Nothing compared to you..

Korupsi Telah Menjadi Hal Biasa

Langkah Menyeluruh Dibutuhkan

JAKARTA, KOMPAS — Korupsi ditengarai telah menjadi hal biasa di Indonesia sehingga tidak ada lagi budaya malu dan jera bagi pelakunya. Selain tindakan hukum serta reformasi birokrasi yang tegas dan konsisten, juga dibutuhkan gerakan budaya untuk melawan korupsi yang semakin masif.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif (tkedua dari kiri) dan Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) melihat petugas KPK menunjukkan lebaran uang dolar Amerika dan dolar Singapura senilai hampir 2 milyar rupiah yang menjadi barang bukti operasi tangkap tangan kasus suap pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kamis (15/12). KPK menetapkan Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi bersama 3 orang pihak swasta sebagai tersangka dalam kasus suap yang menggunakan APBN perubahan 2016.KOMPAS/YUNIADHI AGUNGWakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif (tkedua dari kiri) dan Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) melihat petugas KPK menunjukkan lebaran uang dolar Amerika dan dolar Singapura senilai hampir 2 milyar rupiah yang menjadi barang bukti operasi tangkap tangan kasus suap pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kamis (15/12). KPK menetapkan Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi bersama 3 orang pihak swasta sebagai tersangka dalam kasus suap yang menggunakan APBN perubahan 2016.

Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada peningkatan perkara korupsi yang dieksekusi, dari 38 perkara pada 2015 menjadi 67 pada tahun 2016. Angka penyidikan juga meningkat dari 57 ke 81. Sementara putusan perkara korupsi yang berkekuatan hukum tetap meningkat dari 37 ke 58 perkara.

Namun, hasil survei Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap penanganan perkara korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung (MA) pada semester I-2015 menunjukkan, vonis rata-rata yang dijatuhkan hakim hanya 2 tahun 1 bulan penjara. Rata-rata vonis ini turun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2013 (2 tahun 6 bulan) dan 2014 (2 tahun 9 bulan) (Kompas, 19/8/2015).

Fenomena ini, kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Saldi Isra, menunjukkan korupsi makin menjadi hal biasa. “Oleh karena itu, banyak orang yang melakukan korupsi, tetapi merasa tidak bersalah. Kejadiannya berulang-ulang dan menjadi suatu hal yang jamak di tengah masyarakat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang umum dan biasa,” kata Saldi saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/12).

Berdasarkan catatan Kompas, sejumlah terpidana korupsi juga tetap mengaku tak bersalah meski telah divonis. Beberapa bekas terpidana perkara korupsi juga tetap mendapatkan kedudukan di sejumlah partai politik.

Budaya

Tahun 1970-an, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah mengingatkan betapa korupsi telah membudaya di Indonesia. Pernyataan Bung Hatta itu sempat memunculkan polemik. Namun, sejarah menunjukkan korupsi memang menjadi bagian dari sejarah panjang Indonesia.

Sejak masa Serikat Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC), penduduk di Nusantara telah “diajari” untuk korupsi di segala bidang. Bahkan, VOC bangkrut pada peralihan abad ke-18 ke abad ke-19 karena korupsi sehingga serikat dagang ini sempat diejek sebagai vergaan onder corruptie (hancur karena korupsi)

Sejarawan alumnus Universitas Indonesia (UI) Hendaru Tri Hanggoro menyatakan, jejak korupsi di Tanah Air juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Saat itu, jumlah pajak desa yang harus dibayarkan digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat yang masih buta huruf (Kompas, 28/1/2015).

Akar panjang sejarah korupsi di Indonesia membuat tindak pidana ini tak hanya dapat diatasi dengan penindakan hukum. Kultur permisif masyarakat terhadap korupsi ditengarai ikut menyumbang masih kekalnya kejahatan luar biasa itu.

content

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, gerakan anti korupsi harus menjadi budaya dan kesadaran publik. “Kesadaran kolektif bangsa, terutama anak muda, harus dibangun bahwa korupsi adalah musuh bersama. Sikap permisif kepada korupsi adalah kejahatan,” katanya.

Dalam upayanya membangun kesadaran kolektif, PP Pemuda Muhammadiyah merintis madrasah anti korupsi di sejumlah daerah yang melibatkan aktivis anti korupsi dan golongan muda untuk mengenalkan korupsi serta bahayanya bagi bangsa. Gerakan itu telah dilakukan di 10 daerah sejak 2015 dan akan terus dilakukan untuk menjangkau daerah di seluruh Nusantara.

Ketua Bidang Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Robikin Emhas mengatakan, NU selain menggelorakan jihad terhadap korupsi, juga membentuk kader anti korupsi. Nota kesepahaman dengan KPK juga telah ditandatangani sebagai bentuk dukungan bagi komisi itu untuk memberantas korupsi.

Dua langkah

Paradigma pemberantasan korupsi melalui penindakan hukum kini makin dikuatkan dengan upaya KPK meningkatkan peran pencegahan. KPK menjadikan pencegahan dan perbaikan sistem yang rentan korupsi sebagai bagian integral dalam penindakan kasus korupsi.

Makin dikuatkannya paradigma pencegahan itu, antara lain, ditunjukkan melalui keterlibatan KPK dalam pembenahan sistem di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan pasca operasi penangkapan terhadap Handang Soekarno. Kepala Subdirektorat Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak ini ditangkap pada November lalu karena diduga menerima suap dari petinggi PT EK Prima Rajmohanan Nair sebesar 148.500 dollar Amerika Serikat atau setara dengan Rp 1,9 miliar.

Setelah penangkapan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diundang KPK untuk membicarakan pembenahan sistem di Ditjen Pajak. KPK menyusun sistem integritas nasional (SIN) untuk instansi pemerintah. SIN yang merupakan sistem pencegahan awal terhadap potensi korupsi di instansi pemerintah, antara lain dilengkapi dengan mekanisme whistle blower atau pelaporan dugaan korupsi ke KPK dengan pelapor yang dilindungi kerahasiaannya.

Pola integrasi penindakan dan pencegahan akan terus didorong dan dikembangkan oleh KPK. “Polanya ialah dengan mencari bagian yang lemah atau berlubang, selanjutnya KPK memberikan masukan dan sarana perbaikan bagi sistem yang rapuh itu. Harapannya, tidak lagi terjadi korupsi dalam sistem, atau terjadi pembenahan sistem secara menyeluruh,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.

(IAN/REK/APA/INA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Desember 2016, di halaman 1 dengan judul “Korupsi Telah Menjadi Hal Biasa”.

Korupsi yang Mengakar Kuat

Nihil sub sole novum. Tidak ada sesuatu yang benar-benar baru di bawah matahari. Adagium itu seolah merepresentasikan korupsi kronis di Indonesia. Akar perilaku korup yang menjangkiti pejabat publik Indonesia bisa ditemukan bahkan pada era awal kolonialisme.

Kisah Dirk van Hogendorp, Gubernur Serikat Dagang Hindia Timur atau VOC di Pantai Utara Jawa Timur pada akhir abad ke-18, menjadi ilustrasi yang sangat kontekstual dengan kehidupan pejabat Indonesia pada era kontemporer. Punya kekuasaan, bergaya hidup mewah, serta menerima sekaligus membayar suap untuk “mengamankan” posisi.

Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara menuturkan, dalam surat-surat Hogendorp, terungkap korupsi dan praktik suap-menyuap sudah menggurita, terstruktur, dan masif di VOC. Hogendorp menjelaskan, ia menerima gaji 80 gulden setahun. Namun, ia bisa menyetor “upeti” ribuan gulden ke gubernur di Semarang (Jawa Tengah), lalu ribuan gulden lagi ke gubernur jenderal di Batavia, serta ribuan gulden lagi untuk pejabat tinggi VOC di Belanda. Saat pulang ke Belanda, ia kaya raya; memiliki kereta kencana, pengawal, serta bisa menikahi putri salah satu kepangeranan kecil di Jerman.

Saat berbincang soal korupsi dan kolonialisme Belanda, Usman Thalib, pengajar sejarah Universitas Pattimura Ambon yang lahir di Banda Neira, menyarankan kami melihat gedung Societeit yang berada tak jauh dari Istana Mini, sebutan untuk kantor Gubernur VOC di Banda Neira. Menurut dia, pada masa kolonialisme Belanda, gedung itu merupakan tempat petinggi Belanda bersosialisasi dan berpesta. Salah satu simbol gaya hidup mewah petinggi Belanda.

“Tahun 1799, VOC tumbang karena korupsi besar-besaran. Pegawainya hidup bermewah-mewah dengan rumah megah. Untuk memenuhi gaya hidup seperti itu, mereka akhirnya korupsi,” kata Usman.

Gedung Societeit di Pulau Neira, kini menjadi bangunan kosong. Pada pengujung November 2016, kondisi bangunan itu masih terbilang cukup baik untuk ukuran cagar budaya kolonial. Hanya sebagian plafon teras terlihat mengelupas. Pada masanya, gedung itu tentu menjadi pusat kemeriahan di Pulau Neira yang lumayan mungil. Lokasinya yang hanya beberapa menit berjalan kaki dari Istana Mini, menjadi pertanda betapa pentingnya bangunan tersebut pada masa itu.

Soal kecenderungan gaya hidup mewah ini, sejarawan Ong Hok Ham bertutur bahwa para pejabat VOC datang ke Nusantara dengan motivasi bertualang dan mencari keuntungan. Sebagian dari pejabat tinggi VOC merupakan bangsawan yang tak mendapat warisan orangtua karena hanya putra tertua yang berhak. Mereka sudah terbiasa bergaya hidup mewah, tetapi lantas tak lagi punya uang untuk membiayainya.

Kepentingan pribadi

Beberapa literatur menyebutkan, pada masa itu pegawai VOC digaji sangat rendah. Akibatnya, marak terjadi penyelewengan fasilitas VOC, seperti penggunaan kapal ataupun gudang oleh para petingginya untuk kepentingan bisnis pribadi. Tidak jarang pula, kapal VOC yang berlayar ke Belanda justru lebih banyak memuat barangbarang pribadi petinggi VOC ketimbang komoditas perdagangan perusahaan.

Selain itu, juga terjadi penyuapan dari pejabat lokal Hindia Belanda baik bupati sebagai pengumpul pajak ataupun pedagang-pedagang timur jauh yang memegang hak penjualan dari VOC. Pejabat VOC yang berstatus lebih rendah juga menyuap atasannya demi mendapatkan jabatan.

Theodore M Smith dalam Corruption, Tradition, and Change (1971) menuturkan hingga tahun 1800, di Indonesia dipertontonkan contoh korupsi yang amat gamblang. Penyebabnya, upah rendah yang berpadu dengan godaan akibat lemahnya organisasi lokal, kesempatan luar biasa dalam perdagangan, serta hampir ketiadaan mekanisme kontrol. Pegawai-pegawai VOC menjadi kaya karena mencuri dari perusahaannya. Akibat dari korupsi ini, VOC ambruk pada 1799.

Suap-menyuap sudah dilakukan bangsa Eropa, khususnya VOC sejak pertama kali masuk Kepulauan Maluku.

Elizabeth Pisani, dalam Indonesia Etc: Exploring the Improbable Nation, bertutur, guna menerapkan monopoli rempah di Maluku pada abad ke-17, VOC menggunakan taktik suap, kooptasi penguasa lokal, dan kekerasan. Pisani memberi contoh penghancuran pohon cengkeh di Maluku, kecuali di Pulau Ambon, untuk mengontrol produksi cengkeh agar harganya tetap tinggi. Rakyat menjadi sengsara, sedangkan elite kesultanan dan petinggi VOC meraih untung.

“Mereka membayar penguasa lokal untuk mencapai tujuan itu, memulai tradisi menyuap dan kooptasi penguasa lokal yang bertahan hingga tiga abad,” tulis Pisani.

Namun, apakah sebelum kedatangan VOC tak ada korupsi di Nusantara? Bagaimana dengan praktik upeti yang menjadi tradisi di kerajaan-kerajaan di Jawa maupun di luar Jawa saat itu? Sejarawan Ternate Sofyan Daud mengatakan, sebelum kedatangan VOC, setidaknya dari pengalaman Kesultanan Ternate dan Tidore, upeti yang diberikan kepada elite kesultanan bukan dalam konteks suap. Namun, dalam konteks bukti kepatuhan. Pemberian itu juga bermakna sebagai pajak.

“Tetapi, ketika VOC datang, mereka membayar elite kesultanan untuk mendapat keuntungan perdagangan rempah. Bahkan, belakangan elite kesultanan mendapat gaji tahunan dari VOC sebagai imbalan keberpihakannya,” kata Sofyan.

Penulis buku Ternate, Mozaik Kota Pusaka itu merujuk pada kesepakatan VOC dengan Sultan Mandar Syah yang berkuasa 1648-1675, yang menyetujui misi penghancuran pohon cengkeh di seluruh wilayah kerajaannya, kecuali di Ambon, untuk menguntungkan monopoli dagang VOC.

Terlepas dari argumentasi Sofyan, agak sukar menilai korup atau tidaknya kerajaan Nusantara prakolonialisme dengan kacamata korupsi era modern. Sri Margana dalam Akar Historis Korupsi di Indonesia mengutip pandangan Van Leur menuturkan, nilai-nilai baru tentang perilaku korupsi baru muncul pada awal abad ke-19 setelah ada pemisahan penerimaan publik dan pribadi. Oleh karena itu, menjadi anakronisme sejarah jika menggunakan nilai baru itu memaknai sesuatu pada masa lalu.

Bisa berubah

Selain catatan negatif, ada pula catatan positif pasca pengenalan birokrasi publik yang modern yang disebut Ong Hok Ham diperkenalkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Daendels (1808-1810), seorang pengagum fanatik Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis.

Ong Hok Ham mencatat, “reformasi” birokrasi di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19 relatif berhasil mengubah eks pegawai VOC yang umumnya korup menjadi efisien dan bersih. Hal ini, antara lain, terjadi karena ada perbaikan gaji, pendidikan, serta pembagian kewenangan dan tugas yang lebih jelas.

Guru Besar Emeritus Sejarah Asia Tenggara dan Indonesia Lund University, Swedia, Mason C Hoadley, dihubungi melalui surat elektronik dari Jakarta, menuturkan, perlu dipisahkan antara eksploitasi dan pemerasan untuk meraih keuntungan seperti yang dilakukan kolonial Belanda pasca VOC dengan pemahaman korupsi modern. Orang Belanda di Hindia Belanda merupakan pekerja sipil dari Belanda, terutama pada abad ke-20. Mereka sudah dilatih untuk bekerja sesuai dengan prinsip birokrasi Weberian.

“Jadi sulit dikatakan mereka korup dalam pengertian modern. Mereka merupakan tiran dan pengeksploitasi. Namun, dalam lingkupnya, mereka menaati peraturan-peraturan administratif,” kata Mason.

Namun, dalam bukunya Public Administration: Indonesian Norms versus Western Forms, Mason juga mencatat, model administrasi itu memiliki perkecualian, yakni pada administrasi yang dijalankan oleh penduduk lokal. Demi menjamin kesetiaan dan perkuatan kekuasaan di Hindia Belanda, penguasa memberi toleransi bagi pencampuran ranah administrasi publik dan kepentingan privat pejabat lokal.

Pengajar sosiologi politik Universitas Pattimura Joseph Ufi berpendapat dalam konteks tertentu pembiaran atas korupsi seperti yang terjadi pada era Hindia Belanda dengan tujuan menjaga kesetiaan, kini masih bisa ditemukan di Indonesia.

Lemahnya kontrol dari masyarakat yang juga terfragmentasi, serta adanya kelompok kepentingan yang kuat, menurut Joseph, juga membuat korupsi tumbuh dengan subur. Pasalnya, kondisi ini membuat elite tidak mudah tersentuh tangan penegak hukum.

Jika demikian, sampai kapan korupsi kronik yang berakar kuat itu akan terus dibiarkan?

(ANTONY LEE/AGNES THEODORA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2016, di halaman 3 dengan judul “Korupsi yang Mengakar Kuat”.

wp-1482814275231.jpg

Fondasi Demokrasi Indonesia Goyah

Kelas Menengah Jadi Titik Krusial

JAKARTA, KOMPAS — Persatuan dan keadilan yang menjadi penyokong utama demokrasi di Indonesia tengah menghadapi persoalan serius. Lebarnya kesenjangan sosial ekonomi saat ini, dan masyarakat yang merasa demokrasi hanya menguntungkan segelintir elite, menjadi masalah. Dibutuhkan solusi cepat dan tepat atas kondisi ini.

Pemimpin Redaksi
KOMPAS/WISNU WIDIANTOROPemimpin Redaksi “Kompas” Budiman Tanuredjo (dari kiri ke kanan), Gubernur Lemhanas Agus Widjojo, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti, Wapemred “Kompas” Ninuk M Pambudhi, Trias Kuncahyono, Sekjen PB NU Helmi Faizal Zaini, Yose Rizal, Yudhi Latief, Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar, Ketua DPP PDI-P Andreas Pariera saat diskusi panel di Kantor Redaksi Harian “Kompas”, Jakarta, Kamis (15/12). Diskusi itu membahas Penguatan Ketahanan Nasional, Menagih Janji Parpol dan Ormas.

Indeks Ketahanan Nasional yang disusun Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional Lembaga Ketahanan Nasional (Labkurtannas Lemhannas) mengindikasikan melemahnya indeks ketahanan ideologi dan politik dalam kurun tujuh tahun terakhir.

Dalam skala 1 hingga 5, makin mendekati 1, kondisi ketahanan kian rawan. Indeks Ketahanan Nasional tahun 2016 ada di 2,60. Ini lebih baik dibandingkan tahun 2015 yang skornya 2,55. Secara longitudinal, indeks tahun 2016 membaik dari tahun 2010 yang memiliki skor 2,43.

Namun, ketahanan ideologi perlahan turun sejak tahun 2010. Indeks ketahanan ideologi tahun 2016 di angka 2,06. Pada 2010, ketahanan ideologi di angka 2,31. Aspek ketahanan ideologi ini mencakup aspek dari sila kesatu, sila kedua, dan sila ketiga dari Pancasila dengan indikator delapan variabel. Variabel itu antara lain toleransi, kesederajatan dalam hukum, kesamaan hak kehidupan sosial, solidaritas sosial, dan persatuan bangsa.

Sementara ketahanan politik yang mencakup aspek eksekutif, legislatif, dan yudikatif juga turun dari 2,57 tahun 2010 menjadi 2,43 pada 2016. Padahal, ketahanan politik pernah membaik pada 2013 dan 2014.

“Ini potret saat ini, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana itu terjadi. Dibutuhkan diagnosis mengapa hal itu terjadi dan perlu dicarikan solusi atas kekurangan ini,” kata Gubernur Lemhannas Agus Widjojo dalam Diskusi PanelKompas dengan tema “Diskusi Penguatan Ketahanan Nasional, Menagih Peran Parpol dan Ormas” di Redaksi Kompas di Jakarta, Kamis (15/12).

Pembicara lain dalam diskusi ini adalah Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Andreas Hugo Pareira, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Yudi Latif, dan Direktur Eksekutif Politicawave Yose Rizal.

Dua sayap

Yudi Latif menuturkan, demokrasi Indonesia memiliki dua sayap, yakni persatuan dan keadilan. Kedua sayap itu kini tengah bermasalah. Keadilan sosial di Indonesia bermasalah karena indeks kesenjangan makin melebar. Hal ini sebenarnya juga dihadapi negara lain. Selain itu, ada kekhawatiran tenunan persatuan bangsa sobek karena serangan terhadap nilai spiritualitas Nusantara, toleransi. Namun, Indonesia belum “terbakar” seluruhnya. “Titik krusialnya ada di kelas menengah yang berpotensi membawa perubahan keindonesiaan di masa depan,” katanya.

Yudi mencatat, ada kenaikan kelas menengah terdidik dari desa yang masuk ke perkotaan melalui urbanisasi. Namun, mobilisasi vertikal kelas menengah juga sering kali tersandung secara ekonomi dan politik. Kejatuhan kelas menengah menimbulkan kemarahan yang diarahkan pada pihak yang dianggap sebagai biang persoalan.

Kemarahan kelas menengah ini juga sulit tersalurkan melalui partai politik yang dinilai tidak merepresentasikan aspirasi rakyat. Abdul Mu’ti mengatakan, alih-alih menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah rakyat, partai dan perwakilannya di legislatif terjebak pada pragmatisme politik.

“Akhirnya, masyarakat menyerah terhadap demokrasi sebab demokrasi masa kini hanya menguntungkan segelintir elite yang mempunyai modal, dan melahirkan elite-elite yang kapitalis dan pragmatis,” kata Mu’ti.

Perangkat hukum sebenarnya memberi ruang dan posisi bagi parpol dalam menjalankan fungsinya, tetapi partai gagal mereformasi diri. Mu’ti mencontohkan pergantian Ketua DPR untuk kedua kalinya dalam satu tahun ini. Berdasarkan usulan Partai Golkar, yang didukung sembilan partai lain, jabatan itu kembali kepada Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang sebelumnya mundur dari posisi Ketua DPR karena dugaan pelanggaran etik. “Urusan negara dan rakyat dijadikan permainan politik. Ini cacat moral dalam politik,” kata Mu’ti.

Andreas Pareira tidak menampik, parpol belakangan ini tidak maksimal menjalankan tugasnya. Fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran di DPR tak dilaksanakan karena anggota DPR hanya memikirkan kepentingan partai masing-masing serta keberlangsungan karier politik pribadinya.

Penyebab penurunan peran parpol itu, menurut Andreas, adalah sistem politik yang berantakan dan berbiaya tinggi. Sistem pemilu proporsional terbuka adalah salah satu akar masalah. Sistem itu melahirkan anggota DPR yang terpilih lebih berdasarkan popularitas dan kemampuan kapital, tetapi minim idealisme dan kompetensi.

Akhirnya, jalur aspirasi rakyat pun bergeser dari partai ke media sosial. Sayangnya, menurut Yose Rizal, media sosial kini diisi konten berita palsu, berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), intoleransi, dan radikalisme. Selain itu, ia khawatir adanya kecenderungan terjadi bias konfirmasi sehingga orang percaya pada informasi yang mengonfirmasi keyakinan yang mereka miliki saja. Oleh karena itu, dia mendorong adanya literasi media sosial sehingga masyarakat mengetahui konsekuensi perbuatannya di media sosial.

“Orang yang beretika di dunia nyata, di media sosial bisa menebar fitnah. Seolah ada etika berbeda. Memaki orang itu berdosa (di ranah offline), tetapi di media sosial tidak,” katanya.

Masyarakat sipil

Sementara pilar demokrasi Indonesia yang lain, yaitu organisasi masyarakat sipil, seperti NU dan Muhammadiyah, belum maksimal disokong negara untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan. Peran ormas keagamaan itu justru terkesan hanya sebagai “pemadam kebakaran” ketika terjadi permasalahan sosial-politik.

Helmy Faishal berharap pemerintah meningkatkan peran ormas keagamaan. NU telah final menetapkan Pancasila sebagai dasar negara yang hakiki untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga NU tidak akan ragu membantu pemerintah mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih adil dan memakmurkan masyarakat.

“Ormas keagamaan perlu lebih dilibatkan pemerintah terutama untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan di masyarakat. Jangan hanya ketika situasi memanas barua pemerintah mengajak bicara kami,” kata Helmy.

Menurut Mu’ti, seluruh elemen negara harus bersama-sama membangun nilai kebangsaan, pola pikir keindonesiaan, serta membuat cetak biru semacam garis besar haluan negara untuk menentukan arah bangsa Indonesia di masa mendatang.

Boy Rafli Amar menuturkan, kepolisian yang mengedepankan upaya pencegahan membutuhkan bantuan ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, yang menjaga nilai-nilai Pancasila dan toleransi.

“NU dan Muhammadiyah harus menjadi leading sector agar Pancasila jadi acuan bersama. Kami khawatir kalau ormas mainstream ini kurang aktif, kelompok baru berideologi radikal bisa menutup nilai-nilai luhur bangsa,” ujar Boy. (SAN/AGE/GAL)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2016, di halaman 1 dengan judul “Fondasi Demokrasi Indonesia Goyah”.

Langit Merahdi Atas Timur Tengah di Atas Timur Tengah

Timur Tengah telah memasuki era berakhirnya Pax Americana. Vladimir Putin membawa Rusia menjadi aktor penting geopolitik di Timur Tengah. Tak akan ada perubahan signifikan soal aliansi dan ketegangan selama isu Palestina dan rivalitas Arab Saudi-Iran tak tertangani.

Tonggak berakhirnya era Amerika Serikat di Timur Tengah dicatat Jeffrey Goldberg, Pemimpin Redaksi The Atlantic-saat memaparkan hasil wawancara dengan Presiden Barack Obama -terjadi pada 30 Agustus 2013. Hari itu, Obama memutuskan batal melancarkan operasi militer ke Suriah sebagai respons atas hal yang dianggap Washington sebagai pelanggaran “garis merah” oleh rezim Bashar al-Assad terkait tuduhan penggunaan senjata kimia di Suriah.

Dalam pikiran Obama, demikian tulis Goldberg, “Tanggal 30 Agustus 2013 adalah hari pembebasannya” (The Atlantic, April 2016). Sejak itu, beragam analisis muncul, mengapa Washington memilih tidak mempertahankan status quo-nya di Timur Tengah yang disandang sejak Perang Dunia II hingga peristiwa 9/11.

Berkurangnya ketergantungan AS pada minyak-bahkan disebut-sebut AS bakal mengambil alih posisi Arab Saudi sebagai produsen minyak mentah terbesar di dunia-dan persepsi ancaman langsung teror pada AS, perlindungan Israel, dan pencegahan berkembangnya nuklir merupakan beberapa hal yang memengaruhi kepentingan AS di Timur Tengah.

Dari kacamata itu, bisa dilihat mengapa Obama, misalnya, menarik pasukan AS dari Irak, tidak meningkatkan peran signifikan di Libya atau Yaman, serta enggan mengerahkan pasukan darat dalam krisis di Irak dan Suriah. Perkembangan politik dan ekonomi Timur Tengah mengurangi peluang intervensi AS hingga titik nadir (Foreign Affairs, November/Desember 2015).

Dalam kekosongan itulah, Putin melihat celah untuk membawa Rusia kembali ke panggung geopolitik global. Diawali operasi militer untuk membantu rezim Assad di Suriah, September 2015, keterlibatan Putin di Timur Tengah kian menonjol.

Melalui operasi militer ataupun peran diplomasi dalam konflik Suriah sepanjang 2016, Putin menancapkan kukunya di Timur Tengah. Di Suriah, Moskwa bukan lagi pemain pinggiran, seperti yang dialami pada perundingan nuklir Iran. Beberapa gencatan senjata di Suriah, termasuk berhentinya pertempuran di Aleppo, hanya bisa diwujudkan berkat campur tangan Rusia, bukan PBB atau AS.

Tentu, seperti halnya AS, Rusia membawa kepentingan nasionalnya. Di awal intervensinya di Suriah, Putin menyebut soal ancaman teror bagi negerinya oleh milisi tempur asal Rusia yang bergabung dalam kelompok ekstrem, seperti milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Selain itu, tak bisa dimungkiri juga, ada kepentingan mengamankan pangkalan Angkatan Laut Rusia di Tartus, Suriah, satu- satunya pangkalan Rusia di Timur Tengah. Namun, skor terbesar Rusia di Suriah, yakni menempatkan mereka sebagai aktor utama geopolitik global.

Inilah yang membuat Moskwa bisa menegakkan kepala di depan AS dan Barat setelah isolasi pasca aneksasi Rusia ke Crimea, Ukraina, Maret 2014. Status aktor global itu pula yang membuat Putin ikut-ikutan ingin menjadi broker konflik Palestina-Israel.

Anti tesis AS-Barat

Berbeda dari AS dan Barat yang menempatkan diri sebagai pendukung oposisi saat Musim Semi Arab, dalam intervensinya di Timur Tengah, Rusia mengampanyekan sikap anti tesis terhadap AS-Barat. Di mata Putin, kekacauan di Irak, Suriah, Afrika Utara, dan kemunculan NIIS menunjukkan kegagalan Barat.

Melalui operasi militer di Suriah untuk menopang rezim Assad, Putin seolah mengirim pesan kepada Timur Tengah bahwa Moskwa akan mendukung pemimpin dan pemerintahan dalam menghadapi perlawanan rakyat.

Pada paruh kedua 2015, pemimpin dari Mesir, Israel, Jordania, Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab berkunjung ke Moskwa. Sebagian dari mereka menandatangani kesepakatan pembelian senjata. Arab Saudi juga menjanjikan investasi 10 miliar dollar AS di Rusia (Foreign Affairs, Januari-Februari 2016).

Desember ini, disatukan kepentingan di Suriah, Turki merapat ke Moskwa. Penembakan jet tempur Rusia oleh jet tempur Turki dilupakan. Penembakan Duta Besar Andrey Karlov oleh anggota polisi Turki di Ankara, 19 Desember, pun tak menggoyahkan bulan madu dua negara itu.

Dengan tampilnya Rusia sebagai aktor utama, bagaimana situasi Timur Tengah ke depan? Apakah hadirnya Putin menciptakan peluang munculnya aliansi baru? Yang lebih penting, adakah harapan ketegangan di Timur Tengah mereda?

Melihat situasi terakhir, perkembangan NIIS sepertinya bisa diredam di Irak dan Suriah meski belum bisa dimusnahkan dalam waktu dekat. Selain itu, muncul tantangan baru, yakni merembesnya teror NIIS ke negara-negara lain, hingga ke Indonesia.

Di Timur Tengah, gejolak akan selalu muncul sepanjang dua masalah terkait rivalitas Arab Saudi- Iran dan isu Palestina-Israel tak terselesaikan. Tahun ini, rivalitas Riyadh-Teheran mencapai titik didih dalam kasus eksekusi ulama Syiah, Sheikh Nimr al-Nimr, oleh Arab Saudi.

Kasus itu berbuah pemutusan hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi. Ketegangan dua negara itu juga diwarnai aksi boikot Iran yang tak mengirim jemaahnya dalam haji tahun ini.

Arab Saudi dan negara-negara Teluk mitranya cenderung melihat peran aktor luar, termasuk Rusia, melalui kacamata rivalitas di kawasan. Rusia hadir di Timur Tengah menjalin aliansi lama (Iran) di Suriah. Sulit membayangkan bakal tercipta aliansi baru setelah Rusia masuk.

Isu Palestina-Israel akan terus menyelimuti Timur Tengah, terlebih setelah presiden terpilih AS, Donald Trump, memperlihatkan lebih pro Israel daripada pendahulunya. Kasus voting resolusi DK PBB soal permukiman Yahudi, pekan lalu, memperlihatkan indikasi itu. Dengan demikian, tak berlebihan dan bukan karena pesimistis jika menyebut, kawasan itu akan terus membara. Di Timur Tengah, langit akan terus memerah.

(MH SAMSUL HADI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul “Langit Merahdi Atas Timur Tengah”.

Indonesia in its post-colonialism development – Opinion – The Jakarta Post

http://www.thejakartapost.com/academia/2016/12/06/indonesia-in-its-post-colonialism-development.html

A nice piece from our colleague from Bappenas.
Let’s think, then write! 

Cukup Masuk Akal

Share dari sumber lain . 

Indonesia 412, Kita dan Ahok
Parade  Kita Indonesia (4/12) melengkapi  potongan-potongan puzzle, tentang peta pertarungan politik di Jakarta dan Indonesia.  Kendati dibungkus  dengan parade budaya, tapi  publik tidak perlu terlalu cerdas  untuk memahami bahwa kegiatan tersebut diinisiasi oleh para pendukung Ahok, minus PDIP.  Berbagai bantahan dari  panitia penyelenggara, bahwa kegiatan ini bukan merupakan tandingan dari aksi 212, tetap tidak bisa menyembunyikan apa agenda yang sesungguhnya. Fakta-fakta di lapangan menggambarkan dengan jelas semuanya.
Hadirnya atribut partai seperti Golkar, Nasdem dan sebagian kecil PPP Djanz Farid, serta dua perusahaan besar  Artha Graha dan Agung  Sedayu Group menegaskan siapa yang bermain dan kepentingan apa yang sedang mereka mainkan. Nasdem dan Golkar  adalah partai yang paling awal mendukung  Ahok dalam Pilkada DKI. PPP Djanz Farid adalah penumpang gelap yang mencoba memanfaatkan situasi Pilkada DKI ketika PPP Rommy  memberi dukungan kepada calon yang berbeda  dengan Jokowi. Sementara Artha Graha milik taipan Tommy Winata dan Agung Sedayu Group milik Aguan adalah dua perusahaan yang sangat berkepentingan dengan berbagai proyek di Jakarta, khususnya reklamasi Teluk Jakarta.
Sejak awal saya sudah meyakini bahwa Ahok alias Basuki Tjahja Purnama hanyalah pion, proxy  dari kepentingan yang lebih besar. Keyakinan tersebut  ditopang oleh interaksi personal saya dengan Ahok pada tahun 2008 dan saya  mengetahui untuk siapa dia bekerja. 
Benar Ahok tidak korupsi, karena buat dia APBD DKI terlalu kecil dan terlalu mudah untuk dideteksi, bila ia melakukan korupsi. Citra inilah yang dikapitalisasi oleh para pendukungnya  melalui sosial media dan media konvensional (TV, Online dan media cetak) yang nota bene dikuasai oleh mereka.  Maka kemudian muncullah jargon-jargon “ Pilih pemimpin yang kafir tapi tidak korupsi, atau pilih pemimpin muslim tapi korupsi”. Sebuah simplifikasi  kejam dan maaf, bodoh, yang  kelihatan mengena pada sebagian kaum muslim. 
Masifnya konten media dan sosial media yang dijejalkan kepada publik berhasil menutupi korupsi kebijakan yang nilainya jauh lebih besar dan lebih merugikan negara. Proyek raksasa Reklamasi  Teluk Jakarta nilai jauh lebih besar dan berkali lipat dibandingkan APBD DKI adalah salahsatu contohnya. 
Sebagai perbandingan penyerapan APBD DKI Jakarta 2015 mencapai 66,18 persen atau sekitar Rp 40 triliun dari total nilai APBD DKI 2015 sebesar Rp 65,7 triliun. Dari pos anggaran belanja langsung, realisasi penyerapan anggaran belanja modal yang diperuntukan membiayai pembangunan infrastruktur paling rendah. Hanya mencapai 29,71 persen atau Rp 5,4 triliun dari total nilai belanja modal sebesar Rp 18,4 triliun. Yang terbesar adalah belanja pegawai alias gaji yang tidak mungkin dikorupsi. Sementara ‎ nilai APBD Perubahan tahun anggaran 2016 Provinsi DKI Jakarta hanya Rp 62,91 triliun dipastikan penyerapannya juga rendah. Jadi APBD tidak mungkin dan tidak perlu diotak atik Ahok. Itu terlalu kecil dan terlalu bodoh. Bandingkan dengan proyek Reklamasi yang biayanya mencapai Rp 500 triliun! Belum proyek-proyek lain yang akan diberikan sebagai konsesi bila Ahok memenangkan pilkada DKI. 
 Aksi 412 adalah bentuk kepanikan dari para pendukung Ahok  dan tentu saja Jokowi menyikapi  terus menurunnya suara Ahok dalam berbagai sigi yang dilakukan oleh lembaga survey akibat gempuran kemarahan umat Islam dalam Aksi Bela Islam (ABI) I,II dan III. Berapa ratus miliar dana yang telah digelontorkan selama dua tahun terakhir  untuk membangun citra Ahok. Mulai dari gerakan Teman Ahok, Cyber Army, membayar lembaga survey dll. Tiba-tiba seperti sebuah bangunan rumah kardus yang terkena hujan, mulai runtuh. Bayangan berbagai proyek besar dan monopoli kekayaan dan kekuasaan yang menyatu dalam satu kelompok, yang sudah dalam genggaman, tiba-tiba menjauh. Gara-garanya hanya sepele, mulut Ahok yang tidak kenal sekolahan. Saya tidak bisa membayangkan betapa marah dan jengkelnya para oligark, para pemodal ini terhadap Ahok.
Dengan fakta semacam itu, seharusnya bukan hanya umat Islam yang harus tergugah kesadarannya betapa bahayanya bila Ahok terpilih menjadi pemimpin Jakarta, dan bukan tidak mungkin juga akan dipaksakan menjadi pemimpin Indonesia. Ahok adalah alarm keras yang harus membangunkan semua bangsa Indonesia, tentang bahayanya kekayaan dan kekuasaan yang hanya berada di tangan segelintir orang. Koruptif, manipulatif dan bisa sangat kejam! Hal itu tidak boleh terjadi!
Jadi aksi 412 adalah pertaruhan besar bagi  para oligark yang berada di belakang Ahok dan Jokowi. Seperti  kata pemimpin modern Cina Dr Sun Yat Sen : To be or not to be. Atau kalau dalam semboyan militer : Kill or to be killed!!
Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik

Aksi 412 Kelar, Sampah 44 Ton

T E R L A L U. ..!!

http://news-sg.op-mobile.opera.com/news/detail/a23a930bbb621d75ae7162a75e26ad08

Benar juga nih, kalau bisa dibikin ribet kenapa tidak?

ASN

Pemerintah Segera Terapkan Tunjangan Kinerja Individu

JAKARTA, KOMPAS — Tunjangan kinerja untuk pegawai negeri sipil yang berlaku saat ini dinilai masih belum adil. Sebab, tunjangan diberikan tanpa memperhatikan apakah pegawai yang bersangkutan malas, rajin, ataupun lebih inovatif. Sebab, besaran tunjangan yang diberikan sama.

Oleh karena itu, pemerintah tengah menyiapkan sistem supaya tunjangan dibayarkan berdasarkan kinerja individu. Namun, regulasi itu masih menunggu pengesahan dari Presiden Joko Widodo.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengatur, seorang pegawai negeri sipil (PNS) mendapatkan gaji, tunjangan kinerja, tunjangan kemahalan, serta jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Tunjangan kinerja pun dibagi menjadi tunjangan kinerja organisasi dan tunjangan individu.

Namun, sejauh ini yang diberlakukan baru tunjangan kinerja organisasi yang didasarkan pada pelaksanaan reformasi birokrasi di instansi kementerian/lembaga atau pemerintah daerah.

“Seharusnya kinerja dan inovasi masuk dalam tunjangan kinerja (individu)-nya,” ujar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur dalam seminar peringatan 45 tahun Korpri di Jakarta, Rabu (30/11). Seminar bertema “Korpri, Birokrasi, dan Pemberantasan Pungli” ini juga menghadirkan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo; Ketua Korpri Zudan Arif Fakrulloh; Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Ardan Adiperdana; dan peneliti LIPI, Siti Zuhro.

Menurut rencana, kata Mardiasmo, pemerintah akan menggunakan indeks kinerja individu untuk menentukan tunjangan kinerja individu. Hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Gaji, Tunjangan, dan Prestasi ASN, juga Peraturan Menteri PAN dan RB serta Peraturan Menteri Keuangan. Ketika ditanya apakah sudah ada penghitungan anggaran untuk tunjangan kinerja individu tahun 2017, Mardiasmo mengelak menjawab. “Sudah, artinya memadai, nanti jumlahnya bisa dilihat,” ujarnya.

PP tentang Gaji, Tunjangan, dan Prestasi diharap segera ditetapkan. Saat ini, menurut Asman, sembilan Rancangan PP terkait ASN sudah ada di Sekretariat Negara. Selain Rancangan PP tentang Gaji, Tunjangan, dan Prestasi ASN, ada pula RPP tentang Manajemen ASN dan RPP tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Jika PP tentang Gaji, Tunjangan, dan Prestasi ditetapkan akhir 2016, kata Asman, semestinya tahun depan sudah bisa diterapkan.

Terkait pungli, Zudan menambahkan, dari sisi pengaturan, sanksi yang disiapkan untuk aparatur sipil negara baik di UU ASN maupun UU 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sudah cukup ketat. Masih adanya masalah pungli di kalangan PNS disebabkan oleh perilaku individu. Korpri mendorong adanya perbaikan sistem terkait kesejahteraan PNS. Selain itu, perbaikan tersebut perlu dibarengi dengan penindakan yang tegas terhadap penyimpangan yang dilakukan.

“Sistem tunjangan kinerja saat ini masih berbasis kehadiran, seharusnya diperhitungkan apa yang dihasilkan dalam kerja PNS selama sehari supaya PNS tidak asal datang pukul 07.30 dan pulang pukul 04.30, tetapi sama saja dapat 100 persen tunjangan kinerja,” kata Zudan. (INA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2016, di halaman 4 dengan judul “Pemerintah Segera Terapkan Tunjangan Kinerja Individu”.

Perlu diacungi jempol.

Brigjen TNI Divonis

Korupsi Alutsista 12 Juta Dollar AS

JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Tentara Nasional Indonesia tidak akan mencampuri penegakan hukum dan disiplin atas prajurit yang melanggar hukum. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta memvonis Brigadir Jenderal (TNI) Teddy Hernayadi hukuman seumur hidup karena korupsi.

Mantan Kepala Bidang Pelaksanaan Pembiayaan Kementerian Pertahanan 2010-2014 ini terbukti menyelewengkan dana 12 juta dollar AS yang seharusnya untuk membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista). Saat itu, Teddy masih berpangkat kolonel dan sejak 2014 dipromosikan ke Markas Besar TNI AD dengan pangkat Brigjen (TNI).

Majelis Hakim Pengadilan Militer, yang diketuai Brigjen (TNI) Deddy Suryanto, dalam sidang di Jakarta, Rabu (30/11), menyatakan, Teddy terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan seumur hidup lebih tinggi daripada tuntutan Oditur Militer Brigjen (TNI) Rachmat Suhartoyo, yaitu hukuman penjara 12 tahun. Namun, hakim ketua Brigjen (TNI) Deddy dengan hakim anggota Brigjen (TNI) Hulwani dan Brigjen (TNI) Weni Okianto menjatuhkan vonis lebih berat.

Pertimbangan yang memberatkan terdakwa ialah perbuatan itu tidak mendukung program pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah dan penyalahgunaan dana alutsista yang semestinya untuk mempertahankan kedaulatan negara malah memperkaya diri sendiri.

Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Wuryanto mengatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada pengadilan. Vonis hukuman seumur hidup pada Teddy diyakini telah dipertimbangkan dengan matang.

“Kami menginginkan tidak ada lagi prajurit TNI yang melakukan korupsi atau berbuat tidak jujur dalam tugasnya. Kami berharap ini menjadi pembelajaran bahwa setiap prajurit TNI harus setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” kata Wuryanto.

Wuryanto menegaskan, sekalipun ia adalah salah satu perwira tinggi TNI, tetapi perbuatannya dinilai tidak sesuai dengan jiwa dan semangat prajurit TNI.

“Waktu kejanggalan urusan keuangan itu mengemuka, Pati tersebut (Teddy) sudah pindah ke Mabes AD. Namun, saat melakukan tindak pidana itu, Pati itu (Teddy) sedang menjabat di Kemenhan,” ujar Wuryanto.

Atas vonis tersebut, Teddy yang didampingi kuasa hukum Kolonel Martin Ginting menyatakan pikir-pikir.

Sementara itu, Panitera Pengganti Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Kapten (Chk) Arief Rachman menjelaskan, terdakwa memiliki waktu 7 hari untuk berpikir, apakah mengajukan banding atau tidak. “Jika tidak mengajukan banding, yang bersangkutan langsung menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Militer Cimanggis, Depok,” kata Arief.

Patut diapresiasi

Menanggapi vonis terhadap perwira tinggi TNI tersebut, peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, vonis seumur hidup pada Teddy patut diapresiasi. Putusan seumur hidup terhadap prajurit TNI dalam kasus korupsi merupakan yang pertama kali di Indonesia.

Akan tetapi, Khairul mengingatkan, upaya hukum belum berakhir karena terdakwa masih bisa banding dan kasasi. “Putusan ini harus terus dikawal,” ujar Khairul.

Secara terpisah, Kepala Biro Humas dan Hukum Mahkamah Agung (MA) Ridwan Mansyur mengatakan, putusan majelis hakim pengadilan militer bebas intervensi. Vonis berat itu, kata Ridwan, diharapkan bisa memberikan efek jera agar prajurit tidak mengulangnya sekaligus menegaskan, korupsi adalah musuh bersama. (REK)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2016, di halaman 3 dengan judul “Brigjen TNI Divonis”.

Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161201kompas/#/3/