Mc Kenzie Exercise for HNP

https://www.healthline.com/health/mckenzie-exercises

60

60 ʏᴇᴀʀs ᴀɢᴏ, ᴇᴠᴇʀʏᴏɴᴇ ᴡᴀɴᴛᴇᴅ ᴛᴏ ʜᴀᴠᴇ ᴄʜɪʟᴅʀᴇɴ. ᴛᴏᴅᴀʏ ᴍᴀɴʏ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ ᴀʀᴇ ᴀғʀᴀɪᴅ ᴏғ ʜᴀᴠɪɴɢ ᴄʜɪʟᴅʀᴇɴ.
……………………………………
60 ʏᴇᴀʀs ᴀɢᴏ, ᴄʜɪʟᴅʀᴇɴ ʀᴇsᴘᴇᴄᴛᴇᴅ ᴛʜᴇɪʀ ᴘᴀʀᴇɴᴛs. ɴᴏᴡ ᴘᴀʀᴇɴᴛs ʜᴀᴠᴇ ᴛᴏ ʀᴇsᴘᴇᴄᴛ ᴛʜᴇɪʀ ᴄʜɪʟᴅʀᴇɴ.
………………………………….
60 ʏᴇᴀʀs ᴀɢᴏ, ᴍᴀʀʀɪᴀɢᴇ ᴡᴀs ᴇᴀsʏ ʙᴜᴛ ᴅɪᴠᴏʀᴄᴇ ᴡᴀs ᴅɪғғɪᴄᴜʟᴛ. ɴᴏᴡᴀᴅᴀʏs ɪᴛ ɪs ᴅɪғғɪᴄᴜʟᴛ ᴛᴏ ɢᴇᴛ ᴍᴀʀʀɪᴇᴅ ʙᴜᴛ ᴅɪᴠᴏʀᴄᴇ ɪs sᴏ ᴇᴀsʏ.
…………………………………..
60 ʏᴇᴀʀs ᴀɢᴏ, ᴡᴇ ɢᴏᴛ ᴛᴏ ᴋɴᴏᴡ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ɴᴇɪɢʜʙᴏʀs. ɴᴏᴡ ᴡᴇ ᴀʀᴇ sᴛʀᴀɴɢᴇʀs ᴛᴏ ᴏᴜʀ ɴᴇɪɢʜʙᴏʀs.
…………………………………
60 ʏᴇᴀʀs ᴀɢᴏ, ᴠɪʟʟᴀɢᴇʀs ᴡᴇʀᴇ ғʟᴏᴄᴋɪɴɢ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄɪᴛʏ ᴛᴏ ғɪɴᴅ ᴊᴏʙs. ɴᴏᴡ ᴛʜᴇ ᴛᴏᴡɴ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ ᴀʀᴇ ғʟᴇᴇɪɴɢ ғʀᴏᴍ ᴛʜᴇ CITY ᴛᴏ ғɪɴᴅ ᴘᴇᴀᴄᴇ.
………………………………..
60 ʏᴇᴀʀs ᴀɢᴏ, ᴇᴠᴇʀʏᴏɴᴇ ᴡᴀɴᴛᴇᴅ ᴛᴏ ʙᴇ ғᴀᴛ ᴛᴏ ʟᴏᴏᴋ ʜᴀᴘᴘʏ. ɴᴏᴡᴀᴅᴀʏs ᴇᴠᴇʀʏᴏɴᴇ ᴅɪᴇᴛs ᴛᴏ ʟᴏᴏᴋ ʜᴇᴀʟᴛʜʏ.
………………………………….
60 ʏᴇᴀʀs ᴀɢᴏ, ʀɪᴄʜ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ ᴘʀᴇᴛᴇɴᴅᴇᴅ ᴛᴏ ʙᴇ ᴘᴏᴏʀ. ɴᴏᴡ ᴛʜᴇ ᴘᴏᴏʀ ᴀʀᴇ ᴘʀᴇᴛᴇɴᴅɪɴɢ ᴛᴏ ʙᴇ ʀɪᴄʜ.
…………………………………..
60 ʏᴇᴀʀs ᴀɢᴏ, ᴏɴʟʏ ᴏɴᴇ ᴘᴇʀsᴏɴ ᴡᴏʀᴋᴇᴅ ᴛᴏ sᴜᴘᴘᴏʀᴛ ᴛʜᴇ ᴡʜᴏʟᴇ ғᴀᴍɪʟʏ. ɴᴏᴡ ᴀʟʟ ʜᴀᴠᴇ ᴛᴏ ᴡᴏʀᴋ ᴛᴏ sᴜᴘᴘᴏʀᴛ ᴏɴᴇ ᴄʜɪʟᴅ.
……………………………………
60 ʏᴇᴀʀs ᴀɢᴏ, ᴘᴇᴏᴘʟᴇ ʟᴏᴠᴇᴅ ᴛᴏ sᴛᴜᴅʏ & ʀᴇᴀᴅ ʙᴏᴏᴋs. ɴᴏᴡ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ ʟᴏᴠᴇ ᴛᴏ ᴜᴘᴅᴀᴛᴇ ғᴀᴄᴇʙᴏᴏᴋ & ʀᴇᴀᴅ ᴛʜᴇɪʀ ᴡʜᴀᴛsᴀᴘᴘ ᴍᴇssᴀɢᴇs.

60 YEARS WAS 1964…WHICH SEEMS LIKE JUST YESTERDAY!

These are hard ғᴀᴄᴛs of ᴛᴏᴅᴀʏ’s ʟɪғᴇ

FALSAFAH WONG JOWO

Kuat dilakoni, gak kuat ditinggal NGOPI

☕ Soale menungso kuwi sejatine mung kurang siji… Yoiku: NGOPI

NGOPI iku tegese (Ngolah Pikiran),

mulo kopi iku rasane PAIT.
Nanging sak pait-paite kopi.. isih iso digawe LEGI.

LEGI (Legowo ning ati) / Berlapang Dada Hatinya, carane kudu ditambahi GULO.

.
GULO (Gulangane Roso) / Mengelola Perasaan Baik, sing asale soko TEBU.

TEBU (Anteb Ning Kalbu) / Mantab Hatinya,

banjur diwadahi CANGKIR.

CANGKIR (Nyancangne PiKIR)

Menguatkan Pikiran, trus disiram WEDANG.

WEDANG (Wejangan Sing Marahi Padang) / Nasehat Yang Menentramkan Hati,

ojo lali di-UDHEG.
UDHEG (Usahane Ojo Nganti Mandeg) / Usaha Jangan Sampai Berhenti,

anggone ngudheg nganggo SENDOK.

SENDOK (Sendhekno Marang Sing Nduwe Kautaman) / Pasrahkan Pada Yang Maha Kuasa,

dienteni sithik ben rodo ADEM.

ADEM (Ati digowo Lerem) / Hati Jadi Tenang, njut bar kui lagi di-SERUPUT.

SERUPUT (Sedoyo Rubedo Bakal Luput) / Semua Godaan akan Terhindar.y

Meniko Falsafahipun “NGOPI”

Sumonggo… Ngopiii ….☕

Sadulur Kabeh, mugi ing dinten niki tansah, pinaringan sehat soho berkah saking Gusti Allah….
Aamiin

PERCEPATLAH e-Voting untuk Pemilu

Banyaknya kisruh serta biaya dan sumber daya yang besar untuk Pemilu konvensional, semestinya sudah bisa memaksa pemerintah untuk segera beralih ke e-Voting. Berikut sekilas tulisan ringkas saya terkait e-Voting. Semoga berguna.

PROYEK 35.000 MW ERA JOKOWI-JK BIKIN HANCUR PLN ??

Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.

Pada pertengahan 2021 SP (Serikat Pekerja) Anak Perusahaan PLN yaitu PP IP (Persatuan Pekerja Indonesia Power) dan SP PJB (Serikat Pekerja PJB) mengadakan Webinar dengan Koordinator INVEST (Ahmad Daryoko) sebagai Moderator serta masing2 Ketua Umum sebagai Pembicara di tambah Mantan DIRUT PLN Djiteng Marsudi juga sebagai Pembicara.

Tujuan Seminar lewat media Zoom (Webinar) tersebut adalah untuk mencoba “Evaluasi” seluruh kebijakan Pemerintah dalam Proyek Pembangkit PLN terutama FTP I (“Fast Track Program” 10.000 MW Tahap I), FTP II (“Fast Track Program 10.000 MW Tahap II) pada era SBY-JK antara 2005 – 2014. Serta Proyek 35.000 MW era Jokowi-JK antara 2014 – 2019.

Karena saat itu PP IP, SP PJB maupun SP PLN menilai bahwa era Pemerintahan diatas telah mengadakan Proyek Pembangkit PLN secara “ugal2an” (tanpa Perencanaan matang) dan sampai awal 2020 tidak ada evaluasi sama sekali dari Pemerintah !

Dan pada saat Webinar pertengahan 2021 diatas juga belum ada Evaluasi dari Pemerintah ! Padahal mulai 2010 (mengingat seluruh Jaringan Ritail yang ada di kota2 seluruh Jawa-Bali telah dijual DIRUT PLN Dahlan Iskan ke Taipan 9Naga, secara “Whole Sale Market maupun system “Token” ), sehingga mulai 2010 sebenarnya secara “defacto” kawasan Jawa-Bali sudah berlangsung “kompetisi penuh” atau MBMS (“Multy Buyer and Multy Seller”) System.

Dengan demikian dengan kondisi :

  1. Adanya Proyek Pembangkit PLN yang di prakarsai SBY-JK maupun Jokowi-JK, dengan gesture “membabi buta” dengan konsekuensi “over load”.
  2. Timbulnya MBMS Jawa-Bali yang berakibat melonjaknya tarip listrik Jawa-Bali dengan indikasi bahwa sebelum 2010 (2009 dan sebelumnya) Subsidi Listrik rata2 pertahun maksimum hanya Rp 50T. Sedang setelah terjadi MBMS (mulai 2010) Subsidi Listrik “melonjak” diatas Rp 100 T. Dan untuk 2023 sesuai “statement” DIRUT PLN awal 2023 adalah sebesar Rp 289,6T.

Maka Pemerintah harus lakukan Evaluasi System !.Tapi sampai 2020 belum ada Evaluasi dimaksud dari Pemerintah. Makanya PP IP, SP PJB dengan Referensi Pengalaman dari Mantan DIRUT PLN Djiteng Marsudi mengadakan Webinar diatas !

KESIMPULAN :

Dari Webinar tersebut PP IP dan SP PJB menyampaikan data bahwa sesuai Laporan Statistik PLN 2020 terlihat bahwa ;

1). Daya Terpasang Pembangkit PLN Jawa-Bali akhir 2020 sebesar 30.970,93 MW.

2). Dari Daya Terpasang sebagaimana butir 1) diatas ternyata untuk Jawa-Bali yang digunakan hanya sekitar 3.000 MW atau hanya 12% dari yang tersedia . Itupun khusus untuk :

a. Beban Puncak ( yang memakai PLTA Saguling, PLTA Cirata, PLTA Mrica dst.)

b. Penjaga Frequensi Arus listrik, agar tidak kedip ( yang memakai PLTGU Cilegon dan Muarakarang).

Dengan demikian terjawablah kekhawatiran MENGAPA PROYEK PEMBANGKIT PLN 35.000 MW (Bahkan Proyek Proyek sebelumnya seperti FTP I 10.000 MW serta FTP II 10.000 MW) menjadi instalasi “mubadzir” PLN, karena sebagian besar tidak digunakan dalam operasional harian PLN, karena telah menggunakan kapasitas Pembangkit IPP milik Aseng/Asing yang ber “konspirasi” dengan “Peng Peng”/mantan seperti Dahlan Iskan, JK, Luhut BP, Erick Tohir, Sandi Uno dll.

ATAU DENGAN KATA LAIN PROYEK2 DIATAS TELAH MENGHANCURKAN PLN !

TETAPI SAMPAI SAAT INI FAKTA2 DIATAS TIDAK DIUNGKAP ATAU SENGAJA DISEMBUNYIKAN OLEH PEMERINTAH ??

SUPER KESIMPULAN :

RAKYAT HARUS MELAWAN !

MENGINGAT DENGAN ADANYA PROGRAM HSH (“HOLDING SUB HOLDING”) DAN PENERBITAN UU “POWER WHEELING”, SYSTEM KELISTRIKAN AKAN DISERAHKAN DALAM MEKANISME PASAR BEBAS (MBMS).

SEHINGGA :

  1. PLN HOLDING AKAN BUBAR !
  2. PLN JAWA-BALI AKAN BERLAKU MBMS !
  3. PLN LUAR JAWA – BALI AKAN DISERAHKAN KE PEMDA SETEMPAT !
  4. TARIP MINIMAL AKAN 5X LIPAT SEBELUM MBMS !
  5. SAAT “PEAK LOAD” TARIP LISTRIK AKAN “MELONJAK” 11X LIPAT DARI NORMAL !!

SEKALI LAGI, RAKYAT INDONESIA HARUS SIAP SIAP MELAWAN !!

ALLOHUAKBAR !!
MERDEKA !!
✊✊

JAKARTA, 2 PEBRUARI 2024.

Malu Menjadi Bangsa

REFLEKSI KEBANGSAAN

Kita malu kepada para pendiri bangsa jika pemilu dibiarkan sebagai pesta gila ketakadaban, merecoki nilai-nilai luhur.

Oleh
YASRAF A PILIANG
5 Januari 2024 05:00 WIB

Andaikan para pendiri bangsa menyaksikan rangkaian peristiwa politik menjelang pesta demokrasi, Pemilihan Presiden 2024, mereka tentu akan menangis.

Betapa tidak. Warisan nilai-nilai luhur keadaban bangsa telah digerogoti oleh perilaku politik yang merayakan individualisme, altruisme dan egoisme kelompok; keculasan, kecurangan dan kelicikan; intimidasi, ancaman dan teror; wacana ejekan, hinaan dan cercaan; manipulasi aturan hukum, etika dan norma publik.

Demokrasi bak sebuah layar, yang di baliknya bekerja kekuatan oligarki, mafia dan kartel politik, yang ikut menggerus norma publik (Asrinaldi et al, 2021). Di pihak lain, negara membungkam suara publik, hingga memasung kebebasan sipil (illiberalism) (Mietzner, 2020). Dalam kondisi demikian, para broker politik berkeliaran ke pelosok desa menawarkan jasa demi perolehan suara (Berenschot et al, 2023). Para buzzer merajalela di medsos, memanipulasi data.

Dua pesta demokrasi (2014 dan 2019) menjadi monumen kelam kerasnya polarisasi politik, yang memecah-belah anak bangsa. Ini akibat gagalnya antisipasi terhadap ekses sosial pemilihan langsung. Pada Pilpres 2024, ada tanda-tanda polarisasi akan terus mengeras, dan mengancam kesatuan bangsa. Di sini, negara mestinya menjadi mediator untuk merajut kembali persatuan bangsa. Ironisnya, negara justru menjadi bagian dari polarisasi itu—the divided society.

Dosa pemilu langsung
Model pemilihan langsung sebagai amanat amendemen keempat UUD 1945 tahun 2002 memiliki berbagai konsekuensi pada postur demokrasi, hubungan negara dan masyarakat politik, dan hubungan antarmasyarakat politik.

Tampaknya tak ada kajian mendalam, deliberasi publik, dan uji publik sistematis dan terukur, untuk mengantisipasi segala konsekuensi sosial itu. Aneka kegaduhan, perseteruan, dan permusuhan berujung polarisasi di setiap pilpres adalah bukti gagalnya antisipasi ini.

Pertama, pemilihan langsung butuh biaya besar sehingga uang menjadi faktor penentu. Untuk itu, berbagai pihak berkepentingan melibatkan diri dan menjadi aktor belakang layar dalam proses demokrasi, dengan dukungan finansial atau fasilitas, demi kepentingan sendiri (Tavits, 2008; Reilly, 2018).

Maka, terbentang karpet merah bagi para oligark, pialang dan kartel politik, dengan dukungan dana besar demi imbal balik keuntungan ekonomi dan/atau politik (Asrinaldi et al, 2021).

Kedua, pemilihan langsung terpusat pada individu calon pemimpin. Agar mampu bertarung, mesti dibangun opini publik tentang calon pemimpin itu melalui pencitraan, dengan cara cenderung populis: glorifikasi diri sendiri dan degradasi pihak lawan (Bouvier & Way, 2021). Karena publik umumnya tak memiliki pengetahuan komprehensif tentang calon pemimpin, pembentukan opini publik rawan dimanipulasi dengan memainkan psikologi massa, lewat media massa atau survei publik (Fishkin, 2009).

Ketiga, melalui pemilihan langsung, pemimpin dipilih murni berdasarkan perolehan suara terbanyak, tanpa proses deliberasi. Ini membawa ke tirani mayoritas, padahal suara mayoritas itu justru produk dari arus pendek manipulasi psikologi massa (debat publik, jajak pendapat, iklan, komunikasi politik) dengan mengabaikan rekam jejak. Akibatnya, jurang menganga antara suara mayoritas dan pemimpin ideal bangsa (Haskell, 2001).

Keempat, pemilihan langsung memerlukan komunikasi dan kampanye politik yang panjang agar terbentuk opini publik positif. Akan tetapi, karena opini publik dibangun berbasis populisme—melalui bahasa, narasi, dan simbol-simbol kontroversial yang mendorong polarisasi ketimbang persatuan bangsa—semua ini cenderung meningkatkan iklim konfrontasi, konflik, permusuhan, yang rawan bagi kian mengerasnya polarisasi anak bangsa.

Kelima, dalam pemilihan langsung—karena faktor utang finansial—pemimpin terpilih cenderung ”tersandera” para penyandang dana (oligark, donor asing). Akibatnya, arah kebijakan politik-ekonomi cenderung melayani kepentingan mereka, mengabaikan kepentingan rakyat luas. Di sini, pemimpin berbalik mengkhianati suara konstituen pemilih, dan secara pasti menggiringnya ke singgasana otoritarianisme (Tavits, 2008).

Runtuhnya keadaban bangsa
Sebagai negara-bangsa, setiap tindakan dan gerak-gerik komponen bangsa di ruang publik diatur oleh norma atau kode perilaku publik, yang membentuk ”keadaban” bangsa (civility). Keadaban ditunjukkan di ruang publik melalui kesopanan, kesusilaan, kesantunan, penghargaan, dan rasa hormat. Keadaban adalah kode perilaku dan interaksi interpersonal yang tepat atau pantas di ruang publik (Balibar, 2016).

Sebaliknya, ”ketakadaban” (incivility) adalah pelanggaran terhadap kode-kode perilaku publik, yang ditunjukkan oleh hilangnya rasa hormat, respek, dan penghargaan terhadap pihak lain; oleh perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang, bohong disengaja, mengejek secara personal, pembunuhan karakter, ungkapan bahasa sangat emosional, sikap berlebihan, dan mengerdilkan pihak lain (Feldman, 2023).

Runtuhnya Orde Baru—dan dimulainya proses demokratisasi tahun 1998—telah membuka keran kebebasan bagi warga negara. Terbentang ufuk harapan sebuah negara-bangsa lebih terbuka, maju, dan beradab, dengan direbutnya kuasa rakyat melalui sistem pemilihan langsung. Akan tetapi, sistem demokrasi langsung justru membawa nilai-nilai asing dalam budaya politik bangsa, khususnya individualisme, yang mengikis habis nilai permusyawaratan.

Demokrasi permusyawaratan, sebagai sistem demokrasi otentik warisan pendiri bangsa (Latif, 2011), digantikan demokrasi individualis ala pemilihan langsung. Sistem ini kontradiktif karena di satu pihak memberikan kuasa kepada rakyat dalam memilih langsung pemimpin, tapi di pihak lain mengikis nilai-nilai permusyawaratan, sebagai nilai inti Pancasila. Artinya, pemilihan langsung bentuk ”pengkhianatan” terhadap Pancasila.

Nilai individualisme—bersama nilai egosentrisme, altruisme, populisme—kini menjadi nilai-nilai utama politik demokratis. Di dalamnya, prinsip musyawarah digantikan ”pertarungan”, mufakat digantikan ”debat”, benar/salah digantikan ”menang/kalah”, rekam jejak digantikan ”pencitraan”. Tekanan harus menang di pertarungan akibat utang finansial yang harus kembali, telah mendorong cara-cara Machiavelian dalam proses politik, yang membuka pintu ketakadaban.

Tanda-tanda ketakadaban ini sudah mulai tampak pada Pilpres 2014 dan 2019, dan kian mengeras menjelang Pilpres 2024. Di media sosial—dalam kondisi menguatnya kembali polaritas politik, yang membelah anak bangsa—ketakadaban lebih ugal-ugalan.

Berbagai kata kasar, hinaan, umpatan, serangan, perendahan, pelecehan, kebohongan, ejekan, dan pembunuhan karakter di antara kelompok konstituen atau partisan politik jadi pemandangan digital sehari-hari—the digital incivility.

Ironisnya, ketakadaban juga dipertontonkan oleh para pemimpin atau calon pemimpin negara, melalui kata-kata kasar, umpatan, cercaan, makian, atau perilaku kasar lainnya di dalam acara publik; ucapan menyerang, merendahkan, melecehkan, dan memperolok lawan-lawan di dalam acara debat publik, yang semuanya terekam rapi di dalam jejak-jejak digital. Semua perilaku ini jadi penanda hilangnya nilai kesopanan, respek, penghargaan, dan rasa hormat di ruang publik politik.

Ketakadaban menjadi lebih parah ketika perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang, dan bohong oleh para pemimpin dan calon pemimpin tak disertai dengan ungkapan rasa penyesalan, sebagai penanda hilangnya rasa bersalah dan rasa malu. Padahal, para pendiri bangsa telah menunjukkan keteladanan dalam keadaban, di mana dalam kontestasi politik yang sangat keras di antara mereka, kesantunan, respek, dan rasa hormat kepada lawan politik tetap dijaga.

Demi rasa hormat terhadap para pendiri bangsa, Pilpres 2024 hendaknya tak dilihat sebagai pertarungan menang/kalah, tetapi pesta demokrasi untuk menegakkan kembali keadaban bangsa, yang tergerus ketakadaban.

Dalam kondisi mengerasnya polaritas anak bangsa, energi bangsa hendaknya tidak dikuras habis bagi pertarungan kekuasaan, tetapi untuk mengembalikan keadaban itu. Kita malu kepada para pendiri bangsa apabila pesta demokrasi dibiarkan sebagai pesta gila ketakadaban, yang merecoki nilai-nilai luhur bangsa.

Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB