Filed under: Uncategorized | Leave a comment »
16 Desember 2016
Nihil sub sole novum. Tidak ada sesuatu yang benar-benar baru di bawah matahari. Adagium itu seolah merepresentasikan korupsi kronis di Indonesia. Akar perilaku korup yang menjangkiti pejabat publik Indonesia bisa ditemukan bahkan pada era awal kolonialisme.
Kisah Dirk van Hogendorp, Gubernur Serikat Dagang Hindia Timur atau VOC di Pantai Utara Jawa Timur pada akhir abad ke-18, menjadi ilustrasi yang sangat kontekstual dengan kehidupan pejabat Indonesia pada era kontemporer. Punya kekuasaan, bergaya hidup mewah, serta menerima sekaligus membayar suap untuk “mengamankan” posisi.
Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara menuturkan, dalam surat-surat Hogendorp, terungkap korupsi dan praktik suap-menyuap sudah menggurita, terstruktur, dan masif di VOC. Hogendorp menjelaskan, ia menerima gaji 80 gulden setahun. Namun, ia bisa menyetor “upeti” ribuan gulden ke gubernur di Semarang (Jawa Tengah), lalu ribuan gulden lagi ke gubernur jenderal di Batavia, serta ribuan gulden lagi untuk pejabat tinggi VOC di Belanda. Saat pulang ke Belanda, ia kaya raya; memiliki kereta kencana, pengawal, serta bisa menikahi putri salah satu kepangeranan kecil di Jerman.
Saat berbincang soal korupsi dan kolonialisme Belanda, Usman Thalib, pengajar sejarah Universitas Pattimura Ambon yang lahir di Banda Neira, menyarankan kami melihat gedung Societeit yang berada tak jauh dari Istana Mini, sebutan untuk kantor Gubernur VOC di Banda Neira. Menurut dia, pada masa kolonialisme Belanda, gedung itu merupakan tempat petinggi Belanda bersosialisasi dan berpesta. Salah satu simbol gaya hidup mewah petinggi Belanda.
“Tahun 1799, VOC tumbang karena korupsi besar-besaran. Pegawainya hidup bermewah-mewah dengan rumah megah. Untuk memenuhi gaya hidup seperti itu, mereka akhirnya korupsi,” kata Usman.
Gedung Societeit di Pulau Neira, kini menjadi bangunan kosong. Pada pengujung November 2016, kondisi bangunan itu masih terbilang cukup baik untuk ukuran cagar budaya kolonial. Hanya sebagian plafon teras terlihat mengelupas. Pada masanya, gedung itu tentu menjadi pusat kemeriahan di Pulau Neira yang lumayan mungil. Lokasinya yang hanya beberapa menit berjalan kaki dari Istana Mini, menjadi pertanda betapa pentingnya bangunan tersebut pada masa itu.
Soal kecenderungan gaya hidup mewah ini, sejarawan Ong Hok Ham bertutur bahwa para pejabat VOC datang ke Nusantara dengan motivasi bertualang dan mencari keuntungan. Sebagian dari pejabat tinggi VOC merupakan bangsawan yang tak mendapat warisan orangtua karena hanya putra tertua yang berhak. Mereka sudah terbiasa bergaya hidup mewah, tetapi lantas tak lagi punya uang untuk membiayainya.
Kepentingan pribadi
Beberapa literatur menyebutkan, pada masa itu pegawai VOC digaji sangat rendah. Akibatnya, marak terjadi penyelewengan fasilitas VOC, seperti penggunaan kapal ataupun gudang oleh para petingginya untuk kepentingan bisnis pribadi. Tidak jarang pula, kapal VOC yang berlayar ke Belanda justru lebih banyak memuat barangbarang pribadi petinggi VOC ketimbang komoditas perdagangan perusahaan.
Selain itu, juga terjadi penyuapan dari pejabat lokal Hindia Belanda baik bupati sebagai pengumpul pajak ataupun pedagang-pedagang timur jauh yang memegang hak penjualan dari VOC. Pejabat VOC yang berstatus lebih rendah juga menyuap atasannya demi mendapatkan jabatan.
Theodore M Smith dalam Corruption, Tradition, and Change (1971) menuturkan hingga tahun 1800, di Indonesia dipertontonkan contoh korupsi yang amat gamblang. Penyebabnya, upah rendah yang berpadu dengan godaan akibat lemahnya organisasi lokal, kesempatan luar biasa dalam perdagangan, serta hampir ketiadaan mekanisme kontrol. Pegawai-pegawai VOC menjadi kaya karena mencuri dari perusahaannya. Akibat dari korupsi ini, VOC ambruk pada 1799.
Suap-menyuap sudah dilakukan bangsa Eropa, khususnya VOC sejak pertama kali masuk Kepulauan Maluku.
Elizabeth Pisani, dalam Indonesia Etc: Exploring the Improbable Nation, bertutur, guna menerapkan monopoli rempah di Maluku pada abad ke-17, VOC menggunakan taktik suap, kooptasi penguasa lokal, dan kekerasan. Pisani memberi contoh penghancuran pohon cengkeh di Maluku, kecuali di Pulau Ambon, untuk mengontrol produksi cengkeh agar harganya tetap tinggi. Rakyat menjadi sengsara, sedangkan elite kesultanan dan petinggi VOC meraih untung.
“Mereka membayar penguasa lokal untuk mencapai tujuan itu, memulai tradisi menyuap dan kooptasi penguasa lokal yang bertahan hingga tiga abad,” tulis Pisani.
Namun, apakah sebelum kedatangan VOC tak ada korupsi di Nusantara? Bagaimana dengan praktik upeti yang menjadi tradisi di kerajaan-kerajaan di Jawa maupun di luar Jawa saat itu? Sejarawan Ternate Sofyan Daud mengatakan, sebelum kedatangan VOC, setidaknya dari pengalaman Kesultanan Ternate dan Tidore, upeti yang diberikan kepada elite kesultanan bukan dalam konteks suap. Namun, dalam konteks bukti kepatuhan. Pemberian itu juga bermakna sebagai pajak.
“Tetapi, ketika VOC datang, mereka membayar elite kesultanan untuk mendapat keuntungan perdagangan rempah. Bahkan, belakangan elite kesultanan mendapat gaji tahunan dari VOC sebagai imbalan keberpihakannya,” kata Sofyan.
Penulis buku Ternate, Mozaik Kota Pusaka itu merujuk pada kesepakatan VOC dengan Sultan Mandar Syah yang berkuasa 1648-1675, yang menyetujui misi penghancuran pohon cengkeh di seluruh wilayah kerajaannya, kecuali di Ambon, untuk menguntungkan monopoli dagang VOC.
Terlepas dari argumentasi Sofyan, agak sukar menilai korup atau tidaknya kerajaan Nusantara prakolonialisme dengan kacamata korupsi era modern. Sri Margana dalam Akar Historis Korupsi di Indonesia mengutip pandangan Van Leur menuturkan, nilai-nilai baru tentang perilaku korupsi baru muncul pada awal abad ke-19 setelah ada pemisahan penerimaan publik dan pribadi. Oleh karena itu, menjadi anakronisme sejarah jika menggunakan nilai baru itu memaknai sesuatu pada masa lalu.
Bisa berubah
Selain catatan negatif, ada pula catatan positif pasca pengenalan birokrasi publik yang modern yang disebut Ong Hok Ham diperkenalkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Daendels (1808-1810), seorang pengagum fanatik Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis.
Ong Hok Ham mencatat, “reformasi” birokrasi di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19 relatif berhasil mengubah eks pegawai VOC yang umumnya korup menjadi efisien dan bersih. Hal ini, antara lain, terjadi karena ada perbaikan gaji, pendidikan, serta pembagian kewenangan dan tugas yang lebih jelas.
Guru Besar Emeritus Sejarah Asia Tenggara dan Indonesia Lund University, Swedia, Mason C Hoadley, dihubungi melalui surat elektronik dari Jakarta, menuturkan, perlu dipisahkan antara eksploitasi dan pemerasan untuk meraih keuntungan seperti yang dilakukan kolonial Belanda pasca VOC dengan pemahaman korupsi modern. Orang Belanda di Hindia Belanda merupakan pekerja sipil dari Belanda, terutama pada abad ke-20. Mereka sudah dilatih untuk bekerja sesuai dengan prinsip birokrasi Weberian.
“Jadi sulit dikatakan mereka korup dalam pengertian modern. Mereka merupakan tiran dan pengeksploitasi. Namun, dalam lingkupnya, mereka menaati peraturan-peraturan administratif,” kata Mason.
Namun, dalam bukunya Public Administration: Indonesian Norms versus Western Forms, Mason juga mencatat, model administrasi itu memiliki perkecualian, yakni pada administrasi yang dijalankan oleh penduduk lokal. Demi menjamin kesetiaan dan perkuatan kekuasaan di Hindia Belanda, penguasa memberi toleransi bagi pencampuran ranah administrasi publik dan kepentingan privat pejabat lokal.
Pengajar sosiologi politik Universitas Pattimura Joseph Ufi berpendapat dalam konteks tertentu pembiaran atas korupsi seperti yang terjadi pada era Hindia Belanda dengan tujuan menjaga kesetiaan, kini masih bisa ditemukan di Indonesia.
Lemahnya kontrol dari masyarakat yang juga terfragmentasi, serta adanya kelompok kepentingan yang kuat, menurut Joseph, juga membuat korupsi tumbuh dengan subur. Pasalnya, kondisi ini membuat elite tidak mudah tersentuh tangan penegak hukum.
Jika demikian, sampai kapan korupsi kronik yang berakar kuat itu akan terus dibiarkan?
(ANTONY LEE/AGNES THEODORA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2016, di halaman 3 dengan judul “Korupsi yang Mengakar Kuat”.