Respect

Berikut ceritanya panjang,

the moral story bicara tentang respect, sportivitas, dan tanggung jawab moral. Kisah sejati yang dapat ditiru dalam kehidupan…👍

TABIAT KEMENANGAN,

THE 50 SECONDS MOMENT OF EXCELLENT …
Hanya 50 detik ….

Pertempuran dari para master itu berlangsung. Namun dalam peristiwa yang hanya sekejap itu, bisa menohok jantung siapapun yang menyaksikannya. Hal itu terjadi dalam final Judo kelas berat, dalam momentum sebesar olimpiade musim panas 1984 di Los Angeles USA. Atlet mana yang tidak ingin jadi juara olimpiade. Medali tertinggi dalam cabang olahraga, yang dipersembahkan untuk negara tercinta.
Drama itu dimainkan oleh dua judoka terbaik dunia, Yamashita Yasuhiro dari Jepang dan Muhamed Ali Rashwan dari Mesir, yang berhadapan sebagai musuh diatas matras.

Yamashita harus berjuang ekstra keras sebelum masuk ke final. Dalam perempat final, saat berhadapan dengan Arthur Schnabel sang juara Jerman, Yamashita harus mengalami cedera berat. Sekalipun dia memenangi ronde itu, namun otot betis kanannya robek terkoyak.

Dengan cedera separah itu, siapapun bahkan rakyat Jepang pasti mampu memahaminya dan memaafkan, jika dia terpaksa mundur dari pertandingan. Namun itulah yang menjadi pembeda. Yamashita memutuskan untuk menahan rasa sakitnya, dan terus maju ke pertandingan berikutnya.
Babak semifinal melawan pejudo dunia tangguh lainnya, Laurent Del Combo. Berjalan memasuki arena dibantu sang pelatih, dengan kaki kanan yang terpaksa diseret. Lalu kedua jagoan tadi saling membungkuk menghormat, dan waist berteriak … hajime !, mulai bertanding …!!!

Yang dikhawatirkan banyak orang memang terjadi. Yamashita yang cenderung kidal, mengandalkan kaki kanannya sebagai tumpuan, saat melakukan bantingan atau lemparan. Terutama saat dia melakukan jurus andalannya, yaitu bantingan osotogari  yang mematikan itu. Laurent hanya butuh waktu 30 detik, untuk menghempaskan yamashita ke kanvas, dengan jurus osotogari yang sama.

Yamashita hanya meringis kesakitan saat kembali bangkit. Siksaan rasa sakit karena otot yang terkoyak di betis kanannya, plus siksaan karena dia kini tertinggal satu poin wazaari dari lawannya. Pilihannya dia mundur karena cedera semakin parah, atau dia menahan rasa sakit dan meneruskan pertandingan sampai akhir. Yamashita memilih opsi kedua.

Akhirnya dengan susah payah, yamashita berhasil memasukan jurus andalannya. Osotogari pada Laurent, sehingga skor menjadi satu satu. Pada momen teramat kritis itu, dengan sisa tenaga, Yamashita berhasil mengambil lawannya dengan  jurus Yoko-Shiho-Gatame, sehingga skor 2 – 1 untuk Yamashita.
Konskewensi dari kemenangan di babak semifinal, membuat robekan otot semakin membesar. Memaksa kaki kanan yang cedera parah sebagai pusat tumpuan bantingan, hanya membuat Yamashita nyaris sulit untuk berdiri, apalagi berjalan normal. Harga yang sangat mahal, demi mencapai tujuan memasuki babak final di arena olimpiade.
Di babak final menunggu raksasa dari mesir, Mohamed Ali Rashwan, yang dengan mulus mengalahkan pejudo-pejudo kelas dunia tangguh lainnya. Lawan yang sungguh tak mudah untuk dikalahkan.
Hanya dengan cara berjalan menyeret kaki kanannya, Yamashita mampu kembali berdiri tegak diatas arena. Dalam keadaan terluka parah, dia dihadapkan para peristiwa to be or not to be. Its now or never !. Lalu drama itu terjadi …

Pertarungan keduanya diwarnai bukan dalam posisi berdiri, namun dengan cara newaza, alias bergumul diatas matras. Pada detik ke 50 itulah Yamashita mampu melakukan kuncian yang membuat Rashwan tak berkutik. Wasit menghentikan pertandingan, seraya memberikan kemenangan ippon, alias mutlak pada Yamashita.
Pertandingan dan kisah perjalanan karir seorang legenda judo terbesar dunia. Sebuah cerita dari militansi dan tak kenal mundur dan menyerah. Sebuah contoh, bagaimana jargon “tabah sampai akhir” di implementasikan dengan sempurna. Menjadi pembeda saat arus mainstream menyatakan, harus mundur karena cedera menganga. Namun Yamashita menolak, karena dibalik kesakitan itu terdapat tanggung jawab, yaitu wakil kebanggaan bangsanya, masyarakat Jepang.
Yasuhiro Yamashita yang melegenda. Sudah mencapai sabuk hitam sejak SMP, juara Jepang di usia 19 tahun, saat dia mulai kuliah di Universitas Tokai. Mundur sebagai atlet 9 tahun kemudian, di usianya yang ke 28. Selama itu dia menjadi juara jepang 9 tahun berturut-turut. Juara dunia 3 kali, dan yang terakhir menjadi juara olimpiade. Dalam kurun waktu itu dia melakukan 203 kali pertandingan, tanpa pernah kalah sekalipun. Sebuah rekor statistik yang belum ada duanya. Sehingga sungguh menjadi sosok yang patut ditiru, dan menjadi sangat wajar ketika kini dia diangkat menjadi direktur bidang pendidikan di Federasi Judo Dunia.
Nun jauh di Alexandria Mesir  ….

Muhamed Ali Rashwan, setiap kali melihat rekaman pertandingan final itu, matanya berkaca-kaca. Sebuah rasa haru yang sudah pada tempatnya, seperti ungkapannya …  “Pada tahun 1984, saya terpilih untuk mewakili negara saya di Olimpiade di Los Angeles. Saya tahu bahwa dalam kategori saya, orang yang harus dikalahkan adalah Yasuhiro Yamashita dan saya sedang bermimpi bertemu dengannya di final Olimpiade. Setiap usaha untuk menurunkan dia. Dia adalah ikon sejati untuk semua judoka pada saat itu “.

Saat wartawan memburunya seusai drama difinal itu, dan bertanya apakah Rashwan tak tahu bahwa Yamashita sudah cedera parah pada kaki kanannya. Sehingga secara taktis Rashwan bisa memusatkan serangan pada kaki terlemah itu, dan memenangi perlombaan, seraya merenggut medali kebanggaan setiap atlet dan negara …. medali emas olimpiade.
Rashwan menjawab …. “ Sebenarnya, saya tidak menginginkan kemenangan seperti ini. Saya tidak ingin orang bisa mengatakan suatu hari bahwa saya menang karena Yamashita terluka. Aku tidak bisa menerimanya untuk diriku sendiri ”. … Hal itu bukan sekedar ucapan, namun dalam perbuatan nyata.
Rashwan sebagai judoka kelas dunia tahu persis. Bila ingin menang, harus mengambil keuntungan dari kelemahan lawan. Teknik bertanding dengan cara tetap berdiri, lalu menghajar kaki yang yang cedera, adalah metoda yang paling masuk akal. Namun Rashwan tak sudi melakukan itu.

Rashwan bertanding dengan Yamashita, bukan sekedar dengan akalnya, dia menggunakan hati, perasaan dan nuraninya !. Jiwa sportifitasnya menolak untuk menyerang kaki yamashita, yang pasti akan memperburuk koyakan luka yang akan semakin parah. Rashwan lalu memilih bertanding dengan cara newaza , yaitu bergumul dibawah. Sebab dengan cara itu, maka kaki Yamashita akan berkurang bebannya. Sebaliknya cengkraman, pitingan dan kuncian tangan akan lebih dimaksimalkan. Pilihan yang “salah” dari Rashwan, karena Yamashita juga memang master dalam hal newaza.
Mata Rashwan yang berkaca-kaca itu, bukan karena penyesalan akibat pilihan “salah” nya di final. Sekalipun dia pulang dengan merelakan medali emas pada Yamashita. Namun Rashwan membawa pulang sebuah medali lainnya, yang dikeluarkan oleh Komite Fair Play Internasional. …. Medali emas Fair-Play atas jiwa sportifitasnya dalam babak final olimpiade… !!!. Medali puncak kebanggaan setiap atlet, yang tahu persis arti dari kejujuran dan keadilan dalam setiap pertandingan.
Rashwan, hanya seorang pria sederhana dikenal ramah tamah pada siapapun. Tetapi dimensi keteladanannya membuatnya menjadi figur yang sangat dihormati. Bahkan di jepang sendiri, saat dia secara reguler di undang selaku tamu kehormatan oleh Federasi Judo Jepang.

Katanya …. “Sport has too often become like a war,” terusnya, “we must return to the core values of sport: an athlete must respect his/her opponent, the students must respect their masters, the referees must respect the competitors and vice versa.”
Drama 50 detik dalam final olimpiade itu, ternyata hanya satu kata kunci saja , yaitu “RESPEK”.
Yamashita, respek pada beban tanggung jawab dari bangsanya, menghasilkan usaha perjuangan “Tabah sampai akhir” yang tak kenal menyerah.

Rashwan, respek pada tanggung jawab kemanusiaannya, melahirkan sikap “sportif” dan berlaku adil pada lawan sekalipun.
Sang Respek …

Semakin menjadi barang langka di negeri ini

Para tokoh dan pemimpin yang kehilangan pemahaman tentang makna respek,

akhirnya hanya akan membumi hanguskan aspek KETELADANAN

Bagi generasi-generasi penerusnya ….

Circular Economy: A visiting to sustain resouces.

http://www.mckinsey.com/business-functions/sustainability-and-resource-productivity/our-insights/moving-toward-a-circular-economy

http://www.wrap.org.uk/about-us/about/wrap-and-circular-economy

https://www.ellenmacarthurfoundation.org/circular-economy

https://www.ellenmacarthurfoundation.org/circular-economy/overview/concept

https://en.wikipedia.org/wiki/Circular_economy

https://www.theguardian.com/sustainable-business/series/circular-economy

https://ec.europa.eu/commission/priorities/jobs-growth-and-investment/towards-circular-economy_en

https://www.weforum.org/projects/circular-economy

 

Universities: Disruption is coming

http://www.gallup.com/opinion/chairman/191633/universities-disruption-coming.aspx

Universities: Disruption Is Coming

by Jim Clifton

Do we need universities anymore? What if they ran out of customers?

Google announced it is hiring employees without college degrees, and Ernst & Young made a similar decision in the U.K. last fall. Both organizations see less value in a traditional college degree.

Are two of the most admired companies in the world wrong — or ahead of their time?

The value of universities could be hitting a wall as fast as the value of libraries, newspapers and brick-and-mortar retail stores. Our need for learning and filling our brains with exactly the right information at just the right time is changing faster than American universities are.

Think about it: Which is more indispensable to you in your job — your university education or the university you have in your pocket, your smartphone?

American universities need to change. The current $1.2 trillion in student loan debt is crushing graduates. Total student loan balances have tripled since 2003 and are the second-largest category of borrowing after mortgages. If major employers like Google and Ernst & Young see less need for a college degree, and if other big companies follow suit, then students are paying an exorbitant price for a product of decreasing value.

With our recent joint launch of a daily poll on higher education, Gallup and USA Funds are helping university leaders lead the change. Each day, 350 days a year, Gallup will conduct nationally representative interviews with approximately 500 U.S. adults about their higher education interests, experiences and outcomes. We will provide the first ever “voice of the customer” on the subject of higher education.

As William D. Hansen, USA Funds president and CEO, puts it, “This ongoing survey will allow us to track the progress toward and effectively identify strategies that promote what we call ‘completion with a purpose’ — helping more students complete college prepared to launch rewarding careers.”

Gallup’s founder, the late Dr. George Gallup, once famously said, “If democracy is supposed to be based on the will of the people, someone should find out what that will is.” His point was that when leaders are wrong about what the people want, and then use that wrong information to make decisions, things get worse. It’s a point that applies to students and their education as much as it applies to any other part of our society.

The purpose of the new Gallup-USA Funds partnership is to report the will of the people on the subject of higher education. Now leaders of American education can be right instead of wrong about policies, strategies, premises and practices as colleges and universities go through massive transformational change.

Change is coming one way or another. Universities have to decide whether they want to lead the change or become the next victims of disruption.

Jim Clifton is Chairman and CEO at Gallup.

Kutbah Idul Fitri yg hebat.

http://rajawaliekspres.com/2017/07/01/kabar-hangat-inilah-naskah-full-khotbah-idul-fitri-di-gunungkidul-yang-menjadi-viral/ 

Disiplin adalah kunci, juga di jalanan

Berbagai permasalahan bangsa sebenarnya mengakar hanya kepada beberapa hal pokok yang terlupakan. Salah satunya adalah disiplin. Seringkali kita menemukan permasalahan sederhana menjadi makin rumit dan akhirnya tidak mampu diselesaikan, seperti kemacetan. Kemacetan akibat membludaknya kendaraan pada musim tertentu adalah suatu kewajaran, siklus berulang yang mestinya bisa diantisipasi. Namun sering petugas gagal atau pengemudi justru memperkeruh suasana sehingga kemacetan semakin menjadi. Hal ini sudah menjadi tontonan rutin penduduk kota besar, khususnya yang tinggal di Jabodetabek. Beberapa ruas jalan sebenarnya baru akan macet setelah terjadi kondisi saling kunci dipertigaan atau diperempatan yang berasal dari ketidakdisiplinan sebagian pengemudi. 

Hal ini juga terjadi di jalan tol. Banyak kendaraan yang tidak bisa dipacu dengan kecepatan tinggi, malah mengambil lajur paling kanan. sebaliknya beberapa kendaraan semakin sering menggunakan lajur kiri darurat untuk mendahului (termasuk saya suatu saat, sesaat kesabaran kita habis melihat pengendara lain berbuat semena-mena, kita akhirnya ikutan). Itulah fakta, semoga kita bisa lebih baik berkendara.

————————-

Jebakan Jalan Tol

Di antara cerita mudik Lebaran 2017, salah satu mimpi buruk yang menjadi kenyataan adalah kemacetan yang terjadi di Jalan Tol Cikampek pada hari pertama Lebaran. Kemacetan sepanjang hari Minggu (25/6) tersebut lebih edan dari biasanya. Kendaraan hanya beringsut, nyaris tak bergerak. Kemacetan dimulai dari arah masuk ruas Tol Cikampek, bahkan sampai Cawang. Waktu tempuh Jakarta-Bandung, yang biasanya paling lama 2 jam-an, hari itu harus ditempuh 11-12 jam!

Banyak di antara mereka memilih turun dari kendaraan dan berjalan kaki menuju rest area Km 19 untuk mengejar waktu shalat. Mereka yang sudah berada di jalan tol seperti tidak ada pilihan untuk keluar. Mereka terjebak di kemacetan jalan tol.

Selain karena membeludaknya kendaraan, kelakuan para pengemudi menjadi faktor menggilanya kemacetan. Banyak di antaranya tidak tertib dan tidak taat lajur di jalan. Para penyerobot jalur yang tidak sabaran bisa tiba-tiba pindah lajur dan menghambat kendaraan di belakangnya. Efeknya, arus akan melambat dan menghambat arus.

Lebih parah lagi, bukan saja jalur darurat yang mereka gunakan. Banyak juga yang nekat menggunakan ruang paling kiri di antara lajur jalan tol. Mereka bisa seenaknya zig-zag masuk lagi ke lajur biasa.

Rest area di pinggir tol, sejak di Km 19, pun alih-alih menjadi tempat istirahat malah menjadi sumber kemacetan. Kendaraan yang akan masuk rest area mengular jauh sebelum pintu masuk. Tidak ada upaya penutupan rest area saat penuh sesak.

Bus-bus antarkota pun lebih mirip raja jalanan. Walaupun badannya bongsor, mereka dengan leluasa mencari celah-celah jalur yang sepertinya lancar, lantas beralih dari lajur paling kiri ke kanan atau sebaliknya.

Parking bay yang dibangun di beberapa lokasi pun ternyata malah menjadi titik kemacetan baru. Mobil-mobil tidak lagi masuk ke kantong parkir, tetapi mereka parkir di bahu jalan atau jalur darurat. Petugas pun kewalahan untuk mencegah kendaraan yang parkir di tempat semestinya. Di sepanjang jalan tol, banyak pula kendaraan yang berhenti bukan di tempat semestinya. Bisa jadi karena kebelet atau lelah ingin beristirahat.

Pintu tol yang juga jadi salah satu penyebab mengularnya kemacetan pun tetap difungsikan seperti biasa. Semacet apa pun jalan tol, mereka tetap harus membayar tiket tol. Padahal, andai saja pengelola tol berbaik hati “membebaskan” jalan tol tanpa bayar-bisa dengan sistem buka tutup pada saat macet luar biasa-mungkin akan sedikit memperlancar arus. Setahun sekali beramal melakukan CSR (corporate social responsibility) tidak akan rugi.

Contraflow di jalan tol mungkin sedikit membantu, tetapi tidak memecahkan kemacetan yang terjadi.

Tampak juga mobil pribadi yang menggunakan sirene lampu rotator dan strobo, seolah-olah darurat, merangsek meminta jalan. Padahal, jelas-jelas pemasangan sirene, lampu strobo, dan rotator pada kendaraan diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Mungkin benar perilaku pengemudi dan kemacetan lalu lintas itu mencerminkan wajah negeri ini: rakyatnya maupun pemerintahnya. Macet!

SUmber: https://kompas.id/baca/metro/2017/07/02/jebakan-jalan-tol/

Toleransi Harus Diperjuangkan

Investasi Sumber Daya Manusia Sangat Penting

Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama (kiri), dan Ketua Board of Trustees Indonesian Diaspora Network Global Dino Patti Djalal saat berbicara dalam Kongres Diaspora Indonesia Ke-4 di Kota Kasablanka, Jakarta, Jumat (1/7). Dalam kesempatan itu, Obama berbicara tentang demokrasi, persamaan hak, toleransi, dan kepemimpinan.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama (kiri), dan Ketua Board of Trustees Indonesian Diaspora Network Global Dino Patti Djalal saat berbicara dalam Kongres Diaspora Indonesia Ke-4 di Kota Kasablanka, Jakarta, Jumat (1/7). Dalam kesempatan itu, Obama berbicara tentang demokrasi, persamaan hak, toleransi, dan kepemimpinan.

JAKARTA, KOMPAS — Toleransi, kemerdekaan individu, dan hak asasi manusia adalah hal yang harus diperjuangkan. Jika tidak, kemajuan akan terhambat. Hal ini disampaikan presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama, saat menyampaikan pidato kunci dalam Kongres Diaspora Indonesia Ke-4 di Kota Kasablanka, Jakarta, Sabtu (1/7).

“Semangat negara ini adalah toleransi. Warga Indonesia saling menghormati dan hidup dalam harmoni. Karakter penting ini bisa mewujud dalam Bhinneka Tunggal Ika. Ini yang harus menjadi prioritas. Orang muda pun harus memperjuangkan dan mempromosikan toleransi,” kata Obama.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko Widodo (kanan) dan Presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Obama berjalan menuju Kafe Grand Garden di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/6/2017). Di kafe itu, Obama dijamu oleh Joko widodo setelah mereka bertemu di Istana Bogor.

Obama, yang mengakhiri tugas sebagai Presiden AS pada Januari lalu, ke Indonesia memenuhi undangan Presiden Joko Widodo. Sebelum ke Jakarta, Obama dan keluarga berlibur ke Bali dan Yogyakarta.

Sehari setelah bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor, Obama berbicara di depan ribuan diaspora Indonesia yang berkumpul di Jakarta. Mereka orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, baik yang masih memegang paspor RI, yang telah menjadi warga negara asing, maupun keturunannya.

AP PHOTO/DITA ALANGKARA

Wajah Presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Obama tampak di layar besar di Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/6/2017).

Menurut Dino Patti Djalal, Ketua Board of Trustees Indonesian Diaspora Network Global, diaspora Indonesia mencapai 8 juta orang yang tersebar di seluruh dunia. “Konvensi ini dihadiri 9.000 peserta dari 55 negara, 134 kota di dunia, dan 71 kota di Indonesia,” kata Dino.

Pluralisme dan toleransi

Dalam pidatonya, Obama memaparkan sejumlah tantangan terberat di masa depan, antara lain pluralisme dan toleransi. Bahkan, kebebasan pers pun memerlukan toleransi. “Kita harus menghormati hak-hak pribadi dan mempromosikan nilai toleransi setiap hari. Saya juga menghormati keberagaman Indonesia,” kata Obama.

Ia pun berkisah tentang ayah tirinya, Lolo Soetoro, WNI beragama Islam dan sangat menghormati mereka yang beragama lain. “Saya melihat Borobudur, candi peninggalan Buddha, Prambanan peninggalan Hindu, juga wayang kulit, tetap ada di negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam.”

KOMPAS/ELOK DYAH MESSWATI

Pada layar, Presiden ke-44 Barack Obama tampak tersenyum saat berbicara dalam Kongres Diaspora Indonesia, di Jakarta, Sabtu (1/7).

Ia menyatakan sangat terhormat bisa kembali ke Indonesia dan berbicara dalam Kongres Diaspora Indonesia. “Indonesia adalah bagian dari diri saya. Dengan tetangga saya di kampung Menteng Dalam, dulu kami bermain di jalanan,” ujarnya.

“Kami pun baru tiba dari Bali dan Yogyakarta, tempat di mana ibu saya pernah bekerja. Setiap orang yang bertemu saya selalu teriak, ‘sate, bakso, tempe, es cendol, es kelapa muda’,” ucap Obama disambut tepuk tangan riuh peserta kongres.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Dino Patti Djalal, yang saat itu merupakan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, berpelukan seusai peresmian pembukaan Kongres ke-2 Diaspora Indonesia di Jakarta, 19 Agustus 2013.

Menurut Obama, Presiden Jokowi sudah melakukan yang terbaik dengan memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Indonesia juga mencapai banyak kemajuan meskipun masih ada warga yang harus bertahan hidup dengan pendapatan yang sangat kecil.

Dengan kemajuan teknologi, Indonesia terhubung dengan dunia. “Televisi, Facebook, dan Twitter membuat kita bisa berkomunikasi dan terkoneksi satu sama lain. Namun, kadang hal itu bisa membuat depresi atau memperburuk situasi dengan mulai bicara diskriminasi ras dan agama. Kita harus melawan hal ini. Jika kita tidak memperjuangkan toleransi, kemajuan tidak bisa diraih,” tuturnya.

Obama mengatakan, kita harus membuat keputusan yang tepat. “Ketika saya menjadi presiden, kami menghadapi krisis moneter, tetapi bisa bangkit. Kami berinvestasi untuk kesehatan publik, juga berjuang mengatasi perubahan iklim,” ujar Obama.

Selain soal pluralisme dan toleransi, poin kunci lain adalah ekonomi terbuka untuk semua orang. Obama menyatakan pentingnya peduli kepada orang muda, seperti yang dilakukannya di AS melalui pelatihan kepemimpinan. Untuk membangun orang muda dan masyarakat Indonesia, pemerintah harus berinvestasi di bidang pendidikan dan layanan kesehatan.

“Kita percaya, toleransi, kemerdekaan individu, dan hak asasi manusia adalah hal yang harus diperjuangkan. Demokrasi memang sangat berat, tetapi itu jalan terbaik. Kalau berjalan baik, rakyat akan sejahtera. Kita perlu bekerja sama dalam program kepemimpinan pemuda agar mereka bisa menyelesaikan masalah lokal dan dunia,” ujar Obama.

“Jika kita mempunyai pemerintah yang baik, tidak korupsi, situasi politik yang kondusif dan damai, pasar untuk semua orang, tidak hanya untuk orang tertentu, akan ada transformasi yang luar biasa,” lanjutnya.

Pelopor

Dino mengatakan, diaspora adalah fenomena global yang menjadi pelopor ekonomi, sosial, dan budaya. “Profil diaspora Indonesia, di mana pun berada, hatinya tetap untuk Indonesia. Diaspora Indonesia kini perlu bersinergi. Mereka bisa digerakkan untuk Indonesia, bagian dari jaringan di luar negeri,” ujarnya.

Pertemuan yang berlangsung hingga 4 Juli ini mengusung tema “Bersinergi Bangun Negeri”. “Konvensi ini menjadi festival ide yang menampilkan prestasi, peluang, kontribusi, dan pemikiran diaspora Indonesia dari seluruh dunia,” kata Dino.

Dalam salah satu sesi bertema “State of the World 2017: Opportunities and Risks for Indonesia”, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menjadi pembicara sepakat bahwa investasi sumber daya manusia adalah bagian penting kemajuan suatu negara, tidak hanya soal pendidikan, tetapi juga fasilitas kesehatan dan penunjangnya.

Sri Mulyani menyebutkan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini lebih baik daripada sepuluh tahun lalu. Dengan penerimaan pajak sekitar Rp 1.750 triliun, pemerintah berhasil mengalokasikan Rp 400 triliun untuk dana pendidikan, sekitar Rp 105 triliun untuk pelayanan kesehatan masyarakat, dan lebih dari Rp 300 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Dia mengakui, semua upaya itu belum maksimal.

Ia mengatakan, sudah saatnya Indonesia belajar dari pengalaman masa lalu, yakni korupsi lembaga keuangan sehingga terjadi kredit macet dan penerimaan pajak tidak bisa dipakai untuk pembangunan manusia.

“Apa yang membuat saya susah tidur adalah Indonesia butuh investasi besar agar warga di daerah mana pun memiliki pelayanan pendidikan dan kesehatan setara. Bagaimana saya meyakinkan masyarakat bahwa uang pajak digunakan untuk pembangunan bersama,” ujarnya.

Vice President for Knowledge Management and Sustainable Development Bank Pembangunan Asia (ADB) Bambang Susantono sependapat bahwa Indonesia memerlukan investasi sumber daya manusia. Menurut penelitian ADB, Korea Selatan adalah contoh keberhasilan meningkatkan derajat menjadi negara berpendapatan tinggi karena serius menggarap pembangunan infrastruktur dasar sekaligus sarana pendidikan. Alokasi dana penelitian dan pengembangan lima kali lebih besar daripada negara Asia lainnya.

Adapun CEO Credit Suisse Asia Pacific Helman Sitohang menekankan perlunya dana investasi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja Indonesia menghadapi persaingan global yang kian menuntut kompetensi dan pengetahuan.

Peneliti di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, Universitas Nasional Singapura, Mulya Amri, menuturkan, tren pemanfaatan internet untuk menunjang aktivitas ada di banyak negara. Namun, Indonesia masih dalam fase awal. Hal ini terlihat dari kebiasaan warga mengadopsi perangkat terbaru.

“Apakah kita mau hanya menjadi bangsa yang mengadopsi? Sudah saatnya Indonesia menyiapkan sumber daya manusia yang terampil dan kompeten di era digital,” kata Mulya.

(DNE/ABK/GAL/MED/LOK)

Sumber: https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2017/07/02/toleransi-harus-diperjuangkan/