Malu batanyo, Sasek di jalan. (new edition)

Pepatah malu bertanya, sesat di jalan sdh sangat sering kita dengar. Selain orang tua mengajari langsung dalam kehidupan sehari-hari, ibu bapak guru di SD atau SMP pasti pernah melanjutkan pembelajaran ini.

Meski sudah sering mendengar dan bahkan mengingatkan langsung kepada anak2, terkadang rasa malu atau mungkin gengsi sering juga menyergap kita, termasuk saya.

Kali ini di atas Tk57, ya pesawat Turkish dari Jakarta ke Istambul saya mengalami. Ketika makan malam dihidangkan lengkap dg salt and paper, saya terkesima. Dengan design unik diatasnya ada kubah mesjid, salt and paper disajikan seperti gambar di atas.

Saya coba cabut kubah sbg tutup wadahnya, gagal. Untuk ringkas dan cepat, saya terpaksa lepas tutup bawah nya sebagai salurkan input utk memasukkan garam atau merica. SOLVED.

Paginya sebelum mendarat, sarapan disajikan lagi. Lengkap dengan dua wadah salt and paper yg lucu. Kembali saya penasaran karen memerlukan garam dan merica utk omelet bayam saya, menu pagi tadi.

Ternyata, sticker penanda salt and paper atau biber dalam bahasa turki, dan garam atau Tuz itu juga berfungsi sebagai penutup lobang saluran keluarnya Tuz atau Biber.

Oalah…. Malu batanyo, Sasek di jalan!

(tadi sih pramugarinya sangat sibuk melayani, mau nanya.. Antara gengsi dan gak enak… Ngeles kales gaes)

In bound Jakarta to Istanbul on TK57. 30.10.22

New Edition

Ternyata, urusan design botol salt and paper di atas kereta udara Turkish Airline ini, tidak berhenti disini.

Dalam leg penerbangan antara Istanbul dg tujuan akhir saya ke kota nya negeri Hitler di Frankfurt, dapat variasi design.

Awalnya teman sebelah saya pak Yugi dari Kadin kesulitan menggunakan botol2 kecil tadi. Tentu saya dengan sangat yakin menawarkan bantuan. Maka saya carilah lobang ditengah yg pasti tertutup oleh seal.

Apa mau dikata, seal yg dicari-cari gak ene alias kagak ada cing. Nah no no.. Parah ini, ini parah gumam saya. Pas pramugari lewat, lebih baik kita tanya saja pak usul saya. Beliau agak ragu, tapi saya yg sdh kapok sasek alias sesat atawa tidak bisa membuka memantapkan diri.

Alamak… Kalau yg tadi tidak bisa di putar, yg ini justru harus di putar. 🙄🙄😢

Begitulah, hidup baraka mati bariman, kata pepatah minang yg artinya, hidup gunakan akal mati berbekal iman.

Yoi….

Almost there..

Ini ternyata lubangnya.
Lobang di atas

Mobile Video Mixer/VIDEO DJ?

Apa mas nama alatnya ini? Saya bertanya sambil terpana. Baru saya ngeh, ada alat portable yg teronggok rapi di meja operator dalam pertemuan international terakhir saya di Hotel Aryaduta, Kuta, Bali.

Saya lupa jawabannya. Tapi sebagai lulusan Elektro, saya rasanya bisa menamakannya, portable video mixer, portable vicon mixer, portable webinar mixer dan pembaca mungkin juga berhak dan bisa menambahkan namanya. Suka-suka, seperti aqua, sanyo dan berbagai branding yg melanda dan terus dipakai seantero kampung dan negeri kita untuk berbagai produk sejenis.

Bli Ketut Kesuma menyebutkan brand luar utk alat yg pada prinsipnya berfungsi sebagai mixer dari berbagai input untuk kemudian di”tembakkan” alias divisualisasikan ke monitor, TV, dan LED. Tapi saya lupa nama yg disebutkannya. Harganya? Saya gak lupa. Rp 200 juta. “Itu brand luar pak!” lanjutnya.

Nah kalau yang anda rakit sendiri ini habis berapa? Ketut hanya perlu merogoh kantong nya Rp 60 juta saja. Ia merakit berbagai komponen dasar mixer, menambahkan bbrp graphic card utk mempertajam tampilan akhir di layar. Singkat cerita mixer ini hanya cukup ditambah laptop atau PC untuk memasukkan slide presentasi presenter yg ikut didalam webinar atau zoom.

Kalau Ketut sudah bisa merakit sekitar 6 Mixer canggih ini, ayo anak muda Indonesia lulusan Akademi Komputer atau STEI itb, UGM, UI dll, Covid memaksa orang bervicon ria. Momentum nya sudah tiba, segera lah berkreasi menciptakan mixer sederhana yg sangat di butuh kan seluruh lapisan masyarakat kita dalam berbagai aktivitas.

https://eddysatriya.files.wordpress.com/2022/10/wp-1666353258615.mp4

Tidak ada lagi mixer yang seukuran papan kerambol, jejeran laptop atau PC, konektor AV, dan berbagai sambungan lainnya. Tidak ada seliweran kabel yg merepotkan. Mixer ini benar 2 ringkas. Bisa dilihat di video berikut dan foto diatas. Ukurannya persis sebesar CPU PC ditahun 90an, ketika kita masih pakai PC sejenis Packard Bell, Dell, atau HP pavillion, to name a view.

Tunggu apalagi, buat Branding sendiri seperti mixerindo, autovicon atau nama unik lainnya. Ayo UMKM Indonesia, maenkan!

It’s all yours, folks.

On boarding GA 419. 34k,

21 Oktober 2022

Pipet alias Sedotan

Judul nya pipet. Itu bahasanya yg sering kami pakai ketika kecil di Bukittinggi dulu. Setelah merantau dan besar, baru mengerti bahasa Indonesia yg benarnya adalah sedotan. Gak tahu juga mana yg paling benar, saduran dari bahasa asing, atau secara malas cukup menggunakan istilah yg dipakai dengan menambahkan akhiran – an, dari sebuah kata kerja. Dalam hal ini sedot, menjadi sedotan. Gak tahu cari mudah atau malas (perlu nanya atau komentar senior saya, bang Salomo Simanungkalit, yg editor jagoan harian Kompas).

Judulnya pipet, jangan salah fokus ya dg yg dibawah meja, paha😁.

Kembali ke pipet. Saya putuskan membeli paket termurah di McD untuk mengganjal perut saja sebelum ke airport, sambil menunggu teman yg berbelanja di Krisna, di daerah by pass, Bali.

Pilihan minuman saya minta milo saja. Dan ketika paket saya diantar, memang tidak pakai pipet atau sedotan. Saya tanya ke pelayan, disampaikan sdh tidak boleh menggunakan pipet lagi. Saya maklum karena memang seingat saya penggunaannya sdh dibatasi di bbrp tempat atau kota. Termasuk Bali. Namun ketika paket pasangan di depan saya datang, mata saya fokus kepada pipet, bukan ke bawah meja.

Kontan dan spontan setelah pelayan yg sama mengantarkan paket tersebut, saya panggil baik2 dan saya tanya tegas.

“Mbak, kok itu diberi sedotan?” sergah saya…

Dijawab “Oh itu teh botol pak, kalau teh botol masih boleh”

Wadoowww teriak batin saya, mengganti kata2 yg lebih kasar yg mungkin seharusnya pantas juga. Akhirnya saya hanya bilang, “mbak tolong bilang sama manajernya ya agar jgn diskriminasi lagi besok2, ahar segera disetop utk semua!”

Saya segera berlari kecil ke Krisna, karena mendung hitam semakin menggantung, rintik2 mulai turun.

Dalam batin membatin, yah beginilah asal muasal negara menunggu, Nations in Waiting. Previleges, pengistimewaan, pengecualian dg berjuta alasan telah terus menerus menetaskan pipet, sambx, gas air mata dan berbagai kedunguan yg dibungkus indahnya kemunafikan berjamaah.

Dalam batin membatin, kapankah berakhir? Semoga segera. Aamiin yra. 🙏

Upss. Boarding.

Ngurah Rai, 21 Oktober 2022.

Jenderal Dagang Narkoba, Catatan Delapan Tahun Revolusi Mental Jokowi

Just copy paste, for intellectual exercise only

(Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)

Jenderal polisi dengan bintang dua dan baru saja ditunjuk menjabat Kapolda Jawa Timur, jabatan prestisius, Teddy Minahasa, menjadi pedagang narkoba, yang berhasil dibongkar pihak kepolisian Jakarta. Ini berita terheboh sepanjang sepekan ini, disamping soal isu ijazah palsu Jokowi, yang menjadi perbincangan publik. Bersamaan dengan munculnya berita Teddy Minahasa, beberapa perwira polisi yang diundang Jokowi ke istana, ditemukan sedang positif mengkonsumsi narkoba. Situasi ini berbarengan dengan laporan media, terjadinya peningkatan peredaran narkoba saat ini. Bahkan, setelah rezim Jokowi mengumandangkan “War on Drugs”. Luar biasa hancurnya moral polisi kita.

Harapan atas keberadaan polisi semakin mengecil. Presiden, anggota DPR dan masyarakat ramai-ramai mengecam polisi selama beberapa bulan belakang ini. Setidaknya sejak kasus Sambo, sebagaimana merujuk CNN Indonesia dalam berita “Ramai Kritik Kasus Polri: Sambo, Kanjuruhan Hingga Teddy Terseret Sabu”, 15/10, baik anggota DPR oposisi (Demokrat) maupun pendukung pemerintah (PDIP) melihat polisi seperti tiada harapan lagi bagi perbaikan bangsa. Dalam berita ini bahkan presidenpun sepertinya sudah putus harapan.

Bagi Jokowi tentu saja lebih mengerikan. Sebab, reputasi Jokowi sebagai pemimpin sebuah negara yang akan menggelar perhelatan G20, yang bulan depan akan dilangsungkan di Indonesia, dapat dipertanyakan dunia. Bagaimana mungkin mengamankan sebuah event raksasa jika pengamanan dilakukan oleh polisi yang kini justru perlu diamankan?

Revolusi Mental Yang Gagal

Dalam tulisan saya dua bulan lalu berjudul “Rektor Koruptor dan Gagalnya Revolusi Mental”, saya telah membahas kegagalan revolusi mental ini. Kembali pada kesempatan ini saya mengutip makna revolusi mental yang dimaksud Jokowi, yakni “suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala” (sumber situs Keminfo) dan “Revolusi mental Jokowi ditandai dengan prinsip integritas, etos kerja dan gotong royong. (situs Kemendikbud). Melihat pengertian di atas sudah sepantasnya Jokowi bercermin bahwa revolusi mental itu sudah jauh dari harapan. Keinginan Jokowi yang disampaikan pada polisi di istana kemarin, yakni jangan bermewah-mewah diantara penderitaan rakyat saat ini, seperti pepatah mendulang air ke muka sendiri. Sebab, dengan besarnya kekuasaan polisi dalam naungan Jokowi, tentu artinya itu cermin diri Jokowi sendiri, sebagai sebuah kesatuan.

Persoalan Sambo, pembantaian tragedi Kanjuruhan dan terakhir kasus Teddy Minahasa, menunjukkan spektrum kerusakan mental yang luas pada kepolisian kita. Sehingga selama 8 tahun pemerintahan Jokowi, baik ketika polisi memakai istilah Promoter lalu kini, Presisi, sebagai acuan (budaya) kerja mental mereka semakin terpuruk. Tentu saja kita mengapresiasi adanya elit-elit polisi yang masih berani melakukan perbaikan, seperti dalam kasus Sambo, di mana diberitakan ada jenderal berbintang 3 mengancam mundur jika Sambo tidak di penjara (lihat: “Diminta Buka Sosok Jenderal Bintang 3 yang Ancam Mundur di Kasus Sambo, Mahfud: Saya Tidak Bisa Dipaksa” , Kompas, 22/8), atau keberanian Polda Metro membongkar jaringan penjual narkoba yang melibatkan Jenderal Teddy, dan juga tentu Kapolri yang mendukung reformasi kepolisiankepolisian (misalnya juga ketika langkah cepat Kapolri mencopot Kapolda Jatim atas kasus Kanjuruhan). Namun, segelintir elit polisi yang ingin perubahan ini pastinya menghadapi hambatan yang sangat besar, baik karena kerusakan mental tadi maupun tantangan eksternal dari pihak-pihak yang berhasrat menjadikan kepolisian hanya sebagai alat, baik para bandar, cukong-cukong dan juga para politisi.

Revolusi Akhlak

Bila Jokowi sudah menyaksikan sendiri kemerosotan mental polisi, khususnya terkait statemen statemennya pada saat menerima kedatangan seluruh perwira polisi kemarin di istana, maka sesungguhnya perlu dicari jalan keluar yang tepat.

Pembenahan struktur polisi agar berorientasi pada pelayanan masyarakat dapat dilakukan oleh Jokowi dan Kapolri secara sistematis. Namun, itu tidak akan berhasil jika perombakan kultural tidak dilakukan. Perombakan kultural ini hanya bisa dimulai dengan sebuah tobat besar-besaran dan dilanjutkan dengan memperbaiki moral atau akhlak polisi. Sebagai penegak hukum polisi harus masuk pada pepatah “membersihkan yang kotor tidak mungkin dengan sapu yang kotor”. Polisi harus mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka harus jadi teladan. Mereka harus bersyukur atas apa yang mereka peroleh sebagai rezekinya. Nasihat Jokowi untuk tidak silau dengan kemewahan, dalam situasi yang serba memuja benda saat ini, hanya bisa dilakukan dengan mendekatkan diri pada ajaran agama. Polisi harus dekat dengan ulama, kyai, Masjid, Pendeta, Gereja dan lain-lain sesuai dengan agamanya.

Apabila moralitas polisi sebagai penegak hukum mendapatkan kepercayaan rakyat, melalui perbaikan akhlak, maka cita-cita Jokowi dalam Nawacita, menciptakan Indonesia yang aman dan nyaman tentu dapat terjadi.

Penutup

Kepolisian kita diambang kehancuran moral dan mental. Jokowi telah mengundang seluruh perwira polisi ke istana kemarin lalu dan memberi petuah agar jajaran polisi tidak silau kemewahan, bekerja jangan terlalu menjelimet seperti yang digambarkan Presisi, dan kembali menjadikan polisi untuk kepentingan rakyat. Semua kejadian terakhir, Sambo, Kanjuruhan, dan kasus Teddy Minahasa, menunjukkan Revolusi Mental Jokowi telah gagal. Jokowi dan Kapolri harus bekerja keras untuk mereformasi kepolisian agar kembali pada fungsinya, mengayomi rakyat.

Namun, Jokowi dan Kapolri hanya bisa menyelesaikan masalah struktur, seperti memperbaiki renumerasi, jenjang karir atau lainnya, namun tanpa perbaikan kultural, yakni akhlak dan moral, langkah ini tidak akan merubah banyak.

Saatnya saat ini Kapolri mendekatkan diri jajarannya pada ulama, Pendeta, pusat-pusat ibadah dlsb, untuk mengasah akhlak. Mengasah akhlak akan menjauhkan manusia dari serakah maupun kebendaan belaka. Jajaran elit disekitar Kapolri maupun para penasehatnya harus juga mengalami perombakan, ke arah perbaikan akhlak tadi. Langkah jajaran Polresta Malang yang melakukan Sujud memohon ampun beberapa hari lalu, paska Tragedi Kanjuruhan, perlu dijadikan contoh awal yang perlu diapresiasi.

Semoga perbaikan institusi Kepolisian dapat berlangsung sukses.

Reformasi Birokrasi yg terlupakan.

Daftar Plt di Kementerian yang Diminta Istana Segera Diisi Pejabat Definitif

https://news.detik.com/berita/d-6337573/daftar-plt-di-kementerian-yang-diminta-istana-segera-diisi-pejabat-definitif

How police action in Indonesia led to a stampede in the soccer stadium – The Washington Post

We are developing country, still. Just remember that in any decision you gonna make. 😭

https://www.washingtonpost.com/world/2022/10/06/indonesia-kanjuruhan-stadium-stampede-police/