Bersuaralah…

Yudi Latif : Meniti Jembatan Rawan

Oleh : Dr. Yudi Latif

Direktur Sekolah Pancasila

Negara ini tak bisa dikatakan baik-baik saja. Ada gejolak kecemasan yang merambat di bawah selubung pencitraan. Kemana saja kita melangkah, sulit menemukan tumpuan yang kukuh. Ekonomi melemas, sektor riil memelas, impor menderas, kesenjangan meluas, demokrasi oligarkis, kepemimpinan mediokritas, birokrasi nirintegritas, pendidikan tak berkualitas, kohesi sosial meretas, agama mengeras, rasa saling percaya meranggas, kebanggaan nasional terjun bebas.

Ada banyak inkonsistensi antara wacana (voices) dan pilihan (choices). Yang dikeluhkan adalah defisit neraca perdagangan, pilihannya malah menjadikan hilir sebagai hulu dan hulu sebagai hilir, lebih mengagungkan inovasi perangkat hilir penjualan (digital marketing, platform) ketimbang pembenahan hulu sektor produktif. Yang didengungkan adalah penyehatan demokrasi, pilihannya malah pengukuhan oligarki dalam lembaga perwakilan dan kabinet. Yang diprihatinkan adalah pemudaran nilai-nilai kewargaan dan karakter bangsa, pilihannya malah rejim pendidikan pragmatis. Yang didambakan adalah pengembangan riset dan inovasi, pilihannya malah pemusatan riset pada negara tanpa mendorong inisiatif riset-inovasi dunia usaha dalam kerangka transformasi menuju knowledge economy.

Yang dikuatirkan adalah mengerasnya radikalisme agama, pilihannya malah politisasi kampanye anti-radikalisme agama dengan memproduksi stigma, yang dapat menguatkan identitas kelompok dan menjadikannya sebagai simbol perlawanan politik. Yang diinginkan adalah kohesi sosial, pilihannya malah framing wacana yang menciptakan pembelahan sosial. Yang diimpikan adalah kemajuan bangsa; pilihannya malah cenderung merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman, kurang memberikan insentif bagi para peneliti, pencipta, pendidik dan penulis, yang menekuni kedalaman di jalan sunyi.

Di berbagai kesempatan, para pejabat negara menyerukan revitalisasi Pancasila sebagai panasea atas berbagai kemelut kebangsaan. Namun, imajinasi terjauh dari pemasyarakatan Pancasila itu masih semacam penataran. Padahal, bila Pancasila itu dikehendaki efektivitasnya, maka ia harus diimplementasikan bukan hanya dalam kerangka tata nilai, melainkan juga dalam tata kelola negara, dan tata sejahtera.

Pancasila itu dimulai dari sila yang abstrak dan berakhir dengan yang konkrit. Makin konkrit makin sulit pembumiannya. Masalahnya, bilamana kita gagal mewujudkan yang konkrit, banyak orang akan menguatkan pegangannya ke langit abstrak, sebagai mekanisme pertahanan diri. Oleh karena itu, cara yang paling tepat untuk merevitalisasi Pancasila adalah dengan melakukan semacam reverse engineering (rekayasa terbalik). Kita harus menjadikan urusan keadilan sosial di posisi terdepan; sebagai lokomotif untuk menarik rangkaian gerbong aktualisasi sila-sila lainnya.

Sila Keadilan sosial merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila. Satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja ‘mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.

Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Kesungguhan negara dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan bisa dinilai dari usaha nyatanya dalam mewujukan keadilan sosial.

Betapun kuatnya jahitan persatuan nasional, bila ketidakadilan tak lagi tertahankan, perlawanan dan kecemburuan sosial akan meruyak dalam ragam ekspresi kekerasan dengan menggunakan baju identitas sebagai legitimasi simboliknya. Fakta-fakta empiris menunjukkan, daerah-daerah yang diwarnai oleh tingkat kemiskinan yang tinggi dan kesenjangan sosial yang lebar merupakan ladang persemaian yang subur bagi bibit-bibit kekerasan. Meluasnya rasa ketidakadilan juga bukan merupakan wahana yang kondusif bagi pengapresiasian gagasan inklusi sosial.

Tendensi perekonomian yang melandai dibarengi kesenjangan sosial yang lebar menyimpan bom waktu bagi bentrokan sosial. Rachel M. McCleany & Robert J. Barro dalam The Wealth of Religions (2019), mengingatkan bahwa peningkatan tingkat pendidikan dalam kemunduran perekonomian bisa melahirkan sumberdaya yang tak termanfaatkan (under-utilized human capital). Orang terdidik, dengan ekspektasi mobilitas vertikal, mendapati peluang usaha dan kerja yang menyempit, bisa berpaling pada kelompok-kelompok keagamaan militan sebagai jangkar keyakinan, identitas dan jaminan sosial.

Lewat symptomatic reading, penguatan radikalisme agama harus dipandang sebagai pertanda kelemahan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera dalam kehidupan bernegara. Pemerintahan yang bertanggung jawab, akan menjadikan itu sebagai sarana koreksi diri, ketimbang sekadar menyalahkan atau memperhadapkan sesama warganya.

Dalam meniti jembatan rawan ini tantangan terberatnya adalah memulihkan rasa saling percaya. Rasa saling percaya bisa dirajut melalui penguatan inklusi sosial berbasis keadilan sosial. Negara harus hadir mememuhi amanat pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945: “Negara—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Telah dimuat di Kompas, Kamis, 14 Nopember 2019.

Editor : Setyanegara

Rektor

*Rektor Baru ITB, Isu Radikalisme dan Matinya Otonomi Kampus*

(Dr. Syahganda Nainggolan, alumni T. Geodesi & Geomatika – ITB dan S2-Studi Pembangunan ITB)

Berbagai media menuliskan kampus tertua di Indonesia, Technische Hogeschool Bandoeng, alias ITB, yang tahun depan akan berumur se abad, luar biasa karena akhirnya mempunyai rektor perempuan pertama. Apakah “the presence is an essence?” Apakah keluarga besar ITB, termasuk alumninya bahagia?

Pemilihan Rektor ITB kali ini adalah pemilihan pertama di mana faktor akademik atau sudut pandang akademik tidak menjadi acuan utama. Hal ini puluhan tahun dilawan ITB ketika rezim Suharto di masa lalu ingin memaksakan semua kampus di Indonesia rektornya ditunjuk Suharto. Agar kampus2 dapat digunakan untuk kepentingan penguasa. Namun, Rektor2 ITB dan Senat Guru Besar kala itu berhasil berargumentasi dengan Suharto agar kebebasan kampus diberikan pada ITB. Dan memang ITB adalah satu satunya kampus yang di masa itu mempunyai otonomi kampus.

Apa itu sudut pandang akademik? Sudut pandang akademik adalah cara memandang dengan pendekatan kebebasan ilmiah. Kebebasan ilmiah adalah menyerahkan kebenaran pada objektivitas ilmiah. Objektivitas ilmiah adalah berpikir dan bertindak berdasarkan kaidah2 ilmu pengetahuan, yang kekuatan logik dan observasi-terverifikasi jadi acuan mutlak.

Sudut pandang akademik dan kebebasan ilmiah telah menjadi acuan seabad civitas akademika ITB mengemban tugas untuk membesarkan ITB menjadi kampus teknologi utama dan pertama di Indonesia, dan beberapa jurusannya menjadi salah satu bidang yang masuk kelas dunia, seperti jurusan Informatika.

Kebanggaan atas kebebasan ilmiah di ITB selama ini mampu mensubordinasikan berbagai fenomena dan gejala berpikir dogmatisme dan dianggap non “mainstream” . Berpikir dogmatism meski berkembang dikalangan mahasiswa maupun dosen ITB, namun ketika kembali dalam ranah kampus/universitas, semua mereka sepakat pada “mainstreaming” objektivitas ilmiah.

Pemilihan Rektor ITB kali ini, suasana kebebasan ilmiah bergeser kacau balau ketika ada indikasi beberapa unsur yang berpengaruh dalam pemilihan rektor, memainkan isu politik kotor untuk pemilihan rektor, yakni radikalisme. Kelompok2 ini sejak setahun lalu sudah mengembar-gemborkan ITB sebagai sarang radikalisme. Untuk itu digaung2kan pemilihan Rektor ITB harus melibatkan badan intelijen negara (BIN) dan badan nasional penanggulangan terorisme (BNPT). Islamophobia didorong untuk menjadi isu sentral ketimbang isu kebebasan ilmiah dan kancah prestasi ITB dalam riset dan kemajuan industri.

Resonansi yang diharapkan kelompok2 ini adalah agar kekuasaan rezim Jokowi, yang mempunyai veto 35% suara pada pemilihan rektor, digunakan untuk memenangkan calon rektor yang sejalan dengan “kode” anti radikalisme tersebut.

Untuk menjaga ITB sebagai institusi ilmiah, sejak dahulu, keabsahan berpikir ilmiah itu digariskan oleh senat guru besar ITB. Senat guru besar ITB masa itu adalah kebanggan dan keagungan sebuah perguruan tinggi. Saat ini, fungsi senat guru besar itu digantikan senat akademik, sebanyak 59 orang, yang mana senat guru besar tetap menjadi bagian didalamnya.

Dalam pemilihan Rektor ITB, senat akademik dipercaya untuk menentukan kelayakan calon rektor. Dari 100 an calon rektor ITB baru ini, senat akademik secara hati hati menseleksi calon rektor. Pada tahap pertama, calon rektor diseleksi dari 100an calon menjadi 30 calon. Lalu, dari 30 calon menjadi 10 calon. Lalu, dari 10 calon menjadi 6 calon dan lalu seleksi lagi, akhirnya ditetapkan menjadi 3 calon. Proses seleksi dari institusi senat akademik atau dari orang2 yang memiliki klaim sebagai masyarakat ilmiah, atau dari simbol logik dan kebenaran ilmu pengetahuan, keluarlah 3 nama, yakni Professor Kadarsyah Suryadi, Professor Jaka Sembiring dan Professor Reini Wirahadikusumah. Posisi voting ilmiah yang objektif ini diberikan kepada Kadarsyah sebanyak 28, kepada Jaka Sembiring 10 dan Reini 10 suara. Sisanya terbagi pada calon terbawah.

Setelah 3 calon, pemilihan berikutnya diserahkan ke Majelis Wali Amanah (MWA), sebuah institusi yang tidak ilmiah lagi, di mana Mendikbud dan Gubernur, sebagai anggota, dan beberapa lainnya mewakili masyarakat, di luar anggota senat akademik.

*_Mengapa otonomi kampus ITB dimatikan?_*

Ketika Kadarsyah dipilih senat akademik sebagai calon rektor terbaik, namun tidak dijadikan rektor oleh kekuatan MWA dan negara, maka kita mengetahui bahwa upaya anggota senat akademik (59 orang) itu, terbentur kekuasan Jokowi, yang melihat isu radikalisme lebih penting bagi penentuan rektor ITB. Pada saat uji kelayakan publik akademik ITB, oleh MWA, di kampus ITB, Kadarsyah memperlihatkan keunggulan mutlak, dengan mengantongi voting 358 suara, Jaka Sembiring 150 suara dan Reini hanya di papan bawah, 81 suara. Meski suara ini bersifat setengah sakral, karena itu suara diluar senat akademik, namun pada saat Senat Akademik memilih calon menjadi 3, suara, Kadarsyah tetap yang tertinggi.

Pada pemilihan secara politik di kantor Menteri Pendidikan, 8/11/2019, Reini menang dalam pemilihan. Inilah sebuah ironi, di mana Kadarsyah dengan modal 48,28% kalah dari Reini yang bermodalkan 17,24% saja.

Apa penjelasan yang ingin diketahui terkait ini? Dari sisi akademik kita sudah selesai, Kadarsyah terbaik, sedangkan Jaka Sembiring dan Reini jauh di bawahnya. Jadi kemenangan Reini adalah kemenangan non pendekatan akademik. Apakah karena dia wanita?

Di ITB isu jender bukanlah isu objektif. Objektivitas ilmiah tidak membatasi kebebasan perempuan seperti dalam ajaran dogmatis, misalnya. Lalu, apakah yang menarik untuk difahami? Tentu saja isu radikalisme tadi.

Isu radikalisme kampus, dalam “hearing” 3 calon rektor itu, pada 2 November, ketika ditanyakan soal radikalisme, kandidat rektor Kadarsyah dan Jaka Sembiring mengangkat bendera merah, sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan Reini bendera hijau. Bendera merah artinya mereka menganggap isu radikalisme tidak mainstream di ITB, sebaliknya bendera hijau menunjukkan, sedikitnya, ada. Nah kode merah versus hijau ini adalah kunci bagi pemerintah Jokowi untuk mengetahui siapa yang pro pada isu anti radikalisme di kampus dan siapa yang tidak.

*Penutup*

ITB adalah sebuah kampus yang sudah ada di Indonesia sebelum negara Indonesia ada. ITB juga yang mencetak Ir. Sukarno menjadi pemimpin radikal di Indonesia dan sekaligus negara2 Asia-Afrika. Sehingga isu radikalisme di ITB sesungguhnya isu murahan. Isu murahan ini dicoba mainkan oleh kelompok2 tertentu yang ingin mengaitkan kampus pada radikalisme. Pada tataran masyarakat ilmiah, atau senat akademik, ITB masih waras, terbukti dengan menihilkan isu itu sebagai pertimbangan memilih calon rektor. Senat akademik lebih melihat visi kebangkitan kampus sebagai “entrepreneurial University”, disamping sebagai tulang punggung riset dan teknologi.

Sayangnya, kampus ITB bukan lagi institusi otonom, yang bebas dari intervensi kekuasaan. Kampus saat ini harus tunduk pada keinginan rezim dalam menjalankan isu anti radikalisme. Situasi ini akan berdampak buruk buat ITB, setelah 100 tahun berdiri, di mana kebebasan ilmiah dan objektivitas terpinggirkan.

Tepuk tangan kita tentang kehadiran perempuan yang pertama kali sebagai Rektor ITB, dari uraian di atas, harus direnungkan kembali, apakah hanya sekedar “presence” (kehadiran), bukan sebagai “essence” (esensi)?