Perbanyak Makan Siang Gratis ( dari kita untuk mereka)

Tradisi yg baik utk ditiru. Sebenarnya sdh banyak dilakukan di Indonesia. Ada berupa sarapan gratis di daerah, mesjid dll. Juga ada makan siang gratis, termasuk di Cafe Eititu dulu di Kampus ITB.

Malu Menjadi Bangsa

REFLEKSI KEBANGSAAN

Kita malu kepada para pendiri bangsa jika pemilu dibiarkan sebagai pesta gila ketakadaban, merecoki nilai-nilai luhur.

Oleh
YASRAF A PILIANG
5 Januari 2024 05:00 WIB

Andaikan para pendiri bangsa menyaksikan rangkaian peristiwa politik menjelang pesta demokrasi, Pemilihan Presiden 2024, mereka tentu akan menangis.

Betapa tidak. Warisan nilai-nilai luhur keadaban bangsa telah digerogoti oleh perilaku politik yang merayakan individualisme, altruisme dan egoisme kelompok; keculasan, kecurangan dan kelicikan; intimidasi, ancaman dan teror; wacana ejekan, hinaan dan cercaan; manipulasi aturan hukum, etika dan norma publik.

Demokrasi bak sebuah layar, yang di baliknya bekerja kekuatan oligarki, mafia dan kartel politik, yang ikut menggerus norma publik (Asrinaldi et al, 2021). Di pihak lain, negara membungkam suara publik, hingga memasung kebebasan sipil (illiberalism) (Mietzner, 2020). Dalam kondisi demikian, para broker politik berkeliaran ke pelosok desa menawarkan jasa demi perolehan suara (Berenschot et al, 2023). Para buzzer merajalela di medsos, memanipulasi data.

Dua pesta demokrasi (2014 dan 2019) menjadi monumen kelam kerasnya polarisasi politik, yang memecah-belah anak bangsa. Ini akibat gagalnya antisipasi terhadap ekses sosial pemilihan langsung. Pada Pilpres 2024, ada tanda-tanda polarisasi akan terus mengeras, dan mengancam kesatuan bangsa. Di sini, negara mestinya menjadi mediator untuk merajut kembali persatuan bangsa. Ironisnya, negara justru menjadi bagian dari polarisasi itu—the divided society.

Dosa pemilu langsung
Model pemilihan langsung sebagai amanat amendemen keempat UUD 1945 tahun 2002 memiliki berbagai konsekuensi pada postur demokrasi, hubungan negara dan masyarakat politik, dan hubungan antarmasyarakat politik.

Tampaknya tak ada kajian mendalam, deliberasi publik, dan uji publik sistematis dan terukur, untuk mengantisipasi segala konsekuensi sosial itu. Aneka kegaduhan, perseteruan, dan permusuhan berujung polarisasi di setiap pilpres adalah bukti gagalnya antisipasi ini.

Pertama, pemilihan langsung butuh biaya besar sehingga uang menjadi faktor penentu. Untuk itu, berbagai pihak berkepentingan melibatkan diri dan menjadi aktor belakang layar dalam proses demokrasi, dengan dukungan finansial atau fasilitas, demi kepentingan sendiri (Tavits, 2008; Reilly, 2018).

Maka, terbentang karpet merah bagi para oligark, pialang dan kartel politik, dengan dukungan dana besar demi imbal balik keuntungan ekonomi dan/atau politik (Asrinaldi et al, 2021).

Kedua, pemilihan langsung terpusat pada individu calon pemimpin. Agar mampu bertarung, mesti dibangun opini publik tentang calon pemimpin itu melalui pencitraan, dengan cara cenderung populis: glorifikasi diri sendiri dan degradasi pihak lawan (Bouvier & Way, 2021). Karena publik umumnya tak memiliki pengetahuan komprehensif tentang calon pemimpin, pembentukan opini publik rawan dimanipulasi dengan memainkan psikologi massa, lewat media massa atau survei publik (Fishkin, 2009).

Ketiga, melalui pemilihan langsung, pemimpin dipilih murni berdasarkan perolehan suara terbanyak, tanpa proses deliberasi. Ini membawa ke tirani mayoritas, padahal suara mayoritas itu justru produk dari arus pendek manipulasi psikologi massa (debat publik, jajak pendapat, iklan, komunikasi politik) dengan mengabaikan rekam jejak. Akibatnya, jurang menganga antara suara mayoritas dan pemimpin ideal bangsa (Haskell, 2001).

Keempat, pemilihan langsung memerlukan komunikasi dan kampanye politik yang panjang agar terbentuk opini publik positif. Akan tetapi, karena opini publik dibangun berbasis populisme—melalui bahasa, narasi, dan simbol-simbol kontroversial yang mendorong polarisasi ketimbang persatuan bangsa—semua ini cenderung meningkatkan iklim konfrontasi, konflik, permusuhan, yang rawan bagi kian mengerasnya polarisasi anak bangsa.

Kelima, dalam pemilihan langsung—karena faktor utang finansial—pemimpin terpilih cenderung ”tersandera” para penyandang dana (oligark, donor asing). Akibatnya, arah kebijakan politik-ekonomi cenderung melayani kepentingan mereka, mengabaikan kepentingan rakyat luas. Di sini, pemimpin berbalik mengkhianati suara konstituen pemilih, dan secara pasti menggiringnya ke singgasana otoritarianisme (Tavits, 2008).

Runtuhnya keadaban bangsa
Sebagai negara-bangsa, setiap tindakan dan gerak-gerik komponen bangsa di ruang publik diatur oleh norma atau kode perilaku publik, yang membentuk ”keadaban” bangsa (civility). Keadaban ditunjukkan di ruang publik melalui kesopanan, kesusilaan, kesantunan, penghargaan, dan rasa hormat. Keadaban adalah kode perilaku dan interaksi interpersonal yang tepat atau pantas di ruang publik (Balibar, 2016).

Sebaliknya, ”ketakadaban” (incivility) adalah pelanggaran terhadap kode-kode perilaku publik, yang ditunjukkan oleh hilangnya rasa hormat, respek, dan penghargaan terhadap pihak lain; oleh perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang, bohong disengaja, mengejek secara personal, pembunuhan karakter, ungkapan bahasa sangat emosional, sikap berlebihan, dan mengerdilkan pihak lain (Feldman, 2023).

Runtuhnya Orde Baru—dan dimulainya proses demokratisasi tahun 1998—telah membuka keran kebebasan bagi warga negara. Terbentang ufuk harapan sebuah negara-bangsa lebih terbuka, maju, dan beradab, dengan direbutnya kuasa rakyat melalui sistem pemilihan langsung. Akan tetapi, sistem demokrasi langsung justru membawa nilai-nilai asing dalam budaya politik bangsa, khususnya individualisme, yang mengikis habis nilai permusyawaratan.

Demokrasi permusyawaratan, sebagai sistem demokrasi otentik warisan pendiri bangsa (Latif, 2011), digantikan demokrasi individualis ala pemilihan langsung. Sistem ini kontradiktif karena di satu pihak memberikan kuasa kepada rakyat dalam memilih langsung pemimpin, tapi di pihak lain mengikis nilai-nilai permusyawaratan, sebagai nilai inti Pancasila. Artinya, pemilihan langsung bentuk ”pengkhianatan” terhadap Pancasila.

Nilai individualisme—bersama nilai egosentrisme, altruisme, populisme—kini menjadi nilai-nilai utama politik demokratis. Di dalamnya, prinsip musyawarah digantikan ”pertarungan”, mufakat digantikan ”debat”, benar/salah digantikan ”menang/kalah”, rekam jejak digantikan ”pencitraan”. Tekanan harus menang di pertarungan akibat utang finansial yang harus kembali, telah mendorong cara-cara Machiavelian dalam proses politik, yang membuka pintu ketakadaban.

Tanda-tanda ketakadaban ini sudah mulai tampak pada Pilpres 2014 dan 2019, dan kian mengeras menjelang Pilpres 2024. Di media sosial—dalam kondisi menguatnya kembali polaritas politik, yang membelah anak bangsa—ketakadaban lebih ugal-ugalan.

Berbagai kata kasar, hinaan, umpatan, serangan, perendahan, pelecehan, kebohongan, ejekan, dan pembunuhan karakter di antara kelompok konstituen atau partisan politik jadi pemandangan digital sehari-hari—the digital incivility.

Ironisnya, ketakadaban juga dipertontonkan oleh para pemimpin atau calon pemimpin negara, melalui kata-kata kasar, umpatan, cercaan, makian, atau perilaku kasar lainnya di dalam acara publik; ucapan menyerang, merendahkan, melecehkan, dan memperolok lawan-lawan di dalam acara debat publik, yang semuanya terekam rapi di dalam jejak-jejak digital. Semua perilaku ini jadi penanda hilangnya nilai kesopanan, respek, penghargaan, dan rasa hormat di ruang publik politik.

Ketakadaban menjadi lebih parah ketika perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang, dan bohong oleh para pemimpin dan calon pemimpin tak disertai dengan ungkapan rasa penyesalan, sebagai penanda hilangnya rasa bersalah dan rasa malu. Padahal, para pendiri bangsa telah menunjukkan keteladanan dalam keadaban, di mana dalam kontestasi politik yang sangat keras di antara mereka, kesantunan, respek, dan rasa hormat kepada lawan politik tetap dijaga.

Demi rasa hormat terhadap para pendiri bangsa, Pilpres 2024 hendaknya tak dilihat sebagai pertarungan menang/kalah, tetapi pesta demokrasi untuk menegakkan kembali keadaban bangsa, yang tergerus ketakadaban.

Dalam kondisi mengerasnya polaritas anak bangsa, energi bangsa hendaknya tidak dikuras habis bagi pertarungan kekuasaan, tetapi untuk mengembalikan keadaban itu. Kita malu kepada para pendiri bangsa apabila pesta demokrasi dibiarkan sebagai pesta gila ketakadaban, yang merecoki nilai-nilai luhur bangsa.

Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB

Wake up Call (1) Utk Alumni ITB

Alumni ITB Hitam Mampus, Alumni Putih Tetap Berjuang

(Dr. Syahganda Nainggolan, alumni Geodesi ITB ’84, Studi Pembangunan ITB 2002)

Kemarin, ketua Alumni ITB 2016-2020, telah ditangkap Kejaksaan Agung atas perkara korupsi senilai Rp. 5,7 Triliun kerugian negara. Ini baru satu kasus dalam penerbitan RKAB bodong tambang blok Mandiodo Sulawesi Tenggara.

Perkara ini, sekali lagi, baru satu RKAB Nikel dan baru hitungan satu tahun. Berapa banyaknya kerugian negara atas pat gulipat RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) bodong selama rezim Jokowi berkuasa, tentu masih harus menjadi perhatian Kejaksaan Agung. Isu banyaknya mafia di sektor tambang ini pasti akan terbongkar nantinya.

Bersama Ridwan Jamaluddin alias Ridwan Jangkung, nama panggilan di aktifis ITB era 80an, ada juga alumni ITB lainnya yang ditangkap. Namun, pengertian alumni hitam dalam tulisan ini hanya menyasar Ridwan Jamaluddin sebagai simbol idola alumni ITB saat ini dan menjadi aktifis utama gerakan mahasiswa 80an student center ITB anti Suharto, serta juga alumni-alumni ITB yang menjadi geng Ridwan di jajaran aktifis kealumnian.

Sebelum ini, sebulan yang lalu, saya sudah pernah membahas alumni hitam lainnya dalam kasus Yusrizki, wakil ketua alumni ITB saat ini, yang ditangkap Kejaksaan Agung atas kasus korupsi BTS senilai 8 Triliun. Korupsi ini setara dengan 80% projek. Bersama dia ditangkap beberapa pengurus pusat alumni. Dan Yusrizky diketahui bekerja pada perusahaan milik suami seorang pimpinan politik nasional (“Etika, Korupsi, dan Pengkhianatan Intelektual Alumni ITB”, RMOL, 8/7/2023).

Jika Ridwan merupakan idola dan contoh sukses alumni aktifis 80an, maka Yusrizky contoh tahun 90an. Yusrizky bahkan diberitakan menyumbangkan uang yang cukup ke ITB, sehingga mendapatkan “foot print” di sebuah anak tangga di sekitar taman di ITB. Sekarang keduanya disaksikan rakyat Indonesia adalah Bajingan Jahat, yang menghancurkan negara dan bangsa di atas penderitaan rakyat.

Ketika organisasi alumni ITB dikendalikan Ridwan, ruang publik alumni ITB berkembang pesat dikendalikan kelompok-kelompok pembenci Islam. Kelompok ini, sebagai pendukung Ridwan dan pengurus setelahnya, menyatakan bahwa Islam harus dinetralisir dari ITB, pengaruhnya. Beberapa hal yang dipersoalkan mereka adalah sumbangan Wardah Group ke Masjid Salman ITB, gugatan mereka atas Masjid Salman sebagai sarang radikal, Majelis Wali Amanah harus memecat Prof Din Syamsuddin yang radikal, rektor ITB harus yang mereka sensor- tidak boleh radikal, dan lain sebagainya.

Dengan dua contoh tokoh alumni ITB Ridwan dan Yusrizky, mampuslah sudah nasib kelompok alumni ITB anti Islam dan anti pemerintahan bersih. Jika alumni ITB mengetahui secara pasti siapa-siapa saja geng Ridwan Jamaluddin, setidaknya eksistensi mereka sebagai sahabat Dirjen Minerba, dan siapa saja geng Yusrizky, maka cukup bagi alumni secara keseluruhan mengetahui bahwa dibalik spirit anti Islam yang dikembangkan selama ini, terungkap bahwa mereka semua adalah bagian dari kejahatan negara, meski sebagian mereka hanya dalam bayangan saja.

Alumni ITB aktifis student center selama tahun 80an-90an sebenarnya di masa lalu digembleng untuk menjadi pembela rakyat. Perlawanan terhadap Suharto memakan korban yang besar. Misalnya, pada akhir tahun ’87 ketika saya bertanggung jawab atas kegiatan akbar Musik Malam Tahun Baru yang isinya antara lain nyanyian kritik “Suharto (Suka Harta Todongan), Sudomo (Superstar Doger Monyet), Harmoko (Dahar Modol Ngaroko)”, beresiko penangkapan saya dan aktifis lainnya oleh tentara alias Laksusda Jabar. Begitu juga beberapa aksi-aksi di lingkungan ITB, Bandung maupun nasional, khususnya terkait perjuangan “Tanah Untuk Rakyat”. Semua perjuangan ini mengajarkan nilai-nilai, a. Demokrasi dan kebebasan, b. Keadilan untuk rakyat, c. Anti Korupsi. Pada aksi penolakan kedatangan Mitterrand, Presiden Prancis, 1986, saya melihat Ridwan memegang poster menentang kebijakan devaluasi rupiah, sedangkan Hetifah Syaifuddin, rekan Ridwan, yang saat ini menjadi wakil ketua umum Golkar, menyerang Polisi Militer bersepeda motor, untuk memulai kerusuhan massa.

Nilai-nilai perjuangan yang diperoleh Ridwan dan Yusrizky telah berubah menjadi nilai-nilai kejahatan, yang membuat alumni ITB malu. Dan selama ini belum ada alumni ITB berlatarbelakang aktifis ditangkap karena kasus korupsi. Jikapun ada, mereka bukan pengurus sentral alumni ITB. Ridwan dan Yusrizky adalah contoh awal rusaknya alumni ITB eks aktifis.

Alumni Putih Tetap Berjuang

Alumni ITB eks aktifis tentu ada yang hitam dan ada yang putih. Yang hitam pro korupsi, khususnya terjadi hanya di era Jokowi ini. Sedangkan alumni putih konsisten berjuang.

Rizal Ramli (aktifis 77/78), Jumhur Hidayat (80 an), Saya (80an), Radhar Tri Baskoro (80an) dan Hanief Adrian (2000 an) merupakan contoh sebagian alumni putih yang mengisi ruang publik. Ada juga yang terlalu senior, Andi Syahrandi dan Suko Sudarso, namun mereka generasi sangat tua. Sejak masa mahasiswa sampai berkali-kali menjadi menteri, Rizal Ramli misalnya, selalu mengutuk korupsi dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Dalam skala lebih kecil, saya sebagai Komisaris Pelabuhan Indonesia 2, di masa lalu, juga mengutuk korupsi dan KKN. Jumhur sendiri, baik sebagai anak mantu Menteri Perhubungan era Gusdur maupun ketika menjadi pejabat negara tidak mentolerir korupsi. Perjuangan yang didengungkan di kampus, terus menerus digelorakan sampai saat ini.

Tentu saja perjuangan menegakkan yang hak dan melawan yang batil mengalami godaan dan siksaan. Godaan tentu saja sering terjadi, seperti hasrat bertransaksi dengan kawan-kawan yang sedang berkuasa. Menghindari godaan atau hasrat itu mengandung resiko, hidup sederhana. Parahnya adalah resiko perjuangan di penjara. Rezim Joko widodo seperti juga era Suharto adalah razim totaliter dan anti demokrasi. Saya dan Jumhur yang di penjara bersama di Penjara Kebon Waru akhir tahun 80an, harus mengalami penjara lagi di era Jokowi. Hanya karena mengkriti Omnibus Law Ciptaker. Rizal Ramli juga mengalami teror dari adanya aparatus yang datang ke rumahnya, memata-matai. Belum lagi teror via medsos.

Namun, perjuangan alumni ITB Putih tetap berlangsung. Rizal selalu memberikan kritik dan solusi atas bobroknya ekonomi nasional. Jumhur menggerakkan buruh untuk jadi tuan rumah di negeri sendiri. Saya, Radhar dan Hanief menghiasi ruang publik dengan pikiran-pikiran kritis.

Dengan demikian, alumni ITB Putih telah ikut mempertahankan keharuman nama alumni ITB dimata rakyat Indonesia. Jika simbol alumni yang dibanggakan rakyat adalah Ridwan Jamaluddin dan Yusrizky serta gengnya, maka hancur nasib alumni ITB.

Spektrum pembicaraan kita tentu saja, sekali lagi, terbatas pada ruang lingkup alumni ITB, aktifis dan politik. Kita membahas ini karena konsistensi sosok manusia hanya bisa dikaitkan dengan apa yang dia perjuangankan dimasa lalu. Disamping kehebohan yang dipertontonkan. Bagaimana rakyat membandingkan Saya dan Jumhur memakai baju rompi tahanan versus Ridwan Jamaluddin dan Yusrizky memakai rompi tahanan? Yang satu untuk perjuangan versus lainnya untuk kejahatan.

Penutup

Ditangkapnya Ridwan Jamaluddin atas kerugian negara Rp 5,7 Triliun dan Yusrizky atas kerugian negara Rp 8 T, membuat alumni ITB secara keseluruhan malu. Sebab, mereka adalah idola yang selama ini dibanggakan. Kemaluan ini harus menjadi refleksi bagi alumni ITB untuk merujuk pada nilai-nilai apa yang sesungguhnya ITB telah tanamkan pada mereka selama kuliah?

Refleksi itu harus menghasilkan kejijikan pada elit-elit alumni yang selama ini menyerang Islam, dan menuduh alumni ITB yang beroposisi sebagai kelompok radikal-radikul. Karena, faktanya, dalam nilai-nilai yang berkembang di lingkaran alumni selama ini, pembiaran atau permisif, pada tingkat minimum, maupun bagian konspirasi dalam tingkatan lainnya untuk berjamaah korupsi, telah berlangsung. Jika tidak menghasilkan refleksi apapun, dan masih bangga dengan kelompok Ridwan dan Yusrizky, berarti telah terjadi disorientasi nilai-nilai kebenaran yang diperoleh selama di ITB dulu.

Namun, jika refleksi menghasilkan kesadaran baru, maka alumni ITB dapat berkolaborasi dengan kelompok alumni putih untuk membangun bangsa. Membangun bangsa artinya menciptakan Indonesia bebas korupsi, membangun masyarakat berpengetahuan (knowledge society) dan melakukan politik redistribusi untuk kesejahteraan rakyat.

Moedomo vs GARITB

Sebuah tulisan, bagus utk membuka wawasan kita semua. Terutama generasi penerus bangsa yg akan menjadi nakhoda ke depan.

Maman A Djauhari

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

14/02/2021
Moedomo VS GARITB

GARITB? Ya, yang saya maksud adalah Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB. Membaca pemberitaan tentang GARITB, sebagai orang yang pernah terlibat dalam mendidik calon alumni ITB, terus terang saya amat sangat terpukul. Kerja keras saya selama 1969-2009 di ITB ternyata menghasilkan banyak defect products.

Saya masuk MA ITB (Angkatan 1968) sebagai kader dosen. Tahun 1969 saya sudah diberi tugas sebagai asisten. Kurikulum 11 semester (6 sem Sarjana Muda + 2 sem Sarjana Satu + 3 sem Doctorandus) saya selesaikan 1974 & diwisuda bulan Oktober. Bulan Maret 1975 saya diangkat sebagai Dosen dan Mei 1975 sudah berada di negeri Trois Mousquetaires untuk program Pascasarjana. Pensiun dari ITB tahun 2009. Total +/- 40 tahun berkhidmat di ITB.

Saya yakin semua orang ITB membaca/mendengar pemberitaan GARITB. Amat disayangkan, nama “gerakan anti radikalisme” scientifically tidak sesuai dengan norma akademis. Lebih gawat lagi, hermeneutically, pada nama itu tampak kekacauan dalam mind-map si pemberi nama. Akibatnya, gerakan itu dengan mudah dapat menjadi gerakan kontra-produktif. Mengapa? Sebab, di saat ITB sedang bertarung dalam global intellectual racing, gerakan itu dapat menghambat upaya memenangkan perlombaan intelektual tsb.

Nah, lalu siapakah Moedomo? Kemungkinan besar sebagian besar anggota IAITB tidak kenal beliau atau bahkan mungkin tidak tahu. Moedomo…nama yang simple. Tapi beliaulah Guru Besar ITB kelas dunia dalam bidang Mathematical Analysis yang pernah dimiliki Ibu Pertiwi.

Bagaimana kemumpuniannya? Catat ini baik2. Kita akan difahamkan oleh Google Scholar bahwa karya Moedomo yang terbit di Pacific Journal of Mathematics tahun 1971 adalah karya yang sangat fundamental dalam bidangnya dan monumental bagi Indonesia.

Saya katakan fundamental, karena karya itu menjadi salah satu referensi buku yang ditulis oleh Alexander Grothendieck dkk. Dan, saya katakan monumental bagi Ibu Pertiwi, karena karya itu menjadi legenda bagi orang yang tahu fungsi Perguruan Tinggi (PT).

Lalu siapa Grothendieck? Dia adalah matematisi kelas dunia yang hingga saat ini tetap berada pada peringkat ke-11! Perlu dicatat pula, dari peringkat 1 s/d 12 berturut-turut adalah: Newton, Archimedes, Gauss, Euler, Riemann, Poincaré, Lagrange, Euclid, Hilbert, Leibniz, GROTHENDIECK, dan Fermat. Dan, catat lagi bahwa Grothendieck adalah sahabat karib Albert Einstein.

Itulah sekilas profil Moedomo; figur kebanggaan ITB. Dan, memang begitulah rumusnya. Orang hebat selalu bersahabat karib dengan orang hebat lagi. Kalau sekarang ada alumni ITB yang merasa hebat, itu karena ybs pernah berada di lingkungan orang2 hebat seperti Moedomo. Ini tak bisa disangkal.

Moedomo memang sangat brilliant, memiliki kemampuan serendipity, dan …… very humble. Oleh karena itulah, semua Pimpinan ITB apalagi Dosen segan dan hormat kepadanya.

Kuliahnya sangat menarik dan hidup. Ingin tahu apa yang beliau ajarkan? Values! Itulah yang beliau ajarkan. Melalui matematika Moedomo mengajarkan moral & academic values. Diantara academic values yang beliau ajarkan kepada mahasiswanya (termasuk saya) adalah sikap dan semangat orang2 hebat di dunia yakni RADIKALISME dalam meraih the highest achievement! Lalu, contoh moral values yang beliau ajarkan adalah tidak menempuh solusi radikal terhadap pelanggar norma akademis.

Moedomo mengajarkan bagaimana menjadi RADIKAL dalam mendobrak kemapanan sebuah teori untuk kemudian membangun teori yang baru. Dan, bagaimana menghindari solusi radikal terhadap pelaku kesalahan akademis. Itulah ruh ITB; moral & academic values ditularkan oleh the seniors melalui interaksi radikal di konferensi, di seminar, di kelas, di laboratorium dan di masyarakat. Dengan menularkan sikap dan semangat radikalisme itulah the seniors mencetak orang2 hebat.

Di awal saya katakan gerakan anti radikalisme di lingkungan PT dapat menjadi gerakan kontra-produktif. Mengapa? Karena dapat mengganggu fungsi PT. Fungsi PT ada 2 (dua) yakni (i) menciptakan ilmu2 baru, dan (ii) menghasilkan manusia2 baru. Hanya dengan sikap & semangat radikalisme, Dosen akan mampu memproduksi ilmu baru. Lalu hasilnya dibagikan tidak hanya kepada mahasiswa dan sejawat Dosen tetapi juga kepada komunitas ilmuwan dunia. Dengan sikap & semangat itu pula ITB menghasilkan alumni.

Oleh karena itulah, apabila ada alumni yang tidak mampu berkontribusi kepada almamaternya dalam perjuangan memenangkan global intellectual racing, saya sarankan lebih baik turut berdo’a daripada membuat gerakan yang kontra-produktif.

Kalau masih hidup, saya yakin Moedomo akan kecewa dan prihatin dengan sikap dan semangat beberapa alumni ITB yang tidak mampu menjiwai & mencerna ruh almamaternya.

Moedomo kembali ke Rahmatullah pada 5 November 2005. Semangatnya dalam menampilkan ITB di international scientific map akan tetap menjadi sumber energi bagi Dosen, mahasiswa dan alumni ITB. Semoga almarhum selalu berada dalam dekapan hangat Allah swt. Aamiin.

Selamat berkarya,


Maman A. Djauhari (Pensiun dari ITB tahun 2009). Penulis utama buku “Reliable Shewhart-type control charts for multivariate process variability” terbit di Jerman, 2018. Juni 2020 buku tsb diterbitkan ulang dalam 8 bahasa; Belanda, Italia, Jerman, Perancis, Polandia, Portugis, Rusia, dan Spanyol. Buku tsb khusus untuk para quality professionals.


My Masterpiece…

My first, My Masterpiece..

Sebuah tulisan lama, hasil perenungan 14 tahun semenjak bekerja di Bappenas akhir 1989 lalu. Diterbitkan pada 11 Januari 2003 lalu, persis ketika saya ultah ke-40, sekaligus sebagai kado ultah.Semoga berguna.

Aamiin yra.

Penghapus.

Belum dapat siapa anak mesin yg nulis ini. Syc akan cari di google.

KOLOM: Kisah Sebuah Penghapus

Di kelas saya di ITB dulu saya sebenarnya termasuk golongan minoritas: perwakilan dari kelas pinggiran. Ya, saya memang berasal dari kampung jepung di pelosok Jawa. Saya lahir di Karanganyar atau Solo coret. Dan masa kecil saya habiskan di desa Karangpandan, Karanganyar coret (atau Solo coret kuadrat). Saya dulu tentunya tidak kenal apa itu penghapus (kata dalam judul di atas), tahunya setip. Dulu bentuknya kotak dengan warna putih dan ujungnya hijau. Kadang ada gambarnya bendera atau buah dsb. Baunya wangi, yang merupakan sejenis sumber kegembiraan tersendiri bagi anak desa. Buku saya sampulnya ungu dan dibuat oleh pabrik kertas Letjes. Tapi suatu saat ada juga yang bergambar Koes Plus dan bahkan gambar yang membuat saya percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini: Astronot Edwin B Aldrin yang sedang menjejak bulan. Sementara itu kosa kata untuk peruncing pensil adalah ongotan atau urek. Demikianlah tentu kata-kata ini asing bagi anak kota.

Kondisi saya, alhamdulillah, cukup tertolong dengan pergaulan di kampus yang tentunya merupakan arena pembauran segala kalangan. Kadang saya merasa lega ternyata banyak juga teman-teman saya yang berasal dari pelosok. Mereka belajar ke ITB sebagai kaum pendatang dan perantau. Masing-masing mempunyai strategi untuk survive di dunia akademik yang penuh kompetisi itu. Kalo kita boleh percaya pada bunyi tulisan pada plang di depan gerbang kampus maka mereka adalah “putra putri terbaik Indonesia”. Terbaik dari kecamatannya masing-masing. Kita tidak pernah tahu betapa sebagian dari mereka melewati proses keputusan yang tidak mudah. Untuk menanggung biaya pindah ke kota perlu untuk either menjual sawah atau kerbaunya. Bila sawah dijual, kerbaunya nganggur. Kalo kerbau dijual, siapa yang menarik garu dan luku?

🍂

Bila anak-anak millenials sekarang ini meja belajarnya buatan IKEA maka masa itu sebagian teman saya (yang berada) memakai buatan Ligna. Saya sendiri sangat bersyukur mempunyai meja lungsuran dari kakak saya. Meja tersebut adalah karya dari desainer pinggir jalan di seberang pasar Balubur. Bila desain IKEA terkesan slim dan minimalis. Maka desain Balubur ini bergaya… recycle. Papan kayu banyak yang tidak rata atau malah berlubang sehingga harus didempul. Saya curiga bahan bakunya memang dari boks bekas. Tapi tentunya tetap saya syukuri, minimal berbentuk menyerupai meja belajar. Apalagi kakak saya cukup kreatif dengan melapisi permukaan meja dengan sejenis plastik atau vynil bercorak. Believe it or not, penampakan akhirnya tidak jauh dari meja-meja di majalah interior. Terutama kalo dilihat, agak jauh, dari luar rumah.

Dengan setting seperti di atas saya menyelesaikan pendidikan saya dalam waktu 4.5 tahun. Bila ada yang mengatakan you are the average of five people around you, maka saya merasa sangat beruntung karena interaksi dengan dosen-dosen di ITB yang hebat kala itu. Saya kadang terheran-heran atau kagum dengan cara berpikir dan kepercayaan diri para pendidik tersebut. Bagaimana mereka memperoleh way of thinking seperti itu. Saya membatin ini pastilah datang dari pendidikannya. Sebagian besar dosen yang mengajar saya lulus dari universitas terkemuka Amerika: MIT, Purdue, Berkeley dsb. Blio-blio yang membentuk cara berpikir dan juga attitude secara keseluruhan: cara berpikir analitis dan kritis, pendekatan yang sistematis dan yang paling utama kemandirian dan self confidence. Resilience. Sikap dan pendirian bahwa setiap masalah ada jalan keluarnya. In the most hopeless situation, there IS light on the other side of the tunnel.

🍂

Dalam sebuah episod, setelah saya lulus dan ditawari posisi dosen muda, saya memperoleh admission letter dari MIT (sesudah proses rumit selama setahun). Menteri Ristek Habibie menandatangani beasiswa saya. Namun karena birokrasi yang panjang beasiswa tidak bisa cair sampai minggu pertama kuliah. Pintu dan harapan terakhir saya adalah pintu kantor Professor O Diran. Pendiri Jurusan Teknik Penerbangan. Di lingkungan ITB ruang Prof Diran ibarat sarang naga. You should know what you’re doing with the entry. Namun saya tahu persis objective dan resikonya. Bila saya tidak memperoleh beasiswa semester itu everything is gone. Semua persiapan panjang dan hasil admission yang seperti unta masuk lubang jarum bisa tidak ada gunanya. Now or never. Demikianlah dengan mengumpulkan segenap keberanian saya mengetuk pintu.

Prof Diran mendongakkan kepala dari tempat duduknya di antara berkas-berkas yang sedang ditekuninya:
“Yes, Sir…?”
Pandangannya tajam dan bila diartikulasikan kira-kira berbunyi : I am busy and you’d better not waste my time.

Saya menelan ludah dan mengatakan,
“Your door is the last one. If I don’t succeed I have nowhere else to go”.
Demi mendengar kalimat tersebut blio melepaskan ballpennya dan mempersilakan saya masuk. Saya ceritakan beasiswa saya yang nyangkut. Dan bahwa saya juga sudah mencoba berbagai jalur: Bappenas, BPPT, US Embassy,… Juga sudah konsultasi ke semua dosen senior. To no avail.

“When do you need to go (to start your study at MIT)?”
“Two days ago. The spring semester started last Tuesday..”.

Di luar dugaan, bukan kalimat penghiburan atau apa yang disampaikan, blio beranjak dari tempat duduk berjalan keluar sambil mengatakan:
“Follow me Pak”

Kebiasaan blio adalah menggunakan bahasa Inggris dan mengaddress siapa saja (kolega, bawahan, para menteri, dirjen, KSAU, pak penjual bakso, petugas cleaning service, dan para mahasiswa) secara flat: Pak.

Yang dituju ternyata adalah ruangan Kepala Jurusan Teknik Mesin, kala itu dijabat oleh Pak Satryo Sumantri Brodjonegoro. Secara singkat Pak Diran menjelaskan casenya:

“Pak Agus should have started his study several days ago at MIT, Pak Satryo. As his scholarship is pending, we need to find a way to support him at least temporarily. I will call Pak Habibie this evening to update him and make sure his scholarship is secured. Meanwhile, can you arrange an interim support? I will be his ‘borg’”

Tanpa ada diskusi, Pak Satryo membuka laci mejanya dan mengeluarkan check. Berapa yang diperlukan. Saya sudah membuat hitung-hitungan di kepala dan menjawab, empat puluh lima juta rupiah. Cukup untuk airfare, bayar dorm dan biaya hidup beberapa waktu. Dari pembicaraan pendek yang berlangsung, saya mengetahui bahwa uang yang diberikan ke saya sore itu “dipinjamkan” dari uang Koperasi ITB. Salah seorang teman saya kebetulan bekerja part time di sana, yang dijual adalah alat tulis: pensil, ballpen, penggaris dan penghapus. Saya terharu, sementara teman-teman saya sekelas di MIT memperoleh beasiswa dari perusahaan raksasa seperti General Dynamics, Raytheon atau Airbus, saya berangkat dengan biaya dari laba jualan penghapus.

Dalam perjalanan kembali kembali ke kantornya Prof Diran meminta saya segera pergi dan mengurus semua yang diperlukan untuk keberangkatan saya secepatnya. Saya menghaturkan terima kasih dan berpamitan. Saya mendengar tentunya percakapan antara Pak Satryo yang membahas dan mengkhawatirkan para penerima beasiswa yang tidak kembali (sesudah selesai belajar). Entah darimana Professor Diran menyimpulkan sambil melihat ke arah saya: “But he will come back”.

Dari dekat pintu ruangannya, belum tiga langkah saya berjalan, blio mengatakan:
“Please remember this arrangement for you Pak. Do not forget your country”

🍂

Saya menyelesaikan studi saya di MIT (dimana Edwin B Aldrin dulu belajar) dan total berada di lingkungannya selama hampir 10 tahun. Berpuluh-puluh tahun kemudian saya masih mengingat dan mengamalkan kata-kata professor saya.

itb, jadilah almamaterku yang memperbaiki bukan merusak negeri

Ini status fb ku ketika seseorang masih berargumentasi bahwa Kang RR sudah dibebastugaskan oleh itb sebelum jadi Kepala SKK Migas.

“dalam hati saya bertanya lagi. siapa sih yang memberi izin? pribadi seorang ka Jurusan kah atau ada sidang guru besar? mestinya ada prosedur jika seorang guru besar itu diminta negara, sehingga berbagai pertimbangan matang dan dewasa bisa didiskusikan dulu. kalau tidak ada, bagi saya BODOH sekali yang memberikan izin, apa tidak melihat bahaya segitu besar di bisnis ini? kan sudah tahu bahwa salah satu sektor terberat harus diberesi pemerintah adalah sektor migas, atau sedikit lebih luas adalah energi. memang bisa saja berargumentasi…kapan lagi itb bisa bantu? tapi lihat dong, apakah kang RR cukup umur, okey cukup umur dan ilmu, tapi apa cukup jam terbang? kalau belum lha berarti kan itb justru ikut andil menjerumuskan dosen terbaiknya. dari angle lain, kalau memang kang RR dosen terbaik, paksa dia justru harus ngajar mahasiswa perminyakan yang nota bene dari dulu harus lebih dikembangkan dibanding jurusan lain (maaf). sehingga mahasiswa tidak lagi diajar oleh dosen proyek seperti dulu. maaf, berpanjang lebar, tapi harus jelas arah justru untuk mempertahankan dosen terbaik ngajar dulu di kampus. juga sekarang bukan jamannya lagi seperti ketika pak Harrto membutuhkan p Widjojo cs di birokrasi. saya sudah sangat menduga akan terjadi, apa lagi ketika memperhatikan kang RR naik panggung di acara golf bbrp hari sebelum puasa tahun ini. bravo itb, menjadi semakin baiklah almamaterku, jangan ikutan rusak dan merusak negeri ini!”

Ada baiknya menyimak dua tulisan saya berikut:

http://www.scribd.com/doc/11788671/IA-ITB-Sept2003-Jabatan-Rangkap

http://www.scribd.com/doc/17124670/Dosen-Peneliti-dan-Birokrat-lengkap-dengan-Sinar-Harapan