PERCEPATLAH e-Voting untuk Pemilu

Banyaknya kisruh serta biaya dan sumber daya yang besar untuk Pemilu konvensional, semestinya sudah bisa memaksa pemerintah untuk segera beralih ke e-Voting. Berikut sekilas tulisan ringkas saya terkait e-Voting. Semoga berguna.

Malu Menjadi Bangsa

REFLEKSI KEBANGSAAN

Kita malu kepada para pendiri bangsa jika pemilu dibiarkan sebagai pesta gila ketakadaban, merecoki nilai-nilai luhur.

Oleh
YASRAF A PILIANG
5 Januari 2024 05:00 WIB

Andaikan para pendiri bangsa menyaksikan rangkaian peristiwa politik menjelang pesta demokrasi, Pemilihan Presiden 2024, mereka tentu akan menangis.

Betapa tidak. Warisan nilai-nilai luhur keadaban bangsa telah digerogoti oleh perilaku politik yang merayakan individualisme, altruisme dan egoisme kelompok; keculasan, kecurangan dan kelicikan; intimidasi, ancaman dan teror; wacana ejekan, hinaan dan cercaan; manipulasi aturan hukum, etika dan norma publik.

Demokrasi bak sebuah layar, yang di baliknya bekerja kekuatan oligarki, mafia dan kartel politik, yang ikut menggerus norma publik (Asrinaldi et al, 2021). Di pihak lain, negara membungkam suara publik, hingga memasung kebebasan sipil (illiberalism) (Mietzner, 2020). Dalam kondisi demikian, para broker politik berkeliaran ke pelosok desa menawarkan jasa demi perolehan suara (Berenschot et al, 2023). Para buzzer merajalela di medsos, memanipulasi data.

Dua pesta demokrasi (2014 dan 2019) menjadi monumen kelam kerasnya polarisasi politik, yang memecah-belah anak bangsa. Ini akibat gagalnya antisipasi terhadap ekses sosial pemilihan langsung. Pada Pilpres 2024, ada tanda-tanda polarisasi akan terus mengeras, dan mengancam kesatuan bangsa. Di sini, negara mestinya menjadi mediator untuk merajut kembali persatuan bangsa. Ironisnya, negara justru menjadi bagian dari polarisasi itu—the divided society.

Dosa pemilu langsung
Model pemilihan langsung sebagai amanat amendemen keempat UUD 1945 tahun 2002 memiliki berbagai konsekuensi pada postur demokrasi, hubungan negara dan masyarakat politik, dan hubungan antarmasyarakat politik.

Tampaknya tak ada kajian mendalam, deliberasi publik, dan uji publik sistematis dan terukur, untuk mengantisipasi segala konsekuensi sosial itu. Aneka kegaduhan, perseteruan, dan permusuhan berujung polarisasi di setiap pilpres adalah bukti gagalnya antisipasi ini.

Pertama, pemilihan langsung butuh biaya besar sehingga uang menjadi faktor penentu. Untuk itu, berbagai pihak berkepentingan melibatkan diri dan menjadi aktor belakang layar dalam proses demokrasi, dengan dukungan finansial atau fasilitas, demi kepentingan sendiri (Tavits, 2008; Reilly, 2018).

Maka, terbentang karpet merah bagi para oligark, pialang dan kartel politik, dengan dukungan dana besar demi imbal balik keuntungan ekonomi dan/atau politik (Asrinaldi et al, 2021).

Kedua, pemilihan langsung terpusat pada individu calon pemimpin. Agar mampu bertarung, mesti dibangun opini publik tentang calon pemimpin itu melalui pencitraan, dengan cara cenderung populis: glorifikasi diri sendiri dan degradasi pihak lawan (Bouvier & Way, 2021). Karena publik umumnya tak memiliki pengetahuan komprehensif tentang calon pemimpin, pembentukan opini publik rawan dimanipulasi dengan memainkan psikologi massa, lewat media massa atau survei publik (Fishkin, 2009).

Ketiga, melalui pemilihan langsung, pemimpin dipilih murni berdasarkan perolehan suara terbanyak, tanpa proses deliberasi. Ini membawa ke tirani mayoritas, padahal suara mayoritas itu justru produk dari arus pendek manipulasi psikologi massa (debat publik, jajak pendapat, iklan, komunikasi politik) dengan mengabaikan rekam jejak. Akibatnya, jurang menganga antara suara mayoritas dan pemimpin ideal bangsa (Haskell, 2001).

Keempat, pemilihan langsung memerlukan komunikasi dan kampanye politik yang panjang agar terbentuk opini publik positif. Akan tetapi, karena opini publik dibangun berbasis populisme—melalui bahasa, narasi, dan simbol-simbol kontroversial yang mendorong polarisasi ketimbang persatuan bangsa—semua ini cenderung meningkatkan iklim konfrontasi, konflik, permusuhan, yang rawan bagi kian mengerasnya polarisasi anak bangsa.

Kelima, dalam pemilihan langsung—karena faktor utang finansial—pemimpin terpilih cenderung ”tersandera” para penyandang dana (oligark, donor asing). Akibatnya, arah kebijakan politik-ekonomi cenderung melayani kepentingan mereka, mengabaikan kepentingan rakyat luas. Di sini, pemimpin berbalik mengkhianati suara konstituen pemilih, dan secara pasti menggiringnya ke singgasana otoritarianisme (Tavits, 2008).

Runtuhnya keadaban bangsa
Sebagai negara-bangsa, setiap tindakan dan gerak-gerik komponen bangsa di ruang publik diatur oleh norma atau kode perilaku publik, yang membentuk ”keadaban” bangsa (civility). Keadaban ditunjukkan di ruang publik melalui kesopanan, kesusilaan, kesantunan, penghargaan, dan rasa hormat. Keadaban adalah kode perilaku dan interaksi interpersonal yang tepat atau pantas di ruang publik (Balibar, 2016).

Sebaliknya, ”ketakadaban” (incivility) adalah pelanggaran terhadap kode-kode perilaku publik, yang ditunjukkan oleh hilangnya rasa hormat, respek, dan penghargaan terhadap pihak lain; oleh perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang, bohong disengaja, mengejek secara personal, pembunuhan karakter, ungkapan bahasa sangat emosional, sikap berlebihan, dan mengerdilkan pihak lain (Feldman, 2023).

Runtuhnya Orde Baru—dan dimulainya proses demokratisasi tahun 1998—telah membuka keran kebebasan bagi warga negara. Terbentang ufuk harapan sebuah negara-bangsa lebih terbuka, maju, dan beradab, dengan direbutnya kuasa rakyat melalui sistem pemilihan langsung. Akan tetapi, sistem demokrasi langsung justru membawa nilai-nilai asing dalam budaya politik bangsa, khususnya individualisme, yang mengikis habis nilai permusyawaratan.

Demokrasi permusyawaratan, sebagai sistem demokrasi otentik warisan pendiri bangsa (Latif, 2011), digantikan demokrasi individualis ala pemilihan langsung. Sistem ini kontradiktif karena di satu pihak memberikan kuasa kepada rakyat dalam memilih langsung pemimpin, tapi di pihak lain mengikis nilai-nilai permusyawaratan, sebagai nilai inti Pancasila. Artinya, pemilihan langsung bentuk ”pengkhianatan” terhadap Pancasila.

Nilai individualisme—bersama nilai egosentrisme, altruisme, populisme—kini menjadi nilai-nilai utama politik demokratis. Di dalamnya, prinsip musyawarah digantikan ”pertarungan”, mufakat digantikan ”debat”, benar/salah digantikan ”menang/kalah”, rekam jejak digantikan ”pencitraan”. Tekanan harus menang di pertarungan akibat utang finansial yang harus kembali, telah mendorong cara-cara Machiavelian dalam proses politik, yang membuka pintu ketakadaban.

Tanda-tanda ketakadaban ini sudah mulai tampak pada Pilpres 2014 dan 2019, dan kian mengeras menjelang Pilpres 2024. Di media sosial—dalam kondisi menguatnya kembali polaritas politik, yang membelah anak bangsa—ketakadaban lebih ugal-ugalan.

Berbagai kata kasar, hinaan, umpatan, serangan, perendahan, pelecehan, kebohongan, ejekan, dan pembunuhan karakter di antara kelompok konstituen atau partisan politik jadi pemandangan digital sehari-hari—the digital incivility.

Ironisnya, ketakadaban juga dipertontonkan oleh para pemimpin atau calon pemimpin negara, melalui kata-kata kasar, umpatan, cercaan, makian, atau perilaku kasar lainnya di dalam acara publik; ucapan menyerang, merendahkan, melecehkan, dan memperolok lawan-lawan di dalam acara debat publik, yang semuanya terekam rapi di dalam jejak-jejak digital. Semua perilaku ini jadi penanda hilangnya nilai kesopanan, respek, penghargaan, dan rasa hormat di ruang publik politik.

Ketakadaban menjadi lebih parah ketika perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang, dan bohong oleh para pemimpin dan calon pemimpin tak disertai dengan ungkapan rasa penyesalan, sebagai penanda hilangnya rasa bersalah dan rasa malu. Padahal, para pendiri bangsa telah menunjukkan keteladanan dalam keadaban, di mana dalam kontestasi politik yang sangat keras di antara mereka, kesantunan, respek, dan rasa hormat kepada lawan politik tetap dijaga.

Demi rasa hormat terhadap para pendiri bangsa, Pilpres 2024 hendaknya tak dilihat sebagai pertarungan menang/kalah, tetapi pesta demokrasi untuk menegakkan kembali keadaban bangsa, yang tergerus ketakadaban.

Dalam kondisi mengerasnya polaritas anak bangsa, energi bangsa hendaknya tidak dikuras habis bagi pertarungan kekuasaan, tetapi untuk mengembalikan keadaban itu. Kita malu kepada para pendiri bangsa apabila pesta demokrasi dibiarkan sebagai pesta gila ketakadaban, yang merecoki nilai-nilai luhur bangsa.

Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB

Kaum Intelektual Kembali Berpesta

Artikel terkait, cek link berikut. Terima Kasih.

Ketika Kaum Intelektual Berpesta

Whose Side are You On?

Pencerahan yang luar biasa,.
Demi kebenaran dan meluruskan Aqidah.

LOGIKA UAS
Kemana Kita Berpihak….?
Ustadz ABDUL SOMAD (UAS),
bertanya kepada jama’ahnya,

UAS :
“Andai kita hidup pd zaman Fira’un,
kira-kira kita jadi pengikut siapa,
Fir’aun atau Nabi Musa?”

Jama’ah: “Musaaaaa.”
(Jawab jama’ah kompak).

UAS “Yakiiin?”
Jama’ah “Yakiiiiiin…..”

UAS
Tapi yang membangun kota Mesir, Fir’aun.
Yang bangun infrastruktur juga dia.
Yang bangun piramida, Fir’aun.
Yang paling kaya, Fir’aun.
Yang punya bala tentara banyak
dan kuat, Fir’aun.
Yang punya banyak pengikut, Fir’aun.
Yang bisa memberi perlindungan
dan jaminan,
Fir’aun.
Yang Berkuasa, Fir’aun.
Yang bisa menyediakan
makanan dan minuman,
Fir’aun.
Yang bisa adakan hiburan, Fir’aun.
Yang bisa buat pusat perbelanjaan, Fir’aun.
Bahkan jika teknologi nya sudah ada,
mungkin Kartu Mesir Sehat
dan Kartu Mesir Pintar juga dibuatnya.”

Sementara Nabi Musa……
siapa dia?
Hanya seorang penggembala kambing.
Bicara saja tidak fasih alias cadel
(akibat pernah memakan bara api diwaktu bayi).
Hanya memiliki sebatang tongkat butut.

Masih yakin mau ikut Nabi Musa……..?
Tanya UAS sekali lagi.

Jamaah terdiam… Saling toleh satu sama lain.

UAS
“Kerjaan Nabi Musa hanya
sebagai penjaga kambing,
tiba-tiba mau mengajak kita menyeberangi lautan,
tanpa memakai sampan, tanpa perahu, tanpa kapal.
Apakah yakin kita mau ikut Nabi Musa?”

Tak satupun jama’ah berani menjawab.
Semua tertunduk, diam seribu bahasa.

UAS
Betapa sesungguhnya manusia
zaman Firaun dan zaman sekarang,
tidak ada bedanya.
Di Zaman sekarang ini, mayoritas tergila gila pada harta, wanita, pangkat, jabatan, pujian, rayuan. Cinta materi. Al Wahn
(cinta keduniawian)

Sungguh, Fir’aun itu akan tetap ada
hingga akhir zaman.
Hanya saja berubah wajah dan bentuknya.
Juga namanya.
Namun secara hakikat dia akan terus ada.
Sebab sejarah akan berulang,
dan kita harus tetap yakin seyakinnya biidznillah
Fir’aun dikalahkan oleh Musa,
karena Kuasa ALLAH AZZA WA JALLA.

Siapapun yang akan jadi pemimpin
itu sudah menjadi takdir. Sudah tertulis
di Lauhul Mahfudz, tetapi ALLAH SWT akan mencatat dimana KITA BERPIHAK

Belajarlah dari CICAK dan Burung Pipit.

Dahulu saat Nabi Ibrahim Alaihi Salam dibakar oleh Raja Namrud,
datanglah burung pipit yang
bolak balik mengambil air
dan meneteskan air itu di atas api
yang membakar Nabi Ibrahim.

Cicak yang melihatnya tertawa. “Hai pipit, bodoh amat yang kau lakukan itu.
Paruhmu yang kecil hanya bisa menghasilkan
beberapa tetes air saja,
mana mungkin bisa memadamkan api itu..?

Burung pipit pun menjawab:
“Wahai cicak, memang tak mungkinlah
aku bisa memadamkan api yang besar itu,
tapi aku tak mau jika ALLAH SWT
melihat Aku diam saja
saat sesuatu yang ALLAH cintai dizholimi
Allah tak akan melihat
apakah aku berhasil memadamkan
api itu atau tidak.
Tetapi Allah akan melihat
di mana aku berpihak.

Cicak terus tertawa, dan sambil
menjulurkan lidahnya ia berusaha
meniup api yang membakar
Nabi Ibrahim Alaihi Salam
agar cepat membesar.

Memang tiupan cicak tak
ada artinya tak menambah
besar api yang membakar
Nabi Ibrahim,
tetapi Allah melihat dimana Cicak berpihak.

Hikayat ini terjadi sekarang.
dan akan terus berulang.
Saat Al-Qur’an dinistakan,
suara Azan dipermasalahkan,
bendera tauhid dibakar dan
pembela Agama dikriminalisasi.

Aku bertanya padamu sahabat:
Dimanakah kau berpihak……?????
Memang, pilihanmu tak akan mengubah sedikitpun takdir Allah.
Tapi Allah akan mencatat dimana kau berpihak.
Berada di barisan mana dirimu,
Siapa dan apa yang kamu dukung.

Ingat-ingat… pilihanmu akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat.

Untuk kita Renungkan
Semoga Kita semua selalu dalam Lindungan ALLAH SWT Aamiin…yaa Mujibassailiin…🤲
……

Sumber: dari sebuah WAG