Nilai Otak dan Goyang

lumayan ada yg nulis meski sdh tidak menjabat. semoga saya mampu, sanggup dan punya keberanian nulis hal sejenis ketika msh menjabat. aamiin yra.

🙏

Nilai Otak dan Goyang
Oleh: Gamawan Fauzi 07/03/2022 | 21:35 WIB

Dua hari lalu saya membaca sebuah artikel tentang uang penghargaan atau honor seorang artis. Disebutkan dalam tulisan tersebut bahwa seorang artis yang sangat populer mendapat uang jasanya sebagai master of ceremony (MC) sebesar Rp5,5 miliar untuk 45 menit dia bekerja.

Pada lain kesempatan saya pernah diceritakan besaran bayaran seorang artis penyanyi terkenal yang sekali diundang menghibur bisa mengeluarkan biaya hingga 200 juta rupiah hanya untuk 5 atau 6 lagu saja. Itu sudah termasuk biaya hotel, asisten dan pesawatnya.

Kemarin saya hadir dalam sebuah perhelatan pesta pernikahan mewah. Hadir di situ seorang biduan terkenal tanah air. Dia membawakan 4 atau 5 Iagu saja, kemudian istirahat di kamar hotel tempat acara. Tampilannya luar biasa. Berbaju glamor dan berdandan bak bidadari. Undangan mendekat ke panggung. Cucu saya tak mau ketinggalan. Sebagai milenial dia juga terpukau dengan segala tampilan sang artis. Mulai dari gaunnya yang wah, dandanannya yang mempesona hingga Iantunan Iagunya yang sangat memanjakan telinga pendengar. Saya hanya senyum dan manggut-manggut memahami kenyataan itu. Saya berfikir. Cucu saya adalah bagian dari mode hidup yang terjadi dewasa ini, yang mungkin juga menjadi trend dunia semisal budaya Korea.

Negeri gingseng yang tiba tiba menggeser obat herbal menjadi penjual drama, make up dan gaya hingga tak kurang dari Kiyai Makruf Amin pernah merujuknya dalam sebuah pidato beliau. Belakangan ini saya jarang sekali menonton TV, apalagi sinetron dan nyanyi. Saya jadi “ketinggalan kereta” untuk urusan sejenis itu.

Beberapa tahun Ialu, ketika saya duduk bersebelahan dengan DR. Imam Prasodjo, dosen sosiologi UI dalam acara dialog pada sebuah stasiun televisi, beliau berucap kepada saya. Di negeri ini harga goyang bebek, goyang Dumang dan goyang-goyang lainnya honornya ratusan kali harga pikiran. Dengan menyebut nama seorang artis dangdut, beliau mengatakan bahwa honornya Rp100 juta dan kita nanti akan terima honor Rp500 ribu. Saya tak berkomentar dan hanya tersenyum. Eh.. pada saat acara usai, karyawan TV tersebut menyorongkan kuitansi dan saya baca sudah terima dari dan seterusnya honor tersebut besarannya tertulis Rp500 ribu.

Saya tak kaget lantaran sudah biasa dan memang sebesar itu nilai sebelum sebelumnya, apalagi bagi saya yang saat itu sebagai seorang pejabat, yang penting momen diskusi bisa dimanfaatkan menjelaskan pandangan, sikap atau program kelembagaan di tempat saya menjabat. Soal honor itu bukan tujuan.

Tapi dengan membaca artikel dua hari Ialu itu, saya menjadi ingat uoapan Dr. Imam Prasodjo dan saya coba berfikir komperatif dan lebih substantif sebab saya juga tau besaran uang kehormatan untuk para mubalig dan ulama yang menyiram qalbu jemaah 60 menit atau Khutbah Jumat sekitar 30 menit. Saya juga tau upah buruh lepas, bekerja 8 jam seratus ribu, tukang yang terampil 8 jam bekerja Rp150 ribu dan honor dosen untuk sekali ngajar rata rata Rp350 ribu rupiah, dan sederet daftar upah/ honor/ uang lelah atau apapunlah namanya.untuk berbagai profesi.

Para pengajar, dosen atau semacamnya memang beda beda untuk setiap lembaga pendidikan. Guru besar konon mendapat uang kehormatan setiap bulan Rp18 juta diluar gaji. Tapi para direktur bank dan dirut BUMN besar rata rata mendapat gaji dll tak kurang dari Rp150 juta bahkan ada yang mencapai Rp250 juta per bulan. BUMN yang amat besar bisa menoapai Rp300 juta Belum lagi termasuk Tantiem tahunan yang jumahnya miliaran bahkan ratusan miliar jumlahnya, tergantung Iaba perusahaan.

Pada jajaran birokrasi, gaji presiden tak lebih dari Rp60 juta per bulan, gubernur Rp8,7 juta dan bupati/ wali kota Rp6,2 juta. Sementara biaya kampanye yang dikeluarkan dipastikan hitungan milyar. Pernah saya menanyakan kepada salah seorang gubernur di salah satu Propinsi “kaya” Berapa uang keluar buat biaya kampanye? Dia mengangkat satu jari telunjuknya. Saya kaget. “Seratus miliar?” tanya saya menegaskan. Dia mengangguk. “Kenapa sebesar itu?” tanya saya. “Saya kan banyak partai yang mendukung Pak,” katanya. “Biaya kapal berlayar kan besar,” jawabnya. Saya manggut-manggut tanda paham. Belum lagi biaya alat peraga kampanye yang sangat masif.

Tapi saya tak berlarut Iarut membandingkan sistem gaji Birokrat. Dulu saya pernah menjadi bagian dari team yang merumuskan sistem penggajian yang adil dan proporsional di lingkungan pejabat negara dari pusat sampai daerah. Drafnya sudah selesai dan dianggap final. Tapi tak mudah untuk di tanda tangani pejabat berwenang karena ributnya pasti lama. Dan yang tanda tangan pasti akan di hujat berbulan bulan karena bisa di cap hanya memikirkan nasib pejabat, bukan nasib rakyat.

Tapi yang saya ingin bandingkan adalah honor penceramah yang memberi pencerahan dengan honor penghibur. Dua-dua nya menyentuh rasa dan jiwa. Penceramah adalah orang berilmu yang bermaksud membasuh qalbu agar menjadi qalbun Salim atau jiwa yang tenang dan menuntun jalan untuk “pulang” dengan husnul khatimah, meningkatkan ketaqwaan sebagai sesuatu yang sangat mendasar serta menyempurnakan iman bagi orang yang beriman agar hidup yang singkat ini berbuah manis dengar sorga yang abadi dalam kehidupan yang sebenarnya (akhirat). Sementara hiburan adalah hiburan. Hiburan adalah untuk kesenangan sesaat ketika lagu yang merdu itu didengar telinga dan dirasakan jiwa yang halus. Atau juga untuk memanjakan mata dari menikmati lenggang lenggok penyanyi yang di idolakan. Kadang tampilan itu membius dan menuntun pribadi hingga melupakan kesulitan hidup bagi yang kering atau menyempurnakan kenikmatan hidup bagi yang berpunya. Kebahagian ini jangan cepat berlalu. Katanya. Tapi kenikmatan itu hanya sesaat, tak mampu membuat batin tenang. Setelah penyanyi berlalu, persoalan hidup tak akan teratasi. Kegalauan muncul kembali bagi yang sedang galau.

Apalagi juga tak memberikan sumbangan apa-apa untuk kehidupan sesudah mati. Tapi itulah fakta yang kita jumpai. Rp100 juta bersih, buat artis populer, dan Rp500 ribu buat penceramah atau da’i, sudah termasuk biaya transportasi dll.

Saya tak bermaksud menyalahkan siapa-siapa. Dan saya juga tak bermaksud menyudutkan orang yang membayar mahal para artis. Itu hak mereka. Tapi saya sekedar bercerita bahwa itulah fenomena kehidupan kita. Kadang-kadang karena demikian kompleksitasnya persoalan hidup, membuat kita lupa bermuhasabah.
Kadang karena berjalan terlalu jauh dan hidup terlalu panjang, membuat kita lupa akan hakekat. Sehingga sesuatu yang sederhana kita hargai berlebih, sementara sesuatu yang penting dan bernilai tinggi kita abaikan. Saya bisa juga salah. Galibnya manusia.

Alahan Panjang 7 Maret 2022.

Dr. Gamawan Fauzi, SH. MM adalah menteri dalam negeri (2009-2014), gubernur Sumbar (2005-2009), bupati Solok (1995-2005),

Perlu diacungi jempol.

Brigjen TNI Divonis

Korupsi Alutsista 12 Juta Dollar AS

JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Tentara Nasional Indonesia tidak akan mencampuri penegakan hukum dan disiplin atas prajurit yang melanggar hukum. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta memvonis Brigadir Jenderal (TNI) Teddy Hernayadi hukuman seumur hidup karena korupsi.

Mantan Kepala Bidang Pelaksanaan Pembiayaan Kementerian Pertahanan 2010-2014 ini terbukti menyelewengkan dana 12 juta dollar AS yang seharusnya untuk membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista). Saat itu, Teddy masih berpangkat kolonel dan sejak 2014 dipromosikan ke Markas Besar TNI AD dengan pangkat Brigjen (TNI).

Majelis Hakim Pengadilan Militer, yang diketuai Brigjen (TNI) Deddy Suryanto, dalam sidang di Jakarta, Rabu (30/11), menyatakan, Teddy terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan seumur hidup lebih tinggi daripada tuntutan Oditur Militer Brigjen (TNI) Rachmat Suhartoyo, yaitu hukuman penjara 12 tahun. Namun, hakim ketua Brigjen (TNI) Deddy dengan hakim anggota Brigjen (TNI) Hulwani dan Brigjen (TNI) Weni Okianto menjatuhkan vonis lebih berat.

Pertimbangan yang memberatkan terdakwa ialah perbuatan itu tidak mendukung program pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah dan penyalahgunaan dana alutsista yang semestinya untuk mempertahankan kedaulatan negara malah memperkaya diri sendiri.

Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Wuryanto mengatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada pengadilan. Vonis hukuman seumur hidup pada Teddy diyakini telah dipertimbangkan dengan matang.

“Kami menginginkan tidak ada lagi prajurit TNI yang melakukan korupsi atau berbuat tidak jujur dalam tugasnya. Kami berharap ini menjadi pembelajaran bahwa setiap prajurit TNI harus setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” kata Wuryanto.

Wuryanto menegaskan, sekalipun ia adalah salah satu perwira tinggi TNI, tetapi perbuatannya dinilai tidak sesuai dengan jiwa dan semangat prajurit TNI.

“Waktu kejanggalan urusan keuangan itu mengemuka, Pati tersebut (Teddy) sudah pindah ke Mabes AD. Namun, saat melakukan tindak pidana itu, Pati itu (Teddy) sedang menjabat di Kemenhan,” ujar Wuryanto.

Atas vonis tersebut, Teddy yang didampingi kuasa hukum Kolonel Martin Ginting menyatakan pikir-pikir.

Sementara itu, Panitera Pengganti Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Kapten (Chk) Arief Rachman menjelaskan, terdakwa memiliki waktu 7 hari untuk berpikir, apakah mengajukan banding atau tidak. “Jika tidak mengajukan banding, yang bersangkutan langsung menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Militer Cimanggis, Depok,” kata Arief.

Patut diapresiasi

Menanggapi vonis terhadap perwira tinggi TNI tersebut, peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, vonis seumur hidup pada Teddy patut diapresiasi. Putusan seumur hidup terhadap prajurit TNI dalam kasus korupsi merupakan yang pertama kali di Indonesia.

Akan tetapi, Khairul mengingatkan, upaya hukum belum berakhir karena terdakwa masih bisa banding dan kasasi. “Putusan ini harus terus dikawal,” ujar Khairul.

Secara terpisah, Kepala Biro Humas dan Hukum Mahkamah Agung (MA) Ridwan Mansyur mengatakan, putusan majelis hakim pengadilan militer bebas intervensi. Vonis berat itu, kata Ridwan, diharapkan bisa memberikan efek jera agar prajurit tidak mengulangnya sekaligus menegaskan, korupsi adalah musuh bersama. (REK)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2016, di halaman 3 dengan judul “Brigjen TNI Divonis”.

Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161201kompas/#/3/  

Hukum, Pancasila, dan Pekerti Bangsa

Sebuah artikel saya di Kompasiana.

Sering kita dengar semua sama dihadapan hukum. Juga kita maklumi bahwa lain padang lain pula ilalang. Karena itu bagi sebagian orang yang sudah terbiasa dengan dunia persidangan di sebuah pengadilan, tentulah terbiasa pula melihat tata cara persidangan. Termasuk mendengarkan penggunaan kata “Saudara” kepada para saksi atau terdakwa atau tersangka di dalam sebuah kasus yang sedang di sidang. Kata Saudara dipakaikan kepada semua saksi atau tersangka itu tanpa batas dan pengecualian termasuk kepada orang tua sekalipun.

Hal ini terjadi juga ketika Bp, Budiono yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia harus memberikan kesaksiannya dalam kasus yang membelit salah seorang stafnya di pengadilan Tipikor hari Jumat 9 Mei 2014 kemarin.

Meski hanya menontonnya selintas saja, saya dapat memahami apa yang terjadi ketika seorang jaksa, atau hakim yang jauh lebih muda harus memanggil Pak Budiono dengan sebutan hanya “Saudara”. Anak2 yang jauh lebih muda dengan enteng memanggil “Saudara”, sebaliknya pak Bud (demikian kita memanggilnya) dengan ikhlas dan lancar juga memanggil anak2 muda tadi dengan sebutan “Yang Mulia!”.

Sebenarnya tidak ada yang salah memang.Namun sebagai orang timur dan Bangsa yang berbudaya, rasa jengah saya terpancing. Apalagi sebagian dari jaksa dan hakim atau perangkat pengadilan tersebut juga tanpa ragu terkadang memanggil dengan sebutan Bapak, yang jauh lebih enak di dengar. Mungkin di dalam hati mereka juga timbul kebimbangan antara dengan lantang memanggil “Saudara” atau dengan sopan memanggil saksi dengan sapaan yang baik, “Bapak”.

Kita mengetahui bahwa produk hukum kita memang banyak yang diambil atau diturunkan dari hukum Belanda atau negara2 di Eropah yang memang menjadi panutan di bidang hukum sejak zaman kolonial. Sudah selayaknya lah kita bertanya kembali ke diri sendiri, apakah tidak mungkin nilai2 Pancasila yang menjunjung tinggi rasa saling menghormati juga bisa di aplikasikan dalam pengembangan hukum di Indonesia. Misalkan dengan mengganti istilah “Saudara” dalam persidangan tadi dengan “Bapak” atau “Ibu” ketika harus berkomunikasi dengan seorang bapak atau ibu, apalagi yang memang usianya jauh di atas penanya.

Tidaklah mudah membohongi hati kita sendiri dalam keseharian. Mengatakan sesuatu yang tidak sejalan dengan hati terkadang bisa menjadi siksaan dan mengganggu konsentrasi. Meski lama-lama terbiasa, secara pekerti dan sopan santun dalam suatu bangsa yang ingin menjadi bangsa besar di dunia, maka rasanya hal ini mungkin perlu mendapat perhatian. Tidakkah mungkin mereformasi penggunaan panggilan ini di dalam tata cara persidangan atau aturan hukum kita. Bukankah sudah saatnya kita memperbaiki hal-hal yag memang harus kita tinggalkan karena mungkin sudah tidak sesuai dengan zaman atau juga karena tidak sejalan dengan kepatutan, bahkan nurani sendiri.

Saya bukan ahli hukum. Pasti banyak yang berdalih, memang sudah demikian aturannya, tetapi saya juga menyaksikan banyak hakim atau jaksa yang lain justru menggunakan panggilan “Bapak” kepada wapres kita ini kemaren. Jadi mestinya tidaklah harus menjadi kartu mati kita harus menggunakan sapaan “Saudara” kepada saksi yang nota bene tidak harus jadi tersangka, atau bahkan ketika pengadilan justru membutuhkan kesaksian mereka untuk membantu persidangan.

Reformasi adalah memperbaiki yang rusak atau salah, meneruskan yang sudah baik, namun juga menyelaraskan segala sesuatu dengan nurani! Semoga ada perbaikan dimasa mendatang, sekecil apapun, sangatlah berarti buat bangsa dan generasi baru. Bukan hanya mempertahankan dengan mata dan hati yang tertutup karena sesuatu sudah menjadi kebiasaan. Semoga reformasi memang bisa merekah di negeri ini, bukan hanya slogan semata.

Foto Courtesy of Metro TV dan Youtube.

Wa Ode Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri!

Wa Ode Sistem di DPR Sangat Burukr

Sungguh tragis, ketika nurani ingin bicara, sekeliling malah mencoba membungkam. Begitulah sulitnya memperbaiki suatu sistem di Indonesia. Saya yakin masih banyak yang seperti Wa Ode. Kita yakini tidak mungkin semua orang mencari makan dengan jalur pemanfaatan APBN, apakah itu sekedar gaji atau tunjangan, tidaklah mungkin bisa steril dari “kongkalingkong!”

Selengkapnya….

 

Otokritik: Tentang Panik Itu..

…..Beginilah nasib bangsa jika birokrasi yang memang di seluruh dunia diperlukan untuk mengatur kehidupan kenegaraan, justru diperlakukan dengan sikap munafik. Di pandang sebelah mata. Apakah mungkin berbagai data akurat akan bisa didapat ketika para pejabatnya sendiri sedang libur panjang? Dan justru hasil sesaat ini sekarang menjadi trend untuk digunakan dalam proses pengambilan berbagai keputusan penting. Al hasil, seperti kata salah seorang teman saya di facebook nya, “pemerintah panik karena keseringan menyatakan jangan panik dan tidak perlu panik.”….

…selengkapnya.