DOC), pakannya, virus dan obatnya, hingga penguasaa harga hasil panen. Kemitraan semu sebagai praktek predatorik harga ( predatory pricing)telah membuat para peternak rakyat atau skala rumah tangga dalam posisi hidup segan mati tak mau.

Saat ini, korporasi kapitalis itu bukan hanya merampok di pasar, tapi juga uang negara melalui kongkalikong dintingkat regulasi. Para politisi tak mengutil uang rakyat dari apbn saja, tapi juga sudah melalui cara mutakhir melalui regulasi dan kebijakan. Undang Undang dibuat untuk dijadikan rompi pengaman kepentingan mereka.

Krisis akibat pandemi Covid-19 telah membuka kotak pandora bagaimana mereka bekerja. Di tengah daya beli rakyat terpuruk dan hidup yang mencekik justru membuat elit jadi semakin akumulatif dan konsentratif kekayaannya.

Blok Politik

Bung Hatta ( 1951) telah memberikan peringatan yang cukup keras sebetulnya. Beliau katakan, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi itu hanya akan lahirkan autokrasi. Hari ini, politik itu tak lagi hanya menjadi autokratif tapi sudah jadi Plutogarkhi. Suatu rejim yang anti demokrasi.

Hari ini, dalam hubungan triangle kenegaraan masyarakat sipil dan negara sebetulnya sudah jatuh dalam subordinatif terhadap korporasi. Kekuasaan yang sifatnya policentris itu tidak lagi mampu membuat seorang pemerintah sepenuhnya berkuasa untuk menjadi avant ganda bagi perwujudan keadilan dan kemakmuran, melainkan hanya jadi pelayan kelas kapitalis.

Kalau di masa Orde Baru kuasa negara itu jadi pengaman instalasi bisnis kapitalis dalam model “state-led capitalism”, maka hari ini sebetulnya negara telah dikempongi dan dikangkangi oleh pemilik korporat kapitalis segelintir dalam model ” market -led capitalism”. Dalam bahasa sarkastik Dawam Rahardjo, dia menyebutnya dalam istilah – negar pembersih toilet, untuk bersihkan berak kapitalisme yang ciptakan residu berupa kemiskinan, kesenjangan, kerusakan alam.

Berharap bahwa elit politik kita akan melakukan perombakan besar secara struktural itu seperti biduk merindukan bulan. Nyaris tidak mungkin terjadi.

Untuk itu rakyat sipil harus lakukan pengorganisasian untuk membangun blok politik baru yang bernama blok politik anti oligarkhi. Blok politik ini dibangun tentu dengan harus mengambil garis demargasi yang tegas dan bebas dari kurcaci kekuasaan. Harus lepas dari anasir plutogarkhi dalam segala rupa.

Blok politik ini juga harus memiliki kemampuan untuk membangun basis suprastruktur dan infrastruktur baru dari kekuatan solidaritas rakyat. Bukan mengandai masuk dalam sistem politik yang berjalan hari ini. Bentuknya bisa saja partai, tapi dengan platform yang ideologis tapi non elektrolal.

Agendanya juga harus jelas tegas, yaitu kembalikan demokrasi sejati dengan dorong drnokratisasi politik dan demokratisasi ekonomi.

Dalam agenda demokrasi politik misalnya ; dobrak aturan pemilu, sistem kepartaian, dan lain lain. Kemudian dalam bidang ekonomi dorong lahirnya UU Sistem Perekonomian Nasional yang demokratis, pemilikan saham uhtuk buruh, pembatasan rasio gaji, penerapan pendapatan minimum warga ( universal basic income), dll.

Jakarta, 24 Oktober 2021

Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES)

Hotels’ and Restaurants’ Rebound Summer Held Back by Shortages of Everything – The Wall Street Journal.

Hotels’ and Restaurants’ Rebound Summer Held Back by Shortages of Everything https://www.wsj.com/articles/hotels-and-restaurants-rebound-summer-held-back-by-shortages-of-everything-11624640378

INDONESIA DIGITAL FOR FUTURE ECONOMY AND INCLUSIVE URBAN TRANSFORMATION

Alhamdulillah, setelah melalui perjuangan cukup panjang akhirnya buku putih (White Book) “Indonesia Digital for Future Economy and Inclusive Urban Transformation” bisa diselesaikan dan diluncurkan dalam acara “Diskusi Telematika Akhir Tahun 2019” di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, SCBD, Jakarta pada tanggal 23 Desember 2019 kemaren.

Acara Diskusi dan Peluncuran buku putih ini dilakukan oleh Deputi Bidang Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kemenko Perekonomian yang dihadiri oleh dua puluhan pejabat eselon 1 dan 2 terkait dari Bappenas, Kemenko Perekonomian, BIG, BPPT, BKPM, Kemkominfo, Kemenparekfraf, Kemenperin, Kemendag, akademisi, Staf Khusus Menko, perwakilan Bank Dunia, perwakilan beberapa kedubes asing, lembaga penelitian, operator telcos dan internet, serta pelaku industri. Hadir juga pada kesempatan ini salah seorang putri proklamator, Ibu Gemala Hatta dan Walikota Padang H. Mahyeldi.

pix9

Buku dan bahan presentasi dapat di download for Free di link: 1. File Presentasi https://tinyurl.com/Telematika-2019
2. Download buku WHITE BOOK INDONESIA DIGITAL atau di https://tinyurl.com/Digital-Whitebook

Kami selaku Lead Author, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memungkinkan buku putih ini terbit untuk bisa dipelajari dan dibagikan gratis kepada semua pihak yang menginginkan Indonesia Maju.

Wassalammualaikum wrwb,

Eddy Satriya


Beberapa link liputan pers untuk berita terkait.

https://www.antaranews.com/berita/1220584/dongkrak-ekonomi-digital-pemerintah-luncurkan-buku-putih

https://investor.id/business/pemerintah-rilis-buku-putih-dorong-transformasi-digital-yang-inklusif

https://bisnis.tempo.co/read/1286866/dorong-ekonomi-digital-kemenko-perekonomian-luncurkan-buku-putih

https://ekonomi.bisnis.com/read/20191223/9/1183913/ingin-ekonomi-digital-jadi-tumpuan-pertumbuhan-inklusivitas-harus-ditingkatkan

https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/fintech/19/12/23/q2yf5r370-dorong-ekonomi-digital-inklusif-pemerintah-rilis-buku-putih

https://news.ddtc.co.id/pemerintah-luncurkan-buku-putih-ekonomi-digital-18187

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4833283/indonesia-bisa-raup-rp-560-t-dari-sektor-ekonomi-digital

https://cyberthreat.id/read/4374/Pemerintah-Luncurkan-Buku-Acuan-Ekonomi-Digital

https://www.aa.com.tr/id/ekonomi/indonesia-luncurkan-buku-putih-integrasi-teknologi-digital/1681413

https://www.merdeka.com/uang/pemerintah-luncurkan-buku-putih-acuan-ri-jadi-negara-ekonomi-terbesar-ke-4-dunia.html

https://ekon.go.id/berita/view/pemerintah-dorong-tik.5213.html

https://www.radarbangsa.com/tekno/21767/pemerintah-ingin-indonesia-masuk-10-besar-negara-digital

https://porosnusantara.co.id/2019/12/23/20418/

https://www.dutanusantaramerdeka.com/2019/12/24-DNM-3443-pemerintah-gelar-diskusi-telematika-akhir-tahun-2019-dan-peluncuran-buku-putih.html?m=1

Long H- March by DI

Rabo 22 May 2019
Oleh : Dahlan Iskan

Dari Huawei merembet ke New York. Ke kereta bawah tanah. Yang jaringannya teruwet di dunia itu. Yang bisingnya bikin kangen itu.

“Jangan-jangan teknologi kereta apinya juga dipasangi penyadap,” ujar seorang anggota DPR Amerika asal New York. “Harus diperiksa yang teliti,” tambahnya.

Perusahaan kereta bawah tanah Tiongkok memang ikut tender di New York. Tingkatnya baru tender desain. Tapi sudah menang.

Berikutnya akan tender pengadaan gerbongnya. Untuk menggantikan gerbong-gerbong lama yang sudah kuno itu. Kecenderungannya Tiongkok pula yang bakal menang. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan murahnya. Dan kesiapan sumber pendanaannya.

Belakangan pengadaan gerbong kereta bawah tanah di Amerika sudah selalu dimenangkan Tiongkok. Yang di Los Angeles. Di Chicago. Di Philadelphia. Di Washington DC.

Amerika memang harus menghadang semua langkah Tiongkok. Dengan alasan keamanan nasional. Tidak bisa dibantah. Korban pertamanya Huawei. Promotor 5G di dunia. Perusahaan Amerika dilarang menjual apa pun ke Huawei. Dan dilarang membeli apa pun dari Huawei. Itulah keputusan Presiden Donald Trump minggu lalu.

Huawei sanggup menandatangani jaminan tidak akan terjadi penyadapan.

Amerika tidak mau.

Huawei minta perusahaan telekomunikasi lain juga ditest hal yang sama.

Amerika tidak mau.

Akhirnya Huawei setengah menantang. Tidak boleh beli komponen dari Amerika tidak apa-apa. Huawei sudah siap. Sudah lama jaga-jaga. Sejak dulu sudah mengira siapa tahu ada kejadian seperti ini. Yang ternyata benar-benar terjadi.

Amerika mengira Huawei langsung terkena Achilles Heel-nya. Dikira di situlah kelemahan utama Huawei: tergantung pada chips bikinan Amerika.

Ternyata Huawei sudah bisa membuat chips sendiri. Melalui HiSilicon. Anak perusahaan yang khusus di bidang pembuatan chips. Yang dilahirkan khusus untuk jaga-jaga kalau ada masalah seperti ini.

Chips bikinan HiSilicon itu sebenarnya sudah dipakai Huawei. Untuk produknya yang kelas premium. Pembelian chips Huawei ke HiSilicon sudah mencapai sekitar Rp 140 triliun setahun. Baru sepertiga dari kebutuhan chips secara keseluruhan. Selama ini Huawei masih membeli chips dari beberapa perusahaan Amerika. Salah satunya Qualcomm. Senilai sekitar Rp 350 triliun setahun.

Perusahaan chips Amerika tentu akan kehilangan omset sebesar itu.

Huawei pun ternyata aman.

Ups… belum!

Amerika terus cari jalan mengejar Huawei. Ketemu. Google diminta untuk menghentikan kerjasamanya dengan Huawei. Google App, Google Play, YouTube dan Gmailnya tidak boleh lagi dipakai Huawei.

Pemilik HP Huawei, seperti saya, masih terus bisa menggunakan fasilitas milik Google itu. Tapi untuk produk Huawei yang baru sudah tidak boleh lagi.

Belum ada penjelasan bagaimana Huawei mengatasi hukuman terbaru ini. Di pasar Tiongkok tidak ada masalah. Di Tiongkok, Google memang sudah lama dilarang. Tiongkok punya ‘google’ sendiri: Baidu.

Tapi untuk pasar Huawei di luar Tiongkok perlu ada penjelasan khusus. Itulah yang lagi ditunggu dunia. Yang jelas Huawei tidak akan tinggal diam. “Dalam dua tiga tahun ke depan Amerika masih belum bisa mengejar Huawei,” ujar Ren Zhengfei, pendiri Huawei.

Begitu seru langkah-langkah Trump.

Baru kali ini terjadi. Negara melawan satu perusahaan swasta.

Trump terus mempertahankan prinsipnya: sudah terlalu lama Amerika mengalah ke Tiongkok. Di bidang perdagangan. Ia tidak menyalahkan Tiongkok. Ia selalu menyalahkan presiden-presiden Amerika sebelumnya. Yang tidak mau berbuat seperti yang ia lakukan sekarang ini.

Tiongkok sendiri masih terus cari akal. Apa lagi yang bisa dilakukan. Setelah tidak mau mengimpor kedelai, jagung dan babi dari Amerika.

Dua hari lalu Presiden Xi Jinping melakukan kunjungan ke daerah selatan. Ke Provinsi Jiangxi. Ke satu pegunungan di perbatasan dengan Fujian. Ke Desa Yudu.

Di situ ada monumen bersejarah. Tempat Mao Zedong dulu memulai long march. Menghindari kejaran tentara nasionalis pimpinan Chiang Kai Shek.
Dari situ Mao dan pengikutnya melakukan perjalanan jauh. Yang melelahkan. Dan membahayakan. Menerobos pegunungan-pegunungan tinggi. Melintasi enam provinsi. Sambil menyusun kekuatan. Dan kehilangan separo tentaranya. Terutama saat menyeberang sungai ganas di Guangxi. Di saat banjir besar.

Akhirnya Mao tiba di Provinsi Xi’an di utara. Di sana disambut tokoh daerah. Yang menambah semangat perjuangan Mao. Di sinilah Mao menyusun pasukannya. Untuk menaklukkan kekuasaan Chiang Kai Shek di seluruh Tiongkok. Tokoh daerah yang menyambutnya itu adalah: ayah Xi Jinping.

Kunjungannya ke Yudu itu ditafsirkan sebagai napak tilas. Bahwa Tiongkok siap melakukan long march baru. Long march di zaman modern. Menderita dalam waktu yang panjang. Sambil tidak mau takluk pada musuh. Kali ini musuhnya adalah Amerika.

Isyarat yang ingin disampaikan: Tiongkok siap untuk perang panjang. Dengan segala pengorbanan.

Xi Jinping lantas mengunjungi satu pabrik di Jiangxi. Bukan pabrik sembarang. Ini pabrik rare earth. Tanah jarang. Tanah langka. Yang memproduksi 27 jenis kimia tambang. Salah satunya bahan baku low carbon. Yang dipakai untuk membuat layar HP, casing HP, pesawat TV dan elektronik lainnya.

Tiongkok menguasai 90 persen bahan baku rare earth dunia. Ada kemungkinan Tiongkok akan melarang ekspor rare earth ke Amerika.

Kita memiliki sedikit rare earth di Bangka. Yang dulu diekspor sebagai tanah sisa tambang. Kini benda itu tentu sangat berharga. Di sela-sela perang dagang mereka.

Perang dagang telah berkembang ke perang dingin.(Dahlan Iskan)

https://www.disway.id/r/458/long-h-march

Inovasi Disruptif

Usianya belum lagi tiga puluh tahun. Gadis berambut pirang tersebut masih muda, tetapi ide dan kecerdasannya mengagumkan. Saya terkesima. Saat itu musim panas tahun 2015, tetapi angin sejuk bertiup dari semenanjung. Saya jadi ingat Mark Twain yang mengatakan, musim yang paling dingin di Amerika Serikat adalah musim panas di San Francisco. Twain benar.

Gadis itu menemani saya saat saya diundang mengunjungi beberapa perusahaan teknologi utama di Silicon Valley. Ketika saya bertanya, berapa rata-rata umur yang bekerja di sana, ia menjawab, ”Belakangan ini semakin tua, akhir 20 tahunan.” Ada nada kekecewaan di akhir kalimatnya. Saya tersedak. Saat itu saya sadar—bagi anak-anak muda di Silicon Valley—saya adalah dinosaurus!

Redefinisi pekerjaan

Di sini, saya melihat bagaimana anak- anak muda bicara tentang ide-ide yang cemerlang. Lalu bagaimana regulator menempatkan dirinya dalam dunia yang berubah ini? Terus terang saya tak pandai benar menjawabnya. Dunia juga masih mereka-reka. Namun, ada beberapa hal yang mungkin perlu dibahas.

Pertama, revolusioner kah perubahan ini? Kita pernah mengalami revolusi industri pertama, yang mentransformasi metode produksi, tatanan sosial, meningkatkan produktivitas, dan mengubah taraf hidup. Penemuan mesin uap telah mengubah metode produksi. Industri tekstil berkembang pesat, tetapi kita mencatat sejarah yang kelam terhadap kaum buruh. Dengan sedih kita membaca novel Oliver Twist karya Charles Dickens atau Germinal karya Emile Zola. Namun, mimpi gelap bahwa mesin akan menggantikan buruh tak sepenuhnya benar.

Manusia melampaui musim dengan sebuah catatan penting dari Joseph Schumpeter: destruksi kreatif dalam jangka panjang justru memberikan kesempatan kerja baru. Ia juga mendorong kemakmuran. Barry Eichengreen dari University of California Berkeley menulis: yang terjadi bukanlah hilangnya pekerjaan, melainkan redefinisi pekerjaan. Tengok saja, profesi perawat, akuntan, atau pekerjaan lain mungkin tak hilang. Akan tetapi, ke depan, mereka membutuhkan kemampuan analitik untuk memanfaatkan big data dan teknologi.

Ini soalnya: transformasi untuk keahlian baru membutuhkan pendidikan atau pelatihan. Sayangnya, sarana pelatihan pemerintah terbatas. Anggaran pemerintah jelas terbatas. Lalu bagaimana? Ajak sektor swasta untuk melakukan pelatihan, on the job training. Caranya, dengan memberikan potongan pajak apabila mereka melakukan pelatihan atau pendidikan vokasi untuk keahlian baru.

Kedua, stress test yang dilakukan Bank Sentral Inggris, Bank of England, menunjukkan bagaimana teknologi keuangan (tekfin) memiliki dampak kepada penurunan pendapatan perbankan, walau perlu dicatat: di dalam jangka panjang akan meningkatkan kesempatan bagi dunia perbankan. Di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, kita melihat tarik-menarik terjadi antara bisnis konvensional dan yang baru. Kita membaca soal Uber, Gojek, tekfin, Airbnb, dan konflik yang semakin keras.

Mengikuti konsep ekonom Mancur Olson dalam karya seminalnya, The Logic of Collective Action, kita bisa menduga: mereka yang terpinggirkan akibat inovasi disruptif ini terkonsentrasi dan terorganisasi. Sebaliknya mereka yang mendapatkan manfaat dari perubahan ini tersebar luas. Akibatnya: tekanan politik dari 8kelompok yang merasa dirugikan akan lebih kuat dibanding konsumen penikmat digital teknologi.

Apabila ini terjadi, di dalam sistem demokrasi, ada kecenderungan regulator akan menjaga status quo ketimbang mendukung inovasi. Padahal, inovasi sangat dibutuhkan. Saya tak bisa membayangkan bagaimana inklusi keuangan atau pertumbuhnan ekonomi bisa meningkat apabila aturan mengenai teknologi keuangan begitu kaku. Dalam hal ini, regulator harus menarik garis yang adil antara inovasi dan perlindungan.

Mengubah cara pikir

Ketiga, regulator tidak lagi bisa menggunakan cara pikir lama. Revolusi dalam teknologi informasi ini menerobos hal-hal yang selama ini dianggap tak mungkin. Mereka yang belajar ilmu ekonomi tahu, nyaris tak mungkin menerapkan harga yang berbeda (diskriminasi harga) untuk tiap individu. Alasannya, informasi per individu terbatas. Kalaupun bisa, harganya sangat mahal dan hanya diperuntukkan bagi pelanggan yang amat kaya (high networth individual).

Ke depan, informasi dari big data memungkinkan untuk mempersonalisasi produk (bespoke), dan itu bisa dilakukan secara masif dengan biaya yang relatif murah. Artinya, produk atau harga dapat disesuaikan dengan selera dan daya beli individu. Saya tak akan terkejut jika asuransi, misalnya, bisa disesuaikan menurut kebutuhan individu. Jangka waktunya dapat disesuaikan jadi hitungan jam atau hari. Orang tak perlu membayar premi yang mahal karena waktunya pendek dan tujuannya spesifik. Saya menduga, di masa depan tingkat bunga bank dapat berbeda untuk individu berdasarkan profil risikonya, juga berbeda untuk jenis investasinya. Akibatnya, biaya monitor (monitoring cost) dalam pinjaman menjadi lebih murah. Berbagai ceruk pasar (niche market) akan tercipta dan setiap waktu berubah. Regulasi sulit untuk mengejar inovasi ini.

Bulan November 2017, di Tokyo, saya sempat mendiskusikan hal ini dengan Otoritas Jasa Keuangan Jepang. Kita setuju, cara pikir harus diubah. Regulasi berubah dari statis menjadi supervisi yang dinamis. Ia tak lagi mengatur hal-hal yang rinci. Regulasi lebih fokus kepada prinsip-prinsip dasar, misalnya perlindungan konsumen, level playing field, dan menjamin keterbukaan. Jika ia mulai mengatur masalah yang teknis dan rinci, ada risiko regulasi akan menjadi usang karena inovasi terjadi setiap waktu.

Di sinilah masalah akan timbul: bisakah regulator menjadi dinamis dan luwes. Kritik utama terhadap birokrasi adalah sifatnya yang tak luwes. Birokrasi juga bergerak atas dasar prinsip keseragaman dalam aturan. Lalu bagaimana ia harus menghadapi dinamika produk yang sifatnya semakin personal, luwes, dan membutuhkan diskresi?

Ketimpangan pendapatan

Ketiga, inovasi disruptif dalam jangka pendek dapat mendorong ketimpangan pendapatan. Ia akan memberikan keuntungan berlipat pada sekelompok kecil masyarakat yang berhasil mengembangkan idenya, sementara dalam jangka pendek pekerja tak terampil terancam kehilangan pekerjaan. Dalam jangka panjang, pekerja mungkin akan mendapatkan pekerjaan baru, tetapi ia membutuhkan keahlian baru juga. Mereka yang tak punya keterampilan baru akan terpinggirkan.

Proses penyesuaian ini bisa sangat pahit. Dan ini memiliki implikasi ekonomi politik yang serius. Bulan Oktober 2017, ketika saya berbicara untuk sebuah konferensi di Harvard University, saya sempat berdiskusi panjang dengan Jeffry Frieden, guru besar ekonomi politik di Harvard. Kami membahas mengapa tren anti globalisasi dan politik identitas meningkat dan berkembang di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Eropa, Australia, Indonesia, dan negara lain.

Menurut Frieden ini tidak spesifik AS, Indonesia, atau Eropa. Ia terjadi di sejumlah negara pada saat yang bersamaan. Karena itu, penjelasannya tidak bisa khusus satu negara. Frieden mengajukan hipotesis: ketimpangan pendapatan dan kehilangan pekerjaanlah yang mendorong menguatnya politik identitas. Konsisten dengan ini, ekonom Dani Rodrik mengingatkan, ketimpangan ekonomi akan menimbulkan polarisasi politik apakah lewat politik identitas atau polarisasi kaya dan miskin.

Ini tema besar dalam ekonomi politik. Tak ada jawaban tunggal untuk masalah ini. Faktor politik, ideologi, dan sosiologis lain tentu berperan. Namun, lepas dari itu, hipotesis Frieden bisa jadi relevan ke depan. Erik Brynjolfsson dari Massachusetts Instituteof Technology mengingatkan, teknologi menjadi faktor yang penting dalam menjelaskan ketimpangan pendapatan di AS saat ini.

Menariknya: alih-ahli menuding teknologi sebagai penyebab, reaksi yang muncul adalah politik identitas ala Donald Trump. Saya kira pemerintah di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, akan dihadapkan dalam pilihan sulit. Mengekang teknologi dan inovasi akan membuat kemandekan dalam ekonomi, dan memperburuk kesejahteraan. Kelas konsumen —saya enggan menyebutnya kelas menengah—adalah professional complainers. Sebagai konsumen, mereka menikmati perubahan ini. Mereka akan menuntut inovasi dilanjutkan. Kita ingat, bagaimana pelarangan Gojek dibatalkan pemerintah dalam waktu sangat singkat karena protes masyarakat.

Di lain pihak, ketimpangan yang meningkat akan mendesak pemerintah berpihak. Di era demokrasi, tarik-menarik ini akan lebih rumit. Pemerintah perlu memberikan perlindungan agar proses penyesuaian ini tak terlalu pahit, tetapi tak mengekang inovasi. Sulitnya: tak ada formula untuk ini. Dialog antara pelaku ekonomi digital dan regulator menjadi amat penting. Sayangnya, waktu tak bersama kita. Perubahan terjadi begitu cepat. Saya masih ingat kata-kata gadis belia itu ketika saya menanyakan rata-rata umur pekerja di Silicon Valley , ”It is getting older Sir, it is late twenties now”. Ada nada penyesalan dan khawatir di ujung kalimatnya. Saya juga khawatir. Namun, untuk sesuatu yang lain: apabila tak berubah, kita tinggal sejarah.

 Muhammad Chatib Basri Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Bali, Taxi, dan Turis (BTT)

bali3-nov
Alhamdulillah, dalam rangka menghadiri sebuah rapat sosialisasi, saya harus ke Bali lagi. Meski dibayangi oleh kemungkinan meletusnya gunung Agung, saya tetap pergi, sambil berdoa gunung Agung masih akan bersahabat, paling tidak selama kunjungan saya. Tidak ada pilihan jika itu menyangkut tugas. Singkat cerita, sore ini, Kamis 23 November 2017 saya mendarat di Bandara Ngurah Rai yang masih basah sehabis hujan cukup deras.
Seperti biasa, baik di dalam atau di luar negeri sekalipun, saya cenderung mencari pengalaman baru dengan memanfaatkan jasa transportasi lokal atau taxi on line. Seperti kunjungan sebelumnya, saya sudah mahfum alias paham, bahwa untuk menggunakan taxi bandara jika hanya sendirian adalah suatu kebodohan dan pemborosan. Betapa tidak, untuk jarak bandara – Kuta yang biasanya sebelum renovasi bandara hanya Rp 50-60 ribuan (argo kurang lebih Rp30 ribuan), sekarang sudah di banderol Rp 120 ribu, maasuk wilayah Kuta1, Kuta2 dll. Taxi argo nyaris tidak tersedia lagi.
bali2-nov
Saya putuskan book taxi online, paling biayanya sekitar Rp 30 ribu dan tip untuk driver, Rp 20 ribu sudah pantas dan bisa membantu kehidupan orang lain. Begitu jalan pikiran saya. Alternatif lain tentu saja tersedia, yaitu menelpon teman atau pejabat terkait dan meminjam supirnya untuk menjemput dari bandara dan drop ke hotel. Alternatif yang terakhir ini sudah lama saya tinggalkan, kecuali terpaksa sekali atau ketika menjadi tamu atau nara sumber.
Booking pertama Grab, saya batalkan karena driver masih jauh, di uluwatu. Booking ke2 berhasil, biaya Rp 33 ribu, sesuai perkiraan saya. Tetapi ini harus saya batalkan lagi, karena driver menelpon saya duluan meminta tambahan bayaran Rp 30 ribu, karena itu uang “jago” yang harus disetor ke seseorang di Bandara. Saya maklum, ketidakjelasan regulasi taxi online telah memicu berbagai praktek di lapangan yang kembali ke zaman zahiliyah. Muncul mafia baru dengan selubung berbeda. Setengah percaya saya, tapi apapun saya putuskan untuk cancel.
Kemudian saya coba cek ke counter taxi, ternyata benar, masih masuk ring Kuta1 dan itu tarif Rp 120 ribu. Ada kemajuan ternyata, ada counter taxi argo. Saya tidak tahu apakah sekelas taxi Blue Bird atau taxi argo model lain. Saya ambil dulu stroke untuk antrian, jika memang ini alternatif yang paling masuk akan saya pilih.
Rasa penasaran dengan Grab, membuat saya sekali lagi mencoba. Booking ke 3 berhasil dan si driver tidak bertanya atau memberikan syarat tambahan. Hanya seperti biasa, meminta saya geser ke arah kedatangan (Departure area). Biasa, saya maklum dan menuju kesana. Kalau tidak mau, alternatif lain adalah berjalan kaki keluar bandara, dan disana mencegat taxi argo atau online (duh..jadi ribet ya hidup kita..).
Tidak ada permasalahan. Saya sudah duduk tenang dalam taxi karena driver ini cukup jeli dan berani, telah memindai posisi saya dan langsung menjemput. ALhamdulillah.
Keluar bandara Bali seperti biasa adalah kemacetan panjang melingkar. Salah satunya tentu saja bercampurnya kendaraan yang keluar dari arah terminal internasional dengan kendaraan pengantar ke keberangkatan, dengan kendaran penjemput dari area kedatangan (arrival area), 3 in 1 traffic jam management!! Ada hanya di Ngurah Rai ini.
Dalam rayapan kendaraan menuju loket parkir, barulah pengemudi taxi saya bercerita. Bahwa sejak ada taxi online, banyak timbul masalah. Bukan hanya di bandara, tetapi juga di lokasi wisata. Hah? tentu saja saya terpana, tidak percaya.
Mulai lah meluncur dari mulutnya. Singkat kata, taxi online menimbulkan mafia model lama atau malah baru untuk orang bali (dulu ini tidak ada). Atas nama desa adat mereka mengharuskan pendaftaran taxi online yang datang ke suatu DTW (Daerah Tujuan Wisata-istilah dulu banget), sekarang destinasi. Mereka hanya boleh mengantar (drop) dan tidak boleh ambil ambil penumpang. Jika timbul permasalahan, mereka pada posisi yang lemah, dimana jika terjadi pertengkaran, mobil rusak atau ybs cedera, bersedia tidak menuntut. Ruarr biasa!!!
Inilah sekilas kondisi pariwisata Bali pasca adanya perubahan aturan taxi online. SAtu yang pasti. Turis membayar lebih mahal dan aktivitas menjadi tidak nyaman. Saya tidak tahu seberapa jauh kondisi ini benar-benar terjadi, tapi nanti akan saya attach rekaman dengan driver ini sebagai pertimbangan kita. Pejabat pariwisata dan pemda tentu sedikit yang tahu kondisi ini, karena rata2 mereka di jemput teman orang daerah atau rekanan.
Tentu kita sangat menyayangkan mengapa bisa kondisi pariwisata bali menuju permasalahan yang “sempurna” di bawah permukaan, di era e-commerce dan era digital yang seharusnya bisa membuat kita lebih nyaman, baik sebagai tuan rumah maupun sebagai turis yang akan membelanjakan sumber dayanya untuk menikmati keindahan alam, budaya dan keramahtamahan masyarakat setempat.
Seyogyanya kemajuan teknologi dapat dimaksimalkan untuk ekonomi, not the other way around!
Teriring salam hangat dari Kuta yang agak dingin malam ini.
Kuta, 23 November 2017.
bali-1 nov