Ketika Tangan dan Kaki Bicara

(Copas dari kamar sebelah)….

Kenangan Taufiq Ismail terhadap Chrisye
(hikmah alquran, sebuah sastra yg agung, mampu menggetarkan hati manusia)……
Suatu saat, Chrisye minta Taufiq Ismail untuk menuliskan syair religi untuk satu lagunya. Dan disanggupi sebulan.
Ternyata, minggu pertama macet, tidak ada ide. Minggu kedua macet, ketiga macet hingga menjelang hari terakhir masih juga tdk ada ide. Taufiq gelisah dan berniat telpon Chrisye dan bilang: Chris maaf, macet, ujar Taufiq.
Malam harinya, Taufiq mengaji. Ketika sampai ayat 65 surat Yaasiin dia berhenti. Makna ayat ini ttg Hari Pengadilan Akhir ini luar biasa, kata Taufiq. Dan segera dia pindahkan pesan ayat tersebut ke dalam lirik-lirik lagu.
Ketika pita rekaman itu sdh di tangan Chrisye, terjadi hal yg tidak biasa. Ketika berlatih di kamar, baru dua baris Chrisye menangis, mencoba lagi, menangis lagi. Dan begitu berkali2.
Menurut Chrisye, lirik yg dibuat adalah satu2nya lirik paling dahsyat sepanjang karirnya. Ada kekuatan misterius yg mencekam dan menggetarkan. Setiap menyanyi dua baris, air mata sdh membanjir. Yanti, istri Chrisye, sampai syok melihat hal tdk biasa tsb.
Lirik lagu tsb begitu merasuk kalbu dan menghadapkan kenyataan betapa manusia tidak berdaya ketika hari akhir tiba. Sepanjang malam dia gelisah, lalu ditelponlah Taufiq dan diceritakan kegelisahannya. Taufiq mengatakan bhw lirik lagu tsb diilhami surat Yaasiin: 65. Disarankan kepada Chrisye, agar tenang.
Di studio rekaman hal itu terjadi lagi. Chrisye mencoba, tetapi baru dua baris sdh menangis. Dan berulang kali hasilnya sama.
Erwin Gutawa yg menunggu sampai senewen.
Yanti lalu shalat untuk khusus mendoakannya.
Akhirnya dengan susah payah, Chrisye berhasil menyanyikannya hingga selesai. Rekaman itu sekali jadi, tdk diulang karena Chrisye tak sanggup menyanyikannya lagi.
——-

Inilah ayat yang menginspirasi lirik lagu tsb…..:
ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﻧَﺨْﺘِﻢُ ﻋَﻠَﻰٰ ﺃَﻓْﻮَﺍﻫِﻬِﻢْ ﻭَﺗُﻜَﻠِّﻤُﻨَﺎ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ ﻭَﺗَﺸْﻬَﺪُ ﺃَﺭْﺟُﻠُﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﻜْﺴِﺒُﻮﻥَ

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” [QS. Yaasiin(36): 65]

KETIKA TANGAN DAN KAKI BERKATA
Lirik : Taufiq Ismail
Lagu : Chrisye

Akan datang hari mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa tak ada suara
Dari mulut kita

Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu    bila harinya
Tanggung jawab tiba

Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya…. sempurna

Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu yang hina

Ginanjar memang sosok yang dibutuhkan saat ini

Telah diterbitkan di Kompasiana

Berbagai nama muncul untuk menjadi Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Silih berganti, bahkan jauh hari sebelum pemilu legislatif. Nyaris setiap partai besar dan yang merasa masih besar dengan besar hati serta penuh percaya diri telah pula mengusung nama Ketua Umum (Ketum) mereka sebagai Capres, bukan Cawapres. Kita merasakan eforia politik partai yang sangat kental dalam satu tahun ini.

Namun seiring berjalannya waktu, dan setelah hasil pemilu legislatif memperlihatkan hasil sementara, pelan-pelan namun pasti, ekspektasi dari elite partai juga disesuaikan. Kita mengetahui hasil pemilu legislatif tidak memunculkan partai dominan, semua nyaris membagi porsi yang hampir sama. Kita mengetahui tidak satupun partai menuai hasil di atas 20 persen. PDIP akhirnya menjadi pemuncak (19%) disusul Golkar (15%)  dan Gerindra (12%). Partai Demokrat (PD) ternyata dengan cukup meyakinkan masih dapat meraup suara hampir mencapati 11%.

Hingga saat ini tinggal dua nama yang masih percaya diri dan dipercaya  untuk tetap dijadikan Capres oleh partainya, yaitu Jokowi (PDIP) dan Prabowo (Gerindra). Yang lain seperti Abu Rizal Bakrie (ARB) dan Hatta Rajasa (HR) sudah mulai menurunkan target menjadi Cawapres saja. Beberapa nama itupun masih belum tentu mendapatkan tempat untuk berduet dengan Capres yang diharapkan. Sementara konvensi PD yang sempat hilang gaungnya bisa saja menimbulkan kejutan baru dalam beberapa hari mendatang, atau melempem sama sekali.

Memang menjadi sedikit mudah bagi Capres untuk memilih wakilnya, sebaliknya tidaklah demikian untuk Cawapres yang harus berjuang keras mencari pasangan Capresnya. Di tengah kegalauan ARB dan HR mencari pasangannya, kemudian muncullah nama Ginanjar Kartasasmita (GK) untuk mengisi salah satu kandidat Cawapres. Dari sisi Golkar, ini mungkin salah satu cara yang terbaik untuk menyelamatkan muka mereka. Bukankan jauh lebih bagus ARB bermain sebagai KEtum saja di belakang layar, namun dominasi Golkar di eksekutif dan legislatif tetap berkiprah seperti selama ini terjadi. Sementara itu, HR bisa saja menjadi was was dan gelisah jika Prabowo akhirnya melirik sosok lain untuk menjadi Cawapres mereka.

Mengapa GK?

Ginanjar adalah sosok senior yang punya pengalaman sebagai birokrat andal. Meski berasal dari Angkatan Udara, GK lebih dipahami sebagai birokrat yang mampu bertindak dengan lugas dan cekatan ketika beliau memimpin berbagai institusi pemerintahan. Ia telah menjalani berbagai tugas birokrasi dengan baik di berbagai lembaga atau unit penting. Terakhir beliau melaksanakan tugas sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas yang sekaligus merangkap sebagai Menko Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) sebelum Suharto lengser dari tampuk kekuasaan pada awal era reformasi 1997-98.

Mencuatnya nama GK diantara nama cawapres, tentu saja menimbulkan harapan perbaikan baru bagi birokrasi yang saat ini sangatlah amburadul. Memang sejak satu dasawarsa terakhir ini, meski digembar-gemborkan Reformasi Birokrasi (RB), kondisi birokrasi semakin memperhatikan. Hal ini dipicu dengan dilegalkannya staf khusus mulai dari lembaga kepresidenan hingga kementrian yang akhirnya “meminggirkan” birokrat karir yang ada. Kondisi birokrasi ini diperparah pula oleh diterapkannya diskriminasi remunerasi yang ketika itu di putuskan dibawah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri PAN EE Mangindaan. Kondisi birokrasi semakin memprihatinkan sehubungan berbagai kebijakan yang diterbitkan di era KIB 1 dan KIB 2 yang akhirnya mendorong banyak pejabat untuk “mencari aman” saja, dari pada berkarya dan berjuang keras mencari terobosan namun beresiko atas dicopotnya yang bersangkutan dari jabatan.

Sosok seperti GK sangat dibutuhkan bangsa saat ini guna mendayung roda pemerintahan yang selalu nyaris dalam kondisi transisi. Tidaklah mudah jika orang baru sama sekali harus membenahinya. Di samping itu GK sudah terkenal kepiawaiannya dalam memimpin dan mengkoordinasikan kementerian dibawahnya dulu ketika masih menjabat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas. Sebagai staf beliau ketika menyususn Repelita dan berbagai kebijakan strategis lainnya, penulis menyaksikan sendiri betapa GK mampu membuat para Deputi dan Kepala Biro (Direktur) tidak lagi “Asbun”, tetapi benar-benar harus menguasai permasalahan. GK mampu memeriksa dan mengedit berbagai konsep pembangunan dalam waktu singkat dengan secara langsung melakukan koreksi pada naskah, bukan lagi memerintahkan deputi atau staf/sekretarisnya, tetapi langsung ditulis tangan sendiri dengan sangat jelas. GK mampu mendorong staf untuk bekerja giat dan sekaligus berani memarahi baik lisan maupun dalam tulisan. Singkat kata, jika GK memang bisa dimajukan sebagai salah seorang Cawapres saat ini, ia akan memainkan kartu yang cukup penting.

***

Selain sebagai birokrat dan politikus ulung, GK yang lulusan Denki Daigaku, TOkyo, pada tahun 1960-an ini juga menjadi tokoh nasional dengan berbagai idenya untuk menaikan taraf hidup petani dan sekaligus mendongkrak peran Sektor Pertanian di Indonesia. Seingat saya GK pernah mendorong agar umbi-umbian yang tumbuh subur di seluruh Indonesia, termasuk di Jawa Barat, agar bisa menjadi sumber pangan pokok alternatif pengganti nasi yang sangat rentan akan perubahan iklim, subsisdi, dan kebijakan impor.

Sosok GK yang berwajah ganteng pada zamannya dulu pernah menjadi sorotan media untuk sisi lain. Namun penilaian atas kecakapan beliau ataupun kekurangan jika ada biarlah kita serahkan saja kepada masyarakat. Satu yang pasti, dengan jam terbang yang tinggi di bidang pemerintahan dan birokrasi, saya merasa sosok GK memang dibutuhkan bangsa saat ini. Tajamnya persaingan, saling tuding, ataupun kampanye hitam yang dilancarkan dimedia antar sesama kubu Capres, mungkin akan mengalami perubahan dan dinamika yang semakin menarik jika GK memang pada akhirnya mendapat tempat sebagai salah satu Cawapres.

Let’s see. Only time will tell.

_______

Hukum, Pancasila, dan Pekerti Bangsa

Sebuah artikel saya di Kompasiana.

Sering kita dengar semua sama dihadapan hukum. Juga kita maklumi bahwa lain padang lain pula ilalang. Karena itu bagi sebagian orang yang sudah terbiasa dengan dunia persidangan di sebuah pengadilan, tentulah terbiasa pula melihat tata cara persidangan. Termasuk mendengarkan penggunaan kata “Saudara” kepada para saksi atau terdakwa atau tersangka di dalam sebuah kasus yang sedang di sidang. Kata Saudara dipakaikan kepada semua saksi atau tersangka itu tanpa batas dan pengecualian termasuk kepada orang tua sekalipun.

Hal ini terjadi juga ketika Bp, Budiono yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia harus memberikan kesaksiannya dalam kasus yang membelit salah seorang stafnya di pengadilan Tipikor hari Jumat 9 Mei 2014 kemarin.

Meski hanya menontonnya selintas saja, saya dapat memahami apa yang terjadi ketika seorang jaksa, atau hakim yang jauh lebih muda harus memanggil Pak Budiono dengan sebutan hanya “Saudara”. Anak2 yang jauh lebih muda dengan enteng memanggil “Saudara”, sebaliknya pak Bud (demikian kita memanggilnya) dengan ikhlas dan lancar juga memanggil anak2 muda tadi dengan sebutan “Yang Mulia!”.

Sebenarnya tidak ada yang salah memang.Namun sebagai orang timur dan Bangsa yang berbudaya, rasa jengah saya terpancing. Apalagi sebagian dari jaksa dan hakim atau perangkat pengadilan tersebut juga tanpa ragu terkadang memanggil dengan sebutan Bapak, yang jauh lebih enak di dengar. Mungkin di dalam hati mereka juga timbul kebimbangan antara dengan lantang memanggil “Saudara” atau dengan sopan memanggil saksi dengan sapaan yang baik, “Bapak”.

Kita mengetahui bahwa produk hukum kita memang banyak yang diambil atau diturunkan dari hukum Belanda atau negara2 di Eropah yang memang menjadi panutan di bidang hukum sejak zaman kolonial. Sudah selayaknya lah kita bertanya kembali ke diri sendiri, apakah tidak mungkin nilai2 Pancasila yang menjunjung tinggi rasa saling menghormati juga bisa di aplikasikan dalam pengembangan hukum di Indonesia. Misalkan dengan mengganti istilah “Saudara” dalam persidangan tadi dengan “Bapak” atau “Ibu” ketika harus berkomunikasi dengan seorang bapak atau ibu, apalagi yang memang usianya jauh di atas penanya.

Tidaklah mudah membohongi hati kita sendiri dalam keseharian. Mengatakan sesuatu yang tidak sejalan dengan hati terkadang bisa menjadi siksaan dan mengganggu konsentrasi. Meski lama-lama terbiasa, secara pekerti dan sopan santun dalam suatu bangsa yang ingin menjadi bangsa besar di dunia, maka rasanya hal ini mungkin perlu mendapat perhatian. Tidakkah mungkin mereformasi penggunaan panggilan ini di dalam tata cara persidangan atau aturan hukum kita. Bukankah sudah saatnya kita memperbaiki hal-hal yag memang harus kita tinggalkan karena mungkin sudah tidak sesuai dengan zaman atau juga karena tidak sejalan dengan kepatutan, bahkan nurani sendiri.

Saya bukan ahli hukum. Pasti banyak yang berdalih, memang sudah demikian aturannya, tetapi saya juga menyaksikan banyak hakim atau jaksa yang lain justru menggunakan panggilan “Bapak” kepada wapres kita ini kemaren. Jadi mestinya tidaklah harus menjadi kartu mati kita harus menggunakan sapaan “Saudara” kepada saksi yang nota bene tidak harus jadi tersangka, atau bahkan ketika pengadilan justru membutuhkan kesaksian mereka untuk membantu persidangan.

Reformasi adalah memperbaiki yang rusak atau salah, meneruskan yang sudah baik, namun juga menyelaraskan segala sesuatu dengan nurani! Semoga ada perbaikan dimasa mendatang, sekecil apapun, sangatlah berarti buat bangsa dan generasi baru. Bukan hanya mempertahankan dengan mata dan hati yang tertutup karena sesuatu sudah menjadi kebiasaan. Semoga reformasi memang bisa merekah di negeri ini, bukan hanya slogan semata.

Foto Courtesy of Metro TV dan Youtube.