RIP Melly G Tan

Kita tentu tahu, bu Melly G Tan adalah sosok yang berani memaksa Presiden Habibie bersikap pada kasus kekerasan massal Mei 1998.

Jauh-jauh hari sebelumnya dia pernah dicopot dari jabatannya karena memprotes militer masuk ke kampus.

Melly G. Tan

Hanya gara-gara ikut tanda tangan ia pun dipecat dari jabatan. Menyesal?
Di ujung tahun 1970-an aksi mahasiswa tengah menuai musim semi kedua setelah Malari. Tak ingin musibah terulang militer menjepit dari segala sudut. Kali ini tak ada ampun lagi. Mereka menggeruduk kampus menguber demonstran dan menciduk aktivis mahasiswa yang susah diatur. Militer nampak sudah kehilangan kesabaran dan tidak mau lagi diajak “main-main”.

Melihat aksi tidak sopan dan semau gue itu Melly bersama Taufik Abdullah dan Thee Kian Wie ikut meneken pernyataan keprihatinan yang dibawa Rendra dan kawan-kawan ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) agar pemerintah tidak mengejar-ngejar mahasiswa dan koran tidak dibredel. Karena nama ketiga pentolan LIPI itu tercantum dalam daftar mereka pun dipanggil menghadap Prof. Tb. Bachtiar Rivai, ketua LIPI dan mantan Rektor IPB.

Mudah diduga Rivai berani memanggil anak buahnya tentu karena mendapat perintah dari atasannya, setidaknya orang berpengaruh di pusat kekuasaan. Kepada mereka hanya disediakan satu pilihan: mundur dari jabatan. Kala itu, tahun 1978, Taufik menjabat ketua Leknas (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional) dengan Thee sebagai wakil. Melly menjabat kepala Pusat Bagian Penelitian Masyarakat.

Gara-gara ikut prihatin tiga sekawan itu lama tidak mendapat jabatan di lembaga yang kini sudah marhum tersebut. Mereka hanya staf biasa padahal sudah bekerja di LIPI puluhan tahun. Taufik sudah layak menjadi ketua bahkan sejak tahun 1980-an. Baru pada masa presiden Abdurrahman Wahid sejarawan lulusan Universitas Cornell itu mendapat surat keputusan memimpin LIPI dari tahun 2000 sampai 2002.

Melly mengaku peristiwa itu berat tapi tidak menyesal. Pada saatnya seorang ilmuwan toh harus memilih dan memihak. Meski tidak punya jabatan “kami tetap boleh meneliti,” kata doktor sosiologi Universitas California, Berkeley, Amerika, itu. Bagi mereka kehilangan jabatan mungkin bukan hal pokok dalam pekerjaan. Tapi kalau sampai dilarang meneliti jelas musibah.

Sebagai ilmuwan ia memang tidak semencorong kawan-kawan LIPI-nya macam Taufik Abdullah, Abdurrahman Surjomihardjo, Alfian, etcetera. Ia jarang tampil di media. Pendapatnya baru dikutip wartawan bila terjadi pergesekan etnis dan masalah Cina di Indonesia. Namun ia kerap menjadi nara sumber berbagai forum luar negeri, tidak melulu perkara etnisitas, juga masalah keperempuanan.

Melly menolak stereotip. Tidak semua Cina bisa dipukul rata. Ia minta orang berhati-hati bila mereka bicara golongan etnis tertentu. Mereka tidak bisa disamaratakan. Ia menyebut dalam etnis Cina misalnya ada orang seperti Arief Budiman dan mereka yang “sealiran” dengannya. “Masyarakat kita plural, beraneka ragam. Tak ada negara di dunia ini yang homogen. Kalaupun ada pasti hanya sedikit,” ujar pakar kelahiran Jakarta tahun 1930 itu.

Sosiolog ini tipe orang yang suka bekerja dalam “diam” dan mungkin itu sebabnya ia agak kurang dikenal publik Indonesia. Barangkali hanya mahasiswa sosiologi dan sejarah yang familiar dengan ahli sinologi ini. Sekali-sekali artikelnya muncul di media nasional biasanya merespons suatu peristiwa. Kita bisa membaca publikasi risetnya perihal etnis dan subyek yang berkaitan dengan itu dalam sekitar selusin karyanya yang sudah diterbitkan.

Source: Unknown, saya dpt dari sebuah WAG.