Out of 100. Periksa posisi anda dan Jangan lupa bersyukur.

Hanya 8% yang hidup >65 tahun.🙏😇💓🌷

Angkat topi untuk siapa pun yang telah menyusun statistik ini! Baca dan pahami betapa beruntungnya kita!!👇🏼🙏😇🌷

Populasi Bumi saat ini sekitar 7,8 miliar.
Bagi kebanyakan orang, itu adalah angka yang besar, itu saja.

Namun, seseorang telah memadatkan 7,8 miliar di dunia menjadi 100 orang, dan kemudian menjadi berbagai statistik persentase.
Analisis yang dihasilkan jauh lebih mudah untuk dipahami, secara relatif.

Dari 100:

11 berada di Eropa
5 berada di Amerika Utara
9 berada di Amerika Selatan
15 berada di Afrika
60 berada di Asia

49 tinggal di pedesaan
51 tinggal di kota / kota

77 punya rumah sendiri
23 tidak punya tempat tinggal.

21 kelebihan gizi
63 bisa makan kenyang
15 kurang gizi
dan
Saya makan makanan terakhir, tetapi tidak berhasil makan berikutnya.

Biaya hidup harian untuk 48 orang kurang dari US$2.

87 memiliki air minum bersih
13 kekurangan air minum bersih atau memiliki akses ke sumber air yang tercemar.

75 memiliki ponsel
25 tidak punya

30 memiliki akses internet
70 tidak memiliki syarat untuk online

7 menerima pendidikan universitas
93 tidak kuliah.

83 bisa membaca
17 buta huruf.

33 adalah orang Kristen
22 adalah Muslim
14 orang Hindu
7 beragama Buddha
12 adalah agama lain
12 tidak memiliki keyakinan agama.

26 hidup kurang dari 14 tahun
66 meninggal antara usia 15 – 64 tahun
8 berusia di atas 65 tahun.

Jika Anda memiliki rumah sendiri,
Makan makanan lengkap dan minum air bersih,
Memiliki ponsel,
Bisa berselancar di internet, dan
sudah kuliah,
Anda berada di tempat istimewa yang sangat kecil.
(dalam kategori kurang dari 7%)

💥Di antara 100 orang di dunia, hanya 8 yang dapat hidup atau melebihi usia 65 tahun.💥

Jika Anda berusia di atas 65 tahun, bergembiralah dan bersyukurlah. Hargai hidup, raih momen.

Anda tidak meninggalkan dunia ini sebelum usia 64 tahun seperti 92 orang yang telah pergi sebelum Anda. Kamu sudah diberkati di antara umat manusia.🙏😇

Unknown source from WAG

You’ve Got Another Job Offer. Here’s What to Tell Your Boss. – The Wall Street Journal.

You’ve Got Another Job Offer. Here’s What to Tell Your Boss. https://www.wsj.com/articles/job-offer-rival-counter-boss-11629388819

Ketut Tantri, from Glasgow to Bali

Sumber : WA seorang teman. Semoga benar dan sah.

Saya mungkin akan dilupakan oleh Indonesia…Tapi Indonesia adalah bagian hidup saya K’TUT TANTRI……

Masih sangat di sayangkan banyak yng tidak tahu perjuangan wanita bule untuk negri ini. Disiksa Jepang nyaris membuat ia gila bahkan tewas… Tapi tak menyurutkan hati nya untuk memperjuangkan negri barunya itu… Bahkan Bung Tomo terkesiap saat menyaksikan bagaimana dengan tenang nya K’tut Tantri menyiarkan bombardir tentara Inggris pada kota Soerabaia dengan menulis catatan….. “Saja tidak akan melupakan detik detik dikala Tantri dengan tenang mengutjapkan pidatonja dimuka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru2 mortir berdjatuhan dengan dahsjatnja dikeliling pemantjar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo…..

K’tut Tantri lahir di Glasgow Skotlandia dengan nama Muriel Stuart Walker, pada 18 Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle. Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan Karl Jenning Pearson. Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, “Bali, The Last Paradise”. Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.

“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise”. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri. “Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu. Ternyata mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia yakini adalah pura.

Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja Bangli Anak Agung Gede –sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang raja. Tantri menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan. Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo.

Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio. “Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,”.. tulisnya dalam Revolt in Paradise. Pilihannya untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu membuat kalangan pers internasional menjulukinya “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya.

Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura — putra tertua raja yang mengangkatnya sebagai anak. Menyadari dirinya menjadi target Jepang, Tantri memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai –satuan polisi militer Jepang. Perempuan itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri.

Kondisi selnya sangat memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di sampingnya. Tantri hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam. Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama.

Kelaparan dan kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang dibutuhkan. Kendati mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun dibebaskan.

Pasca-kebebasannya, ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua. Pada satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk siaran di “radio gelap” yang mereka kelola. Namun ia berhasil dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.

Ketika pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat. Mara bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik. Ia diutus oleh pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Berbeda dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno – Hatta tak mendapat dukungan. Tantri juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos dari blokade laut Belanda.

Dari Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda. Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan Belanda di Negeri Kanguru itu. K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947.

Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950. Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking –sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan– tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident sejak 1985. Perempuan yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia – Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai warga negara Indonesia. K’tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko. Dalam tulisan di buku catatan harian nya sebelum meninggal ia menulis….. “Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali”…… Saat wanita gagah ini meninggal di peti jenasahnya ditutupi bendera Merah Putih dan di beri renda renda khas Bali seperti permintaannya…. 👍😊 Mengenang sejarah sekitar orang2 yg berjasa bagi NKRI dimasa masa perjuangan.🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Teruslah bergerak… Keep Moving

Sumber: dari seorang teman di sebuah WAG

Soros on Xi…. another battle.

Xi’s Dictatorship Threatens the Chinese State

In his quest for personal power, he’s rejected Deng Xiaoping’s economic reform path and turned the Communist Party into an assemblage of yes-men.

By George SorosAug. 13, 2021 5:12 pm ET

Chinese President Xi Jinping at a ceremony marking the 100th anniversary of the Chinese Communist Party’s founding in Beijing, July 1.PHOTO: JU PENG/XINHUA VIA ZUMA PRESS

Listen to articleLength9 minutesQueue

Xi Jinping, the ruler of China, suffers from several internal inconsistencies which greatly reduce the cohesion and effectiveness of his leadership. There is a conflict between his beliefs and his actions and between his public declarations of wanting to make China a superpower and his behavior as a domestic ruler. These internal contradictions have revealed themselves in the context of the growing conflict between the U.S. and China.

At the heart of this conflict is the reality that the two nations represent systems of governance that are diametrically opposed. The U.S. stands for a democratic, open society in which the role of the government is to protect the freedom of the individual. Mr. Xi believes Mao Zedong invented a superior form of organization, which he is carrying on: a totalitarian closed society in which the individual is subordinated to the one-party state. It is superior, in this view, because it is more disciplined, stronger and therefore bound to prevail in a contest.

Relations between China and the U.S. are rapidly deteriorating and may lead to war. Mr. Xi has made clear that he intends to take possession of Taiwan within the next decade, and he is increasing China’s military capacity accordingly.

He also faces an important domestic hurdle in 2022, when he intends to break the established system of succession to remain president for life. He feels that he needs at least another decade to concentrate the power of the one-party state and its military in his own hands. He knows that his plan has many enemies, and he wants to make sure they won’t have the ability to resist him.


Although I am no longer engaged in the financial markets, I used to be an active participant. I have also been actively engaged in China since 1984, when I introduced Communist Party reformers in China to their counterparts in my native Hungary. They learned a lot from each other, and I followed up by setting up foundations in both countries. That was the beginning of my career in what I call political philanthropy. My foundation in China was unique in being granted near-total independence. I closed it in 1989, after I learned it had come under the control of the Chinese government and just before the Tiananmen Square massacre. I resumed my active involvement in China in 2013 when Mr. Xi became the ruler, but this time as an outspoken opponent of what has since become a totalitarian regime.

I consider Mr. Xi the most dangerous enemy of open societies in the world. The Chinese people as a whole are among his victims, but domestic political opponents and religious and ethnic minorities suffer from his persecution much more. I find it particularly disturbing that so many Chinese people seem to find his social-credit surveillance system not only tolerable but attractive. It provides them social services free of charge and tells them how to stay out of trouble by not saying anything critical of Mr. Xi or his regime. If he could perfect the social-credit system and assure a steadily rising standard of living, his regime would become much more secure. But he is bound to run into difficulties on both counts.

To understand why, some historical background is necessary. Mr. Xi came to power in 2013, but he was the beneficiary of the bold reform agenda of his predecessor Deng Xiaoping, who had a very different concept of China’s place in the world. Deng realized that the West was much more developed and China had much to learn from it. Far from being diametrically opposed to the Western-dominated global system, Deng wanted China to rise within it. His approach worked wonders. China was accepted as a member of the World Trade Organization in 2001 with the privileges that come with the status of a less-developed country. China embarked on a period of unprecedented growth. It even dealt with the global financial crisis of 2007-08 better than the developed world.

Mr. Xi failed to understand how Deng achieved his success. He took it as a given and exploited it, but he harbored an intense personal resentment against Deng. He held Deng Xiaoping responsible for not honoring his father, Xi Zhongxun, and for removing the elder Xi from the Politburo in 1962. As a result, Xi Jinping grew up in the countryside in very difficult circumstances. He didn’t receive a proper education, never went abroad, and never learned a foreign language.

Xi Jinping devoted his life to undoing Deng’s influence on the development of China. His personal animosity toward Deng has played a large part in this, but other factors are equally important. He is intensely nationalistic and he wants China to become the dominant power in the world. He is also convinced that the Chinese Communist Party needs to be a Leninist party, willing to use its political and military power to impose its will. Xi Jinping strongly felt this was necessary to ensure that the Chinese Communist Party will be strong enough to impose the sacrifices needed to achieve his goal.

Mr. Xi realized that he needs to remain the undisputed ruler to accomplish what he considers his life’s mission. He doesn’t know how the financial markets operate, but he has a clear idea of what he has to do in 2022 to stay in power. He intends to overstep the term limits established by Deng, which governed the succession of Mr. Xi’s two predecessors, Hu Jintao and Jiang Zemin. Because many of the political class and business elite are liable to oppose Mr. Xi, he must prevent them from uniting against him. Thus, his first task is to bring to heel anyone who is rich enough to exercise independent power.

That process has been unfolding in the past year and reached a crescendo in recent weeks. It started with the sudden cancellation of a new issue by Alibaba’s Ant Group in November 2020 and the temporary disappearance of its former executive chairman, Jack Ma. Then came the disciplinary measures taken against Didi Chuxing after it floated an issue in New York in June 2021. It culminated with the banishment of three U.S.-financed tutoring companies, which had a much greater effect on international markets than Mr. Xi expected. Chinese financial authorities have tried to reassure markets but with little success.

Mr. Xi is engaged in a systematic campaign to remove or neutralize people who have amassed a fortune. His latest victim is Sun Dawu, a billionaire pig farmer. Mr. Sun has been sentenced to 18 years in prison and persuaded to “donate” the bulk of his wealth to charity.

This campaign threatens to destroy the geese that lay the golden eggs. Mr. Xi is determined to bring the creators of wealth under the control of the one-party state. He has reintroduced a dual-management structure into large privately owned companies that had largely lapsed during the reform era of Deng. Now private and state-owned companies are being run not only by their management but also a party representative who ranks higher than the company president. This creates a perverse incentive not to innovate but to await instructions from higher authorities.

China’s largest, highly leveraged real-estate company, Evergrande, has recently run into difficulties servicing its debt. The real-estate market, which has been a driver of the economic recovery, is in disarray. The authorities have always been flexible enough to deal with any crisis, but they are losing their flexibility. To illustrate, a state-owned company produced a Covid-19 vaccine, Sinopharm, which has been widely exported all over the world, but its performance is inferior to all other widely marketed vaccines. Sinopharm won’t win any friends for China.

To prevail in 2022, Mr. Xi has turned himself into a dictator. Instead of allowing the party to tell him what policies to adopt, he dictates the policies he wants it to follow. State media is now broadcasting a stunning scene in which Mr. Xi leads the Standing Committee of the Politburo in slavishly repeating after him an oath of loyalty to the party and to him personally. This must be a humiliating experience, and it is liable to turn against Mr. Xi even those who had previously accepted him.

In other words, he has turned them into his own yes-men, abolishing the legacy of Deng’s consensual rule. With Mr. Xi there is little room for checks and balances. He will find it difficult to adjust his policies to a changing reality, because he rules by intimidation. His underlings are afraid to tell him how reality has changed for fear of triggering his anger. This dynamic endangers the future of China’s one-party state.

Mr. Soros is founder of the Open Society Foundations.

Source: https://www.wsj.com/articles/xi-jinping-deng-xiaoping-dictatorship-ant-didi-economy-communist-party-beijing-authoritarian-11628885076?mod=opinion_lead_pos5

Transformasi Usaha di Tengah Pandemi untuk Kebangkitan UMKM

Dalam rangka menyebarluaskan informasi terkait perizinan dan sertifikasi UMKM pagi ini, Sabtu 14 Agustus jam 10-11 pagi saya diundang oleh teman2 komunitas @99_usahaku dan grup Telkomsel untuk sharing dan diskusi santai. Berikut bahan terkait diskusi tersebut yang berisikan tata cara dan informasi seputar perizinan dan pengurusan sertifikat, mulai dari PIRT, Izin Edar BPOM, Sertifikasi Halal dari BPJPH dll.

Selengkapnya dapat di download dibawah ini.

Semoga bermanfaat,

Salam Sehat. Wassalammualaikum wrwb.

Catatan: File pertanyaan hanya kisi2 saja, real diskusi ada dalam youtube.

Menumbuhkan Ekraf untuk UMKM Indonesia

Dalam rangka membantu UMKM tetap berkembang dan tumbuh di saat pandemi, kami menjadi salah satu narsum dalam webinar kata data. Berikut link youtube dan draft paparan/diskusi. semoga berguna.

Terima kasih, salam sehat.

Dihinggo

Photo by Rafli on Pexels.com

Apakah anda tahu ini bahasa mana? kalau tahu apakah paham artinya? sekilas seperti bahasa Italia atau spanyol. Jika tidak paham silakan baca selengkapnya.

Selamat Jalan Bu Dewi Syarlen, salah satu pahlawan umkm kami.

China’s Antitrust Regulator Planning to Fine Meituan About $1 Billion – The Wall Street Journal.

China’s Antitrust Regulator Planning to Fine Meituan About $1 Billion https://www.wsj.com/articles/chinas-antitrust-regulator-planning-to-fine-meituan-about-1-billion-11628238951