Betul, “Decision Makers” Jangan Terperdaya Sosmed.

Azrul Ananda … anak Dahlan Iskan

Vaksin Berpikir Simple

23 Jun 2021

Saya punya pengakuan: Saya suntik vaksin lagi di Amerika, setelah ikut balap sepeda Unbound Gravel, di Kansas, baru-baru ini. Saya suntik di negara bagian Texas, sehari sebelum terbang kembali ke tanah air. Waktu itu saya memilih vaksin Johnson & Johnson, karena hanya butuh sekali suntik.

Sebenarnya, saya sama sekali tidak berniat suntik lagi di Amerika ini. Saya sudah divaksinasi beberapa bulan lalu, bersama manajemen dan pemain Persebaya. Waktu itu disuntik Coronavac (Sinovac).

Sebelum berangkat ke Amerika, saya cek darah lengkap. Memastikan kondisi saya sebaik mungkin. Dan memang, berkat latihan dan persiapan menuju lomba, kondisi saya termasuk sangat baik. Bukan yang paling fit, tapi termasuk sangat baik.

Kecuali satu: Antibodi saya hanya 15. Itu setelah lebih dari sebulan divaksin. Istri saya lumayan, di angka 37.

Kami pun berangkat. Ternyata, sampai Amerika, kami tak perlu karantina. Kami pun bingung mengatur program untuk sepekan, yang sudah kami sisihkan untuk karantina. Pilihannya stay di negara bagian Texas, latihan di sana sekaligus menyesuaikan diri dengan cuaca dan kondisi.

Kami menyewa rumah. Bukan hanya supaya lebih hemat dari hotel, tapi supaya lebih punya ruang luas untuk sepeda-sepeda dan perlengkapan kami yang lumayan banyak.

Karena itu, kami pun harus ke supermarket untuk belanja kebutuhan dapur dan lain-lain. Ketika keliling itu, saya menyadari betapa luar biasa sederhananya penanganan pandemi di Amerika. Super simple.

Kami pergi ke Walmart, hypermarket paling populer di Amerika. Baru masuk, sudah ada papan tulisan penawaran vaksinasi. Gratis. Cukup menuju bagian farmasi di Walmart, mendaftar di sana atau lewat aplikasi, lalu suntik. Benar-benar walk in. Tidak ada prosedur panjang. Tidak ada penjagaan aneh-aneh. Tidak ada “event” merayakan vaksinasi.

Penawaran vaksinasi gratis di sebuah Walmart di Kansas.

Di Walmart yang kami kunjungi itu, yang ditawarkan Pfizer.

Kami juga ke beberapa jaringan apotek/toko kebutuhan populer. Seperti Walgreens dan CVS. Semua punya papan tulisan atau pengumuman jelas: Silakan walk in untuk suntik vaksin.

Iseng, saat di Walgreens, kami bertanya ke loketnya. “Benarkah di sini bisa vaksin?”

Jawaban yang menjaga: “Anda bisa suntik sekarang juga kalau mau.”

Kami tanya lagi: “Ada vaksin apa?”

Jawabannya: “Ada Pfizer, Moderna, atau Johnson & Johnson. Silakan mau pilih yang mana.”

“Gratis?”

“Gratis.”

Hebat juga. Minta vaksin semudah beli obat batuk.

Terus terang, justru kami yang “ngeper.” Segampang itu. Seramah itu. Benar-benar tidak banyak basa-basi.

Setelah diskusi, kami memutuskan tidak dulu. Kami ingin fokus ke lomba di Kansas dulu. Just in case nanti ada efek samping setelah suntik. Serta, kalau memilih Pfizer atau Moderna, akan ada komplikasi jadwal, karena harus dua kali suntik.

Kebetulan, di pekan yang sama, seorang sahabat kami juga sedang di Amerika. Ia dan istrinya sama-sama dokter. Sedang urusan keluarga di negara bagian yang berbeda. Saya pun diskusi dengannya. Kebetulan, ia seperti saya. Antibodinya juga kecil setelah tiga bulan divaksin di Indonesia.

Saya juga diskusi dengan beberapa teman dokter di Indonesia. Apa oke disuntik lagi vaksin di Amerika. Rata-rata bilang no problem. Oke, saya punya opsi itu sebelum pulang. Saya pikirkan saja nanti. Saya putuskan nanti.

Lomba selesai. Sebelum balik ke Indonesia, sehari sebelum terbang, kami semua swab PCR. Tegang juga, mengingat praktis selama tiga pekan kami sangat jarang bermasker. Ikut masyarakat di Amerika yang sudah tidak perlu bermasker kalau sudah divaksin. Dan di sana, yang divaksin sudah separo lebih populasi.

Alhamdulillah, semua aman. Lalu, saya harus bikin keputusan. Kalau mau vaksin lagi, harus hari itu. Tidak ada kesempatan lain. Jangan pagi sebelum terbang, khawatir kalau demam dan ada efek samping lain, malah tidak bisa ke bandara dan terbang pulang.

Segera saja setelah swab saya diantar ke salah satu farmasi/toko kebutuhan terdekat. Saya ke loket farmasinya, bilang ingin vaksin. Saya benar-benar walk in. Tidak mendaftar via aplikasi. Tidak masalah, kata yang di situ. Saya cukup mengisi formulir selembar. Menunjukkan kartu identitas (paspor). Dia semua yang mengisi data di komputer.

Ketika saya bilang ingin Johnson & Johnson, dia mengecek dulu apakah benar-benar ada stok. Ternyata ada dan siap. Saya disuruh tunggu sebentar, nanti akan dipanggil masuk ruang periksa untuk disuntik.

Hanya beberapa menit, saya dipanggil. Masuk. Duduk. Perempuan yang akan menyuntik menunjukkan vaksinnya. Menunjukkan kalau itu Johnson & Johnson. Lalu dia mengingatkan, saya mungkin akan mengalami sedikit demam dan kurang enak badan dalam satu dua hari ke depan. Tapi itu tidak apa-apa.

Saya bertanya, bagaimana dengan kejadian pengentalan darah yang diberitakan itu. Dia bilang, jangan khawatir, itu hanya terjadi pada perempuan usia 19-49, dan hanya satu dari satu juta.

Tidak ada cek tekanan darah. Langsung tancap di lengan kiri. Beres.

“Sebelum pulang, tolong jangan ke mana-mana dulu 15 menit. Silakan duduk di tempat tunggu atau jalan-jalan keliling toko. Kalau dalam 15 menit tidak ada keluhan apa-apa, cukup nongol depan jendela dan tunjukan jempol. Silakan pulang,” katanya.

Saya langsung mendapatkan kartu bukti vaksin, lengkap dengan nama vaksin dan nomor serinya. Lalu ada lagi menyusul di email. Saya juga dapat voucher belanja USD 5, siapa tahu ingin belanja di situ. Lumayan, saya beli cokelat.

Sudah. Beres. Selesai. Dalam dua pekan setelah suntik, saya sudah dikategorikan sudah divaksinasi tuntas.

Sore itu kami gowes dulu. Malamnya, saat packing, saya mulai demam. Saya pun minum obat, tidur. Bangun pagi masih agak kliyengan, tapi sudah tidak apa-apa. Meneruskan packing, lalu siap-siap check out dan makan lalu ke bandara untuk pulang.

Teman saya yang dokter itu ternyata kemudian juga suntik vaksin lagi. Kemudian, ada teman saya lain lagi di Los Angeles, yang sedang di Amerika urusan lain, juga suntik vaksin (juga Johnson & Johnson karena praktis sekali suntik).

Pembaca yang budiman, saya menulis ini bukan untuk apa-apa. Saya ingin menggambarkan, betapa sederhana, betapa tidak hebohnya, proses vaksin di Negeri Joe Biden. Tidak perlu ada kehebohan khusus dari para pejabat, tidak perlu ada penjagaan khusus dari aparat.

Benar-benar simple. Sebarkan vaksinnya, siapa saja silakan suntik di mana saja. Tidak perlu ke rumah sakit atau kawasan khusus. Cukup ke farmasi atau bahkan supermarket.

Itu saja di Amerika masih dirasa kurang cepat.

Dan saya kira kunci melawan pandemi ini memang harus bisa simple. Kebijakan pemerintah Amerika sangatlah simple. Seperti yang saya tulis di Happy Wednesday sebelum ini (Baca: Masker Akal Sehat), ada anjuran jelas dari pemerintah pusat. Bahwa kalau sudah divaksin, maka seseorang tidak perlu lagi bermasker. Tapi, kebijakan lebih detail diserahkan kepada masing-masing pemilik usaha, apakah mewajibkan konsumennya memakai masker atau tidak.

Tidak ada istilah-istilah PSBB, PS Mikro, PS Lockdown, PS Ambyar, atau apalah. Semua simple, pakai common sense alias akal sehat. Tidak ada lempar-lemparan tanggung jawab soal penerapan kebijakan. Tidak ada bupati ngomel ke gubernur, gubernur ngomel ke menteri, lalu kalau berani ngomel ke presiden. Tidak ada lempar-lemparan tanggung jawab soal izin kegiatan.

Dan yang terpenting: Kebijakannya berdasarkan rasa percaya kepada sains (ilmu pengetahuan). Bukan kebijakan yang ganti-ganti karena menyikapi apa yang sedang ramai di sosmed.

Setelah divaksin masih bisa positif? Iya. Tidak perlu heboh gaduh. Yang penting tidak sampai sakit parah, tidak sampai masuk rumah sakit, tidak sampai meninggal. Bukankah itu tujuan utama vaksin? Bukan untuk tidak positif, tapi untuk mengurangi atau menghilangkan risiko terburuknya!

Setelah divaksin bisa demam dan tidak enak badan? Jangan dihindari. Saya melihat promo vaksinasi di sana. Seorang dokter berbicara: “Kalau Anda demam setelah divaksin, Anda seharusnya senang. Itu tandanya vaksinnya bekerja.” Tidak seperti kita, yang seolah inginnya divaksin air saja supaya tidak sakit sama sekali.

Masih ada efek samping dari vaksin tertentu? Jangan heboh. Satu dari satu juta. Harus bisa berpikir sangat global. Dampak baiknya masih jauuuuuh lebih baik dari risikonya.

Mohon maaf. Saya memang lagi sering geleng-geleng kepala baca berita-berita hebohnya pandemi di negeri kita tercinta ini. Hal-hal kecil dihebohkan luar biasa, sehingga tidak ada lagi yang memperhatikan secara holistik.

Energi lebih capek ngurusi yang kecil-kecil, daripada memikirkan bagaimana yang paling utama nanti (mengakhiri pandemi ini).
Ya itu tadi, kebijakan jadi dibuat berdasarkan reaksi sosmed, bukan berdasarkan prinsip kebaikan, apalagi sains.

Sekali lagi mohon maaf.

Sekarang saya sadar betul, siapa saja bisa sekolah setinggi langit untuk bisa memikirkan hal-hal paling rumit. Sayangnya, yang kita butuhkan mungkin justru sekolah untuk berpikir simple. Atau malah vaksin yang bisa membuat masyarakat kita lebih simple…
(Azrul Ananda)

Maaf kalau saya lancang…

Begitulah suara si ibu yg basah kuyup di bawah siraman gerimis yg cukup lebat, sore menjelang senja ini. Ia berdiri di depan pintu kecil rumah kami. Tetesan air hujan yg ditahan oleh ranting pohon bunga kenanga di pekarangan rumah saya menerpa mukanya yg sudah cukup kuyu. Saya segera minta dia bergeser ke pintu garasi yg lebih besar dan ada kanopinya, sehingga ia terhindar dari gerimis lebat.

TBC..

Corona.. KH M Bisri

*Puisi Gus Mus…😍 _*BUBARNYA AGAMA*_ By. Ahmad Mustofa Bisri

Mekkah sepi
Madinah sunyi
Ka’bah dipagari
Masjid tutup
Jama’ah bubar
Jum’at batal
Umrah di stop
Haji tak pasti
Lafadz adzan berubah
Salam jabat tangan dihindari

Corona datang
Seolah-olah membawa pesan
Ritual itu rapuh!

Ketika Corona datang
Engkau dipaksa mencari Tuhan
Bukan di tembok Ka’bah
Bukan di dalam masjid
Bukan di mimbar khutbah
Bukan dalam thowaf
Bukan pada panggilan azan
Bukan dalam shalat jama’ah
Bukan dengan jabat tangan

Melainkan,
Pada keterisolasianmu
Pada mulutmu yang terkunci
Pada hakikat yang tersembunyi

Corona mengajarimu,
Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian
Tuhan itu bukan (melulu) pada syari’at
Tuhan itu ada pada jalan keterputusanmu
Dengan dunia yang berpenyakit

Corona memurnikan agama
Bahwa tak ada yang boleh tersisa
Kecuali Tuhan itu sendiri!

Temukan Dia
JANGAN HANYA SIBUK
Menyebarkan sisi :
BURUK COVID 19 SAJA

COBA LIHATLAH :

SISI POSITIF VIRUS CORONA

Tidak ada di dunia ini yang terjadi secara kebetulan. Semua ada Tujuan dan Hikmahnya.
Inilah Hikmah di balik pandemi Corona.

1. Corona menutup bar, klub malam, rumah bordil, kasino dan tempat orang berbuat maksiat.

2. Corona menurunkan suku bunga bank yang mencekik leher.

3. Corona membawa keluarga kembali ke dalam rumah dan melakukan aktivitas rumah bersama.

4. Corona memindahkan alokasi anggaran militer menjadi anggaran perawatan kesehatan.

5. Corona melemahkan para diktator dunia yang selama ini sombong luar biasa.

6. Corona membungkam kesombongan negara yang menganggap dirinya paling hebat dan tak terkalahkan.

7. Corona membuat manusia banyak berdoa dan berharap pada-Nya dan tidak semata-mata mengandalkan sains dan teknologi.

8. Corona memaksa negara memperhatikan rakyatnya.

9. Corona mengajarkan cara bersin, menguap, dan batuk yang baik dan benar.

10. Corona membuat kita tinggal di rumah dan hidup sederhana.

11. Corona mengajarkan bagaimana virus kecil yang berukuran 150 nano bisa mengalahkan tujuh milyar manusia yang hidup di bumi yang luasnya ratusan juta hektar.

12. Corona memberi kesempatan kepada kita untuk menyadari bahwa kematian itu nyata dan dekat dengan kita.

13. Corona mengajari kita agar tidak jajan dan makan sembarangan di luar.

14. Corona membangunkan kita pada kenyataan dan memberi kita kesempatan untuk meminta pengampunan dan pertolongan-Nya.

15. Corona menyadarkan kita bahwa apa yang kita miliki adalah milik Tuhan yang bisa diambil kapan saja.
Percayalah, Tuhan menurunkan sesuatu dengan hikmah; ada pelajaran besar dalam hal ini bagi mereka yang arif dan bijaksana untuk melihat dan menyadari.

16.Corona membuat kita menyadari pentingnya mempunyai proteksi kesehatan yg bagus.

MARI KITA RENUNGKAN,. APAPUN AGAMA MU.. KITA HANYA MANUSIA BIASA… BERBUATLAH YANG TERBAIK DALAM HIDUP INI… Salam 3M buat kita semua.. 🙏🙏🙏🇮🇩 💪💪👍👍

Tks Cak Imin, it’s a very well written..!

BERFIKIRLAH SEPERTI ORANG MINANG

Serial Minangkabau dalam Pikiran Cak Imin (Bagian 1/satu)

Oleh:
Muhaimin Iskandar

Covesia.com – Beberapa waktu lalu, di tahun-tahun politik yang panas, saya dalam kondisi pelik dalam mengambil keputusan.

Entah mengikuti arus, entah melawan. Saya gamang melangkah, gugup bertindak, ruang gerak yang sempit kian merumitkan.

Sementara dalam kekakuan, waktu terus berjalan. Ia (waktu) sedikit juga tidak mau menunggu. Keputusan yang akan saya ambil memang harus cepat, sebab akan menentukan nasib jutaan orang, bahkan arah dan nasib Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saya nakhodai. Sungguh teramat pelik.

Sebagai politisi, saya memang terbiasa dihempas badai, sudah sering dalam kondisi tak enak. Tapi waktu itu, badai yang datang tak biasa. Ia beriringan dengan gemuruh yang hebat.

Di ujung kepasrahan, saya menemui beberapa sepuh, orang-orang tua yang kenyang pengalaman. Minta petunjuk. Saya memang terbiasa seperti itu, tak mau buru-buru memutuskan sesuatu.

Bagi saya, musyawarah mufakat, adalah harga mati, apalagi jika keputusan yang akan diambil menyangkut hajat orang banyak.

Dari sekian banyak sepuh yang saya temui, ada satu orang yang hanya berucap satu kalimat. “Berpikirlah seperti orang Minangkabau,” katanya. Ini satu kata yang magis, saya tersentak, jaga dari keragu-raguan.

Ya, saya harus berpikir seperti orang Minang. Orang-orang cadiak pandai dari Pulau Andalas. Orang-orang yang dalam memutuskan suatu perkara penuh kehati -hatian, samuik tapijak indak mati.

Para pemikir Minangkabau selalu punya spirit dalam bertindak, dan tak pernah gamang dalam mengambil keputusan. Indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak ka Janiah.

Demikian falsafahnya. Saya terlecut untuk berpikir jernih dalam mengambil keputusan. “Berpikirlah seperti orang Minang,” kata itu terngiang.

Ya, pada akhirnya, saya “menjadi” orang Minang dalam mengambil keputusan pelik itu, dan saya yakini, keputusan yang saya ambil tepat, nasib politik banyak orang terselamatkan, PKB melaju dan kini masuk dalam deretan partai pemenang dalam pemilihan umum.

Setelah badai politik berlalu, saya kian gandrung untuk “menjadi” orang Minang, dalam artian selalu menyelami kebiasaan-kebiasaan Minang, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Semakin saya mempelajari Minangkabau

Semakin saya jatuh cinta, barangkali, nilai-nilai yang terkandung dalam adat dan budaya Minang pulalah yang membuat Agus Salim bisa menjadi diplomat ulung, menjadi pencerah bangsa., kekaguman pada Minangkabau itu pula yang membuat saya berkali-kali datang ke Sumatera Barat (Sumbar), yang menjadi pusat Minangkabau, datang ke Sumbar, bagi saya seperti datang ke gudang ilmu. Segala ada.

Setiap mengunjungi Sumbar, saya selalu menyempatkan berdiskusi. Dengan siapa saja. Saya yakin, orang Minang memiliki doktrin politik yang kuat, yang tak diajarkan di bangku sekolah. Ilmu politik yang mereka punya diasah dari surau ke surau, lapau ke lapau, hingga ke tanah tanah perantauan.

Saya suka berlama-lama di surau, duduk di lapau, mendengar ota orang Minangkabau. Kalau ada waktu luang di Jakarta, saya main-main ke Tanah Abang, tempat orang Minang banyak berniaga. Sekadar berdiskusi dan bertukar pikiran. Segala hal didiskusikan dengan bernas.

Surau dan lapau memang menjadi wadah penting dalam mengasah keterampilan diplomasi orang Minangkabau. Itulah kenapa tak ada orang Minang yang buta politik, sekalipun dia tidak bersekolah tinggi.

Kecerdasan yang dimiliki oleh orang Minang, berbanding lurus dengan iman yang dimiliki.

Tingkat religious orang Minang memang tidak akan bisa ditakar, keputusan yang diambil orang Minang, tidak semata didasari oleh pemikiran duniawi semata, tapi juga pemikiran religious.

Keseimbangan antara ilmu dan agama membuat setiap keputusan yang diambil jarang meleset selalu tepat.

Minangkabau, baik secara suku, budaya dan sejarah, merupakan sebuah kemashyuran. Baik di masa silam, atau di masa sekarang. Majalah Tempo pada tahun 2000 bahkan mencatat, enam dari 10 tokoh penting di negeri ini pada abad 20, merupakan orang Minangkabau. Bahkan, dari empat pahlawan yang menjadi pendiri Republik Indonesia, tiga orang merupakan putera Minangkabau.

Lipatan kemashyuran Minangkabau memang tak bisa dimungkiri, tengoklah sejarah, bagaimana orang Minangkabau mengorbankan segalanya untuk bangsa ini. Terlepas dari nama besar Bung Hatta, Inyiak Canduang, Tan Malaka, Tuanku Imam Bonjol dan deretan nama besar lainnya, gerakan civil society di Ranah Minang yang berkiblat pada nasionalisme memang tidak bisa dikesampigkan begitu saja. Pesawat ketiga yang dipunyai Indonesia dibeli dengan harta sumbangan perempuan -perempuan Minang. Bundo kanduang rela melepaskan gelang emasnya, liontin bahkan antingnya untuk pembeli pesawat Avro Anson RI-003.

Peristiwa bersejarah pada 27 September 1947 membuktikan, kalau bangsa dan negara ini adalah cinta pertama orang Minangkabau dalam ruang politik. Cinta yang melanda seluruh putra-putrinya tanpa terkecuali.

Indonesia bagi orang Minang adalah harga mati, tidak bisa diganggu gugat. Saya sejujurnya, mengangkat topi atas sikap sejarah yang dilakukan.

“Menjadi” orang Minangkabau secara pemikiran, bagi saya suatu kebanggaan. Bahkan, gagasan -gagasan yang menjadi penopang tumbuh kembangnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dewasa ini banyak didasari oleh filosofi Minangkabau, dan terpengaruh oleh langkah politisi diplomasi pendahulu dari negeri cadiak pandai itu. Politik yang dimainkan orang Minang merupakan politik murni. Instrumennya kejujuran, amanah dan totalitas.

Tiga instrumen itu memunculkan hirarki politik yang dinamis. Orang Minangkabau tidak mengenal pola kepemimpinan otoriter.

Beda dengan daerah lain, pemimpin di Minangkabau bukan pemimpin yang dikultuskan. Mereka, yang ditunjuk sebagai pemimpin, hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Artinya, Demokrasi begitu hidup.

Saya mengira, demokrasi yang paling bersih itu ada di Minangkabau. Bahkan, siapa saja di Minangkabau, tanpa menunjuk latar, asal, pangkat dan jabatan, punya hak untuk mengkritik.

Rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah.

Artinya, ketaatan orang Minangkabau pada pemimpinnya, berlaku Ketika pemimpinnya adil dan amanah. Tapi, ketika pemimpinnya sudah zalim, keluar dari jalur, masyarakat Minangkabau akan lantang bersuara, mengkritik. Filosofi inilah yang pada akhirnya membuat saya paham, kenapa orang Minang tidak punya urat takut dalam membela kebenaran, tajam mengkritik, dan keras dalam melawan.

Mereka memang sudah diajarkan sedari kecil untuk terus menjaga nilai-nilai luhur, termasuk nilai dalam berpolitik. Jika nilai itu dilanggar, reaksi keras akan dilakukan.

Minangkabau, bagi saya adalah harapan di lekuk-lekuk Bukit Barisan, wawasan kebangsaan mekar secara alami. Orang- orang Minangkabau, berwatak keras tentang kebenaran. Bagi mereka, kebenaran adalah jalan buntu. Tak bisa dibelok-belitkan. Harga mati. Itu kenapa, pada akhirnya banyak orang-orang Minangkabau yang bersuara lantang, melawan sesuatu yang menurut mereka pantas dilawan.

Saya terkesima degan sikap keminangan demikian, dan selalu berharap bisa “menjadi” orang Minang seutuhnya.!

https://covesia.com/warna-warni/111464/berfikirlah-seperi-orang-minang/

What A Vision.

Continue reading

MashaAllah, mari mulai baca dan pahami Quran