PITUAH ADAIK BADUNSANAK

Dunsanak Samo di Paliharo.
Kalau Ratak, Ratak Tanah,
Usah Bak Rataknyo Galeh,
Kalau Cabiak Cabiak Bulu Ayam
Usah Cabiak Daun Kaladi,
Kalau Pacah Pacahnyo Aia,
Jan Sampai Takah Pacahnyo Batu,
Coitu Bana Nak Samo Manjago

Dunsanak Sakampuang
Samo Manjago Kampung.
Dunsanak Sapasukuan
Samo Manjago Dalam Suku..
Bak Awua Jo Tabiang
Sanda Manyanda Kaduonyo..

Adaik Hidup Tolong Manolong…
Adaik Mati Janguak Manjanguak…
Adaik Manusia Samo Munfakaik…
Cilako Manusia Dek Silang Sangketo…

Kok kurang Tukuak Manukuak’i..
Kok Sampik Lapang Malapangi…
Kok Condong Tungkek Manungkek’i…
Kok Rabah Tupang Manupangi…

Tatilantang Samo Minum Aia.
Tatilungkuik Samo Makan Tanah…
Tarapuang apuang samo hanyuik
Tarandam randam samo basah .

Sarimpang bak kunik.
Sarumpun bak batuang.
Sakabek sagulung bak siriah.
Saikek bak umpamo sapu lidi.

Sarumpun bak Sarai.
Satampuak bak pinang.
Saciok nan bak ayam.
Sadanciang bak basi.

Sakain ,sabaju,
salapiak sakatiduran.
Sabanta sakalang hulu.
Susah sanang Samo di raso

Titiak Samo di tampungan
Maleleh Samo di palik.
Sanyao balain badan.
Bak saparuik saparindua’an.
Kaba baiak bahimabauan,
kaba buruak bahambauan.

BAK UMPAMO
Hanyuik Samo di pinteh
Hilang Samo di cari
Tabanam Samo di silam
Tarandam Samo basah
Ta hampai Samo kariang
Tagamang samo dijawek
Taisak samo dipujuak
Sakik samo ma aduah

Tuah Samo Sakato
Hino Samo menutupi

Jauah cinto-macinto
Dakek jalang manjalang
Singkek Samo mauleh
Panjang Samo mangarek
Senteng bilai mambilai.

Baitu adaik badunsanak kito urang minang…

Wassalam..
Samoga bamanfa’aik

Salam arek badunsanak🤝🙏

Minang Marentak

Minang Marentak; Saling Berwasiat dengan Ade Armando

Catatan : menurut info sumber ini adalah tulisan Gamawang Fauzi, mantan Mendagri era Presiden SBY

Mungkin inilah yang menjadi landasan pikir dari pernyataan sikap MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang mencoret nama Ade Armando sebagai orang Minang. Sikap komunitas masyarakat Minang dalam menyikapi reaksi Pemda Sumbar, MUI, MTKAAM dan yang lainnya, bisa saja dipertanyakan oleh banyak orang atau kalangan. Bisa dituduh intoleran dalam ber NKRI, diaggap sok agamis, berpandangan sempit dan terbelakang.

Saya masih ingat. Ketika menjadi Bupati Solok 20 tahun lalu, awal otonomi daerah diberlakukan, saya membuat tiga Perda Syariah, bersama DPRD yang materinya dibantu oleh MUI Kabupaten Solok, waktu itu dipimpin oleh ustad Gusrizal Gazahar. Tiga Perda itu adalah Perda Pakaian Muslimah, Perda Wajib Pandai Baca Tulis Alqur’an dan Perda Zakat.

Beberapa kalangan yang mengaku intelektual muslim atau muslim intelektual memprotes. Akhirnya, saya layani dengan debat atau dialog di salah satu stasiun TV swasta nasional di Jakarta.

Debat itu cukup lama dan hangat. Di ujung debat, saya katakan kepada profesor perempuan itu bahwa dalam sistem otonomi ini, pusat harus memberi ruang yang cukup kepada daerah untuk memelihara nilai-nilai lokalnya, sepanjang tak bertentangan dengan kepentingan nasional.

“Dalam hal ini, kepentingan nasional apa yang kami langgar. Seharusnya anda menghormati kebijakan kami yang 99,99 persen beragama Islam, dan berusaha memperkuat kehidupan islami yang diyakini masyarakat kami. Agar masyarakat hidup dalam ketentraman, kenyamanan dan kebahagiaan. Apalagi aturan itu juga disebutkan hanya untuk warga yang beraga Islam. Anda sendiri sekarang berhijab, kenapa anda tidak buka saja hijab itu,” begitu kata saya kepadanya waktu itu.

Sebagai tambahan perbandingan, bukan hanya di era otonomi saja, sejak dulu sampai sekarang siapa saja yang tengah berada di pulau Bali saat acara Nyepi, pasti ikut menghormatinya. Bahkan pesawatpun tunda berangkat beberapa saat.

Kenapa hingga kini tak pernah ada yang protes. Kenapa untuk kami anda protes? Itulah akhir dialog tersebut, karena waktu sudah habis.

Saat ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dibawah semboyan NKRI harga mati, banyak yang berlebihan menyikapi sesuatu.

Hanya karena punya gelar akademik seabreg, atau merasa jadi tokoh nasional, mereka membuat tafsiran yang berlebihan terhadap sesuatu. Bahkan men-judge orang lain berpikiran dangkal, sempit, radikal, dungu, dan sebagainya.

Begitupun dengan pernyataan Dr Ade Armando, dosen UI saat mengomentari permintaan Gubernur Sumatera Barat untuk menutup situs injil berbahasa Minang kepada Menkominfo. Dia mengatakan bahwa orang Minang terbelakang dan lebih Kadrun daripada Kadrun, padahal dulu banyak menghaslkan orang orang pintar.

Pernyataan itu mendapat reaksi yang luas di kalangan masyarakat Minang. Tak kurang dari Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar Lc MA, mengeluarkan pernyataan yang sangat berkelas. Kata Buya Gusrizal, para pemimpin asal Minang, lahir dan dibesarkan di surau. Surau adalah tempat belajar Alquran. Alquran itu adalah Kitabullah. Itulah yang menjadi filosofi masyarakat Minang, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Ketua MTKAAM, Irfianda Abidin lebih keras lagi. Beliau menyatakan mencoret nama Ade Armando sebagai orang Minang. Dan ada pula yang menantang Ade Armando untuk diskusi terbuka.

Di kalangan masyarakat luas yang umumnya terlibat dalam Sosial Media, juga merasa gerah. Banyak group WhatApp yang saya ikuti memperbincangkan dan merasa tersinggung dengan pernyataan Ade Armando itu. Walaupun seperti biasa, tentu juga ada yang diam dan bahkan membela. Tapi jumlahnya tak banyak.

Kenapa orang Minang tersinggung? Maaf… Kalau ada ucapan yang sama untuk suku bangsa lain di negeri ini, apakah masyarakatnya juga tersinggung?

Pertanyaan itu dilontarkan kepada saya dari seorang teman yang bukan berasal dari Minang.

Saya jawab, tergantung kepada suku bangsa mana pernyataan itu di alamatkan dan apa pernyataannya.

Kalau anda menghina Hindu kepada suku bangsa Bali, saya kira mereka juga akan tersinggung.

Setiap kelompok masyarakat, apalagi suku bangsa, mempunyai filosofi dalam hidup mereka. Filosofi atau falsafah hidup itu selalu menjadi rujukan dalam bersikap, berbuat dan bertingkah laku.

Bagi komunitas sosial yang kuat memegang filosofi itu, maka pelanggaran atasnya dapat dibuang dalam pergaulan sosialnya. Orang Minang menyebut, “dibuang sepanjang adat”. Tidak diikutkan sehilir semudik. Tidak diajak baiyo batido, dan tak lagi memperoleh hak waris adat. Atau dalam bahasa lugasnya “tak lagi dianggap ada dalam masyarakat”, tak ditegur sapa.

Itu hukum sosial yang hidup/The living law of the people.

Kemudian muncul pertanyaan, adat Minang punya aturan, bahwa Adat salingka Nagari, Pusako salingka kaum. Kenapa komunitas masyarakat Minang bisa memberi sanksi sosial, seperti tidak diakui, dicoret sebagai orang Minang atau dibuang sepanjang adat?

Memang benar, tapi ada yang disebut Adat sebatang panjang. Yang memuat prinsip-prinsip dasar adat secara menyeluruh dan berlaku bagi semua masyarakat Minang, dan seluruh Nagari di Minangkabau.

Maka, sudah menurut adat apabila Ade dibuang sepanjang adat. Apalagi jika ditelisik dari perilaku, kurenah.

Ada orang punya kurenah merasa paling pintar, paling terpelajar, paling maju berfikirnya. Mereka marasa menjadi bagian masyarakat dunia yang luas dan modern, sementara orang lain dianggap Kadrun, karena membawa bawa agama. Kadrun menurut Ade, adalah pikiran sempit dan radikal.

Bahkan orang-orang seperti ini kadang merasa paling NKRI dan paling Pancasila. Sehingga menganggap kalau sudah paling Pancasila dan paling NKRI, mereka juga tak tersentuh hukum.
Penyakit “merasa” belakangan ini tumbuh di beberapa kalangan. Dan merasa sangat jumawa, semua dikomentari dan semua dilawan. Saya tak mengerti, gejala apa pula ini?

Ada pula sebagian masyarakat kita dewasa ini yang berfikir bahwa kalau ada yang merujuk-rujuk ajaran Islam, merupakan indikator kebodohan dan keterbelakangan. Bahkan anehnya, seorang guru besar bidang agama sampai sampai meminta agar pelajaran agama dihapuskan saja, bila ingin negara ini maju.

Dalam alam demokrasi, melahirkan pendapat, pikiran dan menyampaikan argumentasi adalah sesuatu yang sah dan dijamin Undang Undang Dasar 1945.

Di Minangpun hal itu justeru menjadi sesuatu keniscayaan sejak zaman nenek moyangnya. Bahkan tak kurang Almarhum Nur Cholis Majid mengatakan, kalau ingin berdemokrasi belajarlah ke Minangkabau.

Orang Minang menganut paham, Basilang Kayu dalam tungku, baitu api mangko iduik. Duduak surang basampik sampik, duduak basamo ba lapang lapang.

Tapi setiap pendapat harus di sampaikan dengan cara-cara yang berakhlaq dan ber etika.
Orang Minang menyebut “Tau Di Nan Ampek”, bukan selonong boy saja! Ada jalan mandaki, ada jalan manurun, ada jalan malereang dan ada jalan mandata.

Tau sopan santun. Tau ereang jo gendeang, tau rantiang ka mancucuak, tau dahan ka ma impok. Tak peduli terpelajar dan bergelar pendidikan yang tinggi, tapi semua terdidik dan “bataratik”, berasal dari kata tertib.

Orang Minang tak pernah berlebih-lebihan menghargai orang kaya, berpangkat atau nekad pemberani. Orang Minang mengatakan, kok kayo, kami indak mamintak. Kok pandai kami tak ka batanyo. Kok bagak kami tak ka bacakak/berkelahi. Tapi kalau berbudi, kami segani.

Bagi masyarakat Minang yang bermental mandiri, sikap tak tergantung kepada orang lain adalah prinsip. Dengan sikap kemandiriannya itu, orang Minang biasanya juga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka berbaur dengan masyarakat dimana dia bertempat tinggal.

Mereka bukan suku bangsa eksklusif. Lihatlah diseluruh penjuru bumi, mana ada kampung Minang. Sementara ada kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Bugis, kampung Jawa, kampung Bali dan lain sebagainya. Karena filosofi hidup mereka, dima bumi dipijak, disitu langit di junjung. Dima ayia disawuak, disitu rantiang di patah.

Karena itu, penyataan Ade Armando yang menyinggung “puncak kada”, buat masyarakat Minang terasa menyakitkan sekali. Bisa dipahami pula, kalau orang Minang kemudian “marentak” (meminjam istilah Ery Mefri, sang Maestro Tari/gerak), yang bisa diartikan marah sambil menghantam kaki.

Jangan bicara sok hebat dengan masyarakat Minang yang sejak zaman bahela sudah berfikir Jauh ke depan (out ward looking) dan jauh ke luar (out of the box).

Tak usah merasa paling pintar, karena orang Minang yang berbasis surau itu, sejak dahulu saja sudah banyak yang menguasai belasan bahasa. Tan Malaka menguasai 14 bahasa, Agus Salim 13 bahasa dan sudah merantau, jauh ke mancanegara, sementara Republik ini belum lagi ada.

Siapa pendiri kota Manila, bukankah Raja Sulaiman yang berdarah Minang, yang patungnya berdiri di Kota Manila?

Siapa pencipta lagu Nasional Singapore? Bukankah orang Minang? Dan banyak contoh lagi yang terlalu panjang untuk saya sebutkan.

Tapi baca juga buku Payung Terkembang, yang ditulis Abdul Samad, orang Malaysia, bagaimana raja-raja Minang dijemput untuk jadi raja di Malaysia dimasa lalu.

Ade Armando yang mengkritisi sikap Gubernur Sumatera Barat, mungkin tak paham bagimana berjalin berkulindannya antara Adat dan Pemerintahan di Sumatera Barat. Gubernur itu pemimpin formal, tapi sekaligus pemimpin in formal, yang ditinggikan se rantiang dan di dahulukan selangkah oleh masyarakat. Walaupun tak dilegalkan seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lihatlah bagaimana nagari di Minangkabau, bukan hanya sebagai wilayah administratif tapi juga sebagai komunitas adat. Itu diakui dalam Undang Undang Desa.

Saya perlu mengingatkan Ade Armando, kalau lupa, bahwa di dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945, disebut secara ekplisit, Nagari Di Minangkabau, sebagai contoh.

Jika Ade Armando merasa hebat, hebat sajalah, atau silakanlah hebatnya. Jangan dibesarkan lampu sendiri, tapi dipadamkan lampu orang lain.

Presiden Jokowi mengangkat isu Revolusi Mental sejak periode pertama, jika Ade dan kita mendukung program tersebut, tentu sikap yang merendahkan itu kontradiktif dengan program pemerintahan Jokowi. Karena mental kita mestinya mental berketuhanan, bekemanusiaan, ber persatuan Indonesia, berhikmah kebijaksanaan dan berkeadilan.

Saya kira Ade Armando paham, bahwa di Minangkabau mungkin ribuan jumlah orang bergelar doktor dan profesor. Tapi mereka tak menyakiti, mereka berbagi ilmu, mereka bertutur kata pantang menyinggung. Karena orang Minang paham betul, setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan.

Kata orang Minang, tak ada kayu yang terbuang, kok pakak palatuih badia, kok buto pa ambuih lasuang, kok lumpuah pausia ayam.

Menurut saya, itulah sikap profesional, karena manusia tidak tau semua hal, no body is perfect. Dan karena itu pula pula tumbuh sikap rendah hati dan tawadhu’ dan saling menghargai.

Sekarang, kaki lah ta langkahan, tapijak arang, hitam tapak kata orang Minang. Bila berat rasanya minta maaf, saya hanya berharap, cukuplah sampai disini mencederai orang lain atau komunitas lain.

Kita ini sebagai manusia ada keterbatasan pengetahuan. Ade mungkin hebat dalam teori komunikasi bahkan bergelar doktor. Orang lain tentu hebat pula di bidangnya masing-masing.

Demi Allah, saya tak bermaksud mengajari Ade, disamping tak pantas, saya bukan orang yang lebih, juateru banyak kekurangan. Saya hanya ingin mengingatkan, agama saya mengajarkan, saling mengingatkan dengan kebenaran, kesabaran dan kasih sayang.

Karena saya menyayangi Ade Armando sebagai seorang guru mahasiswa, yang akan di gugu dan di tiru, seorang terdidik dan terpelajar, saya merasa rugi dan juga mungkin bangsa ini bila nanti tak lagi dianggap seperti itu.

Untuk masyarakat Minang, dengan rendah hati saya meminta, kita maafkanlah Ade Armando sekali ini. Pemaaf itu lebih baik kata Allah.

Mari kita terus berbenah meraih kemajuan Duniawi dan ukhrawi. Mudah mudahan kita memperoleh Fiddun ya hasanah, wa fil akhirati hasanah, waqina azabannaaar.

Masyarakat Minang tak usah ikut mencela. Kita diingatkan Allah dalam Alquran, wailullikulli humazatillumazah dst, Celakalah bagi pengumpat dan pencela.

Mari kita lanjutkan kehidupan Ranah Minang yang makin Islam, dalam negara Kesatuan Republik Indoneia ini yang kita cintai.

Kita tentu ingat, betapa kakek, nenek kita berandil besar dalam mendirikannya. Ingat angku kita Tan Malaka, Agus Salim, St. Syahrir, Imam Bonjol, M. Natsir, Buya Hamka, Rahmah El Yunusiah, Rasuna Said, St Moh Rasyid, Bung Hatta sang Proklamator dan ratusan lainnya yang tak saya sebutkan satu persatu.

Angku atau kakek Nenek kita yang bersaham dalam mendirikan republik ini cintanya selaras antara kampung halamannya dan Indonesia. Cintanya pada Tanah Air tak menyurutkan cintanya kepada kampung halaman secara subjektif, seperti kata Einstein.

Soal bernegara, Bung Hatta pernah mengutip kalimat Ernes Renan di sidang KMB; “Ada satu negeri yang menjadi negeriku, negeri itu tumbuh dengan kekuatan, kekuatan itu ada di tanganku.”

Mereka memegang keduanya sama sayangnya.

Mari kita lanjutkan kehidupan masyarakat Minangkabau dan masyarakat Indonesia dengan taat aturan, damai dan taqwa.(tm)

Buya AR Sutan Mansur: BINTANG BARAT DAN IMAM MUHAMMADIYAH SUMATERABy Suara Muhammadiyah

Buya AR Sutan Mansur, Buya Ahmad Rasyid Sutan Mansur

Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Buya AR Sutan Mansur nama lengkapnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam senin 26 Jumadil Akhir 1313 Hijriah, bertepatan 15 Desember 1895 Masehi. Anak ketiga dari tujuh bersaudara merupakan karunia Allah pada kedua orang tuanya, yaitu Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah tokoh dan guru agama di kampung Ai Angek (Air Hangat), Maninjau.

Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari kedua orang tuanya. Selain itu, untuk pendidikan umum, ia belajar di Inlandshe School (IS) tahun 1902-1909. Di sini ia belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studinya di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukittinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun, tawaran tersebut ditolak karena ia lebih tertarik untuk mempelajari agama, disamping itu ia sudah dirasuki semangat anti-penjajah Belanda.

Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajah tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia akan tetapi bahkan seringkali berupaya menghadang dan mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi seperti dengan membantu pihak-pihak Zending atau Missi Kristen dalam penyebarluasan agamanya.

Maka, tidak mengherankan bila pada tahuh 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Hindia Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yagn tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang maghrib.

Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr Abu Hanifah) ia belajar kepada Haji Rasul (Dr Abdul Karim Amrullah, ayahnya Buya HAMKA), seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Di bawah bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia belajar ilmu Tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, Al-Qur’an, tafsir, dan hadis dengan mustolahnya.

Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr. Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya Hamka serta diberi gelar Sutan Mansur. Setelah kemudian ia dikirim gurunya ke Kuala Simpang, Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun di Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.

Buya AR Sutan Mansur: Bintang Barat dan Imam Muhammadiyah Sumatera
Haji Mochtar, Junus Anis, dan Sutan Mansur di Minangkabau Dok Pusdalit SM
Terjadinya pemberontakan melawan Inggris di Mesir menghambat keinginannya untuk melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo, karena ia tidak diizinkan pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.

Kegelisahan pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan KH Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama-sama para pedagang dari Sungai Batang, Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah di Pekalongan.

Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan di Sumatera Barat, yaitu agar umat Islam kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat umat Islam terbelakang dan tertinggal dari umat-umat lain. Selain itu, ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban usai menunaikan shalat Idul Adha dan membagikannya kepada fakir miskin.

Pada tahun 1923, Sutan Mansur menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tablih serta menjadi guru agama.

Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menatan Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.

Pada tahun 1927 bersama Fakhruddin, Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekatan raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan Cabang-Cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mandawai, dan Amuntai. Dengan demikian, anara tahun 1926-1929 tersebut Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.

Selain di Muhammadiyah, Sutan Mansur sebagaimana KH Ahmad Dahlan pada dasawarsa 1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin organisasi bagi anggota yang merangkap di Muhammadiyah.

Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap keresidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Karena itu, pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah Minangkabau (Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944. Bahkan, sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumatera dan Jawa.

Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Mubalighin Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini, dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang bertugas menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minagkabau dan daerah-daerah sekitar. Kelak, mubaligh-mubaligh ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda persyarikatan Muhammadiyah. Sutan Mansur, oleh Konsul-Konsul daerah lain di Sumatera, dijuluki Imam Muhammadiyah Sumatera.

Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938, Sutan Mansur menjadi penasehat agama bagi Bung Karno. Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi salah seorang anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat. Setelah itu, sejak tahun 1947 sampai 1949 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukittingi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.

Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1950, ia diminta menjadi penasehat TNI Angkatan Darat dan harus berkantor di Markas Besar Angkatan Darat. Namun, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera untuk bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Sukarno memintanya lagi menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukittingi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya. Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.

Dalam kongres Masyumi tahun 1952, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkan oleh Presiden Sukarno. Tahun 1958 ketika pecah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, ia berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno, meskipun peran yang dimainkannya dalam pergolakan itu diakuinya sendiri tidak terlalu besar.

Buya AR Sutan Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua kali periode kongres. Kongres Muhammadiyah ke-32 di Banyumas, Purwokerto tahun 1953 mengukuhkannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode 1953-1956. Karena itu, ia harus pindah ke Yogyakarta. Pada Kongres Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi Ketua PB Muhammadiyah periode 1956-1959.

Pada masa kepemimpinannya, upaya pemulihan ruh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal. Pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam ruh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhi. Kedua, mengusahakan buq’ah mubarokah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada wal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunnah hari Senin dan Kamis, juga pada tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan taqwa. Selain itu, juga diupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara Majelis dan Cabang atau Ranting banyak diselengarakan

Saat beliau memimpin, Muhammadiyah berhasil merumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1956-1959 atau yang populer sebagai Khittah Palembang, yaitu:

Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tahid, menyempurnakan ibadan dengan khusyu’ dan tawadlu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan,d an menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab
Melaksanakan uswatun hasanah
Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi
Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak
Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader
Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk mengantisipasi terjadi keretakan dan perselisihan
Menuntun penghidupan anggota
Msekipun setelah 1959 tidak lagi menjabat sebagai ketua, Buya AR Sutan Mansur yang sudah mulai uzur tetap menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke periode. Ia, meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat, konferensi, Tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah tetap menjadi guru pengajian keluarga Muhammadiyah.

Buya AR Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya, antara lain berjudul Jihad, Seruan kepada Kehidupan Baru, Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim, dan Ruh Islam, nampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islan ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan Al-Qur’an dan hadis.

Buya H Ahmad Rasyid Sutan Mansur meninggal Senin 25 Maret 1985 bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang Ulama, da’i, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap Ahad pagi senantiasa memberikan pelajaran agama terutama tentang tauhid di ruang pertemuan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Jenazah almarhum Buya dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan setelah dishalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah.

Buya Hamka menyebutkan sebagai seorang ideolog Muhammadiyah. Dan, M Yunus Anis dalam salah satu Kongres Muhammadiyah mengatakan, bahwa di Muhamamdiyah ada dua bintang. Bintang timur adalah KH Mas Mansur dari Surabaya, dan bintang barat adalah Buya AR Sutan Mansur dari Minangkabau, Ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.

Sumber: Profil 1 Abad Muhammadiyah

Sekitar Prof Achmad Muchtar.

Dari sebuah fwd di wag… Saya tidak sempat memverifikasi kebenarannya. Silakan sekedar utk bahan bacaan.

Prof Dr Achmad Mochtar
Ahli Virus dan Bakteri

Selama ini kita mungkin tidak mengenal sosok Prof. DR. Achmad Mochtar, yang namanya diabadikan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Barat sebagai nama RSUD Provinsi Sumatera Barat pada bekas Rumah Sakit Militer Belanda di Bukittinggi

Namun siapa yang tahu, mengapa nama orang besar putra Bonjol Pasaman di abad modern ini yang mengetahuinya

Seperti apa kiprah dan bagaimana tragis kematiannya, bahkan kampung kelahirannya pun banyak orang tidak mengetahui.

Mari telusuri jejak dan rumah kelahiran sang “Doktor Ahli Virus dan Bakteri pertama Indonesia berkelas Dunia” itu, ke kampung halamannya di Nagari Ganggo Hilia Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman.

Bersama Bupati Pasaman Yusuf Lubis, mengunjungi rumah tua dokter Achmad Mochtar, kami diterima oleh dua orang cucunya (garis keturunan ibu), dr. Rubaiyat Proehoeman (64) yang akrab disapa ‘dokter rubi’, dan Prof. DR. Siti Chairani Proehoeman (68), senias dan dosen seriosa mancanegara.

Siti Chairani memaparkan bahwa Achmad Mochtar lahir pada pada tahun 1892 dari pasangan Omar dan Roekayah di Ganggo Hilia kecamatan Bonjol.

Omar sang ayah adalah seorang guru yang berasal dari Mandahiling (Prov. Sumut sekarang) sedangkan Roekayah adalah putri asli Bonjol cucu seorang Laras Hoof (Ketua Laras se-Minangkabau).

Sewaktu masih kecil Achmad Mochtar sering dibawa pindah orang tuanya yang seorang guru (dimutasi), tempat tugasnya, dan akhirnya Achmad Mochtar melanjutkan sekolah menengah, semacam SMA sekarang di Batavia.

Setelah tamat sekolah menengah, pada tahun 1916 Achmad Mochtar melanjutkan studinya ke Sekolah Dokter STOVIA di Batavia. Setelah tamat sekolah dokter di Stovia beliau melanjutkan kuliahnya di Amsterdam University Belanda.

Achmad Mochtar dapat menyelesaikan disertasinya pada tahun 1927 dengan hasil penelitiannya membantah (sangkalan) bahwa Leptus Spera bukanlah penyebab penyakit kuning/lever, sehingga beliau berhak menyandang gelar Doktor pada bidang Bakteri Tropic dari Amsterdam University tersebut.

Selesai meraih gelar doctor tersebut (1927) beliau kembali ke tanah air dan dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda di laboratorium yang ada di tanah air, seperti di Bukittinggi, Padang, Bengkulu, Semarang dan Batavia.

Pada masa selanjutnya, atas hasil penelitiannya terus menerus dan menulis buku-buku dibidang kedokteran, terutama terkait keahliannya itu,

Achmad Mochtar dianugerahi gelar Guru Besar (Profesor) di Perguruan Tinggi yang sama (Belanda).
Pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengangkatnya sebagai direktur The Central Medical Laboratory, kemudian lembaga ini bertukar nama menjadi Eijkman Laboratory.

Prof.DR. Achmad Mochtar, diangkat juga sebagai dosen dan sekaligus sebagai wakil rektor STOVIA, sementara rektornya adalah orang Belanda.
Di angkat sebagai kepala laboratorium sekaligus wakil rektor STOVIA adalah sebuah prestasi yang gemilang bagi rakyat pribumi karena tidak sembarang orang yang dapat dipercaya memegang kedua jabatan penting tersebut, apalagi bagi rakyat inlander semasa itu.

Petaka itupun tiba sewaktu tanah jajahan Hindia Belanda dirampas oleh tentara Jepang (1942), dan Jepang mendirikan Pemerintahan Militer.
Pada pemerintahan militer Jepang itu, banyak terjadi penyiksaan dan romusha dilaksankan, dibalik semua penyiksaan dan romusha ini teremban misi jahat Jepang untuk menghabisi orang-orang kita.

Salah satu program Jepang tersebut adalah menebarkan virus/bakteri TCD (Typhus Cholera Dysentery) di tahun 1944 ke seluruh orang kita, terutama yang dipekerjakan sebagai kuli paksa (romusha) tersebut.

Untuk membuat produksi virus/bakteri itu, militer Jepang memaksa Achmad Mochtar laboratoriumnya memproduksi sebanyak -banyaknya virus/bakteri tersebut.

Namun Achmad Mochtar menolak kedua perintah militer Jepang tersebut, karena tidak mungkin dia mengkhianati dan membunuh bangsanya sendiri dengan memanfatkan keahlianya itu, karena selama ini dia meneliti dan mendalami berbagai bakteri tropis untuk membuat pencegahan dan berbagai macam obat supaya anak bangsanya tidak terjangkit penyakit yang berujung kematian akibat berbagai macam bakteri yang hidup subur di daerah berhawa topis seperti Indonesia, namun
virus tcd tersebut tetap disebar oleh tentara Jepang yang entah dari mana asalnya, untuk menghindari tuduhan sebagai “penjahat perang” yang mungkin saja pada suatu ketika nanti akan dibocorkan oleh Achmad Mochtar,

Jepang meng kambing hitamkan Prof.DR. Achmad Mochtar dengan laboratorium yang dipimpinnya sebagai produsen virus/bakteri TCD (Typhus Cholera Dysentery) dan sekaligus sebagai penebarnya.

Atas tuduhan yang direkayasa Pemerintahan Militer Jepang tersebut maka laboratorium itu ditutup paksa dan seluruh staf laboratorium itu diancam bunuh oleh Jepang.

Karena merasa tidak berbuat atas tuduhan Jepang itu ‘si Jenius’ putra Bonjol ini melakukan pembelaan dan melindungi seluruh stafnya.

Namun fakta bercerita lain atas adatnya “si penguasa-Fasis”. Tuduhan terhadap Prof.DR. Achmad Mochtar, staf dan labournya tak mengalami perubahan.

Akhirnya hukuman tetap dijalankan, sejumlah dokter dan ilmuwan ditawan untuk dieksekusi mati oleh tentara Jepang dengan tuduhan melakukan sabotase.

Setelah lebih dari 1.000 romusha di Klender, Jakarta tewas usai divaksin TCD (Typhus Cholera Dysentery) dengan rasa tanggung jawab selaku seorang pimpinan dan jati dirinya ‘Sang Profesor bakteri berkelas dunia dan yang pertama dari Asia’ ini mengambil sikap, daripada anak buah dan kawan- kawan penelitinya yang menjadi korban keganasan militer Jepang maka dia meminta para peneliti dibebaskan dengan taruhan merelakan dirinya untuk menjalani eksekusi.

Dan Achmad Mochtar di eksekusi pada 3 Juli 1945, dari informasi yang berkembang selama ini diduga Prof.DR. Achmad Muchtar dibunuh Militer Jepang dengan cara dibantai.

Menurut Siti Chairani, dengan mata yang berkaca-kaca menuturkan sebagaimana yang diceritakan oleh ibunya (keponakan Achmad Muchtar), bahwa kakeknya itu dibunuh lebih tragis, lebih kejam lagi seperti yang diduga tersebut.

Sebetulnya dengan cara digilas pakai mesin stomboal (mesin pelican pengaspal jalan) bertenaga uap.

Siti Chairani melanjutkan kisahnya, setelah kakeknya itu digilas bolak balik dengan mesin stomboal, barulah Jepang memanggil ibunya Achmad Mochtar untuk menjemput pakaian yang dipakai beliau yang sudah lumat dan berdarah-darah itu.

Dari kesaksian ibunya Chairani, pakaian yang dijemput tersebut sudah hancur dan tidak berbentuk lagi, tak ubahnya sudah seperti daun dimamah ulat.

Achmad Mochtar pergi tak meninggalkan bekas, kalaupun ada nisannya di Ereveld, Ancol atau di Verzamelgraf Antjol, sekalipun di Makam Pahlawan Kalibata tak lebih hanyalah pajangan tulisan saja.

Achmad Mochtar meninggalkan seorang istri dan dua orang anak laki-laki.

Kedua anaknya ini semasa SMP sudah di sekolahkan di Belanda dan tak pernah lagi pulang ke Indonesia, dan menurut Chairani, kedua anak pamanya ini pun sekarang sudah meninggal dunia di Belanda.
👆🏼👆🏼⤴️⤴️⤴️

Tks Cak Imin, it’s a very well written..!

BERFIKIRLAH SEPERTI ORANG MINANG

Serial Minangkabau dalam Pikiran Cak Imin (Bagian 1/satu)

Oleh:
Muhaimin Iskandar

Covesia.com – Beberapa waktu lalu, di tahun-tahun politik yang panas, saya dalam kondisi pelik dalam mengambil keputusan.

Entah mengikuti arus, entah melawan. Saya gamang melangkah, gugup bertindak, ruang gerak yang sempit kian merumitkan.

Sementara dalam kekakuan, waktu terus berjalan. Ia (waktu) sedikit juga tidak mau menunggu. Keputusan yang akan saya ambil memang harus cepat, sebab akan menentukan nasib jutaan orang, bahkan arah dan nasib Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saya nakhodai. Sungguh teramat pelik.

Sebagai politisi, saya memang terbiasa dihempas badai, sudah sering dalam kondisi tak enak. Tapi waktu itu, badai yang datang tak biasa. Ia beriringan dengan gemuruh yang hebat.

Di ujung kepasrahan, saya menemui beberapa sepuh, orang-orang tua yang kenyang pengalaman. Minta petunjuk. Saya memang terbiasa seperti itu, tak mau buru-buru memutuskan sesuatu.

Bagi saya, musyawarah mufakat, adalah harga mati, apalagi jika keputusan yang akan diambil menyangkut hajat orang banyak.

Dari sekian banyak sepuh yang saya temui, ada satu orang yang hanya berucap satu kalimat. “Berpikirlah seperti orang Minangkabau,” katanya. Ini satu kata yang magis, saya tersentak, jaga dari keragu-raguan.

Ya, saya harus berpikir seperti orang Minang. Orang-orang cadiak pandai dari Pulau Andalas. Orang-orang yang dalam memutuskan suatu perkara penuh kehati -hatian, samuik tapijak indak mati.

Para pemikir Minangkabau selalu punya spirit dalam bertindak, dan tak pernah gamang dalam mengambil keputusan. Indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak ka Janiah.

Demikian falsafahnya. Saya terlecut untuk berpikir jernih dalam mengambil keputusan. “Berpikirlah seperti orang Minang,” kata itu terngiang.

Ya, pada akhirnya, saya “menjadi” orang Minang dalam mengambil keputusan pelik itu, dan saya yakini, keputusan yang saya ambil tepat, nasib politik banyak orang terselamatkan, PKB melaju dan kini masuk dalam deretan partai pemenang dalam pemilihan umum.

Setelah badai politik berlalu, saya kian gandrung untuk “menjadi” orang Minang, dalam artian selalu menyelami kebiasaan-kebiasaan Minang, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Semakin saya mempelajari Minangkabau

Semakin saya jatuh cinta, barangkali, nilai-nilai yang terkandung dalam adat dan budaya Minang pulalah yang membuat Agus Salim bisa menjadi diplomat ulung, menjadi pencerah bangsa., kekaguman pada Minangkabau itu pula yang membuat saya berkali-kali datang ke Sumatera Barat (Sumbar), yang menjadi pusat Minangkabau, datang ke Sumbar, bagi saya seperti datang ke gudang ilmu. Segala ada.

Setiap mengunjungi Sumbar, saya selalu menyempatkan berdiskusi. Dengan siapa saja. Saya yakin, orang Minang memiliki doktrin politik yang kuat, yang tak diajarkan di bangku sekolah. Ilmu politik yang mereka punya diasah dari surau ke surau, lapau ke lapau, hingga ke tanah tanah perantauan.

Saya suka berlama-lama di surau, duduk di lapau, mendengar ota orang Minangkabau. Kalau ada waktu luang di Jakarta, saya main-main ke Tanah Abang, tempat orang Minang banyak berniaga. Sekadar berdiskusi dan bertukar pikiran. Segala hal didiskusikan dengan bernas.

Surau dan lapau memang menjadi wadah penting dalam mengasah keterampilan diplomasi orang Minangkabau. Itulah kenapa tak ada orang Minang yang buta politik, sekalipun dia tidak bersekolah tinggi.

Kecerdasan yang dimiliki oleh orang Minang, berbanding lurus dengan iman yang dimiliki.

Tingkat religious orang Minang memang tidak akan bisa ditakar, keputusan yang diambil orang Minang, tidak semata didasari oleh pemikiran duniawi semata, tapi juga pemikiran religious.

Keseimbangan antara ilmu dan agama membuat setiap keputusan yang diambil jarang meleset selalu tepat.

Minangkabau, baik secara suku, budaya dan sejarah, merupakan sebuah kemashyuran. Baik di masa silam, atau di masa sekarang. Majalah Tempo pada tahun 2000 bahkan mencatat, enam dari 10 tokoh penting di negeri ini pada abad 20, merupakan orang Minangkabau. Bahkan, dari empat pahlawan yang menjadi pendiri Republik Indonesia, tiga orang merupakan putera Minangkabau.

Lipatan kemashyuran Minangkabau memang tak bisa dimungkiri, tengoklah sejarah, bagaimana orang Minangkabau mengorbankan segalanya untuk bangsa ini. Terlepas dari nama besar Bung Hatta, Inyiak Canduang, Tan Malaka, Tuanku Imam Bonjol dan deretan nama besar lainnya, gerakan civil society di Ranah Minang yang berkiblat pada nasionalisme memang tidak bisa dikesampigkan begitu saja. Pesawat ketiga yang dipunyai Indonesia dibeli dengan harta sumbangan perempuan -perempuan Minang. Bundo kanduang rela melepaskan gelang emasnya, liontin bahkan antingnya untuk pembeli pesawat Avro Anson RI-003.

Peristiwa bersejarah pada 27 September 1947 membuktikan, kalau bangsa dan negara ini adalah cinta pertama orang Minangkabau dalam ruang politik. Cinta yang melanda seluruh putra-putrinya tanpa terkecuali.

Indonesia bagi orang Minang adalah harga mati, tidak bisa diganggu gugat. Saya sejujurnya, mengangkat topi atas sikap sejarah yang dilakukan.

“Menjadi” orang Minangkabau secara pemikiran, bagi saya suatu kebanggaan. Bahkan, gagasan -gagasan yang menjadi penopang tumbuh kembangnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dewasa ini banyak didasari oleh filosofi Minangkabau, dan terpengaruh oleh langkah politisi diplomasi pendahulu dari negeri cadiak pandai itu. Politik yang dimainkan orang Minang merupakan politik murni. Instrumennya kejujuran, amanah dan totalitas.

Tiga instrumen itu memunculkan hirarki politik yang dinamis. Orang Minangkabau tidak mengenal pola kepemimpinan otoriter.

Beda dengan daerah lain, pemimpin di Minangkabau bukan pemimpin yang dikultuskan. Mereka, yang ditunjuk sebagai pemimpin, hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Artinya, Demokrasi begitu hidup.

Saya mengira, demokrasi yang paling bersih itu ada di Minangkabau. Bahkan, siapa saja di Minangkabau, tanpa menunjuk latar, asal, pangkat dan jabatan, punya hak untuk mengkritik.

Rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah.

Artinya, ketaatan orang Minangkabau pada pemimpinnya, berlaku Ketika pemimpinnya adil dan amanah. Tapi, ketika pemimpinnya sudah zalim, keluar dari jalur, masyarakat Minangkabau akan lantang bersuara, mengkritik. Filosofi inilah yang pada akhirnya membuat saya paham, kenapa orang Minang tidak punya urat takut dalam membela kebenaran, tajam mengkritik, dan keras dalam melawan.

Mereka memang sudah diajarkan sedari kecil untuk terus menjaga nilai-nilai luhur, termasuk nilai dalam berpolitik. Jika nilai itu dilanggar, reaksi keras akan dilakukan.

Minangkabau, bagi saya adalah harapan di lekuk-lekuk Bukit Barisan, wawasan kebangsaan mekar secara alami. Orang- orang Minangkabau, berwatak keras tentang kebenaran. Bagi mereka, kebenaran adalah jalan buntu. Tak bisa dibelok-belitkan. Harga mati. Itu kenapa, pada akhirnya banyak orang-orang Minangkabau yang bersuara lantang, melawan sesuatu yang menurut mereka pantas dilawan.

Saya terkesima degan sikap keminangan demikian, dan selalu berharap bisa “menjadi” orang Minang seutuhnya.!

https://covesia.com/warna-warni/111464/berfikirlah-seperi-orang-minang/

Pitunggua.

Dari Buya Gusrizal. Ketua MUI Sumatera Barat

Tempat Tuan di Halaman Bukan di Anjung Peranginan”

Di sini anak cucu harimau nan salapan.
Makanya, jangan coba hantarkan Islam Nusantara ke kampung kami !

Anak cucu Imam Bonjol masih bernafas di negeri ini.
Karena itu, janganlah tunjukkan
penghambaan ke ranah ini !

Fasihnya lidah Inyiek Agus Salim masih menjadi air mandi sehari-hari .
Ingatlah, janganlah bersilat lidah bermain kata dengan kami !

Keteguhan Bung Hatta belum sirna dari bumi ini.
Ketahuilah, tak perlu tuan-tuan tawar harga diri kami dengan berjuta janji takkan ditepati !

Warisan Buya Hamka belum lah lapuk di dada kami.
Tak usahlah mencoba merayu kami dengan jabatan yang tak akan dibawa mati !

Tegarnya Buya Natsir masih mewarnai danau-danau kampung kami.
Sia-sia saja usaha tuan mengajak kami berkhianat kepada Ibu Pertiwi.

Camkanlah !!!
Putera-puteri Bundo Kanduang tak dilatih mengingkari janji walaupun bersilang keris di dada, sebelum ajal berpantang mati.

Kami pewaris harimau-harimau paderi,
Berpantang menukar aqidah walaupun nyawa sebagai ganti.

Kami pewaris diplomat-diplomat ulung. Tak kan surut dalam bertarung walaupun meja perundingan mesti digulung.

Kami pedagang-pedagang gigih.
Berpantang menyerah dalam persaingan walaupun harus bersorak di tengah buih.

Kami perantau-perantau tangguh.
Setapak melangkah dari tangga berpantang surut untuk mengeluh.

Kerasnya kami, tak kan sanggup tuan takik.
Lunaknya kami, tak kan mampu tuan sudu.
Kami tak menolak tamu tiba.
Juga tak memampik musuh datang.

Jadi,
Bila tikar tak terkembang, pintu tak terbukak, jenjang tak tertegak,
Tuanlah yang patut bercermin diri.

Lihatlah !
Ukuran patut yang tak terpakai, timbangan adil tak seukuran, gerak pantas tak di badan.

Akhirnya,
Di halaman lah tempat duduk tuan.
Rumah gadang berpantang tuan dudukkan,
Apatah lagi anjungan peranginan.

Itu lah sikap pembawa pusaka Minang.
Warisan bertuah tak kan lekang.

Mungkin keras terlihat bagi orang salah pandang.
Bagi kami, itulah nilai yang tak terbilang.
Akan menjadi pegangan kokoh seteguh Marapi dan Singgalang.

Buya Gusrizal– Ketua MUI Sumbar

Vocabulary Kuliner Minang

Menu 30 Hari Ramadhan

Hari 1

  1. Es tebak
  2. Gulai tambunsu
  3. Sambalado hijau rimbang
  4. Sayua cubadak
  5. Puak paik

Hari 2

  1. Aia aka alias ubek tawa
  2. Dendeng batokok
  3. Tumih toge bamaco
  4. Bakwan berontak

Hari 3

  1. Kalikih basantan
  2. Ikan rayo badaruak
  3. Talua balado batombak
  4. Japan bauwok
  5. Puak jariang

Hari 4

  1. Miun goreng
  2. Sup buntut
  3. Lado merah goreng
  4. Puak jangek

Hari 5

  1. Timpan a.k.a lapek pisang
  2. Baluik goreng balado
  3. Gulai pucuak ubi bamaco
  4. Jariang mudo panggang

Hari 6

  1. Lamang tapai
  2. Ayam pop
  3. Sambalado patai
  4. Pucuak ubi abuih
  5. Karupuak katam

Hari 7

  1. Pical sikai
  2. Ikan kaluih/gurame panggang
  3. Gulai kacang panjang jo lobak
  4. Teh manih angek

Hari 8

  1. Bubua katan hitam
  2. Itiak lado mudo
  3. Salada antimun
  4. Puak kantang balado

Hari 9

  1. Lupis
  2. Ayam singgang
  3. Acar kuniang
  4. Sala lauak
  5. Puak ubi

Hari 10

  1. Cindua langkok
  2. Tahu berontak
  3. Soto padang
  4. Sambalado goreng

Hari 11

  1. Es teler
  2. Gulai cancang
  3. Talua dadar taba
  4. Tumih lobak kuniang
  5. Karupuk kanji merah siram kuah cancang

Hari 12

  1. Tahu isi
  2. Ikan sampadeh
  3. Tumih buncih
  4. Puak nasi
  5. Es teh manih

Hari 13

  1. Bika
  2. Ayam batokok
  3. Lado mudo
  4. Taruang goreng
  5. Es sirsak

Hari 14

  1. Pisang panggang
  2. Maco siam lado mudo
  3. Patai jariang goreng
  4. Timun potong

Hari 15

  1. Mangkuak basantan
  2. Cancang karani
  3. Pragede kantang badagiang
  4. Mie goreng balobak

Hari 16

  1. Kolak dalimo
  2. Dendeng paru badaruak
  3. Sambalado mudo matah
  4. Buncih bauwok
  5. Aia karambia mudo

Hari 17

  1. Es durian
  2. Gado-gado padang
  3. Ikan panggang sirah
  4. Sala lauak

Hari 18

  1. Pisang kapik
  2. Ikan sisiak balado
  3. Paragede jaguang
  4. Tumih dalidih

Hari 19

  1. Es durian balando
  2. Gulai ayam jo naneh mudo
  3. Tumih lobak batalua
  4. Karupuak ubi merah-kuniang

Hari 20

  1. Es rumpuik lauik
  2. Dendeng badaruak
  3. Sambalado tanak
  4. Puak udang
  5. Goreng tapai

Hari 21

  1. Aia tampayang
  2. Tahu kecap
  3. Teri patai kacang tribol
  4. Kalio jariang
  5. Maco sapek goreng

Hari 22

  1. Es timun suri
  2. Gulai kapalo lauak
  3. Tahu tempe kinco jo patai
  4. Puak jariang balado

Hari 23

  1. Es kolang kaling
  2. Onde-onde
  3. Gulai ati-limpo
  4. Paragede rinuak
  5. Tumih sawi putiah

Hari 24

  1. Sarabi kuah santan
  2. Ayam balado
  3. Gulai putiah pucuak labu
  4. Karupuak kamang balado

Hari 25

  1. Lapek bugih
  2. Sate padang
  3. Puak lado
  4. Ampiang dadiah/dadiah tanguli
  5. Es jeruk

Hari 26

  1. Es cindua
  2. Pinukuik
  3. Sambalado cangkuak
  4. Maco panggang
  5. Talua abuih

Hari 27

  1. Nasi lamak sarikayo
  2. Rakik udang
  3. Pangek masin jo kacang panjang
  4. Sambalado merah bauwok

Hari 28

  1. Kolak labu
  2. Tempe goreng tapuang
  3. Pangek dagiang batih
  4. Palai bada
  5. Raga-raga vintej

Hari 29

  1. Puak kuah miun
  2. Ikan bilih goreng
  3. Gulai tunjang kapau
  4. Gulai lobak
  5. Kawa daun

Hari 30

  1. Teh talua
  2. Randang dagiang
  3. Sayua buncih tocho
  4. Sambalado talua puyuah ati kalang
  5. Katupek/lontong
  6. Kue talam

Democrazy. “Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila itu Demokrasi Otoriter” Gonggong.

Indahnya Menyimak sejarah dari ahlinya, dg pikiran positif dan hati terbuka. No prejudice insights inside!

Minang 1

KERIS ORANG MINANG

Keris orang Minangkabau itu di depan, bukan di samping atau di belakang, ada falsafah yg tersembunyi disana mengapa keris orang Minang itu di depan.

“Patah lidah bakeh kalah, patah karih bakeh mati”
Begitu bunyi pepatah, orang Minang hanya mengangguk pantang untuk membungkuk, jika disuruh atau di paksa membungkuk keris mesti dicabut dahulu, patah karih bakeh mati”

Sukar bagi orang lain (bukan orang Minang) untuk memahami falsafah ini, hanya orang Minang yg mengerti itu pun bagi mereka yg arif dan bijak dalam memahami kiasan, setiap kieh atau kiasan memerlukan kejelian dan ketangkasan dalam berfikir kadang kiasan itu tidak bisa di artikan dengan logika.

Falsafah atau Kiasan² inilah yg telah membentuk kepribadian anak Minang baik di kampung maupun di rantau orang.

Ada satu lagi kiasan yg sudah jarang di sebut orang “Anak Minang tidak merantau kalau tidak berisi”

Makna atau arti secara mendatar orang beranggapan berisi yg di maksud tentulah isi dalam ilmu kebatinan, kalau di artikan dengan mendalam berisi yg di maksud adalah kiasan²-an atau falsafah yg membimbing atau menuntun diri si anak Minang dalam menjalani kehidupan di rantau orang, secara tidak langsung falsafah ini juga sebagai penasehat dan juga pelindung diri bagi anak Minang dimanapun berada.

Jikok tagak, tagaklah di nan data
Jikok bajalan, bajalanlah di nan luruih
Jikok bakato, bakatolah di nan bana
Di mano aia disauak di sinan rantiang di patah
Di mano bumi dipijak disinan langik dijunjuang

Karatau madang di hulu, babuah babungo balun
Ka rantau bujang dahulu, dikampuang paguno balun

Jikok pandai ba kain panjang labiah bak raso ba kain saruang
Jikok pandai ba induak samang Labiah bak raso badunsanak kanduang

Nak kanduang ijan panangih, Urang panangih lakeh rabun
Urang panggamang mati jatuah
Urang parusuah lakeh tuo
Urang pamberang tangga iman

Sikajuik si bilang bilang Nan ka tigo si rumpun sarai
Hiduik usah mangapalang Tak kayo barani pakai

dan banyak lagi kiasan² yg jadi bekal untuk anak Minang merantau di negeri orang.

Kembali kita ke atas ndan👆

Bagi orang Minang adat dan syarak sudah sehati tidak dapat di pisahkan lagi dengan orang Minang, biar mati anak asal jangan mati adat, adat di Islamkan dan Islam di adatkan, bukan orang Minang kalau bukan beragama Islam, sebab itu si penjilat sangatlah hina dimata orang Minang jika Alquran mengutuk si penjilat orang Minang juga mengutuk, si penjilat itu sendiri yg mencabut kerisnya, dia tidak lagi mengangguk bahkan mematahkan kerisnya untuk membungkuk demi kepentingan diri, mati akal, mati rasa, mati maruah diri, adat dan syarak dibuang jauh², malu bukan lagi pakaian diri, hina badan bagaikan yg berkaki empat, membungkuk membelakangi langit.
Wassalam…

Sumber; dari FB seorang kawan

PERSAHABATAN BAGAI KEPOMPONG (To all the friends I’ve loved before…!)

………….Jika anda ribut2 menyuruh kerukunan dilaksanakan, kami di Bukittinggi telah menikmatinya. Sekali lagi, kami telah menikmatinya. Sungguh suatu pelajaran dan perjalan hidup yang kemudian memberi bekal ketika harus hidup di Jawa dan juga di negeri orang, jauh di seberang dunia dengan adat, agama, dan kebiasaan berbeda….

Selengkapnya

jam gadang itu dilihat dari depan pasar atas

jam gadang itu dilihat dari depan pasar atas